Bab 13“Apa kau yakin Azzam bisa menjadi suami yang baik untukmu?” tanya Amah setelah terdiam sekian lama merenungi apa yang telah kusampaikan tadi.“Iya. Aku percaya kepada Mas Azzam. Dia sudah menceritakan segalanya. Juga meyakinkanku kalau Mas Azzam benar-benar serius untuk menjadikanku istri. Bahkan, ketika mendapatkan tentangan dari Nindy, dia tetap tak bergeming. Lagi pula, aku juga sudah mencintainya, Amah.”Itulah penjelasan yang terucap untuk meyakinkan ibu kandungku. Memang tak semua kuungkapkan, rencana balas dendamku untuk Mas Danang dan Nindy tak mungkin kubeberkan kepada Amah. Aku hanya perlu membuat beliau yang mulai ragu, kembali mendukung hubunganku dengan Mas Azzam.Amah masih diam sambil berpikir. Menimbang-nimbang apa yang mungkin akan diputuskannya.“Apa Amah percaya dengan pilihanku kali ini? Aku tahu, pernah keliru memilih pasangan seperti Mas Danang. Tapi, Amah. Mas Azzam jauh lebih berbeda dari Mas Danang. Aku yakin, dia pria terbaik yang pernah kupilih,” tera
“Kita tak usah menunggu seminggu lagi untuk menikah. Mas akan menyuruh Robi memanggil Amil dan menikahkan kita hari ini juga.”Ucapan Mas Azzam membuatku seketika membelalakkan mata. “Apa? Mas jangan bercanda!” “Mas enggak bercanda. Kita sudah mendaftarkan semua surat-suratnya di kantor KUA, itu sudah cukup. Hari ini, Mas mau kamu resmi menjadi istri Mas apa pun caranya. Lagi pula, Minggu depan semua rencana masih bisa berlangsung, tapi hanya resepsi saja,” tegasnya tak ingin dibantah.Aku hanya melongo dengan bibir membulat. Masih syok dengan rencana dadakan Mas Azzam. Ada apa dengannya? Kenapa sampai memutuskan hal seperti ini dengan tergesa-gesa?“Mas!”“Mas takkan berubah pikiran, Tik. Sudah diputuskan, kita menikah hari ini. Lagi pula, Abah juga pasti takkan keberatan. Bukankah sama saja, mau seminggu lagi atau pun sekarang, yang penting kita sah menjadi suami istri,” papar calon suamiku ini masih keras kepalanya.Aku tak bisa berbuat apa-apa jika Mas Azzam sudah memutuskan den
“Dasar anak-anak ini, bagaimana mungkin mereka lebih mementingkan orang lain dari pada menghadiri pernikahan papinya,” geram Mas Azzam terlihat begitu murka sekaligus kecewa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mas Azzam ketika anak-anaknya pulang. Dan paling yang kunanti, aku ingin mengetahui reaksi Nindy dan Mas Danang ketika mengetahui aku sudah pindah ke rumah ini dan menyandang nyonya di istana Mas Azzam.**“Sudah, sudah, Mas. Jangan marah-marah begitu,” ucapku mencoba menenangkan meski aku merasa tak sabar menunggu kedatangan Nindy dan Mas Danang juga. Aku ingin melihat bagaimana reaksi keduanya melihatku ada di rumah ini. “Iya, Pi. Lebih baik, Papi masuk ke kamar saja. Pasti Mom Tika sudah ngantuk dan capek. Apalagi, kaki Momi yang cedera belum sembuh,” ucap Riri memperhatikanku. Ya, aku memang sejak tadi berjalan sendiri meski dengan bantuan kruk. Awalnya, Mas Azzam memintaku untuk turun menggunakan kursi roda, tetapi aku tak nyaman dan memilih memakai tongkat penyan
Bab 16. “Itu ehm ... anu ... non Nindy pulang dalam keadaan mabuk berat,” ungkap Bi Sukma. Dan dalam sekejap, Mas Dimas murka. Dia menggebrak meja makan di hadapannya dengan tangan yang mengepal. Aku yakin, dia benar-benar marah karena mendengar kelakuan putri sulungnya tersebut.**“Jadi, di mana dia? Masih tidur sampai sekarang?” “I-iya Tuan,” jawab Bi Sukma. Wanita berusia 55 tahun itu mungkin saja syok melihat kemarahan Mas Dimas. Pasalnya, meskipun suamiku ini orang yang tegas, tetapi dia jarang sekali sampai murka seperti ini. Makanya, semua orang terkejut melihatnya menggebrak meja dengan keras, tak terkecuali putra dan putrinya.Demikian pula Riri, gadis remaja tersebut masih membelalakkan matanya sambil menatap tak berkedip ke arah Mas Dimas. Sedangkan Boby, sepintas dia tersentak meski tak lama kemudian, pemuda itu bisa menguasai diri kembali, bersikap acuh dan tak acuh.“Ya sudah, Mas. Kita lebih baik sarapan duluan. Kasihan Riri dan Boby, mereka pasti sudah hampir kesia
