"Alice, pergilah ke makam keluarga. Kamu harus berlutut pada leluhur selama seharian," perintah Laura tepat setelah terdengar mobil Gavin meninggalkan halaman rumah.
"Kenapa aku harus berlutut? Memangnya apa kesalahanku?"
"Tidak usah membantah, ikuti saja perintah Mama kalau kamu tidak ingin mendapat hukuman lebih berat!" perintah Selena.
Tanpa belas kasihan, Alice diseret ke sebuah area pemakaman leluhur yang ada di belakang resort itu. Makam leluhur terletak di kawasan perumahan keluarga Welbert dan paling dekat dengan rumah utama.
Keluarga Welbert membuat resort perumahan khusus untuk ditinggali seluruh anggota keluarga Welbert dengan tanah seluas 10.000 hektar. Laura dan Selena pun tinggal di rumah milik mereka sendiri yang masih berada di salah satu resort milik keluarga Welbert.
Hanya saja mereka sangat senang mengganggu Alice. Sehingga hampir setiap hari mereka akan mengunjungi rumah Gavin untuk mengerjainya.
"CEPAT KAMU BERLUTUT!" perintah Laura sambil memaksa Alice berlutut di sebuah makan mewah berhiaskan marmer mahal dan beberapa perhiasan.
Alice pun menurut dan berlutut dengan sukarela. Dia sedang malas berdebat dengan kedua wanita jahat dan licik itu. Pikirannya masih mengarah pada Elisa dan kecelakaan. Pikirnya, semakin cepat memuaskan ego kedua wanita itu, semakin cepat dia bisa membongkar semua ini.
"Jangan berdiri sebelum aku memperbolehkan kamu berdiri!" ujar Laura, yang kemudian menarik tangan Selena pergi dari sana.
Selena menatap ke arah Alice yang bersujud, dia menjulurkan lidahnya mengejek Alice. Walaupun sudah menjauh, Alice masih bisa mendengar kata-kata dua orang itu.
"Ma, aku tidak mau teman-temanku bertemu dengan Alice di pesta. Mereka pasti akan mengejekku karena punya ipar yang penampilan dan wajahnya kampungan seperti itu."
"Tenang saja, kita biarkan dia berlutut selama 6 jam. Setelah dia kelelahan, lalu kita akan pecuti punggungnya berkali-kali. Jadi dia akan pingsan dan tidak bisa pergi ke pesta ulang tahun Perdana Menteri.”
“Lagipula, Gavin hanya membutuhkan 25 persen saham yang diwariskan Roland Rayes. Kakakmu hanya ingin memperkuat posisinya di perusahaan, tidak peduli dengan wanita kampungan itu. Kamu tidak perlu khawatir," ujar Laura kemudian, yang membuat Alice mengepalkan tangannya di tanah.
***
Semua mengira bahwa Alice yang saat ini telah berlutut hampir selama 6 jam pasti sudah sangat lelah dan menderita. Namun mereka salah, Alice sekarang bukanlah Alice yang mereka kenal dulu.
Alice bisa mendengar langkah Selena dan Laura mendekat.
"Saatnya menerima hukumanmu selanjutnya," ujar Laura sambil mengayunkan pecut di tangannya.
Alice diam saja, masih berlutut dan menundukkan kepala.
"Hei, Alice! Kenapa kamu diam saja?" ujar Selena.
"ALICE? APA KAMU TULI?" ujar Laura merasa kesal karena Alice diam saja.
Selena mendekat dan berjongkok untuk melihat wajah Alice yang tertunduk diam. "Ma, Mama... Alice sepertinya tertidur.”
"Mana mungkin?" Laura ikut berjongkok dan melihat wajah Alice.
Namun tiba-tiba, Alice membuka matanya dan menatap tajam dua wanita itu. Sontak saja mereka berteriak. Alice sungguh ingin tertawa melihat itu, tapi ia kembali menahan diri.
