“Semuanya sia-sia, Na. Apa yang sudah kamu dan kak Steven upayakan, semua sia-sia.” Rere menatap Serena dengan matanya yang berkaca-kaca, suaranya terdengar bergetar menahan tangis. Serena segera menarik Rere dan membawanya ke dalam pelukan. Mengusap-usap punggung sahabatnya yang rapuh itu. Cerita Rere membuat Serena ikut merasa emosi dan marah. Bagaimana bisa Ares lebih percaya kepada Raisa. Benar memang, cinta itu akan membutakan seseorang. “Kak Ares benar-benar memuakkan, Re.”“Bolehkah aku melabraknya?” Lanjut Serena bertanya. “Bahkan aku juga ingin menjambak wanita ular dan mendorongnya dari balkon apartemennya.”“Astaga, menyeramkan sekali aku mendengarnya.” Rere tertawa pelan, merasa terhibur dengan kalimat Serena. Lalu kedua tangannya mengusap pipinya yang basah. “Sungguh, Re. Jiwa psikopatku sangat bergejolak.” “Jangan kotori tanganmu untuk wanita seperti dia, Na. Kamu terlalu berharga. Biarkan karma menghampirinya.”“Lihat, bahkan kamu masih bisa bersabar dengan semuanya.
Perut yang semakin membesar membuat Rere tidak bisa lagi beraktivitas secara bebas. Seperti sekarang, ia ingin mengambil pisau yang terjatuh di lantai pun kesulitan. Saat Rere sedang akan berusaha untuk mengambilnya, Ares dengan sigap menolong. Sejak kejadian beberapa bulan lalu, Ares tidak lagi sedingin dan sekasar sebelumnya. Meskipun terkadang, pria itu enggan interaksi terlalu lama dengan Rere, tetapi setidaknya ada rasa peduli setelah kejadian itu. “Terima kasih,” ujar Rere pelan. Setelah meletakkan pisau di atas meja, Ares segera berlalu, tetapi suara Rere kembali menghentikan langkahnya. “Hari ini aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan. Kak Ares mau ikut?” Lanjutnya bertanya dengan nada takut. Ares menatap Rere sekilas. “Aku tidak bisa.”Rere mengangguk kaku. “Baiklah, tidak apa.”Untuk pertama kalinya, Rere memberanikan diri mengajak Ares memeriksa kandungannya setelah perang dingin yang terjadi di antara mereka. Namun sayang, penolakan yang ia dapatkan. Setelah me
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan bayi yang ada di dalam kandungan. Namun, kami tidak bisa berjanji karena kecil kemungkinan untuk keduanya selamat.” Dokter Shinta menjelaskan dengan jelas dan berat hati. “Pak Ares jangan berhenti untuk berdoa. Semoga ada keajaiban dan Tuhan menyelamatkan keduanya. Kami akan berusaha untuk itu.”Setelah itu pintu ruang operasi tertutup. Ares menatap getir ke arah tangannya yang berlumur darah. Sebelum masuk ke dalam ruang operasi, Ares sempat bertemu dengan Rere yang sudah tidak sadarkan diri dengan dressnya yang berlumur darah. Apalagi Rere mengalami pendarahan yang hebat dari kandungannya. Dokter Shinta juga sudah mengatakan jika Rere membutuhkan beberapa kantong darah golongan AB. “Re, bertahanlah ... sungguh, aku ingin memperbaiki semuanya.” Tubuhnya bergetar, pria itu tidak bisa menahan isak tangisnya. Ini lebih menyakitkan daripada melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh Raisa. Apakah ini yang dirasakan Rer
Setelah mengetahui semua kebenaran, jika ternyata dalang di balik celakanya Rere dan bayinya adalah Raisa, tanpa berpikir panjang Ares langsung pergi begitu saja menemui Raisa yang sudah diamankan oleh pihak yang berwajib. Tidak ada yang melarang dan menahan. Baik Tio, Tiana, Steven, dan Serena memilih untuk membiarkan Ares menyelesaikan semuanya. Apalagi fakta jika bayi mereka tidak selamat membuat Ares benar-benar terpukul. Ia marah pada dirinya dan tentu juga pada Raisa yang menjadi dalang di balik hilangnya nyawa bayinya dengan Rere. Bagaimana bisa, wanita itu begitu tega mencelakai Rere dan bayi mereka yang tidak bersalah dalam hal ini. Jika memang Raisa marah padanya, dia bisa saja membunuh dirinya. Sekarang, Ares sudah berhadapan dengan Raisa yang menatapnya penuh kebencian. “Bagaimana dengan istri dan bayimu. Siapa yang selamat? Apakah keduanya mati?” tanyanya tanpa rasa bersalah dan itu semakin membuat Ares marah.“Aku benar-benar tidak menyangka kamu senekat ini, Sa.” Ares
