Bukannya selesai masalahnya dengan Raisa, kini malah bertambah. Ares merasa dipermainkan. Antara Rere dan Raisa, mana yang berbohong? Setelah keluar dari rumah Raisa, Ares langsung bergegas kembali pulang. Ia ingin menanyakan kebenarannya pada Rere. Kalimat Raisa pun juga terngiang-ngiang, saat wanita itu mengatakan jika semua yang Rere, Serena dan Steven katakan adalah kebohongan. Semua itu dibuat agar Rere dan bayinya mendapat tanggung jawab dari Ares. Ah, tapi ... benarkah Rere se-licik itu? Ares terus menanyakan hal yang sama berulang kali pada dirinya sendiri. Keraguan yang timbul dalam dirinya ada karena ia juga belum terlalu mengenal Rere. Lagipula, mereka mulai dekat juga baru-baru ini. Sesampainya di rumah, Ares langsung bergegas menemui Rere yang ternyata sedang berada di rumah kaca. Serena dan Steven sudah pergi, Pras mengatakan mereka sudah pergi sejak 5 menit yang lalu. Tanpa banyak bicara, Ares langsung meletakkan foto yang memang dibawanya di atas meja. Pergerakannya
Sejak tadi, Ares tidak bisa fokus pada aktivitasnya. Ah, tidak sejak tadi melainkan sudah 2 minggu berlalu. Antara Rere atau Raisa yang membohonginya, Ares masih belum tau. Semua terasa meyakinkan. Rere dengan kebenaran tentang Raisa yang hampir mencelakai wanita itu. Lalu Raisa dengan berita tentang Rere yang tidur dengan pria lain. Anehnya, kenapa Ares harus merasa marah dan cemburu? Dirinya tidak sedang menaruh rasa pada Rere, kan? “Kuliat sejak beberapa hari ini, kamu selalu tidak fokus? Ada masalah dengan Rere?” tanya Steven yang memang sejak kemarin terus memperhatikan gelagat Ares. “Woy!” seru Steven karena merasa diabaikan oleh Ares. Ares terkejut, menatap Steven tajam. “Santai aja. Kenapa harus teriak?”“Lagian diajak ngobrol dari tadi nggak nyaut. Mikirin apa sih?” “Nggak mikirin apa-apa. Gimana?”“Ada masalah sama Rere?” Ares menggeleng dengan kaku, memilih diam. Karena Steven dan Serena tidak mengetahui tentang foto yang diberikan Raisa padanya. “Lalu bagaimana pak Ha
Sejenak Ares diam, berpikir. Ke mana Rere di tengah hujan begini karena di toko bunga pun wanita itu tidak ada. Pras juga belum mengabari, itu berarti memang Rere belum pulang. Sejak sore tadi, hujan begitu awet turun ke bumi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. “Re ... di mana kamu?” gumamnya dengan nada yang tersirat khawatir. Ya, meskipun Ares memperlihatkan sikap yang tidak menyukai Rere, tapi hatinya yang paling dalam ia masih peduli. Termasuk bayi yang ada di dalam kandungan wanita itu. Tidak lama setelah itu, terlintas di pikiran Ares jika Rere sedang berada di makam keluarganya. Tanpa banyak bicara, Ares langsung masuk ke dalam mobil dan menuju ke sana. Saat sudah sampai pun, Ares terlihat tergesa-gesa. Saat akan memasuki area makam, seorang wanita yang sejak tadi ia cari pun memperlihatkan dirinya. Rere, wanita itu terlihat berantakan, wajahnya yang pucat, bajunya yang masih basah dan tubuhnya yang terlihat menggigil. Tanpa banyak bicara, Ares langsung menghampiri Rere dan m
“Semuanya sia-sia, Na. Apa yang sudah kamu dan kak Steven upayakan, semua sia-sia.” Rere menatap Serena dengan matanya yang berkaca-kaca, suaranya terdengar bergetar menahan tangis. Serena segera menarik Rere dan membawanya ke dalam pelukan. Mengusap-usap punggung sahabatnya yang rapuh itu. Cerita Rere membuat Serena ikut merasa emosi dan marah. Bagaimana bisa Ares lebih percaya kepada Raisa. Benar memang, cinta itu akan membutakan seseorang. “Kak Ares benar-benar memuakkan, Re.”“Bolehkah aku melabraknya?” Lanjut Serena bertanya. “Bahkan aku juga ingin menjambak wanita ular dan mendorongnya dari balkon apartemennya.”“Astaga, menyeramkan sekali aku mendengarnya.” Rere tertawa pelan, merasa terhibur dengan kalimat Serena. Lalu kedua tangannya mengusap pipinya yang basah. “Sungguh, Re. Jiwa psikopatku sangat bergejolak.” “Jangan kotori tanganmu untuk wanita seperti dia, Na. Kamu terlalu berharga. Biarkan karma menghampirinya.”“Lihat, bahkan kamu masih bisa bersabar dengan semuanya.