“Papi bukan mengusir. Kalian akan punya rumah sendiri. Ini keputusan terbaik, lagi pula Papi tak bisa membiarkan Kartika dan Danang satu atap yang sama. Apalagi, suamimu itu berani mengganggu Kartika di apartemen. Papi tak bisa membiarkan itu terjadi kedua kalinya,” lanjut Mas Azzam.Ucapan suamiku barusan membuat Nindy terperangah. Dia menoleh ke arah sang suami yang telah salah tingkah. Dalam hati aku bersorak riang dengan keputusan yang telah Mas Azzam berikan. Aku benar-benar tak menyangka dan sama terkejutnya seperti Nindy dan Danang.“Maksud Papi apa? Jangan fitnah Mas Danang. Mana mungkin Mas Danang menemui wanita ini. kalau bukan karena godaan dari Kartika, benar kan, Mas?” tuding Nindy padaku, sedangkan matanya berulang kali menoleh ke arah suaminya meminta penjelasan.“Katakan, Mas! Kamu digoda kan sama si Kartika ini? Jawab, Mas!” “Panggil ibu sambungmu ini dengan sopan. Dia istri Papi sekarang!” hardik Mas Azzam tak suka mendengarkan panggilan tak sopan putri sulungnya pa
“Bi, bisa minta tolong buatkan minuman dan camilan untuk aku dan Riri?”“Bisa Nyonya,” jawab Bi Sukma.Aku tersenyum seraya berkata, “Terima kasih, Bi. Nanti tolong antar semuanya ke teras depan, ya, Bi. Ah iya satu lagi. Pak Firman dan Pak Didin mungkin juga mau, buatkan juga untuk mereka,” pintaku kembali.Asisten rumah tangga rumah ini langsung mengangguk serta langsung melakukan yang kuminta. Sedangkan, aku menyusul Riri duduk di teras rumah sembari menikmati langit malam, pun menunggu Mas Azzam pulang. Hari ini, suamiku terpaksa pulang telat karena harus lembur dan rapat bulanan dengan beberapa pemegang saham.Saat keluar, ternyata anak bungsu Mas Azzam sedang tak sendiri. Dia mengobrol dengan beberapa pegawai rumah ini, termasuk sopir dan salah satu pekerja kebun. Aku tak menyangka, anak orang kaya sepertinya cukup akrab dengan rakyat jelata seperti dari kalangan kami.Dari semua anak tiriku, hanya Riri yang berbeda dan memang terlihat supel serta tak pernah tebang pilih. Dia pun
Bab 19.“Mas aku lihat hari ini Boby pulang tak biasa. Apa dia sedang ada masalah?” tanyaku kepada Mas Azzam.Suamiku ini baru saja merebahkan tubuhnya menemaniku di kasur. Tak lama setelah Boby pulang, Mas Azzam pun tiba. Dia terlihat begitu kelelahan, makanya aku segera menyuruhnya untuk mandi air hangat yang telah kusiapkan dan istirahat.Mas Azzam menunduk melihat wajahku karena kali ini posisiku berada di atas dadanya dengan suamiku memeluk dari belakang.“Tak biasa bagaimana maksudnya? Apa dia pulang larut lagi?”Aku mengangguk, “Iya, tapi bukan itu yang membuatku penasaran, Mas. Hari ini, aku melihat Boby pulang dengan keadaan terluka. Apa dia mengalami kecelakaan?” ungkapku sambil menerawang, mengingat-ingat kondisi anak sambungku tadi.Mendengar ucapanku, Mas Azzam hanya berdecap. Dia kembali menganjurkan napas dengan sangat berat.“Anak itu, sekali saja tak membuat masalah dan membuatku kesal. Dia susah sekali diberi tahu. Mas harus berbuat apa agar dia tak menyia-nyiakan wa
“Mema?” panggil Mas Azzam. Suamiku merangkul pinggang dan mengajakku untuk menemui wanita paruh baya yang baru kulihat ini.“Putraku. Gimana kabarmu sekarang?” Wanita itu memeluk suamiku dengan erat begitu pun sebaliknya, Mas Azzam juga mengecup pipi kiri dan kanan wanita yang dipanggil Mema tersebut. Tunggu! Apa yang kudengar barusan? Beliau memanggil Mas Azzam putraku? Jadi, ....“Baik, Ma. Kenapa tak mengabari kalau sudah sampai di kota ini. Siapa yang jemput? Oh iya, kenalkan ini menantu Mema, istri baruku,” ujar Mas Azzam memperkenalkanku kepada ibu kandungnya.“Iya, Sayang. Beliau ini mertuamu sekarang.” Mas Azzam membuyarkan lamunanku. Mendengarnya memperkenalkan kami, aku segera mencoba mencium tangan mertuaku. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Sebuah penolakan. Aku diabaikan oleh mertuaku sendiri. Wanita yang kudengar dipanggil Mema tersebut duduk tanpa melirik ke arahku sedikit pun serta mengabaikan tanganku yang hendak menyalaminya.Dari sudut mata, terlihat sekali Nindy
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah