"Selamat pagi, Ibu!" Sapa Gavin ketika Sera membukakan pintu rumah untuknya. Hari ini, Gavin pagi sekali sudah ke rumah Alice. "Selamat pagi, Nak! Ayo masuk, kebetulan kami sedang sarapan." Sera menyambut menantunya itu dengan ramah. "Terimakasih, Ibu Mertua." Seru Gavin yang kemudian berjalan melewati pintu masuk rumah. Namun, suara seseorang menyapa ketika dia akan menutup pintu rumah. "Permisi, selamat pagi! Ah, halo Tuan Gavin Welbert." Gavin melihat kepada pria yang berdiri di hadapannya, "Halo, Tuan Liam Sanders!". "Halo, Nak Liam!" Sera yang masih berdiri disana juga menyapa Liam. "Bolehkah aku bertemu dengan Alice, Bibi?" tanya Liam, menatap kepada Sera. "Tentu, silahkan masuk. Mari kita sarapan bersama. Oh, ternyata ada Jake juga. Mari, semuanya masuk. Alice sekarang ada di meja makan." Ada kecanggungan di antara ketiga pria tersebut. Sejak semula Gavin cemburu kepada Jake. Namun, ketika dia mengingat-ingat lagi dengan benar, bukan Jake lah saingannya yang se
"Sial! Kenapa di saat seperti ini ban mobil tiba-tiba bocor?" Alice merasa kesal, di tengah perjalanannya ke bandara, ban mobilnya malah bocor. Alice mengganti ban serep secepat mungkin, lalu dia bergegas melanjutkan perjalanan ke bandara. Sesampainya di bandara, Alice segera bertanya kepada staf informasi, "Permisi, apakah pesawat pribadi milik Gavin Welbert sudah berangkat?" "Iya, Nona. Pesawat baru saja lepas landas." "Baik, terimakasih." 'Ah, aku terlambat. Dia sudah pergi,' batin Alice. Alice kemudian membeli tiket dengan tujuan Albain. Penerbangan menuju Albain masih sekitar 2 jam lagi. "Tunggulah aku, Gavin!" gumam Alice sambil melihat ke arah tiket yang dipegangnya. * * * "Selamat datang, Tuan Muda." Gary menyambut kedatangan Gavin. Gavin mengikuti langkah pria paruh baya itu menuju ke kamar Berti Welbert. "Mengapa Kakek tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanya Gavin sambil melangkah di sisi Gary. "Tuan Besar tidak mau. Aku sudah berupaya membujuknya.
Ddrrttt drrrtt"Ugh, siapa yang menelepon di tengah malam begini?"Gavin menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, berjalan menuju ke arah sofa dan mengambil ponselnya yang tergeletak di sana."Ya, Gary?""Tuan Muda, sepertinya Tuan Besar sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Bisakah kamu kemari sekarang?""Ya, aku segera ke sana!"Gavin mengakhiri panggilannya dan menatap sendu kepada Alice yang juga terbangun karena dering ponselnya."Alice, Kakek_dia_""Gantilah pakaianmu, ayo kita segera kesana!" Alice juga beranjak dari tempat tidur, mengambil sembarang kaos dan celana di lemari untuk dikenakannya.Ketika keduanya telah siap, mereka beranjak segera dan berangkat menuju ke rumah yang ditinggali Kakeknya.Hanya dalam waktu lima menit mereka telah sampai. Gavin dan Alice melangkah besar menuju ke kamar Berti Welbert.CeklekGavin dan Alice masuk ke dalam kamar. Di sana juga terlihat Gerard, Laura dan juga Selena.Berti tengah bersusah payah berbicara kepada Gerard, mulutnya t
"Tuan Gavin, semua dokumen dan prosedur yang diperlukan telah selesai. Saham milik Tuan Gerard dan Nyonya Laura kini semuanya atas nama Anda," ujar pengacara keluarga Welbert seraya merapikan berkas-berkas yang telah ditandatangani oleh Gerard dan Laura. "Bagus, semua saham kalian sudah dialihkan kepadaku. Mulai sekarang, aku harap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Jangan berani-berani kembali ke Albain, atau aku akan memenjarakan kalian. Aku punya semua bukti yang kuperlukan untuk membawa kalian pada hukuman mati." Kata-kata Gavin sangat dingin dan tegas. Dia menatap tajam kepada Gerard, Laura, dan juga Selena. Wajah angkuh Gerard yang biasanya, tidak nampak lagi. Wajahnya dipenuhi dengan penyesalan. "Gavin, aku berjanji akan segera pergi setelah pemakaman Ayah. Kumohon, biarkan aku mengantarkan kepergiannya untuk terakhir kali." "Apa kamu sangat tidak tahu diri?" mata Gavin menghunus tajam ke arah Gerard. "Tapi_bagaimanapun juga aku adalah_" "Kamu adalah pembunuh! Ses
"Gavin, aku turut berdukacita atas kehilanganmu. Paman Berti adalah seorang yang berwibawa dan sangat baik. Meski aku tidak dekat dengannya, tapi aku percaya dia adalah seorang yang penuh kasih sayang. Dia rela melepas tahtanya demi wanita yang dicintai, itu sangat luarbiasa." "Ya, Paman. Kakek adalah seorang yang amat penyayang." Gavin dan Alice tampak sangat tenang di hadapan orang nomor satu di negara Albain. Ya, dialah Paul Welbert, Raja Albain saat ini. Di sisinya berdiri sang Ratu Albain, Lusy Breed. Lusy Breed adalah adik dari Raja Filepi. Itu artinya dia juga adalah seorang wanita bangsawan terhormat. "Tentunya setelah kepergian Paman, tugasmu akan semakin berat Gavin. Sekarang kamu lah yang memegang kendali penuh atas keluarga Welbert kita." "Lalu, em..dimana Gerard? Dan Laura? Mengapa aku tidak melihatnya sama sekali sedari tadi? Bukankah dia yang akan menerima mandat sebagai pemegang kunci emas kerajaan selanjutnya? Karena dia adalah putra satu-satunya dari Paman."
Beberapa hari setelah pemakaman Berti Welbert, kehidupan kembali berjalan seperti biasanya bagi Gavin dan juga Alice. Seperti biasa di akhir pekan, Alice dan Gavin menghabiskan waktu di rumah dengan bersantai dan menikmati waktu bersama. "Gavin, aku jenuh di rumah terus tanpa melakukan pekerjaan apa pun." "Lalu, kamu ingin melakukan apa Sayang? Kamu bisa jalan-jalan atau pergi belanja jika merasa jenuh." Gavin lupa jika istrinya bukanlah jenis wanita pada umumnya yang gemar menghabiskan waktu dengan berbelanja ataupun ke tempat perawatan kecantikan. "Bagaimana jika_aku melatih bodyguard kita. Yah setidaknya dalam keadaan terdesak, kemampuan bertarung mereka lebih baik dari biasanya." "Boleh, lakukanlah sesuka hatimu." Gavin sedikit tidak menyangka dengan permintaan Alice. Oh ya, dia lupa jika istrinya seorang jenderal perang. "Ah ya, bagaimana jika Weni dan pelayan lainnya juga ikut berlatih untuk sekedar membela diri?" Weni yang sedang meletakkan cemilan dan teh di atas
"Weni, Gary, dan pelayan yang berusia 50an keatas lainnya, berbarislah di garis ini." Alice memerintahkan mereka berdiri di tempat yang telah disiapkannya untuk latihan menembak. Alice membagikan masing-masing satu senjata api kepada Weni, Gary dan 5 orang lainnya. "Nyo_nya_ apakah ini senjata api asli?" Weni merasa gugup, karena ini pertama kalinya dia memegang senjata api. Berbeda dengan Gary, dia tampak tenang memegang senjata api di tangannya. "Akan aku ajarkan caranya, buka kokangnya arahkan tangan yang kalian rasa paling mampu untuk menopang bidikan akurat, lalu tangan lainnya menahan dibawah tangan yang akan kalian gunakan untuk menarik pelatuknya. Seperti ini." Alice membidik sasaran tembak, dan terdengar beberapa kali dentuman peluru. Dor dor dor Seluruh tembakan Alice mengenai titik sasaran di lingkaran paling akurat. "Ini adalah senjata canggih, sekali kalian membuka kokang, kalian bisa menekan pelatuk dan menembakkan hingga 6 peluru. Ayo, Weni, cobalah!" We
"Bagus Weni, setelah seminggu ini kamu mengalami peningkatan yang signifikan." Alice senang karena Weni berhasil menembak sasaran tembak secara akurat sebanyak 30 kali. Meski tidak semua peluru mendarat tepat di tengah.Alice mengamati 4 sasaran tembak lainnya, "Wow, hasil tembakan kalian tidak kalah menakjubkan," pujinya."Sekarang berlatihlah gerakan bela diri yang telah kuajarkan kemarin. Ulangi sebanyak 30 kali."Alice kemudian beranjak menuju James, para bodyguard dan pelayan. Mereka tampak terengah-engah setelah menyelesaikan outbond dalam target 4 menit. Alice memeriksa satu persatu penghitung waktu yang telah dikumpulkan di keranjang."Sayang sekali, Gulf lagi-lagi tidak mendapat teman untuk bermain bersama di kandang." Alice menyeringai licik.Rasa takut membuat seseorang berjuang lebih keras, begitu pula James dan yang lainnya. Mereka lebih takut jika dilempar ke dalam kandang Gulf, itulah sebabnya mereka berusaha mati-matian mencapai target."Nyonya, sampai kapan kami akan