Perut yang semakin membesar membuat Rere tidak bisa lagi beraktivitas secara bebas. Seperti sekarang, ia ingin mengambil pisau yang terjatuh di lantai pun kesulitan. Saat Rere sedang akan berusaha untuk mengambilnya, Ares dengan sigap menolong. Sejak kejadian beberapa bulan lalu, Ares tidak lagi sedingin dan sekasar sebelumnya. Meskipun terkadang, pria itu enggan interaksi terlalu lama dengan Rere, tetapi setidaknya ada rasa peduli setelah kejadian itu. “Terima kasih,” ujar Rere pelan. Setelah meletakkan pisau di atas meja, Ares segera berlalu, tetapi suara Rere kembali menghentikan langkahnya. “Hari ini aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan. Kak Ares mau ikut?” Lanjutnya bertanya dengan nada takut. Ares menatap Rere sekilas. “Aku tidak bisa.”Rere mengangguk kaku. “Baiklah, tidak apa.”Untuk pertama kalinya, Rere memberanikan diri mengajak Ares memeriksa kandungannya setelah perang dingin yang terjadi di antara mereka. Namun sayang, penolakan yang ia dapatkan. Setelah me
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan bayi yang ada di dalam kandungan. Namun, kami tidak bisa berjanji karena kecil kemungkinan untuk keduanya selamat.” Dokter Shinta menjelaskan dengan jelas dan berat hati. “Pak Ares jangan berhenti untuk berdoa. Semoga ada keajaiban dan Tuhan menyelamatkan keduanya. Kami akan berusaha untuk itu.”Setelah itu pintu ruang operasi tertutup. Ares menatap getir ke arah tangannya yang berlumur darah. Sebelum masuk ke dalam ruang operasi, Ares sempat bertemu dengan Rere yang sudah tidak sadarkan diri dengan dressnya yang berlumur darah. Apalagi Rere mengalami pendarahan yang hebat dari kandungannya. Dokter Shinta juga sudah mengatakan jika Rere membutuhkan beberapa kantong darah golongan AB. “Re, bertahanlah ... sungguh, aku ingin memperbaiki semuanya.” Tubuhnya bergetar, pria itu tidak bisa menahan isak tangisnya. Ini lebih menyakitkan daripada melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh Raisa. Apakah ini yang dirasakan Rer
Setelah mengetahui semua kebenaran, jika ternyata dalang di balik celakanya Rere dan bayinya adalah Raisa, tanpa berpikir panjang Ares langsung pergi begitu saja menemui Raisa yang sudah diamankan oleh pihak yang berwajib. Tidak ada yang melarang dan menahan. Baik Tio, Tiana, Steven, dan Serena memilih untuk membiarkan Ares menyelesaikan semuanya. Apalagi fakta jika bayi mereka tidak selamat membuat Ares benar-benar terpukul. Ia marah pada dirinya dan tentu juga pada Raisa yang menjadi dalang di balik hilangnya nyawa bayinya dengan Rere. Bagaimana bisa, wanita itu begitu tega mencelakai Rere dan bayi mereka yang tidak bersalah dalam hal ini. Jika memang Raisa marah padanya, dia bisa saja membunuh dirinya. Sekarang, Ares sudah berhadapan dengan Raisa yang menatapnya penuh kebencian. “Bagaimana dengan istri dan bayimu. Siapa yang selamat? Apakah keduanya mati?” tanyanya tanpa rasa bersalah dan itu semakin membuat Ares marah.“Aku benar-benar tidak menyangka kamu senekat ini, Sa.” Ares
Ares mengakui dan menyadari jika dirinya adalah seorang pendosa yang brengsek. Jadi, sekarang yang harus dilakukan adalah bertobat untuk menebus segala dosa-dosanya. “Masih belum ada perkembangan dari Rere ya?” tanya Serena yang berdiri di samping ranjang di mana Rere berada.“Ya, masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Dia masih tidur dengan damai dan terlihat cantik,” balas Ares tersenyum hangat. Sejak tadi juga tidak sedikitpun dirinya mengalihkan pandangan dari wajah istrinya yang begitu cantik dan berseri. “Betah sekali, Re. Apakah kamu tidak merindukanku?” tanya Serena cemberut. Sesekali tangannya mengusap-usap kepala Rere dengan lembut. “Aku bosan sekali, tidak ada yang aku ajak curhat dan mengeluh.”“Segeralah bangun, kamu harus mendengar kabar baik dariku.” Lanjut Serena. “Dan harus kamu orang pertama yang mendengarnya. Jika kamu tidak bangun-bangun, maka aku akan tetap bungkam sepenting apa pun itu.”“Terus ancamlah dia, siapa tau itu mempan dan berhasil membuatnya bangun,”