"Sialan kamu Alice, membuat orang kaget saja!" bentak Laura.
Alice menatap mereka dengan wajah polos dan tidak merasa bersalah. "Bukankah aku sudah berlutut selama 6 jam? Sekarang aku sudah bebas pergi."
Alice hendak bangkit berdiri, namun terdengar suara teriakan Laura. "SUDAH KUKATAKAN BAHWA KAMU BARU BOLEH BERDIRI KALAU AKU YANG SURUH BERDIRI!"
Alice kemudian mengurungkan niatnya, dia kembali berlutut di lantai.
"Sekarang kamu bersiaplah menerima 60 cambukan dari kami," ujar Laura yang mengayun-ayunkan pecut di tangannya.
Alice membulat, bukan karena takut, tapi karena terkejut dengan perlakuan dua wanita ini. Bukankah itu berarti Elisa sering mendapat perlakuan seperti ini? Kurang ajar!
Amarah Alice tidak bisa ditahan lagi. Ia tidak mau berpura-pura menjadi Alice yang penurut dan lemah. Ketika Laura mengayunkan pecutnya ke tubuh Alice, wanita itu segera menangkap tangannya. Alice menggenggam tangan Laura dengan kencang.
"KURANG AJAR! KAMU SEKARANG BERANI MELAWAN AKU YA?" teriak Laura kesal karena dia berusaha menarik pecutnya itu dari tangan Alice, namun tidak bisa terlepas.
"LEPAS!!!" teriak Selena juga sambi membantu Laura menarik tangannya.
Sekarang, wanita itu malah berusaha menampar wajah Alice. Dengan cekatan, wanita itu melirik dan menangkap tangan Selena dengan tangannya yang lain.
"Memangnya apa kesalahanku sehingga aku harus dicambuk?" ucap Alice dengan wajah dingin.
"Kamu… kamu tertidur ketika dihukum berlutut!" ucap Laura dengan tergagap. Bulu kuduknya berdiri seketika setelah mendapat tatapan dingin dari Alice.
"Bahkan aku juga masih tidak mengerti, kenapa aku harus berlutut selama 6 jam di depan makam leluhur," ujarnya sambil menatap tajam kedua ibu dan anak itu bergantian.
Selena juga merasa takut melihat tatapan Alice, aura yang dikeluarkannya seperti seseorang yang siap membunuh.
"Kamu se-sengaja… me-membuatkan sarapan yang tidak enak untuk kami!" jawab Selena dengan takut.
Alice sambil menarik kedua tangan wanita itu, sehingga mendekat kepadanya. "Aku adalah menantu di rumah ini, bukanlah pelayan yang bisa kalian perintah sesuka hati."
Setelahnya, ia mendorong tubuh keduanya sehingga mereka jatuh terduduk ke lantai.
"AAAUUUU!!!" teriak Selena dan Laura hampir bersamaan.
“Alice Wilbert.”
Alice menoleh ke belakang, dan mendapati Gavin sudah berdiri di sana dan menatapnya dengan dingin. Kali ini, Alice mulai berani membalas tatapannya. Akan ia habisi pria ini juga.
"Apa yang terjadi?" tanya Gavin.
“Mereka—"
"Kakaaakkk, Alice menyiksa aku dan Mama!" belum Alice menjawab, Selena sudah mengadu lebih dulu. Ia bahkan memasang wajah melasnya.
"Benar, Gavin, wanita ini berani memukuli aku dan Selena!" timpal Laura.
Alice mendengus. "Mereka mencoba menghukum aku dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Apakah menurutmu—"
"Sudah cukup! Sekarang kamu lebih baik bersiaplah untuk menemaniku ke pesta ulang tahun Perdana Menteri!" perintah Gavin.
Alice menatap tidak percaya kepada pria di hadapannya ini. Istrinya sendiri dibully dan diperlakukan semena-mena oleh ibu tiri dan adiknya, tapi dia diam saja dan bersikap seolah-olah hal itu tidak terjadi.
