"Dimana Alice?" tanya Gavin kepada salah satu pelayan sambil membenarkan kancing lengan bajunya.
Ia sudah rapi dan menggunakan tuxedo untuk pergi ke pesta. Namun begitu keluar kamar, ia tidak menemukan Alice, seperti biasanya. Lagi-lagi wanita itu membuatnya kesal.
"Nyonya belum keluar dari kamar, Tuan," jawab pelayan itu.
Gavin menghela napas panjang.
"Wanita itu, apakah dia sungguh tidak akan menuruti aku?" geram Gavin, kemudian melangkah besar menuju ke kamar Alice.
Ceklek!
Sesampainya Gavin di depan pintu kamar Alice, terdengar pintu kamar didorong terbuka. Ucapan dingin yang sudah tertahan di ujung lidah Gavin pun harus tertahan.
Wanita itu telah siap dengan rambut yang dibuat sebagian terangkat. Dia menggunakan gaun long sleeve berwarna hitam, dengan kerah V yang memperlihatkan sedikit dadanya.
Gaun itu memiliki belahan di salah satu sisi roknya, yang menonjolkan kaki indahnya.
Kesan pertama yang terlihat adalah berani, seksi, cantik dan menggoda.Wajahnya yang dirias, menonjolkan setiap keindahan wajahnya dengan sempurna.
Untuk sekejap Gavin kehilangan kata-katanya, dia terpesona melihat pemandangan di hadapannya. Memang, dirinya yang memilihkan gaun itu, tapi tidak menyangka kalau aura Alice bisa berubah sedrastis ini.
Ia tidak menyangka kalau gaun hitam itu akan membuatnya tampak jauh lebih seksi. Begitu juga riasannya… sejak kapan Alice merias wajahnya begitu berani, apalagi dengan lipstik merah darah itu.
Gavin menenguk air liurnya.
"Apa kita tidak jadi pergi?” tanya Alice dengan alis terangkat.
Gavin pun berdeham, berusaha menyadarkan dirinya. Ia mengulurkan tangannya, dan segera disambut oleh Alice. Tangan wanita itu tampak begitu kecil di genggamannya.
Mobil Rolls Royce yang mereka tumpangi, melaju dengan kecepatan standard di jalanan.
Mereka tiba tepat waktu di pesta Perdana Menteri.
Beberapa gadis di sana tampak senang ketika melihat mobil Rolls Royce yang datang itu.
"Bukankah itu mobil Tuan Muda Welbert?" ujar seorang gadis.
"Benar, itu mobil miliknya," sahut gadis yang lain.
"Oh, akhirnya aku bisa melihat Tuan Muda Welbert dari dekat," ujar seorang yang lain kegirangan.
James turun terlebih dulu dari kursi pengemudi dan membukakan pintu untuk Tuan dan Nyonyanya. Gavin kemudian keluar terlebih dahulu.
"Oh Tuhan, dia sangat tampan sekali," seru gadis-gadis tadi.
Tangan Gavin menjulur memegang sesosok tangan dari dalam mobil yang akan keluar.
Sepatu hak tinggi keluar melengkapi kaki indah yang jenjang.
Ketika wanita itu keluar sepenuhnya dari dalam mobil, semua mata tertuju kepadanya.
"Siapa wanita itu?"
"Mungkin dia adalah Alice Rayes, istri dari Gavin Welbert yang konon katanya mereka dijodohkan sejak masih kecil."
"Hei, bukankah gosipnya Tuan Gavin selalu mengabaikannya. Mengapa dia membawanya kemari hari ini?"
"Mungkin Perdana Menteri yang meminta Tuan Gavin untuk mengajak serta istrinya."
"Cih, dia tidak pantas hadir disini, dia tinggal di pedesaan dan berpendidikan rendah. Pasti dia tidak akan mampu mengikuti etika pergaulan kelas atas."
Mereka bergosip dan berbisik-bisik, namun tidak dipungkiri mereka cukup takjub melihat penampilan Alice.
Selain cantik, Alice memiliki postur tubuh yang sangat proporsional.
