Situasi di area tunggu bandara siang ini tampak lengang, beberapa manusia terlihat berlalu-lalang di depan mata, sementara Calista menunggu supir jemputannya mengabari, jadi ia masih bertahan duduk sendiri tanpa seorang pun di sampingnya.Calista baru kembali dari Yogyakarta setelah mengantar orangtuanya pulang, mereka sempat berada di Jakarta sekitar seminggu, lantas pulang dengan berat hati karena beberapa pekerjaan tak pernah siap ditinggalkan."Kok kebelet ya," gumam Calista, perempuan berambut sebahu itu beranjak, ia memiliki sebuah koper biru navy menempel pada kursi di sampingnya. "Kalau aku ke toilet sekarang, nanti kopernya sendirian. Nggak ada yang nungguin, kalau dibawa juga aneh deh, masa bawa koper ke toilet." Ia berdecak sekaligus kebingungan.Dari jarak sekitar tiga meter, seorang pria dengan jaket hitam serta topi di kepalanya terlihat menarik koper dari arah berlawanan, sepertinya ia juga baru tiba setelah mengudara dari tempat lain.Si pria bertopi melewati Calista,
"Mbak Calista tahu nggak kalau hari ini anaknya bos bakal masuk kantor?" Setelah memprovokasi karyawati sebelumnya untuk bergosip, sekarang Aulia mencoba melakukan hal yang sama pada Calista, mereka berada di depan mesin fotocopy."Masuk aja? Nggak keluar lagi?" Perkataan Calista terdengar rancu, tapi mengartikan jika ia tak peduli."Ih, kok Mbak Calista jawabnya gitu. Geli tahu.""Geli kenapa?" Calista mengumpulkan beberapa lembar hasil fotocopy yang sudah keluar. "Saya ada di ruangan saya kalau kamu cari ya." Ia menyingkir begitu saja, rayuan Aulia tak berarti apa-apa.Mungkin kesialan sedikit mengusik Calista, sebab meskipun ia tetap berusaha tak terpengaruh, tapi situasi ramai di sekitar kubikel karyawan tak jauh dari ruang kerjanya justru ramai oleh kehadiran Anton serta seorang pria berjas maroon yang belum Calista lihat wajahnya."Ada apa ramai-ramai di sana?" tanya Calista pada seorang OB saat baru muncul di dekat pintu."Itu Pak Anton ngajak keliling anaknya si bos supaya leb
"Ngopi dulu biar nggak tegang banget." Anton meletakan sebuah paper cup berisi americano yang sempat dipesannya melalui satu aplikasi."Thank's." Dylan menyahut seraya menatap Anton. "Gue boleh tanya nggak?""Pasti soal Calista, ya?" Anton terbahak melihat perubahan ekspresi di wajah sahabat lamanya itu, ia mengenal baik siapa Dylan Azel, putra pemilik PT. Berlian Semesta yang akhirnya kembali dari London setelah menyelesaikan pendidikan strata duanya di sana. "Gue udah nebak dari pas elo tiba-tiba nunjuk dia sambil nyebut koper, lo itu bukan yang suka sembarangan ke orang lain.""Paham banget lo."Mereka berada di ruang kerja Dylan, tempat yang sudah disiapkan sejak lama—jauh sebelum pria itu kembali ke Indonesia, dan kemungkinan besar takkan lama lagi Dylan akan menduduki kursi CEO yang masih ditempati Hartono.Dylan beranjak, ia mendekat ke arah kaca tebal yang hampir mengelilingi keseluruhan ruang kerjanya, kantor yang memiliki lima belas lantai tersebut layak disebut sebagai gedu
Kesibukan utama Calista setiap pagi adalah mengantar Ardio ke sekolah, bocah itu sudah menginjak usia Taman Kanak-Kanak, tapi Ardio takkan sendiri jika Calista sudah berangkat ke kantor, sebab sudah ada Suster Agita yang dipekerjakan untuk menjaga Ardio hingga Calista kembali dari kantor.Calista berjongkok mengecup kening Ardio sebelum membagi nasihat setiap pagi yang selalu Ardio dengar tanpa membantah."Dio belajar yang rajin ya, jangan nakal sama teman, terus bekalnya dimakan." Tiga poin utama sebagai bingkisan suara untuk Ardio."Baik, Bunda. Terima kasih banyak, Bunda."Calista tersenyum, ia beranjak menatap Agita yang sudah berdiri di samping Ardio. "Saya berangkat sekarang, ya. Jangan lupa telepon kalau ada apa-apa.""Baik, Bu. Hati-hati di jalan.""Okey." Saat ia memasuki mobil, Ardio berlari menuju halaman sekolah diikuti Agita, suara klakson terdengar sebelum mobil menyingkir dari sisi jalan.***Di area parkir kantor, mobil Calista baru saja berhenti tepat di samping rubic