"Masuk aja? Nggak keluar lagi?" Perkataan Calista terdengar rancu, tapi mengartikan jika ia tak peduli.
"Ih, kok Mbak Calista jawabnya gitu. Geli tahu."
"Geli kenapa?" Calista mengumpulkan beberapa lembar hasil fotocopy yang sudah keluar. "Saya ada di ruangan saya kalau kamu cari ya." Ia menyingkir begitu saja, rayuan Aulia tak berarti apa-apa.
Mungkin kesialan sedikit mengusik Calista, sebab meskipun ia tetap berusaha tak terpengaruh, tapi situasi ramai di sekitar kubikel karyawan tak jauh dari ruang kerjanya justru ramai oleh kehadiran Anton serta seorang pria berjas maroon yang belum Calista lihat wajahnya.
"Ada apa ramai-ramai di sana?" tanya Calista pada seorang OB saat baru muncul di dekat pintu.
"Itu Pak Anton ngajak keliling anaknya si bos supaya lebih kenal sama karyawan sini, Bu."
"Oh gitu."
"Encep duluan ya, Bu."
"Iya."
Calista masih diam, ia meyakinkan diri jika hal seperti ini takkan berpengaruh baginya, wanita itu kembali melangkah dengan arah pandang berfokus pada lantai.
Ia berhasil melewati kerumunan karyawan, ia tak mungkin menegur mereka karena kehadiran anak bos di sana, dan tepat ketika tangannya bergerak hendak membuka pintu ruang kerja, suara Anton membuat Calista menarik napas panjang.
"Calista, bisa ke sini sebentar?"
Wanita dengan blouse abu-abu serta celana katun yang melekat di tubuhnya itu memutar arah seraya bersiap memamerkan senyum terpaksa, tapi ketika arah mata Calista menemukan sosok setinggi kurang lebih 170cm di samping Anton, wanita itu terdiam.
"Pak Dylan, dia namanya Calista, public relation di kantor kita." Anton masih terus berbicara tentang tugas Calista di tempat ini, tapi ia tak tahu jika manusia yang diajaknya bicara justru berfokus pada hal lain.
Dylan mencoba mengingat sesuatu, ia merasa familier dengan perempuan bernama Calista di sana, sampai satu rekam di kepala membuatnya refleks menunjuk Calista di depan banyak orang.
"Koper! Iya, koper! Koper gue." Dylan mendekat cepat dan berhenti tepat di depan Calista. "Elo kan yang bawa koper gue, sekarang di mana kopernya?"
Calista bergeming, sementara orang-orang termasuk Anton dibuat menganga sekaligus bingung menanggapi perilaku Dylan, banyak tanda tanya muncul di kepala mereka.
"Pak Dylan," panggil Anton.
Dylan menoleh, ia baru menyadari sikap spontannya setelah melihat ekspresi banyak orang, telunjuk yang sempat mengarah pada Calista langsung meluruh.
Dylan menelan ludah, ia hampir benar-benar menjatuhkan wibawanya di depan karyawan sang papa.
Ia kembali menatap Calista. "Eum, sepertinya saya salah orang." Dylan terkekeh hambar, Anton ikut melakukannya tanpa ragu. "Iya, salah orang. Cuma mirip aja, maaf."
Calista masih tetap tak bereaksi, sejak melihat pria itu ia sudah menyadari sesuatu, ditambah sikap Dylan beberapa detik lalu semakin membuat Calista yakin jika Dylan-lah yang tak sengaja bertukar koper dengannya dua hari lalu.
"Oh, jadi salah orang ya, Pak. Saya kira ada apa." Anton bersuara, berusaha mencairkan suasana.
"Iya, salah orang." Dylan menjauhi Calista, ia berbisik pada Anton sebelum berpamitan pada semua orang di sana.
***
Lift yang tiba-tiba macet saat jam operasional kantor tengah berlangsung membuat aktivitas cukup terhambat, tapi untungnya teknisi langsung dikerahkan supaya mengurus hal tersebut.
Sementara Calista harus turun ke lantai dua, ruang kerjanya di lantai tujuh, ia terpaksa memasuki ruang berisi anak tangga darurat, entah harus sebanyak apa Calista menuruni setiap anak tangga, tapi ia pernah melakukan hal yang sama untuk situasi darurat.
Dylan tak sengaja melihat perempuan itu baru saja lenyap di balik pintu, tanpa berpikir lebih lama, ia bergegas menghampiri Calista.
"Hey, pencuri koper!"
Suara tersebut membuat langkah Calista terhenti, ia mendekap beberapa arsip penting di dada.
Saat menoleh, Calista menemukan Dylan sudah berdiri di belakangnya.
"Pencuri koper?" Calista mengulang dua kata tersebut seraya mengerutkan kening. "Bapak nyebut saya sebagai pencuri koper?"
Dylan mengangguk cepat. "Itu karena kamu emang udah bawa pergi koper saya, bener kan? Saya masih inget muka kamu, kecuali kalau udah sebulan nggak ketemu, pasti saya lupa."
Perasaan tadi nyebutnya lo-gue, sekarang berlagak sopan banget. Lagi jaga image?
Calista sempat membatin, tatapannya datar. "Saya nggak nyuri koper Bapak, lagian koper saya juga ada di Bapak, kan. Berarti Bapak juga nyuri koper saya?"
"Kamu gila? Buat apa saya nyuri koper kamu."
"Saya nggak harus ngomong balik apa yang Bapak bilang barusan, kan?"
Dylan berdecak. "Kembaliin koper saya."
"Dari pertama saya bawa pulang koper itu, saya juga pengin banget kembaliin sesuatu yang bukan milik saya, tapi nggak ada kartu identitas atau apa pun yang bisa dikabari."
"Saya udah berdiri di depan kamu, jadi balikin kopernya."
Calista berdecak, kenapa pria di depannya sangat menggebu dan tidak sabaran. Ia belum menyahut lagi karena mendengar suara langkah orang lain, dan seorang OB muncul melewati mereka.
Dylan memutar arah supaya tak terlihat berinteraksi dengan Calista, pria itu berdeham ketika si OB melewatinya seakan memberi kode.
Calista memutar bola mata, ia kembali melanjutkan langkah, tapi tiba-tiba Dylan mendahului dan berdiri menghadang wanita itu.
"Mana kopernya?" desak Dylan.
"Saya pegangnya arsip, bukan koper."
"Iya saya tahu, tapi kamu harus balikin kopernya."
"Ada di rumah."
"Pulang dari kantor, saya ke rumah kamu buat ambil koper."
Calista mengernyit bingung. "Ngapain? Koper saya kan juga ada di Bapak, nggak perlu juga harus ke rumah saya."
"Terus maunya gimana?"
"Nanti ketemu aja di mana terserah, yang penting enggak di rumah."
Dylan tampak kesal, ia mengulurkan ponselnya. "Tulis nomor kamu, nanti biar janjian ketemu di mana."
"Maaf, Pak. Saya nggak hafal nomornya, handphone saya juga ketinggalan di meja. Jadi, nanti aja, ya."
Dylan terdiam tanpa mengalihkan pandang dari perempuan itu, ia yakin sudah sangat menahan kesabaran untuk melakukan interaksi menyebalkan seperti ini.
Dylan menunjuk Calista. "Saya tunggu kamu kasih nomornya."
Setelah menekan kalimat tersebut, Dylan menapaki anak tangga menuju pintu yang sempat dilaluinya, Calista menoleh sesaat.
"Itu yang katanya anak bos sekaligus calon penerus perusahaan? Pak Hartono pasti sabar banget mendidik putranya yang gampang emosian, sarkasme dan pemaksa. Kok nggak ada mirip-miripnya sama Pak Hartono yang punya kesabaran tingkat dewa itu, ya?" Calista tak habis pikir jika sikap putra serta ayahnya cukup berbeda, jadi prakata 'like father like son' tak sepenuhnya benar. "Cuma muka aja yang sedikit mirip, tapi karakter jelas berbeda. Pasti dia mati-matian jaga image di depan banyak orang, nggak tahunya galak banget."
***
"Ngopi dulu biar nggak tegang banget." Anton meletakan sebuah paper cup berisi americano yang sempat dipesannya melalui satu aplikasi."Thank's." Dylan menyahut seraya menatap Anton. "Gue boleh tanya nggak?""Pasti soal Calista, ya?" Anton terbahak melihat perubahan ekspresi di wajah sahabat lamanya itu, ia mengenal baik siapa Dylan Azel, putra pemilik PT. Berlian Semesta yang akhirnya kembali dari London setelah menyelesaikan pendidikan strata duanya di sana. "Gue udah nebak dari pas elo tiba-tiba nunjuk dia sambil nyebut koper, lo itu bukan yang suka sembarangan ke orang lain.""Paham banget lo."Mereka berada di ruang kerja Dylan, tempat yang sudah disiapkan sejak lama—jauh sebelum pria itu kembali ke Indonesia, dan kemungkinan besar takkan lama lagi Dylan akan menduduki kursi CEO yang masih ditempati Hartono.Dylan beranjak, ia mendekat ke arah kaca tebal yang hampir mengelilingi keseluruhan ruang kerjanya, kantor yang memiliki lima belas lantai tersebut layak disebut sebagai gedu
Kesibukan utama Calista setiap pagi adalah mengantar Ardio ke sekolah, bocah itu sudah menginjak usia Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio takkan sendiri jika Calista sudah berangkat ke kantor, sebab sudah ada Suster Agita yang dipekerjakan untuk menjaga Ardio hingga Calista kembali dari kantor.Calista berjongkok mengecup kening Ardio sebelum membagi nasihat setiap pagi yang selalu Ardio dengar tanpa membantah."Dio belajar yang rajin ya, jangan nakal sama teman, terus bekalnya dimakan." Tiga poin utama sebagai bingkisan suara untuk Ardio."Baik, Bunda. Terima kasih banyak, Bunda."Calista tersenyum, ia beranjak menatap Agita yang sudah berdiri di samping Ardio. "Saya berangkat sekarang, ya. Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa.""Baik, Bu. Hati-hati di jalan.""Okey." Saat ia memasuki mobil, Ardio berlari menuju halaman sekolah diikuti Agita, suara klakson terdengar sebelum mobil menyingkir dari sisi jalan.***Di area parkir kantor, mobil Calista baru saja berhenti tepat di samping rubic
Calista mengetuk pintu ruang kerja Dylan, pria itu menyahut dari dalam, Calista masuk seraya membawa nampan berisi secangkir kopi yang sempat dibuatnya.Dylan menatap wanita itu dimulai ketika pintu terbuka hingga meletakan kopi di samping komputernya."Ini kopinya, Pak. Saya permis—""Saya cobain dulu, ya." Dylan menyela. Calista diam membiarkan pria itu mewujudkan perkataannya, Dylan meneguk pelan kopi dengan uap menguar membaui indra penciuman."Ini enak," komentar Dylan setelah melatakan gelasnya."Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya bisa per—""Nanti kalau misal saya pengin kopi lagi, kamu bisa kan buatin terus?""Hah?" Calista semakin tak habis pikir dengan tingkah Dylan. "Tapi, saya bukan sekretaris Pak Dylan, saya juga bukan office girl di kantor ini." Terlalu kesal membuat Calista harus mengutarakannya."Saya tahu kalau keduanya memang bukan kamu kok, kamu di sini sebagai public relation, saya juga tahu, Anton kan pernah bilang. Cuma ...." Dylan menggantungnya seraya menata
Situasi di area tunggu bandara siang ini tampak lengang, beberapa manusia terlihat berlalu-lalang di depan mata, sementara Calista menunggu supir jemputannya mengabari, jadi ia masih bertahan duduk sendiri tanpa seorang pun di sampingnya.Calista baru kembali dari Yogyakarta setelah mengantar orangtuanya pulang, mereka sempat berada di Jakarta sekitar seminggu, lantas pulang dengan berat hati karena beberapa pekerjaan tak pernah siap ditinggalkan."Kok kebelet ya," gumam Calista, perempuan berambut sebahu itu beranjak, ia memiliki sebuah koper biru navy menempel pada kursi di sampingnya. "Kalau aku ke toilet sekarang, nanti kopernya sendirian. Nggak ada yang nungguin, kalau dibawa juga aneh deh, masa bawa koper ke toilet." Ia berdecak sekaligus kebingungan.Dari jarak sekitar tiga meter, seorang pria dengan jaket hitam serta topi di kepalanya terlihat menarik koper dari arah berlawanan, sepertinya ia juga baru tiba setelah mengudara dari tempat lain.Si pria bertopi melewati Calista,
Calista mengetuk pintu ruang kerja Dylan, pria itu menyahut dari dalam, Calista masuk seraya membawa nampan berisi secangkir kopi yang sempat dibuatnya.Dylan menatap wanita itu dimulai ketika pintu terbuka hingga meletakan kopi di samping komputernya."Ini kopinya, Pak. Saya permis—""Saya cobain dulu, ya." Dylan menyela. Calista diam membiarkan pria itu mewujudkan perkataannya, Dylan meneguk pelan kopi dengan uap menguar membaui indra penciuman."Ini enak," komentar Dylan setelah melatakan gelasnya."Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya bisa per—""Nanti kalau misal saya pengin kopi lagi, kamu bisa kan buatin terus?""Hah?" Calista semakin tak habis pikir dengan tingkah Dylan. "Tapi, saya bukan sekretaris Pak Dylan, saya juga bukan office girl di kantor ini." Terlalu kesal membuat Calista harus mengutarakannya."Saya tahu kalau keduanya memang bukan kamu kok, kamu di sini sebagai public relation, saya juga tahu, Anton kan pernah bilang. Cuma ...." Dylan menggantungnya seraya menata
Kesibukan utama Calista setiap pagi adalah mengantar Ardio ke sekolah, bocah itu sudah menginjak usia Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio takkan sendiri jika Calista sudah berangkat ke kantor, sebab sudah ada Suster Agita yang dipekerjakan untuk menjaga Ardio hingga Calista kembali dari kantor.Calista berjongkok mengecup kening Ardio sebelum membagi nasihat setiap pagi yang selalu Ardio dengar tanpa membantah."Dio belajar yang rajin ya, jangan nakal sama teman, terus bekalnya dimakan." Tiga poin utama sebagai bingkisan suara untuk Ardio."Baik, Bunda. Terima kasih banyak, Bunda."Calista tersenyum, ia beranjak menatap Agita yang sudah berdiri di samping Ardio. "Saya berangkat sekarang, ya. Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa.""Baik, Bu. Hati-hati di jalan.""Okey." Saat ia memasuki mobil, Ardio berlari menuju halaman sekolah diikuti Agita, suara klakson terdengar sebelum mobil menyingkir dari sisi jalan.***Di area parkir kantor, mobil Calista baru saja berhenti tepat di samping rubic
"Ngopi dulu biar nggak tegang banget." Anton meletakan sebuah paper cup berisi americano yang sempat dipesannya melalui satu aplikasi."Thank's." Dylan menyahut seraya menatap Anton. "Gue boleh tanya nggak?""Pasti soal Calista, ya?" Anton terbahak melihat perubahan ekspresi di wajah sahabat lamanya itu, ia mengenal baik siapa Dylan Azel, putra pemilik PT. Berlian Semesta yang akhirnya kembali dari London setelah menyelesaikan pendidikan strata duanya di sana. "Gue udah nebak dari pas elo tiba-tiba nunjuk dia sambil nyebut koper, lo itu bukan yang suka sembarangan ke orang lain.""Paham banget lo."Mereka berada di ruang kerja Dylan, tempat yang sudah disiapkan sejak lama—jauh sebelum pria itu kembali ke Indonesia, dan kemungkinan besar takkan lama lagi Dylan akan menduduki kursi CEO yang masih ditempati Hartono.Dylan beranjak, ia mendekat ke arah kaca tebal yang hampir mengelilingi keseluruhan ruang kerjanya, kantor yang memiliki lima belas lantai tersebut layak disebut sebagai gedu
"Mbak Calista tahu nggak kalau hari ini anaknya bos bakal masuk kantor?" Setelah memprovokasi karyawati sebelumnya untuk bergosip, sekarang Aulia mencoba melakukan hal yang sama pada Calista, mereka berada di depan mesin fotocopy."Masuk aja? Nggak keluar lagi?" Perkataan Calista terdengar rancu, tapi mengartikan jika ia tak peduli."Ih, kok Mbak Calista jawabnya gitu. Geli tahu.""Geli kenapa?" Calista mengumpulkan beberapa lembar hasil fotocopy yang sudah keluar. "Saya ada di ruangan saya kalau kamu cari ya." Ia menyingkir begitu saja, rayuan Aulia tak berarti apa-apa.Mungkin kesialan sedikit mengusik Calista, sebab meskipun ia tetap berusaha tak terpengaruh, tapi situasi ramai di sekitar kubikel karyawan tak jauh dari ruang kerjanya justru ramai oleh kehadiran Anton serta seorang pria berjas maroon yang belum Calista lihat wajahnya."Ada apa ramai-ramai di sana?" tanya Calista pada seorang OB saat baru muncul di dekat pintu."Itu Pak Anton ngajak keliling anaknya si bos supaya leb
Situasi di area tunggu bandara siang ini tampak lengang, beberapa manusia terlihat berlalu-lalang di depan mata, sementara Calista menunggu supir jemputannya mengabari, jadi ia masih bertahan duduk sendiri tanpa seorang pun di sampingnya.Calista baru kembali dari Yogyakarta setelah mengantar orangtuanya pulang, mereka sempat berada di Jakarta sekitar seminggu, lantas pulang dengan berat hati karena beberapa pekerjaan tak pernah siap ditinggalkan."Kok kebelet ya," gumam Calista, perempuan berambut sebahu itu beranjak, ia memiliki sebuah koper biru navy menempel pada kursi di sampingnya. "Kalau aku ke toilet sekarang, nanti kopernya sendirian. Nggak ada yang nungguin, kalau dibawa juga aneh deh, masa bawa koper ke toilet." Ia berdecak sekaligus kebingungan.Dari jarak sekitar tiga meter, seorang pria dengan jaket hitam serta topi di kepalanya terlihat menarik koper dari arah berlawanan, sepertinya ia juga baru tiba setelah mengudara dari tempat lain.Si pria bertopi melewati Calista,