“Hai, siapa namamu?” Seorang wanita dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya itu menyapa seorang gadis kecil yang sedang berjaga di tempat penjual permen kapas.
“Ya? Ada yang bisa kubantu?” tanya gadis kecil itu tanpa menjawab siapa namanya.“Aku membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu. “Panggil saja aku Kirana.”“Oke, baiklah Nona Kirana. Apa yang perlu kubantu?”“Perkenalkan terlebih dulu, siapa namamu, cantik?”“Josephine.”“Ah, Josephine. Nama yang cantik,” ujar wanita itu berbasa-basi.“Thank you.”“Bisakah kau memberi coklat ini pada seseorang?” tanya wanita itu pada Josephine.“Siapa?”“Temanku, kau bisa menemuinya di mini market dekat taman. Yang ada di seberang sana,” ujarnya menjelaskan sembari menunjuk salah satu mini market yang dimaksud.“Kenapa tidak memberikannya sendiri, kau bilang dia adalah temanmu?”Wanita itu tersenyum ramah. “Dia belum mengeAkhirnya, jadwal ke Zürich diundur karena permintaan Rere yang ingin bertemu dengan Josephine. Namun sayangnya, mereka belum bisa bertemu karena gadis kecil itu ternyata sedang pergi ke Bern untuk beberapa waktu yang tidak bisa dipastikan. Lalu Pak Gio dan Kavita juga sudah pulang dua hari yang lalu, setelah berada di sini selama satu minggu, bekerja sekalian berlibur. “Bagaimana jika kita ke Zurich terlebih dulu, Re?”“Nanti saat mendekati jadwal pulang, kita bisa kembali lagi ke sini untuk menemui Josephine.” Lanjut Ares mengusulkan.“Haruskah begitu?” Rere balik bertanya. “Kupikir begitu lebih baik, Re. Karena kita juga belom tau kapan Josephine akan kembali dari Bern.”Rere mengangguk setuju dengan kalimat Ares. “Oke. Jika begitu, kita ke Zurich terlebih dulu, kak.”“Jika begitu, besok kita berangkat.” “Besok?” tanya Rere memastikan. “Ya, besok. Tidak mungkin jika tahun depan, bukan?” Ares terkekeh kecil. Karena i
Karena Rere yang mendadak demam, alhasil keberangkatan mereka ke Zürich lagi-lagi diundur. Saat ini yang dilakukan Rere hanya istirahat dengan menonton serial Net-flix. Sedangkan Ares, pria itu sudah keluar sejak pagi, karena mendadak ada urusan. Lalu suara bell yang berbunyi, membuat Rere bangun dari tidurnya. Meskipun pusing masih terasa di kepala dengan pandangan mata yang sedikit mengabur, ia tetap berusaha berjalan dengan tangannya yang menyentuh tembok untuk menahan dirinya. Saat pintu sudah terbuka, Rere melihat sosok gadis kecil berdiri di depannya. “Apakah kau Nona Rere?” tanyanya to the point. Rere mengangguk, menampilkan senyum manis di wajahnya. “Iya, aku Rere. Mencariku?”Terlihat gadis kecil itu tersenyum, mengangguk. “Aku Josephine.”“Ahhh, kau Josephine. Masuklah, honey.” Rere mengajak Josephine masuk ke dalam rumah, lalu mempersilakan gadis kecil itu untuk duduk menunggunya sembari ia menyiapkan minuman dan camilan.“Dad memberitahukan kepadaku jika ada yang mencari
Rere menuruni anak tangga. Entah kenapa sejak pulang dari Swiss, ia merasa sangat lelah dan rasanya hanya ingin tiduran saja di atas kasur. Namun, baru saja di anak tangga keempat, Rere sudah dikejutkan dengan keadaan ruang bersantainya yang sudah disulap dengan sedemikian cantik dan jangan lupakan Serena yang berdiri dari duduknya, menyambutnya hangat dengan senyum manisnya. “Surprise!” “Astaga!” Rere tidak bisa menahan keterkejutannya. “Sejak kapan ini disiapkan?”“Sejak dua jam yang lalu,” balas Serena berjalan menghampiri Rere. “Awalnya bi Nur mau bangunin kamu, tapi aku langsung kasih tau aja jangan. Biar kamu bangun sendiri, sekalian ini semua siap.”“Tidak bertemu kak Ares?” Serena menggeleng. “Pras bilang, dia berangkat pagi-pagi sekali. Katanya ada urusan mendadak.”Mendengar penjelasan Serena, membuat Rere mengangguk mengerti. “Seperti sudah satu abad saja rasanya tidak bertemu denganmu!” Serena langsung memeluk tubuh Rere dengan erat. “Selamat ulang tahun, Re. Aku selalu
Setelah kepergian Serena, Rere langsung naik ke atas kamar untuk mengecek keberadaan Ares. Namun, saat sudah masuk ke dalam kamar pria itu, ternyata Ares tidak ada di sana. “Kak Ares?” Panggil Rere dengan suara yang lumayan keras. “Aku di sini, Re.” Ares balas berteriak, menjawab pertanyaan Rere. Sejenak, Rere terdiam saat mendengar jawaban Ares. Suara itu berasal dari kamarnya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar untuk segera memastikan. Benar saja, pria itu sudah berbaring sangat nyaman di atas kasur dengan matanya yang terpejam. “Aku ingin tidur di sini. Tidak masalah, kan?” ujarnya dengan mata yang masih terpejam.“Terserah kak Ares,” balas Rere. “Kak Ares sudah makan?”Pria itu menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Jika begitu kubuatkan makanan terlebih dulu. Ada yang kak Ares inginkan?”“Mmm ... bubur. Aku ingin bubur buatanmu,” balas Ares membuat Rere mengangguk paham.“Menginginkan apa lagi?”Ares membuka matanya, lalu menatap Rere serius. “Menginginkanmu.”Mendengar jawab
Rere bertemu dengan Serena. Seperti yang ia katakan beberapa hari yang lalu untuk membuat jadwal mereka bertemu. Di sinilah mereka berada, sebuah kafe cantik milik sahabat Ares, Kevin. Ah, siapa sangka jika ternyata Serena dan Steven sedang menjalani masa pendekatan. Rere juga sudah menceritakan semua kejadian yang ia alami saat berada di Swiss pada Serena dan juga Steven.“Setelah mendengar ceritamu, dugaanku tentang Raisa semakin kuat, Re.” Steven membuka suaranya, setelah Rere selesai bercerita. “Aku sudah mengenal Raisa sejak lama. Awalnya memang dia itu wanita baik, tapi setelah kamu dan Ares menikah, dia semakin berubah.”“Aku tidak menyalahkan pernikahan kalian. Justru aku sangat bersyukur jika Ares bersamamu daripada bersama dengan Raisa. Apalagi belum lama ini, aku beberapa kali memergoki Raisa berjalan dengan sahabatnya, Antonius.” Lanjut Steven. “Mungkin jika mendengar dari ceritaku, itu akan terdengar biasa saja. Tetapi menariknya, mereka terlihat mesra
Ares menggenggam tangan Rere memasuki halaman rumah orang tuanya. Beberapa mobil juga terparkir di halaman. Tania meminta mereka untuk datang ke rumah, karena keluarga besar dari mamanya itu sedang berkumpul. Seperti pasangan suami istri yang terlihat serasi. Apalagi senyum dari keduanya yang terlihat begitu cerah seperti cuaca pagi ini. Mereka langsung menghampiri nenek dan kakek Ares yang sedang duduk di sofa. “Nenek .....” Rere berlari kecil, menghampiri seorang wanita paruh baya yang berusia 71 tahun. Ia ikut duduk di samping Hana, lalu memeluknya erat. “Rere kangen sama nenek.”“Nenek apa nggak mau tinggal sama Rere dan kak Ares?” Lanjut Rere bertanya.Hana tertawa pelan, mengusap-usap kepala Rere dengan lembut dan memberikan kecupan hangat di dahi wanita itu. “Sudah tua begini. Nanti kalo nenek tinggal sama kamu yang ada malah nyusahin.”“Ya enggak dong. Justru Rere malah seneng,” balas Rere dengan cepat.“Daripada nyuruh nenek sama kakek tinggal bareng kamu terus setiap ketemu,
Berkumpul dengan keluarga, membuat suasana hati Rere menjadi lebih baik. Selain itu juga ia merasa tidak kesepian. Rencananya juga selama keluarganya ada di sini, Rere juga ikut menginap. Meskipun Ares beberapa kali memintanya untuk pulang ke rumah, lalu mereka akan ke sini lagi setelah ia pulang kerja. Membayangkan saja sudah membuatnya lelah karena bolak-balik dan tentunya juga membuang-buang waktu. “Bolak-balik bikin capek. Kak Ares kalo mau pulang, pulang aja sendiri.” Rere terus menggerutu karena Ares selalu saja merajuk padanya untuk meminta pulang.“Kenapa kak Ares minta pulang terus? Biasanya juga betah tidak di rumah.” Lanjut Rere menyindir.Ares memeluk Rere dari belakang, lalu meletakkan dagunya pada pundak Rere. “Nanti kalo aku tiba-tiba lagi pengen gimana?” “Yakan bisa di sini. Lagian rumah ini kamarnya banyak, kenapa dibikin pusing sih, kak?”“Tapi tetep aja rasanya beda, Re. Rasanya nggak leluasa kalo bukan di rumah sendiri.”
Sudah menjadi hal yang tidak mengejutkan lagi dengan kedatangan Raisa yang suka tiba-tiba, seperti jalangkung, datang tak diundang. Namun, kali ini keadaannya berbeda. Wanita tidak tau malu itu datang di rumah orang tua Ares, yang mana pada saat ini keluarga besar sedang berkumpul. Ares pun sama terkejut dengan yang lainnya. Apalagi bisa dibilang hubungan Ares dan Raisa di masa lalu bukan lagi rahasia umum di keluarganya. “Hai, semuanya. Udah lama ya, kita nggak ketemu.” Raisa tersenyum hangat. Pagi ini memang seluruh anggota keluarga sedang berada di halaman depan rumah. Bersantai sambil menikmati suasana dengan cuaca yang sangat bersahabat. Matahari tidak terlalu terik menampakkan sinarnya. “Tante apa kabar?” Lanjutnya menyapa Tania, tetapi diabaikan oleh wanita paruh baya itu.Seluruh anggota diam, mereka memperlihatkan ketidaksukaannya. Apalagi Tania yang sejak tadi menatap Raisa datar, seakan ingin segera mengusir. “Ada urusan apa kemari?” tanya Rere mengambi