Bab 19.“Mas aku lihat hari ini Boby pulang tak biasa. Apa dia sedang ada masalah?” tanyaku kepada Mas Azzam.Suamiku ini baru saja merebahkan tubuhnya menemaniku di kasur. Tak lama setelah Boby pulang, Mas Azzam pun tiba. Dia terlihat begitu kelelahan, makanya aku segera menyuruhnya untuk mandi air hangat yang telah kusiapkan dan istirahat.Mas Azzam menunduk melihat wajahku karena kali ini posisiku berada di atas dadanya dengan suamiku memeluk dari belakang.“Tak biasa bagaimana maksudnya? Apa dia pulang larut lagi?”Aku mengangguk, “Iya, tapi bukan itu yang membuatku penasaran, Mas. Hari ini, aku melihat Boby pulang dengan keadaan terluka. Apa dia mengalami kecelakaan?” ungkapku sambil menerawang, mengingat-ingat kondisi anak sambungku tadi.Mendengar ucapanku, Mas Azzam hanya berdecap. Dia kembali menganjurkan napas dengan sangat berat.“Anak itu, sekali saja tak membuat masalah dan membuatku kesal. Dia susah sekali diberi tahu. Mas harus berbuat apa agar dia tak menyia-nyiakan wa
“Mema?” panggil Mas Azzam. Suamiku merangkul pinggang dan mengajakku untuk menemui wanita paruh baya yang baru kulihat ini.“Putraku. Gimana kabarmu sekarang?” Wanita itu memeluk suamiku dengan erat begitu pun sebaliknya, Mas Azzam juga mengecup pipi kiri dan kanan wanita yang dipanggil Mema tersebut. Tunggu! Apa yang kudengar barusan? Beliau memanggil Mas Azzam putraku? Jadi, ....“Baik, Ma. Kenapa tak mengabari kalau sudah sampai di kota ini. Siapa yang jemput? Oh iya, kenalkan ini menantu Mema, istri baruku,” ujar Mas Azzam memperkenalkanku kepada ibu kandungnya.“Iya, Sayang. Beliau ini mertuamu sekarang.” Mas Azzam membuyarkan lamunanku. Mendengarnya memperkenalkan kami, aku segera mencoba mencium tangan mertuaku. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Sebuah penolakan. Aku diabaikan oleh mertuaku sendiri. Wanita yang kudengar dipanggil Mema tersebut duduk tanpa melirik ke arahku sedikit pun serta mengabaikan tanganku yang hendak menyalaminya.Dari sudut mata, terlihat sekali Nindy
Aku menunggu dengan harap-harap cemas sambil menelisik ekspresi Mema ketika mencicipi masakanku untuk yang pertama kalinya. Aku yakin, menu hari ini yang kubuat rasanya tak ada yang salah. Akan tetapi, kenapa Mema sampai sekarang tak menunjukkan ekspresi apa pun? Berbeda dengan Mas Azzam dan Riri, mereka makan dengan lahap. Begitu pun, Boby dan Mas Danang. Kulihat diam-diam mereka menikmati hidangan yang kubuat. Terutama Boby, aku jarang melihat dia makan dengan berselera seperti sekarang. Biasanya, pemuda ini tipe pemilih di meja makan. Jika, rasanya tak sesuai selera, Boby akan memilih makan roti dan selai saja beserta satu gelas susu untuk makan. Itulah yang kesimpulan dari pengamatanku selama seminggu di rumah ini.Aku memang diam-diam merekam dalam ingatan kebiasaan semua orang dan mencari tahu apa yang disukai dan tidak penghuni rumah ini.Hanya Nindy yang makan dengan malas. Kurasa bukan karena tak cocok dengan hidangan yang telah kusiapkan, tetapi dia memang tak suka saja seca
“Mema?”“Sedang apa kamu di sini? Siapa kakek dan anak kecil barusan?” tanya Mema menyelidik, tetapi masih dengan mimik wajah yang dingin. Entahlah, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mertuaku sekarang.“Ah itu, Mema. Dia seorang pemulung yang sempat pingsan di depan rumah sambil memungut nasi basi di tong sampah. Kasihan sekali. Mereka kelaparan. Makanya, aku sengaja memberikan sedikit uangku. Semoga saja itu membantu meringankan kesulitan keduanya untuk beberapa hari ke depan,” gumamku lirih sambil menunduk dengan tangan yang bertautan.“Ikut aku. Ada sesuatu yang harus aku katakan,” ajaknya.“Iya, Mema.” Aku mengangguk serta mengikuti ibu kandung Mas Azzam tersebut. Tak disangka, beliau mengajakku untuk bergabung dengan para anggota keluarga yang sudah berkumpul di ruang keluarga. Tak terkecuali Mas Azzam. Dia sudah duduk manis beserta yang lain.Mema menyuruhku duduk di samping putranya. Sedangkan beliau, menghempaskan tubuh di sofa tunggal yang biasa Mas Azzam tempati.“Mema
Bab 23.“Masalah apa lagi yang kamu perbuat? Apa kau ingin mempermalukan keluarga ini, hah?” sembur Mas Azzam kepada Boby. Sedangkan, putra satu-satunya itu berpura-pura tetap cuek, tetapi itu sama sekali tak menutupi rasa khawatir di wajahnya.“Jangan hanya diam saja! Bicara!” Kemarahan serta kekecewaan terhadap sang putra belum surut juga. Bahkan, malah semakin bertambah seiring sikap Boby yang seperti tak mendengarkan ucapan papinya. Aku, Mas Azzam serta Boby saat ini tengah berada di dalam satu mobil menuju arah pulang. Terpaksa. Tak mungkin juga kami membiarkan polisi datang mencari Boby ke hotel tempat pesta resepsi diadakan. Apalagi, mengingat banyaknya tamu yang hadir dan bukan orang sembarangan. Bisa-bisa, nama baik keluarga suamiku akan tercoreng.“Sudahlah, Pi. Jangan memperbesar keadaan. Papi tinggal hubungi pengacara mahal, kalau perlu berikan ganti rugi kepada orang yang melaporkanku. Atau, sogok petugas polisi agar tak menahanku. Simple bukan? Bukankah harta Papi sang
Aku mendengus dengan kesal mendengar makian yang terlontar dari Nindy barusan. Pasalnya, kata-kata yang keluar dari mulut wanita pelakor tersebut sungguh tak mengenakkan sekali. Hujatan demi hujatan yang sudah keterlaluan membuat kesabaranku seakan terkikis habis. Apalagi, Nindy terus saja menyerangku dengan kata-kata sampah.“Ini gara-gara kau. Dasar wanita si*lan. Kehadiranmu ke keluarga ini ternyata membuat keluargaku dirundung kesialan berkali-kali lipat,” maki Nindy tadi, ketika mengetahui apa yang telah terjadi kepada adik laki-lakinya.“Hei. Siapa sebenarnya yang pembawa sial di sini? Justru kau yang sudah membuat keluargamu pusing tujuh keliling karena ulahmu yang tak tahu aturan itu. Terutama Mas Azzam. Dia benar-benar sudah capek mengurusimu yang susah diatur.”Aku membalas ucapan wanita yang dengan lantang memakiku barusan. Enak saja, memangnya aku akan diam saja saat harga diriku diinjak olehnya? Tidak akan! Aku bukan wanita lemah yang hanya bisa pasrah ketika mendengar or
Bab 25.“Apa ini ada hubungannya dengan Deri dan kejadian waktu itu?” gumam gadis tadi. Hanya bisikkan, tetapi aku masih bisa mendengar meski hanya sekilas. Apa maksud gadis ini sebenarnya? “Tunggu! Apa maksud ucapanmu barusan? Siapa Deri? Boleh aku tahu?”Gadis itu tersentak dari lamunannya, mendengar pertanyaan dariku, dia langsung menggeleng segera.“Tidak apa-apa. Aku hanya bicara ngawur saja,” imbuhnya.Namun, aku merasa ada hal yang ditutupi gadis di depanku ini? Atau itu cuma perasaanku saja?“Aku permisi dulu ....”Gadis cantik tersebut terburu-buru pergi, membuatku semakin merasa aneh. Ada apa dengannya? Untuk apa dia ingin menemui Boby? Aku hanya bisa mengendikan bahu, kembali mengenyahkan rasa penasaran yang tiba-tiba bersarang di pikiran.Sampai siang ini, Mas Azzam belum pulang atau mengabariku lagi. Apa pemeriksaan Boby benar-benar memakan waktu lama? Seberat itu kah kasus yang menjerat putra kedua Mas Azzam?“Mema ....” panggilku ketika melihat mertua keluar dari kama
Bab 26“Oh iya? Wah berarti sudah cukup dekat, ya? Kok Pak Didin enggak pernah cerita kalau Boby sama Lyra berteman baik?” tanyaku.“Bukan begitu, Neng. Saya memang tahunya Lyra dan Tuan muda memang teman bermain saat kecil. Tapi, saya tidak tahu kalau sampai sekarang pun, mereka berdua ternyata masih berhubungan. Saya kira, Tuan Boby sudah lupa sama Lyra. Ya kan Lyra hanya putri seorang tukang kebun saja, Neng. Bapak mah enggak sampe mikir ke sana,” terang Pak Didin.“Tadi siang kan putri bapak ke sini. Kenapa Bapak enggak ngenalin? Aku kira siapa lho.”“Wah, Neng. Saya sama sekali enggak tahu kalau Lyra ke sini cari-cari Den Boby. Bapak kan lagi ngambil tanaman hias pesanan Tuan Azzam. Jadi, pas Lyra datang saya enggak ada,” terangnya dibalas anggukan olehku.Berarti, Pak Didin sama sekali tak tahu kedatangan putrinya di rumah ini. Apalagi, maksud sebenarnya gadis itu mencari Boby dan ingin bertemu dengannya. Apa dia benar-benar tak tahu kalau Boby ditangkap polisi? Aku harus bert