"Kumohon jawab aku!”
Suara itu bergetar, sekalipun terdengar keras. Ekspresi panik tampak jelas di wajah Alice saat melihat darah yang bercucuran di kepala saudara kembarnya. Tampak keadaan Elisa yang memprihatinkan. Seluruh wajahnya berlumuran darah karena hidung dan pelipisnya yang terluka. Beberapa saat lalu, Alice melihat sendiri mobil yang dikendarai adik kembarnya menabrak pembatas jalan tol dengan keras. “El–” Ucapan Alice terhenti saat ia melihat kelopak mata Elisa yang kini ada di dekapannya perlahan terbuka. “A-Alice ….” Suara Elisa nyaris tidak terdengar. Dengan lemah, wanita itu mengangkat tangannya yang berlumur darah untuk mengusap wajah Alice. “Maafkan aku … karena sudah merebut t-tempatmu ….” Usai mengatakan kalimat yang membuat Alice bingung tersebut, Elisa jatuh tidak sadarkan diri, meninggalkan Alice begitu saja. Beberapa saat yang lalu …. “Kamu sekarang sudah menikah?” Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Alice meninggalkan rumahnya untuk mengejar mimpi, meninggalkan perintah wasiat sang ayah untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Sejak saat itu, Alice tidak pernah berhubungan dengan siapa pun dari negara ini. Hingga akhirnya ia kembali, setelah sukses dan mampu membuktikan dirinya. Ia berniat mendatangi kediaman lamanya untuk menjemput ibu dan adik kembarnya. “Eh, iya,” balas Elisa, tersenyum pada Alice, tampak sedikit kikuk. “Aku sudah punya suami.” Melihat itu, Alice mengerutkan dahinya sejenak, ada hal yang berbeda dari senyuman adiknya. Namun, bisa jadi itu karena mereka lama tidak bertemu dan mengobrol seperti ini. Untuk menutupi kecanggungan itu, Alice mulai bertanya, "Apakah adik iparku seorang yang baik? Apa dia tampan?" "Nanti kukenalkan," jawab Elisa dengan tatapan mata lembutnya. Masih sama seperti dulu. "Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Bagaimana petualangan yang kamu impikan selama ini?" Alice yang peka tahu kalau Elisa berusaha mengalihkan topik. Tapi, ia pura-pura saja tidak peduli dan menjawab pertanyaan Elisa dengan ringan. "Setidaknya hidupku lebih menarik daripada harus menerima perjodohan wasiat Ayah itu," jawab Alice, lalu meneguk kopinya. "Semua baik-baik saja kan, setelah pembatalan pernikahan itu?" Anehnya, setelah pertanyaan itu terucap, Alice melihat bola mata Elisa bergerak gelisah. "Emm, Alice ... aku–" Sebelum Elisa menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba telepon milik Elisa berdering. Dia segera mengangkat panggilan itu. "Ha–" Ucapan Elisa langsung terpotong, entah apa yang diucapkan lawan bicaranya di seberang sana. Wajah wanita itu berubah pucat, tangannya pun tampak menggenggam erat ponsel. Alice merasa ada yang tidak beres di sana. "B-baik, a-aku akan segera pulang." Alice mengernyit. "Kenapa?" "Alice, maafkan aku." Elisa buru-buru bangkit dari kursi. "Ibu mertuaku memintaku untuk segera pulang. Kita akan melanjutkan pembicaraan kita lain kali. Bolehkah?" "Tentu saja, aku sekarang punya banyak waktu luang untuk bertemu denganmu Elisa." Alice dan Elisa sama-sama berdiri dan berpelukan. Namun, ada hal aneh yang dirasakan Alice ketika dia memeluk Elisa. Pakaian adiknya itu terasa longgar, seakan Elisa tidak mengenakan baju sesuai dengan ukuran tubuhnya. Lalu, bagaimana bisa adiknya ini begitu kurus? Alice tidak ingat Elisa sekurus ini di ingatannya. Puncaknya, Alice melihat ada tanda kebiruan di bahu Elisa, saat ia memeluk sang adik tersebut. Pada momen baju Elisa yang kebesaran sedikit tersingkap. "Elisa, bahumu...." Elisa sepertinya menyadari. Ia buru-buru melepaskan pelukan sambil membenarkan pakaiannya. Ia pun segera pergi dari sana sebelum Alice menanyakannya. "Elisa, tunggu!" “Ada apa dengan Elisa? Memar apa itu?” pikir Alice. Elisa adalah wanita yang lembut dan berhati-hati. Ia juga sangat teliti dan telaten dalam