‘Kasihan sekali kamu, Elisa, harus hidup di tengah orang-orang biadab ini,’ keluh Alice dalam hati.
"Aku tidak ingin pergi. Kamu pergi saja sendiri!" jawab Alice akhirnya. Alice beranjak dari sana dan melangkah pergi menuju ke rumah utama.
"APA KAMU TIDAK MENDENGAR PERINTAHKU?" teriak Gavin kesal karena diabaikan.
Namun, Alice melangkah dengan pasti dan tidak menoleh satu kali pun. Ternyata, Gavin melangkah dengan cepat menyusul di belakang Alice. Dalam satu gerakan, pria itu berhasil mengangkat tubuh Alice dan menggendongnya seperti karung beras di bahu.
"APA-APAAN KAMU? TURUNKAN AKU SEKARANG!"
Gavin membawa Alice ke kamarnya dan melemparkan Alice ke tempat tidur. Ketika Alice hendak bangun, dia didorong kembali ketempat tidur dan tubuhnya dikungkung oleh tubuh Gavin.
“Ada apa denganmu?” tanya Gavin dingin. "Aku meminta kamu cepat bersiap dan pergi ke pesta bersamaku."
"SUDAH KUKATAKAN, AKU TIDAK MAU!" teriak Alice kesal dan mendorong dada Gavin supaya menjauh.
Namun bukannya menjauh, Gavin malah memegang kedua tangan Alice ke atas kepalanya dengan satu tangan. Dia merobek kaus Alice.
SREEEKKK!
Kulit mulus Alice terpampang dengan jelas saat ini.
"LEPASKAN AKU, DASAR KAMU PRIA MES....UHHH!"
Teriakan Alice tertahan di mulutnya karena Gavin tiba-tiba menciumnya. Tidak hanya itu, tangan panas Gavin juga mulai merayap di perut dan terus naik sampai dadanya. Mata Alice membulat. Ini pelecehan!
Sekuat apapun penolakan Alice, Gavin tetap tidak bergeming. Akhirnya, jalan terakhir yang dipilih Alice adalah menggigit bibir pria itu.
Krauk!
"Sssttt!" Gavin melepaskan ciuman karena merasa berdarah.
Alice memanfaatkan kesempatan ini untuk lepas dari kungkungan Gavin. Ia menendang perut Gavin sampai pria itu berguling di kasur.
Gavin mengusap bibirnya dengan ibu jari, lalu menatap Alice yang duduk memeluk selimut dengan tatapan penuh dendam. Gavin sedikit tertegun. Istrinya tidak pernah menatapnya seperti itu.
‘Kenapa dia berbeda?’ batin Gavin.
“KELUAR!” teriak Alice.
Teriakan Alice membuat Gavin tersadar. Pria itu pun bangkit dari kasur dan melempar paper bag yang tadi ada di meja rias ke kasur.
“Pakai gaun itu. Waktumu hanya 30 menit untuk bersiap," ujar Gavin, yang kemudian melangkah pergi dan keluar dari kamar Alice.
"Dimana Alice?" tanya Gavin kepada salah satu pelayan sambil membenarkan kancing lengan bajunya.Ia sudah rapi dan menggunakan tuxedo untuk pergi ke pesta. Namun begitu keluar kamar, ia tidak menemukan Alice, seperti biasanya. Lagi-lagi wanita itu membuatnya kesal."Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan," jawab pelayan itu.Gavin menghela napas panjang."Wanita itu, apakah dia sungguh tidak akan menuruti aku?" geram Gavin, kemudian melangkah besar menuju ke kamar Alice.Ceklek!Sesampainya Gavin di depan pintu kamar Alice, terdengar pintu kamar didorong terbuka. Ucapan dingin yang sudah tertahan di ujung lidah Gavin pun harus tertahan.Wanita itu telah siap dengan rambut yang dibuat sebagian terangkat. Dia menggunakan gaun long sleeve berwarna hitam, dengan kerah V yang memperlihatkan sedikit dadanya.Gaun itu memiliki belahan di salah satu sisi roknya, yang menonjolkan kaki indahnya.Kesan pertama yang terlihat adalah berani, seksi, cantik dan menggoda.Wajahnya yang dirias, menonjolka
"Halo, apakah kamu Alice Rayes?" tanya Tania Mace. Ia adalah putri kedua dari pengusaha real estate di kota itu dan juga merupakan keponakan dari Perdana Menteri. Alice hanya sekedar melihatnya, kemudian mengangguk dan tersenyum. "Dia sepertinya gugup dan takut untuk berbicara dengan kita, makanya dia diam saja," ujar salah satu wanita lainnya yang bernama Lina dengan bahasa Perancis kepada mereka. "Ya, orang bodoh dan tidak berpendidikan sepertinya memiliki nyali untuk hadir di pesta orang kaya dan kelas atas seperti ini, dia sungguh tidak sadar diri," ujar Melly dalam bahasa Perancis juga. "Bukankah kamu istri dari Gavin? Mengapa kamu hanya duduk di sini sendirian?" tanya Tania lagi kepada Alice dengan wajah yang dibuat terlihat sangat ramah. "Sudahlah Tania, kita tidak perlu berpura-pura ramah kepada orang kampung itu," Lina masih berbicara dalam bahasa Perancis. "Lagipula tentu saja karena dia diabaikan oleh Gavin. Gavin tidak pernah memperdulikan dia. Dia diajak kemari han
"Argh, dasar wanita kampung sialan!" gerutu Tania sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Kini mereka telah bersih sepenuhnya dari noda lumpur air danau. Bahkan tubuh Lina masih agak gemetar karena merasakan dinginnya air danau itu. Melly sedang mengeringkan rambutnya yang basah, dia tidak ingin terkena flu. Cuaca saat ini sedang semakin dingin karena memasuki musim gugur. "Darimana kamu tahu bahwa Alice tidak bisa berbahasa asing, Tan? Kenyataannya dia berpura-pura bodoh mendengar kita membicarakan dirinya, lalu kemudian berbalik menjebak kita." Lina merasa tidak terima dengan kejadian hari ini, betapa memalukannya. Banyak orang yang hadir di dalam pesta dan melihatnya basah kuyup dan kotor karena lumpur. "Ya, seharusnya bukan kita yang dipermalukan, tapi wanita kampung itu!" sahut Melly dengan geram. "Apa kalian lihat? Bahkan Tuan Muda Gavin yang konon katanya tidak memperdulikan istrinya itu, juga lebih mempercayai dia ketimbang kita." Setelah mereka memikirkannya, Alice
"Sial!" umpat Alice. Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu. Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu. Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice. "Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin. Gavin segera menuju ke kamar Alice. Duk duk duk "Alice, buka pintunya!" perintah Gavin. Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka. Gavin mulai kehilangan kesabarannya. Duk duk duk "Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...." Ceklek "Ada apa sih? Malam-malam begini." Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai. Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan. Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu. Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice. "Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa
Di pagi hari seperti biasanya Alice bermeditasi. Hanya ini yang bisa dilakukannya sementara ini. Biasanya dia akan berolahraga dan melatih kemampuan bertarungnya. Namun dia tidak bisa melakukannya selama dia tinggal di kediaman Welbert. Alice membuka gorden kamarnya. Kebetulan jendela kamar dan balkon kamar Alice tepat menghadap ke arah taman belakang. Taman belakang rumah ini dihiasi dengan berbagai macam tanaman dan bunga-bunga yang indah. Semua yang ada di sana ditata dengan sangat terampil dan rapi. "Eh, sedang apa orang-orang itu?" Alice mengamati beberapa orang yang sedang berlalu lalang disana dengan menggunakan pakaian bertuliskan 'Teknisi Kamera Pengawas'. "Sial, pria itu sepertinya memergokiku semalam. Sekarang tidak ada lagi titik buta kamera pengawas di sekeliling rumah ini." "Huh, dia waspada juga." Duk duk duk "Nyonya, Tuan Gavin, Nyonya Laura, dan Nona Selena sedang menunggu di meja makan," panggil Weni dari depan pintu kamar Alice. "Aish! Aku benar-benar bersusa
Malam harinya Alice pergi diam-diam ke ruang perawatan Elisa, saudara kembarnya. Namun, sebelumnya dia memanggil salah satu bawahannya untuk mengawasi ruang perawatan miliknya. Dia mengantisipasi, jika Gavin ataupun James tiba-tiba datang kesana untuk menjenguknya.Ketika dia membuka pintu ruang perawatan itu, tampak disana seorang gadis yang mirip dengannya. Kepalanya masih diperban, dan salah satu kaki, juga sebelah tangannya memakai gips.Bibirnya yang biasanya berwarna merah muda, tampak pucat pasi. Pada tubuhnya juga terpasang alat bantu pernapasan dan pemantauan fungsi detak jantung."Bos, ini hasil penyelidikanku tentang kecelakaan Nona Elisa," ujar Jake menyerahkan beberapa foto, dan catatan-catatan hasil investigasinya.Setiap kali membuka dan membaca lembar demi lembar, wajah Alice tampak semakin muram dan di penuhi amarah. Pada foto-foto itu tampak sehari sebelum kecelakaan, James yang merupakan orang kepercayaan Gavin mengendarai mobil Elisa dan membawanya ke bengkel. Pad
Alice mengalah dan melepaskan cengkeramannya pada tangan Selena. Namun tangan Laura menarik rambut Alice dengan kuat setelahnya."Jangan sekali-kali kamu berani melawan kepadaku dan Selena, karena aku jamin kamu tidak akan bisa menemui dia dalam keadaan hidup! Kami tidak akan memberitahukan keberadaan ibumu. Kalau berani, tanya saja kepada Gavin!"Laura kemudian melepaskan tangannya pada rambut Alice dengan mendorongnya kuat."Ayo, Sel!" Laura membawa Selena keluar dan pergi dari sana.Alice mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah karena menahan amarah. Hatinya sakit mengetahui semua hal yang menimpa ibu dan juga adiknya Elisa."Seandainya saja aku kembali lebih cepat ke Albain..ahh, hiks, hiks.." Alice kehilangan ketegarannya.'Ini sebabnya, kenapa Elisa terlihat gugup dan takut waktu Laura meneleponnya hari itu. Ini juga sebabnya Elisa menerima begitu saja setiap dirinya ditindas oleh keluarga Welbert,' batin Alice."GAVIN! TUNGGU PEMBALASANKU!"* * *Setelah beberapa hari Alic
Alice berjalan menuju ke lantai tiga. Dia sambil mengamati sekeliling dan juga jumlah kamera pengawas yang ada di sana.Sampailah Alice pada pintu ruang perpustakaan itu. Namun matanya pertama tertuju ke arah ruang kerja yang terletak di seberang.Alice mencoba mendorong pintu ruang kerja Gavin.CeklekPintu itu terbuka dengan mudah.Alice mengamati di dalam ruang kerja, tidak ada satu pun kamera pengawas yang terlihat."Pintunya terbuka dengan mudah, dan tidak ada kamera pengawas di dalam sini. Apa mungkin kamera pengawas tersembunyi?"Alice mengeluarkan alat detektor kamera dari dalam saku celananya. Dia berkeliling untuk memeriksa setiap sudut dan benda-benda."Hmmm, tidak ada satupun kamera pengawas."Alice juga memeriksa, siapa tahu ada ruang rahasia di sana.Setelah beberapa saat, dia tidak menemukan apapun yang tersembunyi di sana. Bahkan pada meja kerja dan lemari pun hanya terdapat berkas-berkas penting tentang pekerjaan saja."Tidak, dia tidak mewaspadai seisi ruangan ini. A