Dia memiliki tinggi badan 168 sentimeter. Meskipun memakai hak setinggi 8 sentimeter, dia sangat serasi berjalan berdampingan bersama Gavin yang memiliki tinggi badan 187 sentimeter.
Anehnya, tidak seperti yang digosipkan orang-orang. Dia terlihat sangat santun, sopan dan sangat berpendidikan.
Alice berjalan dengan percaya diri, dia melangkah dengan gerakan yang anggun dan indah.
Keseluruhan pembawaannya, membuat gaun dan sepatu yang digunakannya bukanlah hal yang membuatnya tampak cantik, melainkan dirinya sendiri lah yang membuat perlengkapan yang digunakannya terlihat cantik.
Dia seperti telah terbiasa menghadiri pesta-pesta besar keluarga terpandang.
Attitude yang ditunjukkannya seperti dia telah menyelesaikan pelatihan tata krama bertahun-tahun. Dia terlihat sangat elegan.
"Mungkin dia telah diajari tata krama dan etika kelas atas setelah masuk ke dalam keluarga Welbert," komentar seseorang.
"Ya, mungkin saja," jawab seorang yang lainnya.
"Tentu saja dia harus mempelajarinya, jika tidak dia hanya akan mempermalukan Tuan Gavin saja."
Orang-orang terus menatap Alice dan Gavin.
Berbagai macam tatapan mereka terima.
Dan berbagai macam cemoohan hingga pujian terdengar dari mulut orang-orang di pesta itu.
Perdana Menteri menyambut Gavin dan Alice, "Selamat datang Tuan Gavin Welbert, dan ini adalah..."
"Aku adalah Alice Rayes, Tuan Aldimor. Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Perdana Menteri negara ini," sapa Alice sambil tersenyum.
Sekilas wajah Gavin menunjukkan semburat tidak senang, karena dia sebenarnya ingin mengatakan 'ini adalah istriku', akan tetapi Alice terlebih dahulu berbicara memperkenalkan dirinya.
"Istrimu ternyata wanita yang sangat cantik, Gavin," puji Perdana Menteri.
"Kamu terlalu memuji Tuan Aldimor," jawab Gavin.
"Gavin, bolehkah kita berbicara sebentar, aku ingin memperkenalkan kamu kepada beberapa orang penting. Nyonya Welbert, semoga kamu tidak keberatan jika aku membawa suamimu sebentar," ujar Perdana Menteri.
"Silahkan Tuan," Alice mengangguk setuju.
"Aku akan mengobrol sebentar dengan mereka," ujar Gavin kepada Alice.
"Oke," jawab Alice.
Dia kemudian berjalan mengitari ruang jamuan.
Dia mengambil beberapa makanan ringan ke dalam piring dan mengambil segelas anggur.
Ketika Alice sedang menikmati makanannya, datang sekelompok wanita muda mendekat ke padanya.
Alice tahu, wanita-wanita ini hanya ingin mencari masalah dengannya. Sejak kedatangannya, mereka memberikan tatapan yang sungguh jelas menampakkan rasa tidak suka terhadap Alice.
Ketika sedang mengambil makanan tadi, dia mendengar mereka membicarakan dirinya dalam bahasa Perancis.
"Halo, apakah kamu Alice Rayes?" tanya Tania Mace. Ia adalah putri kedua dari pengusaha real estate di kota itu dan juga merupakan keponakan dari Perdana Menteri. Alice hanya sekedar melihatnya, kemudian mengangguk dan tersenyum. "Dia sepertinya gugup dan takut untuk berbicara dengan kita, makanya dia diam saja," ujar salah satu wanita lainnya yang bernama Lina dengan bahasa Perancis kepada mereka. "Ya, orang bodoh dan tidak berpendidikan sepertinya memiliki nyali untuk hadir di pesta orang kaya dan kelas atas seperti ini, dia sungguh tidak sadar diri," ujar Melly dalam bahasa Perancis juga. "Bukankah kamu istri dari Gavin? Mengapa kamu hanya duduk di sini sendirian?" tanya Tania lagi kepada Alice dengan wajah yang dibuat terlihat sangat ramah. "Sudahlah Tania, kita tidak perlu berpura-pura ramah kepada orang kampung itu," Lina masih berbicara dalam bahasa Perancis. "Lagipula tentu saja karena dia diabaikan oleh Gavin. Gavin tidak pernah memperdulikan dia. Dia diajak kemari han
"Argh, dasar wanita kampung sialan!" gerutu Tania sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Kini mereka telah bersih sepenuhnya dari noda lumpur air danau. Bahkan tubuh Lina masih agak gemetar karena merasakan dinginnya air danau itu. Melly sedang mengeringkan rambutnya yang basah, dia tidak ingin terkena flu. Cuaca saat ini sedang semakin dingin karena memasuki musim gugur. "Darimana kamu tahu bahwa Alice tidak bisa berbahasa asing, Tan? Kenyataannya dia berpura-pura bodoh mendengar kita membicarakan dirinya, lalu kemudian berbalik menjebak kita." Lina merasa tidak terima dengan kejadian hari ini, betapa memalukannya. Banyak orang yang hadir di dalam pesta dan melihatnya basah kuyup dan kotor karena lumpur. "Ya, seharusnya bukan kita yang dipermalukan, tapi wanita kampung itu!" sahut Melly dengan geram. "Apa kalian lihat? Bahkan Tuan Muda Gavin yang konon katanya tidak memperdulikan istrinya itu, juga lebih mempercayai dia ketimbang kita." Setelah mereka memikirkannya, Alice
"Sial!" umpat Alice. Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu. Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu. Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice. "Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin. Gavin segera menuju ke kamar Alice. Duk duk duk "Alice, buka pintunya!" perintah Gavin. Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka. Gavin mulai kehilangan kesabarannya. Duk duk duk "Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...." Ceklek "Ada apa sih? Malam-malam begini." Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai. Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan. Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu. Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice. "Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa
Di pagi hari seperti biasanya Alice bermeditasi. Hanya ini yang bisa dilakukannya sementara ini. Biasanya dia akan berolahraga dan melatih kemampuan bertarungnya. Namun dia tidak bisa melakukannya selama dia tinggal di kediaman Welbert. Alice membuka gorden kamarnya. Kebetulan jendela kamar dan balkon kamar Alice tepat menghadap ke arah taman belakang. Taman belakang rumah ini dihiasi dengan berbagai macam tanaman dan bunga-bunga yang indah. Semua yang ada di sana ditata dengan sangat terampil dan rapi. "Eh, sedang apa orang-orang itu?" Alice mengamati beberapa orang yang sedang berlalu lalang disana dengan menggunakan pakaian bertuliskan 'Teknisi Kamera Pengawas'. "Sial, pria itu sepertinya memergokiku semalam. Sekarang tidak ada lagi titik buta kamera pengawas di sekeliling rumah ini." "Huh, dia waspada juga." Duk duk duk "Nyonya, Tuan Gavin, Nyonya Laura, dan Nona Selena sedang menunggu di meja makan," panggil Weni dari depan pintu kamar Alice. "Aish! Aku benar-benar bersusa
Malam harinya Alice pergi diam-diam ke ruang perawatan Elisa, saudara kembarnya. Namun, sebelumnya dia memanggil salah satu bawahannya untuk mengawasi ruang perawatan miliknya. Dia mengantisipasi, jika Gavin ataupun James tiba-tiba datang kesana untuk menjenguknya.Ketika dia membuka pintu ruang perawatan itu, tampak disana seorang gadis yang mirip dengannya. Kepalanya masih diperban, dan salah satu kaki, juga sebelah tangannya memakai gips.Bibirnya yang biasanya berwarna merah muda, tampak pucat pasi. Pada tubuhnya juga terpasang alat bantu pernapasan dan pemantauan fungsi detak jantung."Bos, ini hasil penyelidikanku tentang kecelakaan Nona Elisa," ujar Jake menyerahkan beberapa foto, dan catatan-catatan hasil investigasinya.Setiap kali membuka dan membaca lembar demi lembar, wajah Alice tampak semakin muram dan di penuhi amarah. Pada foto-foto itu tampak sehari sebelum kecelakaan, James yang merupakan orang kepercayaan Gavin mengendarai mobil Elisa dan membawanya ke bengkel. Pad
Alice mengalah dan melepaskan cengkeramannya pada tangan Selena. Namun tangan Laura menarik rambut Alice dengan kuat setelahnya."Jangan sekali-kali kamu berani melawan kepadaku dan Selena, karena aku jamin kamu tidak akan bisa menemui dia dalam keadaan hidup! Kami tidak akan memberitahukan keberadaan ibumu. Kalau berani, tanya saja kepada Gavin!"Laura kemudian melepaskan tangannya pada rambut Alice dengan mendorongnya kuat."Ayo, Sel!" Laura membawa Selena keluar dan pergi dari sana.Alice mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah karena menahan amarah. Hatinya sakit mengetahui semua hal yang menimpa ibu dan juga adiknya Elisa."Seandainya saja aku kembali lebih cepat ke Albain..ahh, hiks, hiks.." Alice kehilangan ketegarannya.'Ini sebabnya, kenapa Elisa terlihat gugup dan takut waktu Laura meneleponnya hari itu. Ini juga sebabnya Elisa menerima begitu saja setiap dirinya ditindas oleh keluarga Welbert,' batin Alice."GAVIN! TUNGGU PEMBALASANKU!"* * *Setelah beberapa hari Alic
Alice berjalan menuju ke lantai tiga. Dia sambil mengamati sekeliling dan juga jumlah kamera pengawas yang ada di sana.Sampailah Alice pada pintu ruang perpustakaan itu. Namun matanya pertama tertuju ke arah ruang kerja yang terletak di seberang.Alice mencoba mendorong pintu ruang kerja Gavin.CeklekPintu itu terbuka dengan mudah.Alice mengamati di dalam ruang kerja, tidak ada satu pun kamera pengawas yang terlihat."Pintunya terbuka dengan mudah, dan tidak ada kamera pengawas di dalam sini. Apa mungkin kamera pengawas tersembunyi?"Alice mengeluarkan alat detektor kamera dari dalam saku celananya. Dia berkeliling untuk memeriksa setiap sudut dan benda-benda."Hmmm, tidak ada satupun kamera pengawas."Alice juga memeriksa, siapa tahu ada ruang rahasia di sana.Setelah beberapa saat, dia tidak menemukan apapun yang tersembunyi di sana. Bahkan pada meja kerja dan lemari pun hanya terdapat berkas-berkas penting tentang pekerjaan saja."Tidak, dia tidak mewaspadai seisi ruangan ini. A
"Mau pergi kemana? Tumben kamu sudah terlihat rapi pagi ini?" tanya Gavin sambil memasukkan salad sayur ke dalam mulutnya."Mama memintaku mengambilkan pakaian pesanannya di butik pusat perbelanjaan di pinggir kota."Alice telah menyelesaikan makannya dan bersiap beranjak dari meja makan."Kebetulan pagi ini aku ada meeting di kota tetangga. Bagaimana jika....""Aku akan meminjam salah satu mobil yang ada di garasi. Aku pergi dulu. Bye."Belum selesai Gavin berbicara, Alice sudah pergi dari meja makan.Gavin menggelengkan kepalanya menatap kepergian Alice.Alice berjalan menuju garasi mobil. Di dekat pintu garasi, terdapat etalase khusus untuk menyimpan kunci mobil.'Banyak sekali kuncinya, berapa banyak mobil yang dia miliki memangnya'.Alice asal memilih dan mengambil kunci. Ketika dia melihatnya lebih dekat, dia sedikit terkejut dengan logo yang terdapat pada kuncinya.'Maybach?'"Ah, sudahlah. Pinjam sesekali juga kok."Alice membuka pintu garasi mobil. Mata Alice membulat karena t