merawat tubuhnya. Tidak mungkin itu hanya memar karena terbentur sesuatu. Wajah Elisa yang tiba-tiba pucat, sikapnya yang aneh, hingga memar itu, Alice mulai berpikiran tidak enak. Elisa yang dilihatnya tadi seperti orang asing. Wanita itu memang masih terlihat lembut, tapi tidak ada sinar di matanya. Alice kemudian memutuskan untuk mengejar Elisa. Dia ingin mencari tahu apa yang adik kembarnya alami. Apakah itu berhubungan dengan pernikahannya? Kalau benar, Alice tidak akan tinggal diam. Alice memasuki mobilnya dan segera berkendara menyusul laju mobil Elisa yang sudah sampai di depan lampu merah. Pada awalnya laju mobil Elisa masih stabil, sampai akhirnya memasuki jalan tol, lajunya bergerak semakin aneh dan tak terkendali, lalu menabrak pembatas tol. *** “DOKTER! DOKTER!” Alice langsung berteriak begitu sampai di rumah sakit. Teriakan Alice yang keras itu pun mengundang perhatian. Dan tak lama kemudian, Elisa langsung mendapatkan penanganan. Alice mengusap wajahnya sambil menahan tangis. Bukan ini sambutan yang ia inginkan ketika kembali pulang setelah membangun karier militernya di luar negeri. Apalagi Elisa kecelakaan tepat di depan matanya. ‘Elisa tidak mungkin seceroboh itu dalam mengemudi. Dia anak yang hati-hati…’ Alice bergumam dalam hati. Kecelakaan Elisa ini agak mencurigakan baginya. Seseorang dengan seragam rumah sakit menghampiri Alice. “Nona, apakah Anda kerabat pasien?” tanya seorang petugas pelayanan. Alice mengangguk, “Iya, dia adalah adikku.” “Silakan menyelesaikan administrasi data pasien dan pembayarannya,” ujar petugas pelayanan itu dengan ramah. Alice membuka tas Elisa yang memang masih dibawa adiknya ketika kecelakaan. Alice baru mengambilnya ketika Elisa dibawa ke UGD. Ia mencari kartu identitas Elisa untuk mengurus pembayaran administrasi. Tidak banyak barang yang Elisa bawa, hanya ponsel dan sebuah dompet kecil berisi kartu identitas dan uang 300 ribu. Ketika dia menemukan kartu identitas yang ada di dompet Elisa, tertulis nama 'Alice Welbert'. Dahi Alice berkerut. "Kenapa dia memakai namaku?"Alice Welbert.Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amar
Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil. Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya. "Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai. Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan. "Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya. Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini,
"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. Duk! Duk! Duk! Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. "Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar."Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura."Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung."Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan d
"Alice, pergilah kemakam keluarga. Kamu harus berlutut pada leluhur selama seharian,"perintah Laura tepat setelah terdengar mobil Gavin meninggalkan halaman rumah. "Kenapa aku harus berlutut? Memangnya apakesalahanku?""Tidak usahmembantah, ikuti saja perintah Mama kalau kamu tidak ingin mendapat hukumanlebih berat!" perintah Selena.Tanpa belas kasihan,Alice diseret ke sebuah area pemakaman leluhur yang ada di belakang resort itu.Makam leluhur terletak di kawasan perumahan keluarga Welbert dan paling dekatdengan rumah utama.Keluarga Welbert membuatresort perumahan khusus untuk ditinggali seluruh anggota keluarga Welbertdengan tanah seluas 10.000 hektar. Laura dan Selena pun tinggal di rumah milikmereka sendiri yang masih berada di salah satu resort milik keluarga Welbert.Hanya saja mereka sangatsenang mengganggu Alice. Sehingga hampir setiap hari mereka akan mengunjungirumah Gavin untuk mengerjainya."CEPAT KAMUBERLUTUT!" perintah Laura sambil memaksa Alice berlutut
"Dimana Alice?" tanya Gavin kepada salah satu pelayan sambil membenarkan kancing lengan bajunya.Ia sudah rapi dan menggunakan tuxedo untuk pergi ke pesta. Namun begitu keluar kamar, ia tidak menemukan Alice, seperti biasanya. Lagi-lagi wanita itu membuatnya kesal."Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan," jawab pelayan itu.Gavin menghela napas panjang."Wanita itu, apakah dia sungguh tidak akan menuruti aku?" geram Gavin, kemudian melangkah besar menuju ke kamar Alice.Ceklek!Sesampainya Gavin di depan pintu kamar Alice, terdengar pintu kamar didorong terbuka. Ucapan dingin yang sudah tertahan di ujung lidah Gavin pun harus tertahan.Wanita itu telah siap dengan rambut yang dibuat sebagian terangkat. Dia menggunakan gaun long sleeve berwarna hitam, dengan kerah V yang memperlihatkan sedikit dadanya.Gaun itu memiliki belahan di salah satu sisi roknya, yang menonjolkan kaki indahnya.Kesan pertama yang terlihat adalah berani, seksi, cantik dan menggoda.Wajahnya yang dirias, menonjolka
"Halo, apakah kamu Alice Rayes?" tanya Tania Mace. Ia adalah putri kedua dari pengusaha real estate di kota itu dan juga merupakan keponakan dari Perdana Menteri. Alice hanya sekedar melihatnya, kemudian mengangguk dan tersenyum. "Dia sepertinya gugup dan takut untuk berbicara dengan kita, makanya dia diam saja," ujar salah satu wanita lainnya yang bernama Lina dengan bahasa Perancis kepada mereka. "Ya, orang bodoh dan tidak berpendidikan sepertinya memiliki nyali untuk hadir di pesta orang kaya dan kelas atas seperti ini, dia sungguh tidak sadar diri," ujar Melly dalam bahasa Perancis juga. "Bukankah kamu istri dari Gavin? Mengapa kamu hanya duduk di sini sendirian?" tanya Tania lagi kepada Alice dengan wajah yang dibuat terlihat sangat ramah. "Sudahlah Tania, kita tidak perlu berpura-pura ramah kepada orang kampung itu," Lina masih berbicara dalam bahasa Perancis. "Lagipula tentu saja karena dia diabaikan oleh Gavin. Gavin tidak pernah memperdulikan dia. Dia diajak kemari han
"Argh, dasar wanita kampung sialan!" gerutu Tania sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Kini mereka telah bersih sepenuhnya dari noda lumpur air danau. Bahkan tubuh Lina masih agak gemetar karena merasakan dinginnya air danau itu. Melly sedang mengeringkan rambutnya yang basah, dia tidak ingin terkena flu. Cuaca saat ini sedang semakin dingin karena memasuki musim gugur. "Darimana kamu tahu bahwa Alice tidak bisa berbahasa asing, Tan? Kenyataannya dia berpura-pura bodoh mendengar kita membicarakan dirinya, lalu kemudian berbalik menjebak kita." Lina merasa tidak terima dengan kejadian hari ini, betapa memalukannya. Banyak orang yang hadir di dalam pesta dan melihatnya basah kuyup dan kotor karena lumpur. "Ya, seharusnya bukan kita yang dipermalukan, tapi wanita kampung itu!" sahut Melly dengan geram. "Apa kalian lihat? Bahkan Tuan Muda Gavin yang konon katanya tidak memperdulikan istrinya itu, juga lebih mempercayai dia ketimbang kita." Setelah mereka memikirkannya, Alice
"Sial!" umpat Alice. Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu. Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu. Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice. "Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin. Gavin segera menuju ke kamar Alice. Duk duk duk "Alice, buka pintunya!" perintah Gavin. Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka. Gavin mulai kehilangan kesabarannya. Duk duk duk "Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...." Ceklek "Ada apa sih? Malam-malam begini." Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai. Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan. Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu. Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice. "Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa