Calista baru kembali dari Yogyakarta setelah mengantar orangtuanya pulang, mereka sempat berada di Jakarta sekitar seminggu, lantas pulang dengan berat hati karena beberapa pekerjaan tak pernah siap ditinggalkan.
"Kok kebelet ya," gumam Calista, perempuan berambut sebahu itu beranjak, ia memiliki sebuah koper biru navy menempel pada kursi di sampingnya. "Kalau aku ke toilet sekarang, nanti kopernya sendirian. Nggak ada yang nungguin, kalau dibawa juga aneh deh, masa bawa koper ke toilet." Ia berdecak sekaligus kebingungan.
Dari jarak sekitar tiga meter, seorang pria dengan jaket hitam serta topi di kepalanya terlihat menarik koper dari arah berlawanan, sepertinya ia juga baru tiba setelah mengudara dari tempat lain.
Si pria bertopi melewati Calista, lalu duduk tak jauh dari posisi wanita itu, senyum Calista muncul seraya menatap si pria bertopi serta koper miliknya bergantian.
Ia memberanikan diri. "Permisi, bisa minta tolong sebentar nggak?"
Pria itu menengadah, ia menemukan ekspresi canggung milik Calista. "Ya, ada apa?"
"Saya mau ke toilet, saya bisa nitip koper sebentar?"
Tanpa penolakan pria itu mengangguk, membuat senyum di wajah Calista menjadi lebih santai.
"Anda masih di sini sekitar sepuluh menitan, kan?"
"Iya."
"Okey, makasih sebelumnya." Setelah berkata demikian, Calista bergegas menyingkir menuju toilet bandara, meski tidak saling mengenal, ia masih bisa mempercayai pria asing tadi karena penampilannya. Mana mungkin pemilik jam rolex mencuri koper orang lain, lucu kan?
Saat Calista menyingkir, pria muda itu beranjak dan menarik koper milik Calista supaya lebih dekat dengan kopernya. "Biar nggak terlalu jauh aja, takutnya pas gue nggak lihat malah ada yang ambil. Ogah lah kalau gue mesti tanggung jawab," pikirnya.
Ia merogoh ponsel dari saku jaket karena berdering kencang, ia tersenyum menanggapi nama kontak bertuliskan ‘Mama’ di sana. "Hallo, Ma. Ini aku masih di bandara, aku udah beli oleh-oleh yang Mama minta kok." Seraya terus berbicara, ia menyingkir menjauh dari kursi dan berhenti di dekat sebuah pilar tinggi.
Calista baru saja selesai, ia tetap terburu-buru karena takut membuat pria asing tadi menunggu terlalu lama.
Saat Calista tiba di dekat kursi, ia mengernyit sebab tak menemukann si pria di sana. "Lho, dia ke mana? Kok kopernya ditinggal?"
Calista mengedar pandang, ia menemukan pria itu sibuk bertelepon di dekat pilar, tapi saat hendak meraih kopernya, Calista dibuat bingung oleh dua koper bersisihan dengan besar serta warna yang sama, ia baru menyadari jika koper mereka benar-benar mirip.
"Ini kopernya yang mana?"
Belum sempat Calista mengoreksi koper-koper tersebut, ponselnya mendahului berdering, ternyata panggilan masuk dari supir yang menjemputnya.
"Oh, Bapak udah di depan? Oke, sebentar lagi saya ke sana, nggak sampai lima menit kok." Terburu-buru membuatnya memilih dengan cepat tanpa menimang benar atau salah, Calista menarik salah satunya seraya menghampiri si pria bertopi yang baru berbalik arah, Calista tersenyum dan berucap, "Makasih banyak udah mau dititipin, maaf ya kalau lama."
"Oh, nggak apa-apa kok."
"Kalau begitu saya permisi, ya. Supir saya udah di depan."
Pria itu sebatas mengangguk, ia kembali menghampiri kursi dan menarik koper yang tersisa.
***
Malam sekitar pukul delapan lewat Calista baru saja menemani Ardio terlelap, putra kecilnya itu selalu tidur tepat waktu sesuai aturan yang dibuat sang ibu.
Calista lebih dulu mengecup kening Ardio sebelum keluar dari kamar, meski baru berusia lima, tapi Ardio telah terbiasa tidur sendiri sejak setahun lalu.
"Good night, my boy." Calista menyingkir, ia kembali ke kamarnya. Wanita itu berkacak pinggang menatap koper masih teronggok di tepi ranjang. "Mau benerin baju kayak malesnya kebangetan."
Suka tidak suka, Calista tetap melakukannya, ia meletakan koper di permukaan ranjang, menarik ritsleting memutar hingga bagian penutupnya terbuka.
Namun, ekspresi yang diperlihatkan Calista justru berbeda.
Sepasang mata wanita itu membulat, ia juga menutup bibir karena menganga setelah syok dengan beberapa barang di dalam koper.
"Kok isinya malah—" Calista mendengkus, ia mengangkat sebuah facial wash khusus pria, benda itu seharusnya dimasukan pada sebuah pouch supaya lebih rapi, tapi mungkin karena pemiliknya adalah pria, jadi seperti ini—berantakan bersama benda-benda lain. "Ini bukan koper aku? Kok bisa?"
Tak puas hanya dengan satu barang, Calista mengangkat sebuah celana boxer, ia merasa keningnya mulai berdenyut. "Kok bisa sih sampai ketuker kayak gini. Ini gimana caranya biat bisa tukeran balik coba?"
***
Situasi di tempat lain sepertinya sama, sebab pria bertopi yang sempat menjaga koper Calista di bandara siang tadi tak kalah terkejut setelah menemukan barang-barang di dalam koper tersebut.
"Kutang?" Bra merah muda terbentang di depan mata, lalu celana dalam, blouse, celana jeans, pouch besar berisi alat make up serta sebuah kotak cukup panjang berisi mainan berbentuk Captain America tersembunyi di bagian bawah pakaian. "Ini semua bukan barang-barang gue, astaga. Gue mana pernah pakai kutang segala macem kayak gini."
Ia terlihat frustrasi. "Barangkali ada kartu nama atau apa pun yang nyangkut di sini biar bisa tuker koper, gila aja sampai ketuker begini. Emang dia nggak paham sama kopernya sendiri?" Seolah ia juga begitu mengenali koper miliknya.
Meski sudah mengeluarkan semua isi koper, tapi tak ada kartu identitas atau sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Calista, mereka kompak tenggelam bersama kebingungan masing-masing.
Tok-tok-tok!
Belum hilang kekesalannya, ia dibuat panik oleh derit pintu setelah suara ketukan terdengar.
Ia berdecak. "Ngapain mama tiba-tiba masuk kamar, mana gue lupa kunci," gumamnya seraya menatap barang-barang asing berserakan di ranjang.
"DYLAN, ASTAGA!!! KAMU APA-APAAN?"
Pria muda bernama Dylan menelan ludah, ia tersenyum kecut menatap sang ibu seraya memikirkan alasan terbaik untuk pemandangan gila di kamarnya.
"Kamu ngapain ini? Kamu ngapain, Dylan? Ini barang-barang perempuan semua, kamu kenapa? Kamu nyuri?" Juwita semakin terkejut setelah mendekat dan melihat lebih jelas semuanya, ia mengangkat bra merah muda yang sempat dipegang Dylan. "Ini apa? Kamu ada apa? Kamu di Bali ngapain aja sampai pulang malah bawa beginian."
"Ma, aku—"
"Kamu nggak mengidap kleptomania, kan?" Juwita memicing mencurigai putranya sendiri.
"Ap-apa? Ya enggaklah, buat apa Dylan nyolong yang kayak gitu sih, Ma."
"Terus, ini apa? Semua barang perempuan sampai bagian dalemnya lengkap, atau kamu mau kasih ini ke pacarmu? Kamu udah punya pacar?"
"Pac-pacar apa sih?" Dylan mulai terpojok. "Aku bakal jelasin semuanya, tapi tolong Mama tenang dulu, ya. Mama harus dengar ini baik-baik."
***
"Mbak Calista tahu nggak kalau hari ini anaknya bos bakal masuk kantor?" Setelah memprovokasi karyawati sebelumnya untuk bergosip, sekarang Aulia mencoba melakukan hal yang sama pada Calista, mereka berada di depan mesin fotocopy."Masuk aja? Nggak keluar lagi?" Perkataan Calista terdengar rancu, tapi mengartikan jika ia tak peduli."Ih, kok Mbak Calista jawabnya gitu. Geli tahu.""Geli kenapa?" Calista mengumpulkan beberapa lembar hasil fotocopy yang sudah keluar. "Saya ada di ruangan saya kalau kamu cari ya." Ia menyingkir begitu saja, rayuan Aulia tak berarti apa-apa.Mungkin kesialan sedikit mengusik Calista, sebab meskipun ia tetap berusaha tak terpengaruh, tapi situasi ramai di sekitar kubikel karyawan tak jauh dari ruang kerjanya justru ramai oleh kehadiran Anton serta seorang pria berjas maroon yang belum Calista lihat wajahnya."Ada apa ramai-ramai di sana?" tanya Calista pada seorang OB saat baru muncul di dekat pintu."Itu Pak Anton ngajak keliling anaknya si bos supaya leb
"Ngopi dulu biar nggak tegang banget." Anton meletakan sebuah paper cup berisi americano yang sempat dipesannya melalui satu aplikasi."Thank's." Dylan menyahut seraya menatap Anton. "Gue boleh tanya nggak?""Pasti soal Calista, ya?" Anton terbahak melihat perubahan ekspresi di wajah sahabat lamanya itu, ia mengenal baik siapa Dylan Azel, putra pemilik PT. Berlian Semesta yang akhirnya kembali dari London setelah menyelesaikan pendidikan strata duanya di sana. "Gue udah nebak dari pas elo tiba-tiba nunjuk dia sambil nyebut koper, lo itu bukan yang suka sembarangan ke orang lain.""Paham banget lo."Mereka berada di ruang kerja Dylan, tempat yang sudah disiapkan sejak lama—jauh sebelum pria itu kembali ke Indonesia, dan kemungkinan besar takkan lama lagi Dylan akan menduduki kursi CEO yang masih ditempati Hartono.Dylan beranjak, ia mendekat ke arah kaca tebal yang hampir mengelilingi keseluruhan ruang kerjanya, kantor yang memiliki lima belas lantai tersebut layak disebut sebagai gedu
Kesibukan utama Calista setiap pagi adalah mengantar Ardio ke sekolah, bocah itu sudah menginjak usia Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio takkan sendiri jika Calista sudah berangkat ke kantor, sebab sudah ada Suster Agita yang dipekerjakan untuk menjaga Ardio hingga Calista kembali dari kantor.Calista berjongkok mengecup kening Ardio sebelum membagi nasihat setiap pagi yang selalu Ardio dengar tanpa membantah."Dio belajar yang rajin ya, jangan nakal sama teman, terus bekalnya dimakan." Tiga poin utama sebagai bingkisan suara untuk Ardio."Baik, Bunda. Terima kasih banyak, Bunda."Calista tersenyum, ia beranjak menatap Agita yang sudah berdiri di samping Ardio. "Saya berangkat sekarang, ya. Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa.""Baik, Bu. Hati-hati di jalan.""Okey." Saat ia memasuki mobil, Ardio berlari menuju halaman sekolah diikuti Agita, suara klakson terdengar sebelum mobil menyingkir dari sisi jalan.***Di area parkir kantor, mobil Calista baru saja berhenti tepat di samping rubic
Calista mengetuk pintu ruang kerja Dylan, pria itu menyahut dari dalam, Calista masuk seraya membawa nampan berisi secangkir kopi yang sempat dibuatnya.Dylan menatap wanita itu dimulai ketika pintu terbuka hingga meletakan kopi di samping komputernya."Ini kopinya, Pak. Saya permis—""Saya cobain dulu, ya." Dylan menyela. Calista diam membiarkan pria itu mewujudkan perkataannya, Dylan meneguk pelan kopi dengan uap menguar membaui indra penciuman."Ini enak," komentar Dylan setelah melatakan gelasnya."Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya bisa per—""Nanti kalau misal saya pengin kopi lagi, kamu bisa kan buatin terus?""Hah?" Calista semakin tak habis pikir dengan tingkah Dylan. "Tapi, saya bukan sekretaris Pak Dylan, saya juga bukan office girl di kantor ini." Terlalu kesal membuat Calista harus mengutarakannya."Saya tahu kalau keduanya memang bukan kamu kok, kamu di sini sebagai public relation, saya juga tahu, Anton kan pernah bilang. Cuma ...." Dylan menggantungnya seraya menata