“Izinkan aku tidur bersamamu,” ujar Ares setelah drama menangisnya karena membaca ending cerita The Sunset is Beautiful Isn't it.“Tidur saja di kamar kak Ares sendiri,” balas Rere memaksa.“Tidak mau.” Ares menggeleng. Pria itu malah memeluk tubuh Rere erat. “Lepaskan, kak.”“Tidak mau.”“Astaga. Menyebalkan sekali!” gerutu Rere kesal. “Setidaknya jika ingin tidur di sini, berbaring dengan benar.” Lanjutnya mengalah. Ia enggan berdebat dengan Ares yang akan membuang tenaga. “Biarkan aku tidur dengan memelukmu.”“Lepaskan dulu. Aku ingin pergi ke kamar mandi terlebih dulu.”“Oke, baiklah.” Ares melepaskan pelukannya. Setelah itu Rere turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Sembari menunggu Rere kembali dari kamar mandi, Ares membuka kaosnya. Ia memilih untuk bertelanjang dada. Memang seperti itu kebiasaan jika akan tidur. Tidak mengenakan kaos dan hanya boxer yang menutupi area bawahnya saja. Tidak berselang lama, Rere kembali dengan baju tidurnya yang terlihat tipis dengan le
50. Merajut Kasih Setelah membaca selesai semua isi buku harian Ares dan mengetahui semuanya, Rere memutuskan untuk mengantarkan sendiri berkas-berkas Ares ke kantor agar ia bisa bertemu dengan suaminya itu. Banyak hal yang Rere tidak ketahui tentang Ares. Pria itu dengan segudang rahasianya. Moodnya meningkat menjadi semakin bagus. Itu tandanya, perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan, kan? Ares hanya merasa bingung bagaimana harus bersikap, meskipun dia adalah pria dewasa yang seharusnya bisa mengambil keputusan dengan bijak. Selain merasa bingung, Ares juga masih menyangkal jika perasaannya pada Rere tumbuh kembali padahal sudah lama hilang sejak dia bertemu dengan Raisa. Ares merasa jika dirinya hanya tertarik biasa pada Rere, padahal kenyataannya tidak. Pria itu hanya menolak secara sadar pada kenyataan hatinya sendiri.Sesampainya di kantor, semua karyawan menyapa Rere dengan dibalas hangat olehnya. Sejak tadi senyum cerah tidak pudar dari wajahnya. Kehilangan bayinya memang
“Jadi, bagaimana? Memberiku kesempatan terakhir?” “Ya, kesempatan terakhir. Jika nanti terjadi pertengkaran dalam rumah tangga kita dan permasalahannya benar-benar sudah tidak bisa ditolerir, maka aku tidak akan memberi kak Ares kesempatan lagi,” ujar Rere tersenyum. “Perselingkuhan dan kekerasan, aku tidak menerima dan memaafkannya.”“Terima kasih ... terima kasih, sayangku.” Ares memberi kecupan pada bahu telanjang Rere, lalu melumat singkat bibir istrinya itu. Ia menatap manik mata Rere dalam, merasa beruntung. Mendapatkan kembali kepercayaan Rere. Itu sebuah anugerah dan keberuntungan baginya. Ares tidak akan menyia-nyiakan itu. “Aku ingin mandi, badanku terasa lengket,” ujar Rere menjauhkan diri dari Ares. Tubuh telanjangnya berjalan menuju kamar mandi yang memang ada di dalam ruang kerja Ares, sedangkan pria itu matanya terus memperhatikan Rere yang semakin menjauh. Ia tersenyum miring dan tanpa banyak bicara, ia beranjak dari duduknya dan langsung berlari menghampiri Rere se
Berulang kali Ares mengucap syukur dalam hati. Hari-hari berlalu, mereka lalui bersama-sama dalam penuh kebahagiaan dan keberkahan. Ternyata, hidup bersama wanita seperti Rere adalah impiannya sejak dulu. Ares sangat menyukai wanita yang manja dan selalu bergantung kepadanya. Itu yang terjadi pada Rere saat semuanya dimulai kembali dari awal. “Kak Ares ... aku ingin itu, bisakah kak Ares mengambilkannya?” Rere menunjuk sebuah kaleng yang terletak di sebuah rak paling atas. Biasanya, Rere selalu berusaha mengambilnya sendiri entah bagaimana itu caranya, sekalipun itu sulit baginya. Tapi, sejak mereka memulai kembali dari awal, Rere selalu bergantung pada Ares. Bahkan dalam hal kecil pun, Rere selalu meminta tolong pada suaminya itu. Ares juga tidak keberatan, justru ia merasa senang. “Ingin membuat apa?” tanya Ares setelah mengambilkan sebuah kaleng berisikan coklat bubuk.“Cookies,” balas Rere. “Kak Ares suka, kan?”“Suka. Apalagi jika kamu yang membuatnya.”“Kamu tau? Dicintai oleh
Rere, wanita itu menatap Raisa dengan penuh ketenangan. Senyum manis di wajahnya terlihat dengan jelas sejak mereka berjumpa hingga detik ini. 10 menit berlalu, keduanya masih sama-sama diam menyisakan keheningan yang terjadi di dalam ruangan. “Hai,” sapa Rere untuk pertama kalinya. Ia bersuara terlebih dulu.“Hai,” balas Raisa seadanya. Sebenarnya, jauh di lubuk hati Raisa—ia sama sekali tidak merasa kesal ataupun marah dengan Rere. Ia hanya merasa lebih dendam pada Ares yang memperlakukannya seenaknya, tapi karena rasa itu membuatnya mau tidak mau harus mencelakai Rere dan bayinya. Setidaknya, salah satu di antara mereka harus tiada. Begitu pikiran jahatnya. “Sepertinya ada hal penting yang ingin kamu tanyakan, sampai-sampai sudi untuk menemuiku?” Lanjutnya memulai pembicaraan. “Kamu benar, memang ada yang ingin aku tanyakan langsung kepadamu,” balas Rere. “Aku hanya merasa tidak perlu menghakimi, setidaknya hukum sudah berjalan dengan sesuai.”“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tany
“Mmm ... sebelumnya aku meminta maaf karena dengan lancang masuk ke ruangan pribadimu yang sangat rahasia itu,” ujar Ares menjelaskan. “Kemarin sehari setelah kamu keluar dari rumah sakit, aku iseng untuk mampir ke toko bunga. Awalnya hanya berniat untuk mengecek saja, tapi tiba-tiba rasa penasaranku datang begitu melihat pintu ruanganmu.”“Aku ingat, itu adalah ruangan yang tidak boleh ada orang lain untuk masuk ke sana selain dirimu. Jadi, dengan lancang kuputuskan untuk masuk dan melihat. Sebenarnya ada apa di sana, sehingga kamu tidak memperbolehkan orang lain masuk.” Lanjut Ares. “Ternyata, ada lukisan-lukisan cantik yang kamu simpan. Termasuk dengan beberapa aku yang menjadi objek melukismu.”“Dan itu semua sangat cantik. Aku benar-benar menyukainya.”“Terima kasih,” ujar Rere tersipu malu. “Lalu, kapan kamu ingin memperlihatkan identitasmu? Ada rencana atau memang benar-benar ingin semua orang tidak mengetahuinya?”“Kurasa, aku ingin tetap menyembunyikannya, kak.”Ares mengang
Mereka baru saja menyelesaikan upacara pernikahan dengan berjanji di depan Tuhan untuk sehidup semati dan saling mengasihi. Upacara diadakan secara intimate, hanya keluarga dan sahabat yang datang. Berbeda dengan pesta pernikahan yang akan diadakan secara besar-besaran dan mewah nantinya. Sekarang, mereka sedang berada di kamar untuk beristirahat sejenak. Karena pesta pernikahan akan dimulai pukul 08.00 malam. “Meskipun ini adalah pernikahan kita yang kedua, rasanya berbeda sekali,” ujar Rere yang bersandar manja di dada bidang Ares.Ares mendengarkan Rere, sembari memberi elusan pada kepala lalu turun ke punggung istrinya itu secara berulang kali.“Bahagia?” tanya Ares membuat Rere langsung mengangguk. “Tentu saja. Siapa yang tidak bahagia karena telah menikah dengan pria yang dicintai?” tanya Rere tersenyum. “Semua wanita di dunia ini pasti akan merasa bahagia.”“Lalu apa yang kamu rasakan saat kita menikah yang pertama?” “Bahagia juga, tapi tetap saja ada kehampaan yang aku rasa
Baik Ares maupun Rere merasa canggung karena mereka melupakan keberadaan Serena dan Steven yang melihat ciuman panas mereka. "Ugh, lihatlah ke kaca, bibir kalian terlihat sangat bengkak," ujar Steven menggoda. Ares mendengus. "Kenapa kalian tidak pergi daripada harus melihat kita berciuman.""Ya Tuhan, jika aku biarkan, aku bersumpah kamu dan Rere pasti sudah berakhir di ranjang sekarang. Lalu pesta pernikahan dibatalkan sesuai dengan apa yang kamu katakan tadi.""Maka, biarkan itu terjadi," gerutu Ares kesal."Astaga, lalu apa yang akan kita katakan pada tamu undangan? Haruskah kita mengatakan, jika pengantin pria sudah tidak bisa menahan hasratnya untuk menyentuh pengantin wanitanya?" sambung Serena gemas. Rere yang melihat keributan kecil itu hanya menggelengkan kepalanya. "Sudah-sudah," ujarnya melerai. "Serena, bolehkah aku meminta tolong untuk dipanggilkan tim penata riasnya? Aku harus segera merapikan kekacauan ini.""Oke, wait!" "Bibirku terlihat sangat jelas jika bengkak.