Bab 26“Oh iya? Wah berarti sudah cukup dekat, ya? Kok Pak Didin enggak pernah cerita kalau Boby sama Lyra berteman baik?” tanyaku.“Bukan begitu, Neng. Saya memang tahunya Lyra dan Tuan muda memang teman bermain saat kecil. Tapi, saya tidak tahu kalau sampai sekarang pun, mereka berdua ternyata masih berhubungan. Saya kira, Tuan Boby sudah lupa sama Lyra. Ya kan Lyra hanya putri seorang tukang kebun saja, Neng. Bapak mah enggak sampe mikir ke sana,” terang Pak Didin.“Tadi siang kan putri bapak ke sini. Kenapa Bapak enggak ngenalin? Aku kira siapa lho.”“Wah, Neng. Saya sama sekali enggak tahu kalau Lyra ke sini cari-cari Den Boby. Bapak kan lagi ngambil tanaman hias pesanan Tuan Azzam. Jadi, pas Lyra datang saya enggak ada,” terangnya dibalas anggukan olehku.Berarti, Pak Didin sama sekali tak tahu kedatangan putrinya di rumah ini. Apalagi, maksud sebenarnya gadis itu mencari Boby dan ingin bertemu dengannya. Apa dia benar-benar tak tahu kalau Boby ditangkap polisi? Aku harus bert
Bab 27.“Mas sudah pulang?” Aku menyambut Mas Azzam sepulang dari rumah orang tua Deri. Pemuda yang melaporkan Boby dan mencoba menyeret putra sambungku ke penjara. Aku baru tahu dari Mas Azzam, yang melaporkan Boby memang benar itu Deri, pemuda yang Lyra ceritakan kemarin. “Gimana negosiasinya, Mas? Apakah berhasil?” Suamiku menggeleng dengan wajah lelah. Dia meraup wajah dengan frustasi.“Mereka sama sekali tak ada yang bersedia menemui Mas. Baik orang tua atau pun pemuda itu sekali pun. Mas hanya bisa ketemu dengan pengacaranya saja. Mereka tetap kekeh memperkarakan kasus ini ke pihak berwajib,” dengkus suamiku.Menurut Mas Azzam, bukannya mendapatkan kabar bagus, ternyata suamiku pulang setelah menerima pengusiran dari keluarga Deri. Aku benar-benar geram mendengar penjelasan suamiku. Deri dan keluarganya benar-benar sudah keterlaluan. Padahal, dari penjelasan Lyra kemarin, Boby hanya berusaha membela diri, makanya pemuda tersebut melawan Deri dan kawan-kawan untuk berkelahi.Di
“Ehmm ... makasih.”Aku terkejut ketika seseorang datang serta berdiri di sebelahku. Aku memang sedang menikmati pagi dengan meminum air hangat sambil mengawasi Pak Didin mengurus taman belakang rumah ini. Apalagi, beberapa tanaman hias yang cukup langka baru saja tiba.Aku sama sekali tak menyangka akan kehadiran Boby. Ini kali pertama pemuda ini berbicara padaku, meski masih irit serta kaku.“Untuk? Kenapa berterima kasih?”“Karena sudah membantuku menyelesaikan masalah,” jawabnya masih dingin. Aku menoleh, menatap putra sambungku yang fokus ke depan.“Tak masalah. Itu memang tugasku. Aku hanya membantu Mas Azzam agar bebannya tak begitu berat.”“Memangnya kamu benar-benar cinta kepada Papi? Bukannya kau masuk ke rumah ini ingin balas dendam?” imbuh Boby membuatku seketika menelengkan kepala.“Bingung, ya? Kenapa aku bisa tahu tujuanmu datang ke sini? Bukannya ada hubungannya dengan Kak Nindy dan Danang?” lanjutnya kembali. Aku meneguk ludah dengan kasar, tak menyangka ada yang bisa
Bab 29.“Dia cantik, ya? Seksi,” bisikku. “Apalagi, mata wanita itu terus saja melirik sama, Mas. Apa Mas Azzam kenal?” lanjutku.Suamiku mendekatkan bibirnya ke telinga seraya berbisik.“Kamu kenapa? Cemburu?” godanya dengan senyuman. Dapat kulihat, suamiku ini menahan tawa dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.Aku melotot, mendelik tak suka dengan candaan Mas Azzam. Namun, tak juga bisa menampik kalau ternyata yang dikatakan suamiku ini memang benar. Ya, aku telah cemburu. Aku benar-benar tak rela saat ada seorang wanita yang memandang suamiku dengan tatapan yang ... entahlah. Aku melihatnya seperti pandangan menggoda. Aku akui, Mas Azzam meski telah berumur, tetapi pesonanya tak kalah dengan para pria yang lebih muda. Justru, semakin dia dewasa, aura kewibawaan serta sex appeal-nya kian terpancar. Apalagi, dengan kesuksesannya sekarang sebagai pebisnis yang sedang naik daun, wanita mana yang tidak tertarik dan tak ingin mendapatkan Mas Azzam. Pria tampan dengan hart
Bab 30. “Kalian kenapa keluar dari tempat yang sama? Ngapain kamu masuk toilet pria?” cecarku dengan kalap. Kutatap satu persatu dari keduanya dengan tajam. Namun, Mas Azzam menggelengkan kepala.Aku sudah tak bisa menahan gejolak emosi. Rasa syok dan ketakutan serta trauma akan masa lalu kembali terngiang-ngiang. Bagaimana aku melihat Mas Danang membawa Nindy ke rumah dan mengenalkannya sebagai pacar. Pun, tak sengaja melihat keduanya telah masuk sebuah hotel.Apalagi, ketika mantan suamiku tersebut menceraikanku dengan cara yang tak bermoral. Kenangan buruk itu terus saja berkelindan dalam pikiran.Seluruh anggota tubuhku mulai bergetar. Hawa panas mulai memuncak mengingat kemungkinan terburuk atas apa yang telah terjadi. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan pikiran negatif yang mulai melintas untuk suamiku. Kemudian, teringat dengan cerita Mas Azzam yang pernah berkhianat terhadap almarhumah di awal pernikahan. Apa mungkin dia juga melakukan hal yang sama terhadapku sekarang?
Bab 31.“Abah sama Amah gimana sekarang kabarnya? Maaf, waktu itu, aku enggak bisa nganter kalian pulang kampung. Abah kan tahu, Mas Azzam sedang mendapatkan musibah waktu itu. Kami di sini sampai lupa hal lain dan lebih fokus untuk membebaskan Boby,” sesalku ketika mendengar kesehatan Ammah sedang buruk. Katanya, ibu kandungku tersebut terserang penyakit demam berdarah beberapa hari setelah Caca juga mengalami hal yang sama. Bahkan, kondisi mereka sama-sama dirawat di rumah sakit daerah.“ Tidak apa-apa, Tik. Ammah dan Caca sudah mulai baikkan kok. Mereka sudah dirawat sama dokter di sini. Lagi pula, tadi Dimas mengirim orang untuk membantu Abah merawat Ammah dan Caca. Kamu jangan khawatir, kami baik-baik saja,” terangnya.Aku merasa tak enak hati, pasalnya sebagai anak perempuan, aku tak bisa merawat Ammah dengan tanganku sendiri. Apalagi, beberapa minggu ini, kulihat pekerjaan Mas Azzam cukup banyak. Terbukti ketika aku sesekali mampir ke kantor untuk makan siang bersama. Pun, terl
Bab 32.“Mas, apa aku hamil, ya? Makanya, Mas Azzam yang ngidamnya?”“Hah? Maksudnya?”Mas Azzam membuka mulutnya sambil menganga. Dia bahkan hampir saja menjatuhkan botol parfum ditangannya. Apa-apaan reaksi Mas Azzam ini? Apa dia tak ingin aku mengandung anaknya?“Mas ini kenapa sih kok reaksinya gitu amat. Apa Mas enggak mau punya anak dari aku?” tanyaku dengan bibir cemberut serta mata yang mulai memanas.“Bukan gitu, Sayang. Mas hanya kaget. Mana ada sih suami yang istrinya kalau bener hamil enggak seneng. Beneran kamu hamil?” tanya suamiku meyakinkan.“Au ah ....” Aku merajuk, masih kesal dengan reaksi Mas Azzam yang menyebalkan.“Tapi sepertinya memang hamil. Kamu lebih sensitif sekarang. Gampang ngambek, cemburu dan lebih berisi sepertinya,” goda suamiku sambil menjawil daguku. Apa benar aku memang hamil? Namun, yang Mas Azzam katakan memang benar. Akhir-akhir ini aku memang lebih sensitif. Suasana hatiku sering berubah-ubah juga. Terkadang, aku manja, suatu waktu juga mudah
Aku mengerjap, mencoba menormalkan pandangan yang sempat mengabur, menghirup dalam-dalam aroma obat yang menguar di setiap penjuru ruangan bercat putih ini. Perlahan, kesadaranku kembali. Terdapat jarum infus yang sudah terpasang di tangan sebelah kiriku. “Sayang. Kamu sudah sadar. Alhamdulillah,” pekik suara yang sangat kukenal, siapa lagi kalau bukan suamiku.“Iya, Pi. Akhirnya, Mami sadar juga. Pingsannya lama banget,” seru Riri. Gadis itu seketika mendekat ketika mendengar papinya mengatakan aku telah sadar.Mas Azzam kemudian menggenggam tangan kananku, tetapi segera kutepis. Bayangan rekaman CCTV dan foto mesra itu sekelebat kembali muncul, hingga membuat dadaku kembali sesak.“Ri. Bisa panggilkan dokter? Katakan, Mami Tika sudah sadar,” perintah suamiku, kemudian dibalas anggukan oleh putrinya. Tak lama, Riri keluar dari ruangan ini, meninggalkan aku dan Mas Azzam berdua.“Soal video itu ....” Mas Azzam kemudian menghela napas, sedangkan aku menoleh mencoba menatap ekspresi