Ares mengakui dan menyadari jika dirinya adalah seorang pendosa yang brengsek. Jadi, sekarang yang harus dilakukan adalah bertobat untuk menebus segala dosa-dosanya. “Masih belum ada perkembangan dari Rere ya?” tanya Serena yang berdiri di samping ranjang di mana Rere berada.“Ya, masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Dia masih tidur dengan damai dan terlihat cantik,” balas Ares tersenyum hangat. Sejak tadi juga tidak sedikitpun dirinya mengalihkan pandangan dari wajah istrinya yang begitu cantik dan berseri. “Betah sekali, Re. Apakah kamu tidak merindukanku?” tanya Serena cemberut. Sesekali tangannya mengusap-usap kepala Rere dengan lembut. “Aku bosan sekali, tidak ada yang aku ajak curhat dan mengeluh.”“Segeralah bangun, kamu harus mendengar kabar baik dariku.” Lanjut Serena. “Dan harus kamu orang pertama yang mendengarnya. Jika kamu tidak bangun-bangun, maka aku akan tetap bungkam sepenting apa pun itu.”“Terus ancamlah dia, siapa tau itu mempan dan berhasil membuatnya bangun,”
Ketika Rere meminta cerai, apalah Ares mengabulkannya? Tentu saja tidak. Ares tidak akan melepaskan Rere begitu saja setelah apa yang terjadi semua ini. Lagipula Ares tidak akan membuang-buang kesempatan begitu saja untuk memperbaiki semua. Ares sadar, akan sulit untuk kembali mengambil hati Rere. Tapi Ares yakin, Rere akan memaafkan dan memberinya kesempatan. Meskipun ia tidak tau kapan. Namun yang terpenting itu adalah untuk Ares tetap berjuang dan tidak menyerah begitu saja. Apalagi mengingat semua yang sudah Rere lakukan dulu untuk mengambil hatinya. Usaha istrinya yang sangat Ares apresiasi. Jadi, sekarang biarkan giliran Ares yang memperjuangkan Rere.Ya, she's fell first - he's fell harder. “Selamat pagi.” Ares tersenyum lebar begitu melihat Rere yang sedang menuruni anak tangga. Sejak Rere keluar dari rumah sakit, ia memang memutuskan untuk memasak. Pak Prapto beserta anak dan istrinya sengaja Ares beri cuti. Jadi, hanya dirinya dan Rere yang tersisa di rumah. Berdua saja. Ka
“Berhentilah bersikap membingungkan, kak.” “Ada yang bisa kubantu?” tanya Ares mengalihkan dan itu membuat Rere semakin kecewa melihat responnya.“Tidak ada dan itu tidak perlu. Aku bisa sendiri.”Ares mengangguk, mengerti. Memutuskan untuk duduk saja sembari memperhatikan Rere yang mulai sibuk untuk memilih-milih bunga yang masih layak untuk dipajang dan juga membersihkannya dari beberapa daun yang terlihat kering. Rere juga tidak ingin memperpanjang pembicaraan, dilihat dari respon Ares yang sepertinya enggan menanggapi lebih lanjut. Daripada membuatnya kecewa dengan respon-respon Ares yang tidak sesuai harapan, lebih baik Rere mengakhirinya saja. Rere juga menyesal karena telah mengawali untuk membuka pembicaraan. Apalagi topiknya sangat serius dan sensitif, menurutnya. “Marah padaku, eh?” tanya Ares dengan wajah tanpa dosanya.Rere hanya menatapnya sekilas dengan wajah datar, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Pikir saja sendiri. Batinnya kesal. Lagipula perempuan mana yang
“Izinkan aku tidur bersamamu,” ujar Ares setelah drama menangisnya karena membaca ending cerita The Sunset is Beautiful Isn't it.“Tidur saja di kamar kak Ares sendiri,” balas Rere memaksa.“Tidak mau.” Ares menggeleng. Pria itu malah memeluk tubuh Rere erat. “Lepaskan, kak.”“Tidak mau.”“Astaga. Menyebalkan sekali!” gerutu Rere kesal. “Setidaknya jika ingin tidur di sini, berbaring dengan benar.” Lanjutnya mengalah. Ia enggan berdebat dengan Ares yang akan membuang tenaga. “Biarkan aku tidur dengan memelukmu.”“Lepaskan dulu. Aku ingin pergi ke kamar mandi terlebih dulu.”“Oke, baiklah.” Ares melepaskan pelukannya. Setelah itu Rere turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sembari menunggu Rere kembali dari kamar mandi, Ares membuka kaosnya. Ia memilih untuk bertelanjang dada. Memang seperti itu kebiasaan jika akan tidur. Tidak mengenakan kaos dan hanya boxer yang menutupi area bawahnya saja. Tidak berselang lama, Rere kembali dengan baju tidurnya yang terlihat tipis dengan le