Alice Welbert.
Dua kata itu terus berputar di kepala Alice. Ia duduk merenung di depan ruang operasi sambil memikirkan kartu identitas milik Elisa.‘Fotonya foto Elisa, tapi kenapa dia memakai namaku?’ gumam Alice. Adegan kecelakaan itu saja masih meninggalkan tanda tanya, sekarang ditambah dengan identitas Elisa yang mencurigakan.“Bos!”Alice mengangkat kepala ketika mendengar suara yang familiar. Itu adalah Jake, bawahannya.Tanpa bangun dari duduk, Alice bertanya, “Jadi bagaimana?”“Saya sudah mengurus semuanya,” jawab Jake, masih berdiri di sebelah Alice. “Seperti dugaan Anda, ada yang janggal dari kecelakaan Nona Elisa.”Alice menelan air liurnya yang terasa pahit. Tangannya terkepal kuat. Beberapa saat yang lalu, ia memang menghubungi Jake untuk menyelidiki kasus kecelakaan Elisa.Alice mengangkat kepala, menatap Jake dengan matanya yang memerah. “Aku minta laporan lengkapnya, secepatnya.”Jake mengangguk. “Baik, Bos.”Jake pun meninggalkan Alice yang masih gemetar menahan amarah. Ia mengangkat pandangannya, melihat lampu ruang operasi yang masih menyala.‘Elisa… sebenarnya apa yang terjadi kepadamu selama ini?’Kepalan tangan Alice menguat.“Alice!”Panggilan itu membuat Alice mendongak ke sumber suara. Ia mendapati sesosok wanita paruh baya yang tengah menatapnya dengan pandangan merendahkan.‘Siapa…?’ batin Alice. Ia tidak mengenali wanita itu."Sepertinya kamu tidak kenapa-kenapa," ucap wanita paruh baya tersebut setelah mengamati Alice selama beberapa waktu, terdengar ketus."Iya, Ma, dia terlihat baik-baik saja,” sahut seorang gadis, berusia sekitar 20 tahun. Wajahnya cukup cantik, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih dengan menggunakan pakaian, tas, dan perhiasan bermerek edisi terbatas."Sepertinya telepon darurat itu hanya berlebihan, Gavin. Istrimu tampaknya baik-baik saja."Wanita paruh baya itu kembali berkata, kini menoleh pada satu-satunya pria yang datang bersamanya.Wajahnya tampan, dengan bentuk tubuh tidak kalah saing bak model internasional. Kulit kuning kecokelatan sangat sangat serasi dengan warna rambut dan iris matanya yang juga berwarna senada.Mata mereka beradu, tapi pikiran Alice langsung terfokus pada ucapan si wanita paruh baya sebelumnya.“Istri?” batin Alice. Seketika otaknya menghubungkan kejadian-kejadian yang ada. “Mereka berpikir bahwa aku adalah Elisa.”“Ayo, kita pulang,” ucap pria itu pada Alice dengan dingin, sebelum kemudian berbalik badan. Keseluruhan orangnya menampakkan aura tidak ramah.Dua wanita asing yang ada di sana ikut berbalik, tapi Alice masih tidak bergerak."Alice! Apa lagi yang kamu tunggu!?" sentak wanita paruh baya itu, setengah membentak. Ia menarik tangan Alice dengan kasar.Hal tersebut membuat Alice terkejut. Begitu banyak yang ingin Alice tanyakan, tapi ia menahan diri sekuat tenaga.Apakah orang-orang ini ada sangkut pautnya dengan kejanggalan kecelakaan sang adik dan kartu identitas Elisa yang menggunakan namanya?‘Elisa, aku akan mendapatkan jawabannya.’Mereka sampai di depan rumah sakit. Beberapa mobil mewah telah terparkir di sana. Pria tadi melangkah ke arah sebuah mobil Rolls Royce, dan pergi begitu saja meninggalkan mereka di sana.Alice menatap kepergian pria itu. ‘Dia yang paling mencurigakan di sini. Apalagi dia tidak berkata apa pun sedari tadi,’ gumam Alice dalam hati."Ayo, cepat masuk! Tunggu apa lagi sih kamu?" perintah gadis muda itu sambil mendorong kasar Alice masuk ke dalam mobil.Ketika Alice didorong masuk ke mobil dengan kasar, Alice melihat Jake masih berdiri di sebelah mobilnya. Terlihat Jake akan berlari mendatangi mereka, tapi Alice segera memberi isyarat kepada Jake agar tenang dan membiarkannya ikut dengan mereka.“Tidak sekarang,” batin wanita itu. Untungnya, bawahannya tersebut mengerti isyaratnya.Alice sekarang duduk di tengah dengan dihimpit kedua wanita itu."Argh, aku kesal! Kamu hanya membuang-buang waktuku saja. Kenapa kamu tidak mati saja sana!" geram wanita paruh baya itu sambil mendorong-dorong kepala Alice dengan telunjuknya."Iya, padahal aku sedang di salon tadi, baru separuh perawatan, dapat kabar kalau mobilmu kecelakaan dan rusak parah! Tapi ternyata kamu masih hidup dan baik-baik saja."Gadis muda itu mengguncang-guncang tubuh Alice dengan kasar.‘Apakah perlakuan seperti ini yang selalu kamu terima, Elisa?’ ujar Alice dalam hati, menahan kekesalan.Alice mencoba merangkai kata-kata mereka sedari tadi satu per satu. Mereka berkata Alice adalah istri pria bernama Gavin tadi. Gadis ini pun memanggil wanita ini dengan sebutan ‘mama’.Nama ‘Gavin’ terdengar tidak asing di telinga Alice. Itu seperti orang yang ingin dijodohkan dengannya beberapa tahun lalu, sebelum dia kabur ke luar negeri. Lantas, bagaimana Elisa bisa terlibat dengan mereka?Alice terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak sadar ketika mobil memasuki resort yang sangat mewah. Pada gerbang jalan menuju resort itu terdapat plang mewah bertuliskan 'WELBERT'.‘WELBERT?!’ Alice terbelalak. Ternyata benar, mereka adalah dari keluarga Welbert, keluarga yang ingin dijodohkan dengannya 10 tahun lalu.Setelah mobil berhenti, supir membukakan pintu. Gadis yang akhirnya Alice ketahui bernama Selena itu keluar terlebih dahulu. Dengan tidak sabar dia menarik paksa tangan Alice agar segera keluar dari mobil. Alice mengikuti langkah kedua wanita itu dan masuk ke dalam rumah. Ketika kedua wanita itu duduk di kursi sofa, Alice juga akan duduk di kursi sofa yang ada di sisi lainnya. "Hei, siapa yang memperbolehkan kamu duduk di atas kursi? Tempatmu adalah di bawah, bukan duduk sejajar dengan kami," ujar Laura, wanita paruh baya itu, menunjuk ke arah lantai. Alice diam sejenak. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diperlakukan sehina ini. Lalu, mungkin karena Alice terus diam, Selena menarik Alice untuk duduk di lantai, di dekat kaki kedua wanita itu seperti pelayan. "Kemari, pijat kakiku sekarang juga!" Selena menyodorkan kakinya. Alice mengepalkan tangannya. ‘Apa-apaan ini?! Kalau benar Elisa menikah dengan Gavin, itu artinya Elisa adalah kakak iparnya. Kurang ajar sekali gadis muda ini,
"ALICE! ALICE! CEPAT BANGUN!" Alice menggeram saat mendengar Laura berteriak dengan kencang dari depan pintu kamarnya. Alice yang sebenarnya sudah terbangun sedari tadi, kini sedang bermeditasi. Alice melihat jam dinding. Ini baru jam 6 pagi. Duk! Duk! Duk! Sekarang, terdengar gedoran pintu kamar. "ALICE! CEPAT BANGUN BUAT SARAPAN! AKU DAN MAMA SUDAH KELAPARAN." Itu suara Selena.Alice menarik napas panjang dan menyelesaikan kegiatannya. Ia kemudian bergegas ke pintu dan membukanya. "Ada apa kalian sepagi ini sudah berisik di depan pintu kamarku?" tanyanya dengan sabar."Kok kamu bertanya 'ada apa?' Jam berapa sekarang? Seharusnya kamu sudah menyiapkan sarapan sedari tadi, dan kami sudah melahapnya sekarang!" omel Laura."Loh? Bukannya di rumah ini ada puluhan pelayan rumah tangga? Kenapa harus aku yang membuatkan sarapan?" tanya Alice bingung."Kamu linglung ya setelah kecelakaan? Kenapa jadi melupakan tugas kamu?" seru Selena.Untuk beberapa saat, Alice hanya beradu pandangan d
"Alice, pergilah kemakam keluarga. Kamu harus berlutut pada leluhur selama seharian,"perintah Laura tepat setelah terdengar mobil Gavin meninggalkan halaman rumah. "Kenapa aku harus berlutut? Memangnya apakesalahanku?""Tidak usahmembantah, ikuti saja perintah Mama kalau kamu tidak ingin mendapat hukumanlebih berat!" perintah Selena.Tanpa belas kasihan,Alice diseret ke sebuah area pemakaman leluhur yang ada di belakang resort itu.Makam leluhur terletak di kawasan perumahan keluarga Welbert dan paling dekatdengan rumah utama.Keluarga Welbert membuatresort perumahan khusus untuk ditinggali seluruh anggota keluarga Welbertdengan tanah seluas 10.000 hektar. Laura dan Selena pun tinggal di rumah milikmereka sendiri yang masih berada di salah satu resort milik keluarga Welbert.Hanya saja mereka sangatsenang mengganggu Alice. Sehingga hampir setiap hari mereka akan mengunjungirumah Gavin untuk mengerjainya."CEPAT KAMUBERLUTUT!" perintah Laura sambil memaksa Alice berlutut
"Dimana Alice?" tanya Gavin kepada salah satu pelayan sambil membenarkan kancing lengan bajunya.Ia sudah rapi dan menggunakan tuxedo untuk pergi ke pesta. Namun begitu keluar kamar, ia tidak menemukan Alice, seperti biasanya. Lagi-lagi wanita itu membuatnya kesal."Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan," jawab pelayan itu.Gavin menghela napas panjang."Wanita itu, apakah dia sungguh tidak akan menuruti aku?" geram Gavin, kemudian melangkah besar menuju ke kamar Alice.Ceklek!Sesampainya Gavin di depan pintu kamar Alice, terdengar pintu kamar didorong terbuka. Ucapan dingin yang sudah tertahan di ujung lidah Gavin pun harus tertahan.Wanita itu telah siap dengan rambut yang dibuat sebagian terangkat. Dia menggunakan gaun long sleeve berwarna hitam, dengan kerah V yang memperlihatkan sedikit dadanya.Gaun itu memiliki belahan di salah satu sisi roknya, yang menonjolkan kaki indahnya.Kesan pertama yang terlihat adalah berani, seksi, cantik dan menggoda.Wajahnya yang dirias, menonjolka
"Halo, apakah kamu Alice Rayes?" tanya Tania Mace. Ia adalah putri kedua dari pengusaha real estate di kota itu dan juga merupakan keponakan dari Perdana Menteri. Alice hanya sekedar melihatnya, kemudian mengangguk dan tersenyum. "Dia sepertinya gugup dan takut untuk berbicara dengan kita, makanya dia diam saja," ujar salah satu wanita lainnya yang bernama Lina dengan bahasa Perancis kepada mereka. "Ya, orang bodoh dan tidak berpendidikan sepertinya memiliki nyali untuk hadir di pesta orang kaya dan kelas atas seperti ini, dia sungguh tidak sadar diri," ujar Melly dalam bahasa Perancis juga. "Bukankah kamu istri dari Gavin? Mengapa kamu hanya duduk di sini sendirian?" tanya Tania lagi kepada Alice dengan wajah yang dibuat terlihat sangat ramah. "Sudahlah Tania, kita tidak perlu berpura-pura ramah kepada orang kampung itu," Lina masih berbicara dalam bahasa Perancis. "Lagipula tentu saja karena dia diabaikan oleh Gavin. Gavin tidak pernah memperdulikan dia. Dia diajak kemari han
"Argh, dasar wanita kampung sialan!" gerutu Tania sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Kini mereka telah bersih sepenuhnya dari noda lumpur air danau. Bahkan tubuh Lina masih agak gemetar karena merasakan dinginnya air danau itu. Melly sedang mengeringkan rambutnya yang basah, dia tidak ingin terkena flu. Cuaca saat ini sedang semakin dingin karena memasuki musim gugur. "Darimana kamu tahu bahwa Alice tidak bisa berbahasa asing, Tan? Kenyataannya dia berpura-pura bodoh mendengar kita membicarakan dirinya, lalu kemudian berbalik menjebak kita." Lina merasa tidak terima dengan kejadian hari ini, betapa memalukannya. Banyak orang yang hadir di dalam pesta dan melihatnya basah kuyup dan kotor karena lumpur. "Ya, seharusnya bukan kita yang dipermalukan, tapi wanita kampung itu!" sahut Melly dengan geram. "Apa kalian lihat? Bahkan Tuan Muda Gavin yang konon katanya tidak memperdulikan istrinya itu, juga lebih mempercayai dia ketimbang kita." Setelah mereka memikirkannya, Alice
"Sial!" umpat Alice. Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu. Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu. Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice. "Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin. Gavin segera menuju ke kamar Alice. Duk duk duk "Alice, buka pintunya!" perintah Gavin. Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka. Gavin mulai kehilangan kesabarannya. Duk duk duk "Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...." Ceklek "Ada apa sih? Malam-malam begini." Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai. Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan. Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu. Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice. "Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa
Di pagi hari seperti biasanya Alice bermeditasi. Hanya ini yang bisa dilakukannya sementara ini. Biasanya dia akan berolahraga dan melatih kemampuan bertarungnya. Namun dia tidak bisa melakukannya selama dia tinggal di kediaman Welbert. Alice membuka gorden kamarnya. Kebetulan jendela kamar dan balkon kamar Alice tepat menghadap ke arah taman belakang. Taman belakang rumah ini dihiasi dengan berbagai macam tanaman dan bunga-bunga yang indah. Semua yang ada di sana ditata dengan sangat terampil dan rapi. "Eh, sedang apa orang-orang itu?" Alice mengamati beberapa orang yang sedang berlalu lalang disana dengan menggunakan pakaian bertuliskan 'Teknisi Kamera Pengawas'. "Sial, pria itu sepertinya memergokiku semalam. Sekarang tidak ada lagi titik buta kamera pengawas di sekeliling rumah ini." "Huh, dia waspada juga." Duk duk duk "Nyonya, Tuan Gavin, Nyonya Laura, dan Nona Selena sedang menunggu di meja makan," panggil Weni dari depan pintu kamar Alice. "Aish! Aku benar-benar bersusa