“Bi, bisa minta tolong buatkan minuman dan camilan untuk aku dan Riri?”“Bisa Nyonya,” jawab Bi Sukma.Aku tersenyum seraya berkata, “Terima kasih, Bi. Nanti tolong antar semuanya ke teras depan, ya, Bi. Ah iya satu lagi. Pak Firman dan Pak Didin mungkin juga mau, buatkan juga untuk mereka,” pintaku kembali.Asisten rumah tangga rumah ini langsung mengangguk serta langsung melakukan yang kuminta. Sedangkan, aku menyusul Riri duduk di teras rumah sembari menikmati langit malam, pun menunggu Mas Azzam pulang. Hari ini, suamiku terpaksa pulang telat karena harus lembur dan rapat bulanan dengan beberapa pemegang saham.Saat keluar, ternyata anak bungsu Mas Azzam sedang tak sendiri. Dia mengobrol dengan beberapa pegawai rumah ini, termasuk sopir dan salah satu pekerja kebun. Aku tak menyangka, anak orang kaya sepertinya cukup akrab dengan rakyat jelata seperti dari kalangan kami.Dari semua anak tiriku, hanya Riri yang berbeda dan memang terlihat supel serta tak pernah tebang pilih. Dia pun
Bab 19.“Mas aku lihat hari ini Boby pulang tak biasa. Apa dia sedang ada masalah?” tanyaku kepada Mas Azzam.Suamiku ini baru saja merebahkan tubuhnya menemaniku di kasur. Tak lama setelah Boby pulang, Mas Azzam pun tiba. Dia terlihat begitu kelelahan, makanya aku segera menyuruhnya untuk mandi air hangat yang telah kusiapkan dan istirahat.Mas Azzam menunduk melihat wajahku karena kali ini posisiku berada di atas dadanya dengan suamiku memeluk dari belakang.“Tak biasa bagaimana maksudnya? Apa dia pulang larut lagi?”Aku mengangguk, “Iya, tapi bukan itu yang membuatku penasaran, Mas. Hari ini, aku melihat Boby pulang dengan keadaan terluka. Apa dia mengalami kecelakaan?” ungkapku sambil menerawang, mengingat-ingat kondisi anak sambungku tadi.Mendengar ucapanku, Mas Azzam hanya berdecap. Dia kembali menganjurkan napas dengan sangat berat.“Anak itu, sekali saja tak membuat masalah dan membuatku kesal. Dia susah sekali diberi tahu. Mas harus berbuat apa agar dia tak menyia-nyiakan wa
“Mema?” panggil Mas Azzam. Suamiku merangkul pinggang dan mengajakku untuk menemui wanita paruh baya yang baru kulihat ini.“Putraku. Gimana kabarmu sekarang?” Wanita itu memeluk suamiku dengan erat begitu pun sebaliknya, Mas Azzam juga mengecup pipi kiri dan kanan wanita yang dipanggil Mema tersebut. Tunggu! Apa yang kudengar barusan? Beliau memanggil Mas Azzam putraku? Jadi, ....“Baik, Ma. Kenapa tak mengabari kalau sudah sampai di kota ini. Siapa yang jemput? Oh iya, kenalkan ini menantu Mema, istri baruku,” ujar Mas Azzam memperkenalkanku kepada ibu kandungnya.“Iya, Sayang. Beliau ini mertuamu sekarang.” Mas Azzam membuyarkan lamunanku. Mendengarnya memperkenalkan kami, aku segera mencoba mencium tangan mertuaku. Akan tetapi, apa yang kudapatkan? Sebuah penolakan. Aku diabaikan oleh mertuaku sendiri. Wanita yang kudengar dipanggil Mema tersebut duduk tanpa melirik ke arahku sedikit pun serta mengabaikan tanganku yang hendak menyalaminya.Dari sudut mata, terlihat sekali Nindy
Aku menunggu dengan harap-harap cemas sambil menelisik ekspresi Mema ketika mencicipi masakanku untuk yang pertama kalinya. Aku yakin, menu hari ini yang kubuat rasanya tak ada yang salah. Akan tetapi, kenapa Mema sampai sekarang tak menunjukkan ekspresi apa pun? Berbeda dengan Mas Azzam dan Riri, mereka makan dengan lahap. Begitu pun, Boby dan Mas Danang. Kulihat diam-diam mereka menikmati hidangan yang kubuat. Terutama Boby, aku jarang melihat dia makan dengan berselera seperti sekarang. Biasanya, pemuda ini tipe pemilih di meja makan. Jika, rasanya tak sesuai selera, Boby akan memilih makan roti dan selai saja beserta satu gelas susu untuk makan. Itulah yang kesimpulan dari pengamatanku selama seminggu di rumah ini.Aku memang diam-diam merekam dalam ingatan kebiasaan semua orang dan mencari tahu apa yang disukai dan tidak penghuni rumah ini.Hanya Nindy yang makan dengan malas. Kurasa bukan karena tak cocok dengan hidangan yang telah kusiapkan, tetapi dia memang tak suka saja seca
“Mema?”“Sedang apa kamu di sini? Siapa kakek dan anak kecil barusan?” tanya Mema menyelidik, tetapi masih dengan mimik wajah yang dingin. Entahlah, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mertuaku sekarang.“Ah itu, Mema. Dia seorang pemulung yang sempat pingsan di depan rumah sambil memungut nasi basi di tong sampah. Kasihan sekali. Mereka kelaparan. Makanya, aku sengaja memberikan sedikit uangku. Semoga saja itu membantu meringankan kesulitan keduanya untuk beberapa hari ke depan,” gumamku lirih sambil menunduk dengan tangan yang bertautan.“Ikut aku. Ada sesuatu yang harus aku katakan,” ajaknya.“Iya, Mema.” Aku mengangguk serta mengikuti ibu kandung Mas Azzam tersebut. Tak disangka, beliau mengajakku untuk bergabung dengan para anggota keluarga yang sudah berkumpul di ruang keluarga. Tak terkecuali Mas Azzam. Dia sudah duduk manis beserta yang lain.Mema menyuruhku duduk di samping putranya. Sedangkan beliau, menghempaskan tubuh di sofa tunggal yang biasa Mas Azzam tempati.“Mema
Bab 23.“Masalah apa lagi yang kamu perbuat? Apa kau ingin mempermalukan keluarga ini, hah?” sembur Mas Azzam kepada Boby. Sedangkan, putra satu-satunya itu berpura-pura tetap cuek, tetapi itu sama sekali tak menutupi rasa khawatir di wajahnya.“Jangan hanya diam saja! Bicara!” Kemarahan serta kekecewaan terhadap sang putra belum surut juga. Bahkan, malah semakin bertambah seiring sikap Boby yang seperti tak mendengarkan ucapan papinya. Aku, Mas Azzam serta Boby saat ini tengah berada di dalam satu mobil menuju arah pulang. Terpaksa. Tak mungkin juga kami membiarkan polisi datang mencari Boby ke hotel tempat pesta resepsi diadakan. Apalagi, mengingat banyaknya tamu yang hadir dan bukan orang sembarangan. Bisa-bisa, nama baik keluarga suamiku akan tercoreng.“Sudahlah, Pi. Jangan memperbesar keadaan. Papi tinggal hubungi pengacara mahal, kalau perlu berikan ganti rugi kepada orang yang melaporkanku. Atau, sogok petugas polisi agar tak menahanku. Simple bukan? Bukankah harta Papi sang
Aku mendengus dengan kesal mendengar makian yang terlontar dari Nindy barusan. Pasalnya, kata-kata yang keluar dari mulut wanita pelakor tersebut sungguh tak mengenakkan sekali. Hujatan demi hujatan yang sudah keterlaluan membuat kesabaranku seakan terkikis habis. Apalagi, Nindy terus saja menyerangku dengan kata-kata sampah.“Ini gara-gara kau. Dasar wanita si*lan. Kehadiranmu ke keluarga ini ternyata membuat keluargaku dirundung kesialan berkali-kali lipat,” maki Nindy tadi, ketika mengetahui apa yang telah terjadi kepada adik laki-lakinya.“Hei. Siapa sebenarnya yang pembawa sial di sini? Justru kau yang sudah membuat keluargamu pusing tujuh keliling karena ulahmu yang tak tahu aturan itu. Terutama Mas Azzam. Dia benar-benar sudah capek mengurusimu yang susah diatur.”Aku membalas ucapan wanita yang dengan lantang memakiku barusan. Enak saja, memangnya aku akan diam saja saat harga diriku diinjak olehnya? Tidak akan! Aku bukan wanita lemah yang hanya bisa pasrah ketika mendengar or
Bab 25.“Apa ini ada hubungannya dengan Deri dan kejadian waktu itu?” gumam gadis tadi. Hanya bisikkan, tetapi aku masih bisa mendengar meski hanya sekilas. Apa maksud gadis ini sebenarnya? “Tunggu! Apa maksud ucapanmu barusan? Siapa Deri? Boleh aku tahu?”Gadis itu tersentak dari lamunannya, mendengar pertanyaan dariku, dia langsung menggeleng segera.“Tidak apa-apa. Aku hanya bicara ngawur saja,” imbuhnya.Namun, aku merasa ada hal yang ditutupi gadis di depanku ini? Atau itu cuma perasaanku saja?“Aku permisi dulu ....”Gadis cantik tersebut terburu-buru pergi, membuatku semakin merasa aneh. Ada apa dengannya? Untuk apa dia ingin menemui Boby? Aku hanya bisa mengendikan bahu, kembali mengenyahkan rasa penasaran yang tiba-tiba bersarang di pikiran.Sampai siang ini, Mas Azzam belum pulang atau mengabariku lagi. Apa pemeriksaan Boby benar-benar memakan waktu lama? Seberat itu kah kasus yang menjerat putra kedua Mas Azzam?“Mema ....” panggilku ketika melihat mertua keluar dari kama
Bab 40.“Mas ... aku haus,” ujarku lirih saat kesadaranku telah kembali. Kali ini, aku sudah berada di ranjang rumah sakit. Mendengar suaraku Mas Azzam langsung tersentak.“Ya Allah, Sayang. Akhirnya kamu sadar juga.”Suamiku ini sontak memeluk tubuh ini hingga tak sadar mengenai lenganku yang sempat terluka, dan aku masih ingat karena perbuatan siapa.“Aww ... sakit, Mas,” ujarku sambil meringis.“Maaf. Mas terlalu bahagia saat kamu siuman. Kamu bener-bener bikin Mas ini jantungan tahu. Bisa-bisanya kamu membahayakan keselamatan dirimu seperti tadi!” sembur suamiku ini dengan tatapan tajam.Dia meraih botol air putih di atas nakas, lalu membuka tutup dan memasukkan sedotan ke dalamnya. Setelah itu, ia arahkan benda tersebut ke arahku, lalu aku minum beberapa tegukan demi melegakan tenggorokan yang mengering.“Tapi, kalau aku tak nekat seperti tadi, Nindy bakalan celaka. Aku enggak mau Mas juga bakalan sedih karena Nindy terluka,” ujarku. Mas Azzam memandangku dengan intens. Entah a
Bab 39.“Apa kata Boby?” tanya Nindy. Aku menggeleng lalu berkata, “ Tidak apa-apa, Nin. Dia cuma bilang belum menemukan Danang,” ujarku tanpa menceritakan yang sebenarnya. Aku tak ingin, Nindy yang belum terlalu pulih harus terbebani karena masalah ini. Aku hanya berharap, polisi segera selesai melakukan penyelidikan dan penyidikan agar secepatnya pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Tak lama, Riri dan Mas Azzam akhirnya datang juga. Kutahu, suamiku pasti baru pulang dari perusahaan dan sekalian menjemput Riri, itu yang dia katakan tadi di pesan yang dirinya kirim.Aku menyambut kedatangan Riri dan Mas Azzam. Riri mencium tangan dan kedua pipiku, lalu beralih ke ranjang kakaknya untuk melepas rindu. Meski pun hubungan mereka sempat merenggang sebelumnya, tetapi bagaimana pun mereka memiliki hubungan saudara. Pasti, akan sama-sama merasakan sedih jika salah satunya terkena masalah atau musibah. Itu pun yang terjadi antara Riri dan Nindy sekarang.Sedangkan Mas Azzam, di
Bab 38. “Maafkan aku ....” ujar Nindy dengan lirih.Aku masih mematung di tempat, begitu tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Nindy meminta maaf? Apa pendengaranku tak salah?Jari Nindy yang meremas pergelangan tangan ini membuatku sontak tersadar dari lamunan.“Apa kamu mau memaafkan aku? Aku tahu, aku sudah salah menilaimu selama ini. Bahkan, aku sudah berbuat dzolim kepadamu hanya untuk merebut serta mendapatkan Mas Danang kembali. Tapi, apa yang kudapat sekarang? A-aku ... kehilangan segalanya ...,” ujarnya dengan begitu pilu. Terdapat luka di setiap kata-kata Nindy yang terucap.Kualihkan pandangan agar kami saling menatap satu sama lain. Supaya bisa menyelami perasaan putri suamiku tersebut lewat mata. Konon, jika ingin melihat ketulusan dari seseorang, yang pertama tak bisa berbohong ialah mata. Dari anggota tubuh yang bening tersebut, dapat menjelaskan beribu perasaan yang terpendam, termasuk kebohongan.Namun, aku sama sekali tak melihat keburukan apa pun dari N
Bab 37.“Ada apa, Bob?” cecarku. “Kak Nindy masuk rumah sakit. Ditubuhnya penuh luka lebam dan cekikan. Kata seseorang yang menolongnya, Kakak sudah tak sadarkan diri di teras rumah yang sepi karena syok,” papar Boby hingga membuatku membulatkan mata.“Terus? Gimana keadaan dia sekarang?” tanyaku kembali.“Kak Nindy harus dirawat karena ada sendi di bagian lengan dan tulang bahunya yang bergeser. Dan yang paling parah dari semua itu, dia mengalami keguguran,” terangnya semakin membuatku terkejut luar biasa.Kuputuskan untuk ikut bersama Boby untuk melihat kondisi Nindy. Sebelumnya, kuminta Riri untuk diam di rumah saja. Saat di perjalanan, aku mengabari Mas Azzam tentang kondisi putri sulungnya tersebut. Suamiku begitu terkejut, dia terdengar marah ketika mendapat penjelasan dariku. Katanya, setelah pulang dari kantor polisi nanti, Mas Azzam akan menyusul ke rumah sakit di mana Nindy dirawat.Aku dan Boby bergegas mencari kamar berapa Nindy berada. Kemudian, menghubungi wanita yang
Bab 36.“Maaf saya tidak bisa memenuhi tuntutan anda. Saya menolak menikahi putri kalian sampai kapan pun,” tekan Mas Azzam. Wajah suamiku ini telah merah padam penuh dengan amarah dengan rahang yang mulai membesi. “Lho, tidak bisa. Anda jangan membuat saya murka, ya. Saya tidak mau tahu, anda harus bertanggung jawab terhadap putri saya! Enak saja! Sudah berani tidur dengannya tapi tak mau menikahi dia!” ujar orang yang mengaku sebagai Papa dari Marta.“Tuan Hendrik. Perlu saya tekankan sekali lagi. Kalau saya sama sekali tak pernah melakukan apa pun terhadap putri anda. Dan video yang tersebar, itu semua hanya fitnah. Ingat! Hanya fitnah. Putri anda memang mengarang semuanya dan berakting dengan sempurna. Maaf. Apa kalian berdua tak tahu kalau Marta berhubungan badan dengan pria lain? Bahkan, bukan hanya satu saja. Itu hanya salah satunya karena ingin menjebakku,” papar Mas Azzam.Mendengar hinaan yang terlontar dari suamiku, Ibu dari Marta langsung berdiri dan menggebrak meja di ha
Bab 35.“Bi. Di mana si Kartika?”Terdengar suara teriakan Nindy dari ruang keluarga. Saat ini, aku tengah menyiram tanaman serta bunga koleksi suamiku di taman belakang rumah.Namun begitu, aku masih dapat mendengar suara putri sulung Mas Azzam dari sini. Bagaimana tidak, teriakkan Nindy begitu menggema saat dia mencariku dan sepertinya sedang tersulut amarah. Ada apa dengan Nindy?Beberapa menit kemudian, muncullah Bi Sukma dan Nindy di belakangnya. Dia merangsek maju dan melayangkan tamparan ke pipiku tanpa Tedeng aling-aling hingga terasa perih dan sedikit kebas.“Hei ... kau ini apa-apaan? Main tampar orang sembarangan!” teriakku dengan mata yang melotot.Aku syok juga tak terima dengan perlakuan kasar Nindy, tetapi sekaligus penasaran kenapa wanita ini datang-datang langsung melayangkan hadiah ke pipiku.“Berani kamu menggoda suamiku hah? Apa kau masih belum cukup punya suami seperti papiku? Apa kau benar-benar belum move on dari Mas Danang sampai -sampai berani menggodanya!” pe
Bab 34. [“Gimana? Kamu sudah lihat video yang tersebar? Sudah percaya kalau suamimu itu tak sebaik yang kamu kira? Lebih bagus aku ke mana-mana.”]Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal kemarin. Siapa lagi kalau bukan dari Mas Danang. Dia benar-benar berusaha membuat rumah tanggaku hancur dengan hasutannya. Ada apa dengannya? Kenapa dia begitu gigih membuatku menyerah dengan Mas Azzam?[“Suamiku itu mertuamu juga. Papinya Nindy, istri tercintamu. Apa kamu lupa?”] balasku dengan kesal.[“Justru karena dia mertuaku. Jadi, aku bisa tahu belang laki-laki tua bangka itu.”]Kembali satu pesan balasan dari mantan suamiku masuk. Membaca kalimatnya saja membuatku semakin geram. [“Sebenarnya apa maumu, hah? Jangan kau pikir aku bisa terpengaruh dengan omonganmu yang ngawur itu. Aku percaya dengan kesetiaan suamiku. Dia bukan pria kurang ajar sepertimu!”]Hilang sudah kesabaranku untuk Mas Danang. Lalu, beberapa menit kemudian, notifikasi kembali berbunyi. Sebuah link dari situs yang a
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah