Aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan seperti biasa dengan ibu. Meski kata-kata Mas Dirga masih terngiang di telinga, tetapi tak mungkin aku terus meratapi nasib. Aku harus kuat! Perjuanganku untuk mendapatkan hati Mas Dirga memang takkan mudah. Aku harus banyak-banyak bersabar menghadapi sifat angkuhnya.
Sepanjang aku memasak bersama ibu, sedari tadi kulihat beliau memperhatikanku terus menerus, apa ada yang salah?“Ibu ada apa? Kenapa terus melihatku, Bu? Apa ada yang aneh padaku?” tanyaku heran melihat sikap ibu yang menurutku tak biasa.“Bukan ... Ibu hanya heran. Kenapa jalanmu tak biasa, ya, Nak?” jawab ibu meluapkan apa yang ada di pikirannya.“Oh, ehmm ... i-itu enggak apa-apa kok, Bu. Aku baik-baik saja.” Aku gugup dengan kata-kata ibu.Mana mungkin aku bilang kalau semalam habis melakukan malam pertama dengan Mas Dirga. Bisa-bisa ibu terkejut. Satu setengah tahun kami menjalani pernikahan tapi baru kali ini Mas Dirga menyentuhku, itu pun karena dia sedang mabuk sambil memikirkan wanita lain. Sungguh miris nasibku ini. Aku sontak tersenyum kaku mengingat semuanya.“Ya sudah kalau kamu baik-baik saja, Nduk. Oh iya, semalam ibu kebetulan lihat Den Dirga pulang malam dan berjalan sempoyongan apa dia pulang dalam keadaan mabuk? Apa ada masalah dengan kalian? Enggak biasanya Den Dirga begitu. Meski memang bukan hal biasa dia seperti itu tapi ibu tak pernah melihatnya lagi setelah pernikahan kalian,” tanya ibu.Benar juga kata ibu, ini kali pertama kulihat lagi Mas Dirga mabuk, setelah dua tahun ini sama sekali tak pernah kulihat dia seperti itu. Entah kenapa aku teringat dengan permintaanku kepadanya.Apa itu yang membuatmu banyak pikiran, Mas?Mungkin menghalanginya bertemu dengan Anita adalah hal yang paling egois, tapi aku juga berhak atas diri suamiku.Aku pamit kepada Ibu setelah sarapan sudah siap, lalu masuk ke kamar untuk menyiapkan pakaian kerja Mas Dirga. Sejak menikah dengan dia, akulah yang memang selalu menyiapkan segala kebutuhannya termasuk urusan pakaian. Bagaimanapun sikap Mas Dirga, aku tetap punya kewajiban melayaninya.Kupilihkan kemeja putih serta jas dan celana hitam senada serta tak lupa dasi biru kesayangan milik Mas Dirga. Meski sedikit kesal kepada pemiliknya, entah mengapa saat melihat pakaian itu, diri ini malah membayangkan penampilannya yang tampan dan berkarisma hingga membuat senyumku terbit. Sampai-sampai aku tak sadar, Mas Dirga sudah memandangku dengan wajah heran serta tatapan aneh.“Kenapa senyum sendiri sambil memandang pakaianku? Memangnya ada yang aneh?” desak Mas Dirga.Jantungku hampir saja melompat. Aku terlonjat melihat keberadaan Mas Dirga tiba-tiba sudah ada di hadapanku, sekaligus merasa gugup serta malu ketahuan diam-diam membayangkannya.“Enggak kok, Mas,” jawabku cepat.Aku bergegas pergi dari kamar, tetapi tak sengaja kakiku tersandung dan menubruk tubuh kekar suamiku. Untuk waktu lama kami bertatapan, entah mengapa ada sesuatu yang tak biasa kulihat dari sorot matanya.Sampai suara ketukan di pintu menyadarkanku, lalu segera melepaskan diri dari dekapan Mas Dirga.Aku segera berlari dan membuka pintu, ternyata Ayah Mertua yang ada di sana. Dia menyuruhku menyampaikan kepada Mas Dirga kalau hari ini mereka akan berangkat ke kantor bersama-sama. Katanya, ada sesuatu yang penting di kantor yang harus Ayah dan putranya tersebut bicarakan.Setelah mengatakan itu, beliau berlalu. Aku tak perlu mengatakan apa pun kepada suamiku karena ucapan Ayah pasti bisa didengar olehnya.Kulihat Mas Dirga sudah beres memakai pakaiannya hendak memasangkan dasi. Segera kuhampiri dan mengambilnya dari tangan Mas Dirga.“Biarkan aku yang pasangkan, Mas.” Lagi-lagi kulihat dia terkejut tapi tak menghentikanku untuk memasangkan benda tersebut di kerah kemejanya.“Memangnya kamu bisa?” tanya Mas Dirga dengan nada meremehkan. Aku tersenyum tak menanggapi pertanyaannya. Dia terus memandangku sampai membuatku gugup dan salah tingkah.“Sebaiknya Mas makan dulu sebelum pergi ke kantor. Aku duluan mau menyiapkan semuanya, nanti Mas menyusul.” Cepat-cepat aku berbalik dan sedikit berlari meninggalkan Mas Dirga tanpa menunggu jawaban darinya. Kenapa jantungku tak dapat dikompromi, selalu saja berdetak kencang bila di dekat suamiku.Kulihat Mas Dirga turun mengikuti. Ayah juga sudah ada di meja makan sambil membaca koran dan meminum teh hangat dan roti bakar.Pagi sekali memang mertuaku itu tak pernah sarapan menu yang berat, berbeda dengan suamiku dia tak bisa kalau hanya memakan roti saja. Katanya sudah terbiasa saat masih ada almarhum Mama Mertua, itulah kenapa saat masih di Belanda Mas Dirga sengaja membawa seorang koki dari Indonesia untuk sekedar menyiapkan makanan untuknya terutama ketika sarapan tiba. Meski dia terlihat modern tapi untuk urusan lidah dia lebih suka masakan Nusantara. Itulah yang membuatku selalu berusaha menyajikan masakan yang enak untuk suamiku.Saat kami sedang menikmati sarapan yang dihidangkan, perkataan Ayah Mertua menghentikan sementara acara sarapan pagi kami.“Dirga, Minggu besok ada acara keluarga di kediaman Tante Mira yang berada di puncak sebaiknya kamu ke sana mewakili ayah. Jangan lupa ajak Alisa juga. Itung-itung kamu bulan madu. Selama ini kan kamu belum pernah ajak Alisa kemanapun sepanjang kalian menikah. Ayah harap pulang dari sana Alisa hamil cucu Ayah.” Mas Dirga begitu terkejut sampai tersedak serta terbatuk, dan aku segera memberikan dia air putih.Tak ada yang dikatakan Mas Dirga setelah Ayah mengatakan itu di meja Makan. Kami hanya saling diam satu sama lain, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai setelah sarapan, Mas Dirga mengajakku ke kamar untuk berbicara.“Dengar! Jangan harap aku mau menuruti keinginan Ayah untuk yang satu ini. Aku tak mau mengajakmu bertemu dengan keluarga besarku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau mereka tahu, seorang Dirga menikahi wanita rendahan sepertimu. Lebih baik aku bawa Anita dan kuperkenalkan dia sebagai tunanganku,” desis Mas Dirga. Aku memejamkan mata menahan sakit atas apa yang dikatakannya barusan.Begitu rendahnya aku dimatamu, Mas. Tak bisakah kau lihat aku sebagai wanita biasa bukan terus menerus mengingatkanku akan kastaku. Sungguh harga diri ini terluka.“Aku tahu posisiku, Mas. Terima kasih sudah mengingatkanku sebagai apa aku berasal. Aku memang terlahir dari keluarga miskin sesuai yang dikatakanmu, Mas. Aku tak mau mempermalukan kehormatanmu. Silahkan jika ingin pergi dengan Mbak Anita, jika itu membuatmu puas,” ucapku dengan terisak sambil berlalu dari hadapan Mas Dirga. Tak ada gunanya aku berdebat dengannya. Dalam rumah tangga ini hanya aku sendiri yang berjuang.‘Ya Allah aku sungguh-sungguh sudah lelah. Haruskah aku menyerah sekarang?’POV DirgaAku dan Anita sudah mengenal lama sekali. Sejak kita masih di bangku SMA dia yang selalu mengisi hari-hariku yang kesepian. Orang tuaku sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ayah dengan kesibukannya di perusahaan. Sedangkan Mama, sibuk dengan arisan dan kehidupan sosialitanya. Meski setiap hari kami masih bertemu di pagi hari saat kami sarapan bersama. Mama memang masih meluangkan waktu untukku membagi kehangatan sebagai ibu di sela-sela kesibukannya. Dia tak pernah membiarkanku makan di luar. Selalu membiasakan makan masakan rumah. Kebiasaan ini yang tak hilang sampai sekarang. Itulah yang membuatku selalu merindukannya setelah beliau tiada tujuh tahun yang lalu. Sedangkan Ayah, dia selalu sibuk bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga, katanya. Awalnya, dialah panutan dalam hidupku. Sampai ketika kejadian tiga belas tahun yang lalu di mana aku memergoki dia bergandengan tangan menuju sebuah hotel dengan sekretarisnya, rasa hormat itu sirna begitu saja padanya.Aku Dirga
POV Dirga (2)Tengah malam aku baru pulang ke rumah setelah seharian ini menghabiskan waktu bersama Anita di hotel. Bagaimana aku bisa berpaling dari kekasihku itu serta memandang wanita lain. Anita terlalu sempurna untuk dilepaskan. Sebagai lelaki, sikap agresif yang ditunjukkan kekasihku ini di setiap peraduan kami membuatku merasa puas dan beruntung bisa mendapatkan cintanya.Aku sampai ke rumah saat keadaan sudah sangat sepi. Mungkin semua orang sudah tidur di kamar mereka masing-masing. Hanya ada satpam yang bertugas berjaga di pos dekat gerbang masuk.Ketika masuk kamar, betapa terkejutnya aku mendapati Anisa yang masih terjaga, sepertinya dia sedang menungguku pulang. Aku memandang sinis padanya mencoba tak terpengaruh dengan sikap hangat yang dia tunjukkan. Meski, sudut hati ini tak kupungkiri merasa senang dengan perlakuan Alisa.“Kenapa kamu menungguku? Jangan harap aku bisa senang dengan perbuatan manismu seperti ini. Kamu belum mendapatkan balasan karena sudah lancang meng
Setelah pertengkaranku dengan Mas Dirga waktu itu, aku sering banyak diam. Tak pernah sekalipun mengajaknya berbicara. Bahkan, segala pertanyaannya hanya kujawab dengan singkat. Hati ini masih sakit mengingat semuanya. Bagaimanapun, aku manusia biasa pasti merasa kecewa ketika mendapat perlakuan Mas Dirga yang semena-mena.Sampai, ketika aku dikejutkan dengan perintah Mas Dirga malam itu yang menyuruhku mempersiapkan segalanya untuk pergi ke puncak menghadiri undangan Tante Mira.“Lisa, besok kita akan ke puncak jadi siapkan pakaian ganti untuk di sana selama tiga hari,” perintah Mas Dirga saat aku baru selesai salat isya. Sedangkan, dia duduk di sofa sambil menghadap laptopnya.Aku mendongak menatapnya. Apa maksudnya? Bukannya dia bilang tak akan mengajakku sebab malu mengenalkanku sebagai istrinya? Apa aku tak salah dengar?“Hei, kamu dengar tidak yang aku ucapkan barusan?” tanya Mas Dirga sambil berteriak. Mungkin merasa jengkel karena aku tak menjawab ucapannya.“Apa? Ah iya, akan
Setelah pertengkaranku dengan Mas Dirga waktu itu, aku sering banyak diam. Tak pernah sekalipun mengajaknya berbicara. Bahkan, segala pertanyaannya hanya kujawab dengan singkat. Hati ini masih sakit mengingat semuanya. Bagaimanapun, aku manusia biasa pasti merasa kecewa ketika mendapat perlakuan Mas Dirga yang semena-mena.Sampai, ketika aku dikejutkan dengan perintah Mas Dirga malam itu yang menyuruhku mempersiapkan segalanya untuk pergi ke puncak menghadiri undangan Tante Mira.“Lisa, besok kita akan ke puncak jadi siapkan pakaian ganti untuk di sana selama tiga hari,” perintah Mas Dirga saat aku baru selesai salat isya. Sedangkan, dia duduk di sofa sambil menghadap laptopnya.Aku mendongak menatapnya. Apa maksudnya? Bukannya dia bilang tak akan mengajakku sebab malu mengenalkanku sebagai istrinya? Apa aku tak salah dengar?“Hei, kamu dengar tidak yang aku ucapkan barusan?” tanya Mas Dirga sambil berteriak. Mungkin merasa jengkel karena aku tak menjawab ucapannya.“Apa? Ah iya, akan
Mas Dirga menghampiriku dengan amarah yang memuncak. Dia menghempaskan tubuhku dengan kasar kembali. Diri ini terus memohon agar dia mau mendengarkan segala penjelasanku tapi Mas Dirga yang sudah dalam keadaan emosi, tak mengindahkannya sedikit pun. Aku terus meronta ketika dia mengunci tubuhku, beberapa kali juga dia layangkan tamparan ke wajah ketika kucoba melepaskan diri darinya. Hati ini makin hancur berkeping-keping, bukan ini yang kuinginkan. Bulan purnama yang menyorotkan sinarnya menjadi saksi ketika suamiku memaksakan kehendaknya padaku. Tanpa kelembutan, tanpa pemujaan seolah diri ini hanya sebuah benda mati yang tak bisa terluka.Air mataku tak henti-hentinya terus mengalir di pipiku. Setelah penyatuan kami Mas Dirga meninggalkanku sendiri di dalam kamar yang sepi ini. Entah ke mana dia, namun yang kulihat Mas Dirga masih dikuasai amarah yang masih memuncak. Bukan hanya bagian tubuhku yang terasa perih tetapi juga hatiku juga kurasa remuk tak berbentuk. Setelah membersihkan
Sejak pembicaraanku dengan Mas Dirga pada saat anniversary pernikahan kami yang kedua tahun itu. Kami tak pernah saling sapa. Bahkan sikap Mas Dirga kepadaku kembali dingin seperti pertama kali kami menikah dulu.Semakin hari hati ini semakin terluka. Kebahagiaan yang diimpikan selama enam bulan terakhir ini ternyata hanya fatamorgana. ‘Rupanya cintamu padanya lebih besar dibandingkan padaku, Mas.’ Tidak ... mungkin yang dia rasakan selama ini bukan cinta, melainkan hanya simpati. ‘Jika memang dengan merelakanmu itu yang terbaik untuk kita. Akan kulakukan untukmu, Mas.’Kukatakan permintaan itu kepada Ayah mertua kalau aku mengizinkan Mas Dirga menikah lagi dengan alasan belum bisa memberinya keturunan. Namun, reaksi yang ditunjukkan Ayah ternyata membuatku terkejut. Beliau murka ketika mendengar semuanya. Bahkan kudengar dia sampai memanggil suamiku serta mengancam akan menghancurkan segala usaha Mas Dirga jika sampai menikahi Anita. Aku menguping di balik pintu, penasaran dengan ap
Keadaan Ayah Mertua sudah mulai stabil, namun beliau masih belum juga sadarkan diri. Mengenai pernikahan Mas Dirga dan Anita, Ibu sama sekali belum tahu akan masalah ini. Entah bagaimana reaksinya jika dia tahu anak semata wayangnya ini akan mendapatkan madu. Mungkin saat itu pula hari-hariku akan diselimuti kesepian. Tidak! Aku tak bisa begini. Bagaimanapun diri ini takkan sanggup melihat kemesraan tiap kemesraan yang akan ditunjukkan suamiku nanti. Jika saja hatiku belum tertanam nama Mas Dirga di dalamnya, mungkin aku takkan seberat ini menerima semuanya seperti saat awal kami menikah dulu. Sayang, hati tak bisa dikendalikan, siapa yang boleh dicintai dan tidak.Mulai saat ini aku sudah bertekad akan pergi dari kehidupan Mas Dirga setelah pernikahan mereka berlangsung. Diam-diam tanpa orang lain tahu. Kuhubungi temanku yang ada di Aceh, lalu menceritakan semua yang terjadi di dalam rumah tanggaku. Ami memang sahabatku dari kecil di kampung, dia pindah ke Aceh setelah ibunya menika
POV DirgaSetelah malam di mana dalam keadaan mabuk aku menggauli istriku. Hati ini merasa tak tenang, satu sisi kuingat janjiku pada Anita. Sisi lain secara tak sadar aku mulai selalu merindukan kebersamaanku dengan Alisa. Entah perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini. Namun satu hal yang pasti, seumur hidupku tak pernah sekalipun merasakan ikatan semacam ini.Sampai suatu malam Ayah memintaku mengajak Alisa untuk menghadiri acara kumpul keluarga besar kami di puncak. Sekaligus memperkenalkan Alisa sebagai istriku. Semua orang tak tahu aku sudah menikah terutama keluarga besar. Saat itu aku keberatan dengan perintah Ayah. Rasanya malu sekali memperkenalkan Alisa sebagai istriku. Semua pasti tahu dia hanya anak seorang pembantu tak selevel dengan tipe seorang Dirga selama ini.Kutarik tangan Alisa untuk berbicara berdua saja. Lagi-lagi egoku mengalahkan rasa ibaku kepada istriku. Dengan lantang kuhina dia yang tak sederajat dengan diriku. Lebih baik kuajak Anita yang jelas-jelas l
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah