Ceklek Suara pintu di kamar terbuka, namun Alice larut dalam lamunan dan dia hanya merebahkan tubuhnya di tempat tidur membelakangi pintu yang terbuka. "Selamat pagi, Sayang. Ini sarapan untukmu. Ayo, makan dulu." Gavin membawa nampan berisi makanan dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur. Alice tidak menjawab, hanya diam saja. 'Apa dia masih tidur?' pikir Gavin. Gavin melangkah ke sudut tempat wajah Alice menghadap, dia ingin mencari tahu. Namun, yang terlihat bukanlah Alice yang sedang tidur. Matanya sembab, bengkak dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas. Dia tampak sehabis menangis dan tidak tidur semalaman. Kejadian yang menimpanya, membuatnya syok. Alice kesulitan untuk tidur. Pelecehan yang dialaminya trus membekas dalam ingatannya. Hampir saja Mario berhasil memperkosanya, jika saja Gavin tidak segera datang. Setelah kejadian itu, Alice dibawa pulang ke rumah Gavin. Alice pun setuju untuk ikut, karena takut jika dia tidak bisa menyembuny
"Darimana kamu tahu kalau rumahku di sini? Kamu menguntitku?" Alice tiba-tiba menyadari bahwa Gavin mengantar dia sampai kerumahnya, tanpa bertanya ataupun meminta alamat rumahnya. Gavin menggaruk hidungnya dengan kebingungan dan salah tingkah, "Sebenarnya...Sebenarnya aku memasang aplikasi yang menunjukkan keberadaanmu. Telepon seluler milikmu terhubung dengan telepon seluler milikku." Alice ingin marah, tapi mengingat kembali apa yang terjadi. Tanpa aplikasi itu, mungkin Alice tidak akan ditemukan dengan cepat. "Jadi itu sebabnya, kamu tahu aku berada di mana? Jangan-jangan di bandara Thurad waktu itu kamu menyadari bahwa orang yang berhoodie itu adalah aku?" Alice kemudian mengingatnya. Gavin mengangguk, "Ya! Aku tahu itu kamu." Gavin mengakuinya. Alice kemudian keluar dari dalam mobil Gavin, melangkah menuju pintu rumahnya. Gavin juga keluar dari mobilnya, dengan tebal muka menyusuli Alice dan berjalan di sisinya. Kini mereka berdiri berdampingan di depan pintu rumah. Alice
"ARRGGGHHH SIALAN!" BUAK PRANK Peter Aldimor menendang meja di ruang kerjanya yang dilapisi kaca dari kristal hingga terbalik dan pecah. "Bagaimana bisa anak itu melakukan kebodohan seperti ini? Dan kalian? Bagaimana bisa kalian membiarkannya melakukan kebodohan seperti itu?!" Peter Aldimor memaki Dias dan Hulman. Dia sangat marah karena Mario tertangkap di Casia. Untung saja dia masih mampu meredam pemberitaannya. Jika tidak, pemberitaan itu akan sungguh sangat memalukan bagi Peter, putra dari Perdana Menteri Albain ditangkap di Casia. "Mahaguru, kami sudah mencegahnya. Namun dia sangat terobsesi pada Alpha. Dia bersikeras, dan menyusun rencananya dengan matang. Kami pikir itu akan berhasil, kami tidak menyangka bahwa ini akan_" Dias mencoba memberi penjelasan, namun perkataannya belum sempat dia selesaikan. "AKAN GAGAL?! BEGITU MAKSUD KALIAN?!" Peter mengatur napasnya yang terengah-engah karena amarah. "Aku mengatur semua rencana dengan Raja Paul selama berpuluh tahu
"Selamat pagi, Ibu!" Sapa Gavin ketika Sera membukakan pintu rumah untuknya. Hari ini, Gavin pagi sekali sudah ke rumah Alice. "Selamat pagi, Nak! Ayo masuk, kebetulan kami sedang sarapan." Sera menyambut menantunya itu dengan ramah. "Terimakasih, Ibu Mertua." Seru Gavin yang kemudian berjalan melewati pintu masuk rumah. Namun, suara seseorang menyapa ketika dia akan menutup pintu rumah. "Permisi, selamat pagi! Ah, halo Tuan Gavin Welbert." Gavin melihat kepada pria yang berdiri di hadapannya, "Halo, Tuan Liam Sanders!". "Halo, Nak Liam!" Sera yang masih berdiri disana juga menyapa Liam. "Bolehkah aku bertemu dengan Alice, Bibi?" tanya Liam, menatap kepada Sera. "Tentu, silahkan masuk. Mari kita sarapan bersama. Oh, ternyata ada Jake juga. Mari, semuanya masuk. Alice sekarang ada di meja makan." Ada kecanggungan di antara ketiga pria tersebut. Sejak semula Gavin cemburu kepada Jake. Namun, ketika dia mengingat-ingat lagi dengan benar, bukan Jake lah saingannya yang se
"Sial! Kenapa di saat seperti ini ban mobil tiba-tiba bocor?" Alice merasa kesal, di tengah perjalanannya ke bandara, ban mobilnya malah bocor. Alice mengganti ban serep secepat mungkin, lalu dia bergegas melanjutkan perjalanan ke bandara. Sesampainya di bandara, Alice segera bertanya kepada staf informasi, "Permisi, apakah pesawat pribadi milik Gavin Welbert sudah berangkat?" "Iya, Nona. Pesawat baru saja lepas landas." "Baik, terimakasih." 'Ah, aku terlambat. Dia sudah pergi,' batin Alice. Alice kemudian membeli tiket dengan tujuan Albain. Penerbangan menuju Albain masih sekitar 2 jam lagi. "Tunggulah aku, Gavin!" gumam Alice sambil melihat ke arah tiket yang dipegangnya. * * * "Selamat datang, Tuan Muda." Gary menyambut kedatangan Gavin. Gavin mengikuti langkah pria paruh baya itu menuju ke kamar Berti Welbert. "Mengapa Kakek tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanya Gavin sambil melangkah di sisi Gary. "Tuan Besar tidak mau. Aku sudah berupaya membujuknya.
Ddrrttt drrrtt"Ugh, siapa yang menelepon di tengah malam begini?"Gavin menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, berjalan menuju ke arah sofa dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana."Ya, Gary?""Tuan Muda, sepertinya Tuan Besar sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Bisakah kamu kemari sekarang?""Ya, aku segera ke sana!"Gavin mengakhiri panggilannya dan menatap sendu kepada Alice yang juga terbangun karena dering ponselnya."Alice, Kakek_dia_""Gantilah pakaianmu, ayo kita segera kesana!" Alice juga beranjak dari tempat tidur, mengambil sembarang kaos dan celana di lemari untuk dikenakannya.Ketika keduanya telah siap, mereka beranjak segera dan berangkat menuju ke rumah yang ditinggali Kakeknya.Hanya dalam waktu lima menit mereka telah sampai. Gavin dan Alice melangkah besar menuju ke kamar Berti Welbert.CeklekGavin dan Alice masuk ke dalam kamar. Di sana juga terlihat Gerard, Laura dan juga Selena.Berti tengah bersusah payah berbicara kepada Gerard, mulutnya t
"Tuan Gavin, semua dokumen dan prosedur yang diperlukan telah selesai. Saham milik Tuan Gerard dan Nyonya Laura kini semuanya atas nama Anda," ujar pengacara keluarga Welbert seraya merapikan berkas-berkas yang telah ditandatangani oleh Gerard dan Laura. "Bagus, semua saham kalian sudah dialihkan kepadaku. Mulai sekarang, aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Jangan berani-berani kembali ke Albain, atau aku akan memenjarakan kalian. Aku punya semua bukti yang kuperlukan untuk membawa kalian pada hukuman mati." Kata-kata Gavin sangat dingin dan tegas. Dia menatap tajam kepada Gerard, Laura, dan juga Selena. Wajah angkuh Gerard yang biasanya, tidak nampak lagi. Wajahnya dipenuhi dengan penyesalan. "Gavin, aku berjanji akan segera pergi setelah pemakaman Ayah. Kumohon, biarkan aku mengantarkan kepergiannya untuk terakhir kali." "Apa kamu sangat tidak tahu diri?" mata Gavin menghunus tajam ke arah Gerard. "Tapi_bagaimanapun juga aku adalah_" "Kamu adalah pembunuh! Ses
"Gavin, aku turut berdukacita atas kehilanganmu. Paman Berti adalah seorang yang berwibawa dan sangat baik. Meski aku tidak dekat dengannya, tapi aku percaya dia adalah seorang yang penuh kasih sayang. Dia rela melepas tahtanya demi wanita yang dicintai, itu sangat luarbiasa." "Ya, Paman. Kakek adalah seorang yang amat penyayang." Gavin dan Alice tampak sangat tenang di hadapan orang nomor satu di negara Albain. Ya, dialah Paul Welbert, Raja Albain saat ini. Di sisinya berdiri sang Ratu Albain, Lusy Breed. Lusy Breed adalah adik dari Raja Filepi. Itu artinya dia juga adalah seorang wanita bangsawan terhormat. "Tentunya setelah kepergian Paman, tugasmu akan semakin berat Gavin. Sekarang kamu lah yang memegang kendali penuh atas keluarga Welbert kita." "Lalu, em..dimana Gerard? Dan Laura? Mengapa aku tidak melihatnya sama sekali sedari tadi? Bukankah dia yang akan menerima mandat sebagai pemegang kunci emas kerajaan selanjutnya? Karena dia adalah putra satu-satunya dari Paman."
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me