"Halo, apakah kamu Alice Rayes?" tanya Tania Mace.
Ia adalah putri kedua dari pengusaha real estate di kota itu dan juga merupakan keponakan dari Perdana Menteri.Alice hanya sekedar melihatnya, kemudian mengangguk dan tersenyum."Dia sepertinya gugup dan takut untuk berbicara dengan kita, makanya dia diam saja," ujar salah satu wanita lainnya yang bernama Lina dengan bahasa Perancis kepada mereka."Ya, orang bodoh dan tidak berpendidikan sepertinya memiliki nyali untuk hadir di pesta orang kaya dan kelas atas seperti ini, dia sungguh tidak sadar diri," ujar Melly dalam bahasa Perancis juga."Bukankah kamu istri dari Gavin? Mengapa kamu hanya duduk di sini sendirian?" tanya Tania lagi kepada Alice dengan wajah yang dibuat terlihat sangat ramah."Sudahlah Tania, kita tidak perlu berpura-pura ramah kepada orang kampung itu," Lina masih berbicara dalam bahasa Perancis."Lagipula tentu saja karena dia diabaikan oleh Gavin. Gavin tidak pernah memperdulikan dia. Dia diajak kemari hanya sebagai bagian dari pertunjukkan, tidak lebih," ujar Melly menimpali perkataan Lina dengan menggunakan bahasa Perancis juga."Ya, aku adalah istri Gavin dan dia sekarang sedang sibuk berbicara dengan rekan-rekannya," jawab Alice dengan wajah yang ramah."Lihat, betapa bodohnya dia, dia tidak mengerti bahasa Perancis, sehingga kita dapat dengan mudah membicarakan dia tepat di depannya, dasar manusia tidak berpendidikan," sahut Melly dalam bahasa Perancis."Ayolah kawan-kawan, jangan perlihatkan wajah tidak suka kalian kepadanya dengan sangat jelas. Sekarang aku hanya ingin mengerjai dia sedikit," ujar Tania kepada kedua sahabatnya itu dalam bahasa Perancis."Alice, mari kita duduk di tepi danau itu! Pemandangan di sana sangat indah, aku akan memperkenalkan kamu kepada teman-teman ku yang lainnya," ajak Tania."Hmmm, ya boleh juga, sepertinya di sana terlihat menyenangkan. Aku akan ikut dengan kalian," ujar Alice dengan tenang."Ide bagus Tania, aku pernah mendengar dia hampir tewas tenggelam di danau buatan milik keluarga Welbert. Orang kampung ini tidak bisa berenang," ujar Melly dengan bahasa Perancis kepada Tania."Aku tidak akan membuatnya mati tenggelam, lagipula saat ini danau di sana tidak begitu dalam. Setelah mempermalukannya, kita akan menarik dia dari dalam air danau," ujar Tania mengungkapkan rencananya kepada Lina dan Melly dalam bahasa Perancis.Alice sedari tadi berjalan di belakang mengikuti mereka sambil mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apa pun.Ketika mereka sudah sampai di tepi danau, tidak ada seorangpun di sana selain mereka."Dimana teman-temanmu yang akan kamu perkenalkan kepadaku?" tanya Alice."Ah, mereka sebentar lagi akan datang," sahut Tania.Kemudian mereka mengobrol di tepi danau, sambil berdiri semakin merapat kepada Alice, yang membuat Alice akhir nya berdiri tepat di tepi danau.Tania mendekati Alice, "Oh, Alice ada sesuatu di wajahmu, coba aku lihat," ujar Tania yang kemudian berpura-pura terpeleset dan mendorong Alice.Sayangnya dia tidak menduga, Alice dengan sigap menghindari tangan Tania yang ingin mendorongnya, dan dia justru didorong balik Alice.ByuuurrrTania terjatuh ke dalam danau."Oh tidak, Tania!" seru Lina."Ish, dasar wanita kampung, kenapa kamu mendorong Tania ke dalam air?" teriak Melly yang kemudian ingin mendorong Alice kedalam air.ByurByurTerdengar dua kali suara benda jatuh masuk ke dalam danau."Ups, maafkan kesengajaan ku nona-nona. Berenang dan mandi lah sepuasnya di danau ini, supaya pikiran jahat di dalam kepala kalian tersingkir," ujar Alice dalam bahasa Perancis sambil menepuk nepuk kedua tangannya seolah membersihkan kotoran dari sana."Di..dia..dari tadi dia mengetahui pembicaraan kita," ujar Melly pucat."Arrgghh, awas saja kamu Alice!" teriak Tania."Jangan mudah memandang buku dari sampulnya adik-adik! Jangan mudah meremehkan orang lain. Aku mungkin bukanlah orang tercerdas di dunia, tapi aku juga bukan orang yang sangat bodoh," ujar Alice lagi dalam bahasa Perancis."Selamat bersenang-senang di air danau yang dingin dan berlumpur itu,'' ujar Alice dengan senang sambil melambaikan tangan.Alice berjalan kembali menuju ke dalam gedung pesta. Dia mengambil segelas anggur di sana, dia mengguncangkan gelas anggur itu secara perlahan, menyesap anggur itu dan menghirup aromanya."Dari mana saja kamu pergi, aku dari tadi mencarimu?" terdengar suara Gavin di belakangnya."Aku sehabis berjalan-jalan di tepi danau," ujar Alice."Ayo, kita pulang!" ajak Gavin.Tania, Melly, dan Lina masuk ke dalam gedung pesta dengan tubuh yang basah dan berlumpur. Mereka berjalan ke arah Gavin dan mengadu."Tuan Muda Welbert, Alice tadi mendorong kami bertiga ke dalam danau. Lihat, tubuh kami jadi kotor semua karena lumpur," ujar Tania."Benar, dia mendorong kami bertiga ke dalam danau," ujar Lina menambahkan.Gavin yang teringat ucapan Alice tadi, dia memandangi wajah tenang Alice."Benarkah kamu melakukannya?" tanya Gavin kepada Alice.Alice hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah polos tanpa rasa bersalah."Aku rasa istriku tidak mungkin mendorong kalian bertiga secara bersamaan," sahut Gavin."Tapi.." ujar Tania."Hentikan Tania, sebaiknya kamu dan teman-temanmu segera mengganti baju, jangan membuat masalah di sini!" perintah Perdana Menteri."Ba..baik Paman," sahut Tania patuh.Tania, Lina, dan Melly pun segera pergi dari sana."Maafkan keponakanku, Gavin, Alice, dia terlalu dimanjakan kakakku sehingga sikapnya seperti itu," ujar Perdana Menteri.Gavin melihat ke wajah Alice yang tenang dan sepertinya tidak mempermasalahkan kejadian barusan."Tidak apa Tuan Aldimor, kami sekarang hanya ingin pamit pulang," ujar Gavin dengan sopan."Baiklah, sampai jumpa lagi Gavin. Senang bertemu denganmu Alice," ujar Perdana Menteri.Mereka berdua kemudian melangkah pergi dari sana dan meninggalkan pesta itu."Argh, dasar wanita kampung sialan!" gerutu Tania sambil menghentakkan kakinya dengan kesal. Kini mereka telah bersih sepenuhnya dari noda lumpur air danau. Bahkan tubuh Lina masih agak gemetar karena merasakan dinginnya air danau itu. Melly sedang mengeringkan rambutnya yang basah, dia tidak ingin terkena flu. Cuaca saat ini sedang semakin dingin karena memasuki musim gugur. "Darimana kamu tahu bahwa Alice tidak bisa berbahasa asing, Tan? Kenyataannya dia berpura-pura bodoh mendengar kita membicarakan dirinya, lalu kemudian berbalik menjebak kita." Lina merasa tidak terima dengan kejadian hari ini, betapa memalukannya. Banyak orang yang hadir di dalam pesta dan melihatnya basah kuyup dan kotor karena lumpur. "Ya, seharusnya bukan kita yang dipermalukan, tapi wanita kampung itu!" sahut Melly dengan geram. "Apa kalian lihat? Bahkan Tuan Muda Gavin yang konon katanya tidak memperdulikan istrinya itu, juga lebih mempercayai dia ketimbang kita." Setelah mereka memikirkannya, Alice
"Sial!" umpat Alice. Dia dengan gesit segera berlari dan memanjat melewati bagian lain dari rumah itu. Gavin berusaha mengejar Alice, namun sayangnya dia kalah cepat dengan sosok itu. Sosok itu telah menghilang, tepat di arah kamar yang ditempati Alice. "Kemana perginya? Apa dia masuk ke kamar Alice?" gumam Gavin. Gavin segera menuju ke kamar Alice. Duk duk duk "Alice, buka pintunya!" perintah Gavin. Setelah beberapa saat, pintu kamar tidak juga kunjung dibuka. Gavin mulai kehilangan kesabarannya. Duk duk duk "Hei, Alice jika kamu tidak membuka pintunya, maka aku akan...." Ceklek "Ada apa sih? Malam-malam begini." Alice terlihat keluar dengan menggunakan piyama mandi dan rambut basahnya tergerai. Dia tampaknya sehabis berendam di air panas, wajahnya tampak kemerahan. Dia terlihat sangat seksi dan cantik dengan penampilan seperti itu. Gavin sempat terpana dan terdiam beberapa saat melihat penampilan Alice. "Emm, aku..bolehkah aku masuk ke kamarmu? Aku harus memeriksa
Di pagi hari seperti biasanya Alice bermeditasi. Hanya ini yang bisa dilakukannya sementara ini. Biasanya dia akan berolahraga dan melatih kemampuan bertarungnya. Namun dia tidak bisa melakukannya selama dia tinggal di kediaman Welbert. Alice membuka gorden kamarnya. Kebetulan jendela kamar dan balkon kamar Alice tepat menghadap ke arah taman belakang. Taman belakang rumah ini dihiasi dengan berbagai macam tanaman dan bunga-bunga yang indah. Semua yang ada di sana ditata dengan sangat terampil dan rapi. "Eh, sedang apa orang-orang itu?" Alice mengamati beberapa orang yang sedang berlalu lalang disana dengan menggunakan pakaian bertuliskan 'Teknisi Kamera Pengawas'. "Sial, pria itu sepertinya memergokiku semalam. Sekarang tidak ada lagi titik buta kamera pengawas di sekeliling rumah ini." "Huh, dia waspada juga." Duk duk duk "Nyonya, Tuan Gavin, Nyonya Laura, dan Nona Selena sedang menunggu di meja makan," panggil Weni dari depan pintu kamar Alice. "Aish! Aku benar-benar bersusa
Malam harinya Alice pergi diam-diam ke ruang perawatan Elisa, saudara kembarnya. Namun, sebelumnya dia memanggil salah satu bawahannya untuk mengawasi ruang perawatan miliknya. Dia mengantisipasi, jika Gavin ataupun James tiba-tiba datang kesana untuk menjenguknya.Ketika dia membuka pintu ruang perawatan itu, tampak disana seorang gadis yang mirip dengannya. Kepalanya masih diperban, dan salah satu kaki, juga sebelah tangannya memakai gips.Bibirnya yang biasanya berwarna merah muda, tampak pucat pasi. Pada tubuhnya juga terpasang alat bantu pernapasan dan pemantauan fungsi detak jantung."Bos, ini hasil penyelidikanku tentang kecelakaan Nona Elisa," ujar Jake menyerahkan beberapa foto, dan catatan-catatan hasil investigasinya.Setiap kali membuka dan membaca lembar demi lembar, wajah Alice tampak semakin muram dan di penuhi amarah. Pada foto-foto itu tampak sehari sebelum kecelakaan, James yang merupakan orang kepercayaan Gavin mengendarai mobil Elisa dan membawanya ke bengkel. Pad
Alice mengalah dan melepaskan cengkeramannya pada tangan Selena. Namun tangan Laura menarik rambut Alice dengan kuat setelahnya."Jangan sekali-kali kamu berani melawan kepadaku dan Selena, karena aku jamin kamu tidak akan bisa menemui dia dalam keadaan hidup! Kami tidak akan memberitahukan keberadaan ibumu. Kalau berani, tanya saja kepada Gavin!"Laura kemudian melepaskan tangannya pada rambut Alice dengan mendorongnya kuat."Ayo, Sel!" Laura membawa Selena keluar dan pergi dari sana.Alice mengepalkan kedua tangannya. Matanya memerah karena menahan amarah. Hatinya sakit mengetahui semua hal yang menimpa ibu dan juga adiknya Elisa."Seandainya saja aku kembali lebih cepat ke Albain..ahh, hiks, hiks.." Alice kehilangan ketegarannya.'Ini sebabnya, kenapa Elisa terlihat gugup dan takut waktu Laura meneleponnya hari itu. Ini juga sebabnya Elisa menerima begitu saja setiap dirinya ditindas oleh keluarga Welbert,' batin Alice."GAVIN! TUNGGU PEMBALASANKU!"* * *Setelah beberapa hari Alic
Alice berjalan menuju ke lantai tiga. Dia sambil mengamati sekeliling dan juga jumlah kamera pengawas yang ada di sana.Sampailah Alice pada pintu ruang perpustakaan itu. Namun matanya pertama tertuju ke arah ruang kerja yang terletak di seberang.Alice mencoba mendorong pintu ruang kerja Gavin.CeklekPintu itu terbuka dengan mudah.Alice mengamati di dalam ruang kerja, tidak ada satu pun kamera pengawas yang terlihat."Pintunya terbuka dengan mudah, dan tidak ada kamera pengawas di dalam sini. Apa mungkin kamera pengawas tersembunyi?"Alice mengeluarkan alat detektor kamera dari dalam saku celananya. Dia berkeliling untuk memeriksa setiap sudut dan benda-benda."Hmmm, tidak ada satupun kamera pengawas."Alice juga memeriksa, siapa tahu ada ruang rahasia di sana.Setelah beberapa saat, dia tidak menemukan apapun yang tersembunyi di sana. Bahkan pada meja kerja dan lemari pun hanya terdapat berkas-berkas penting tentang pekerjaan saja."Tidak, dia tidak mewaspadai seisi ruangan ini. A
"Mau pergi kemana? Tumben kamu sudah terlihat rapi pagi ini?" tanya Gavin sambil memasukkan salad sayur ke dalam mulutnya."Mama memintaku mengambilkan pakaian pesanannya di butik pusat perbelanjaan di pinggir kota."Alice telah menyelesaikan makannya dan bersiap beranjak dari meja makan."Kebetulan pagi ini aku ada meeting di kota tetangga. Bagaimana jika....""Aku akan meminjam salah satu mobil yang ada di garasi. Aku pergi dulu. Bye."Belum selesai Gavin berbicara, Alice sudah pergi dari meja makan.Gavin menggelengkan kepalanya menatap kepergian Alice.Alice berjalan menuju garasi mobil. Di dekat pintu garasi, terdapat etalase khusus untuk menyimpan kunci mobil.'Banyak sekali kuncinya, berapa banyak mobil yang dia miliki memangnya'.Alice asal memilih dan mengambil kunci. Ketika dia melihatnya lebih dekat, dia sedikit terkejut dengan logo yang terdapat pada kuncinya.'Maybach?'"Ah, sudahlah. Pinjam sesekali juga kok."Alice membuka pintu garasi mobil. Mata Alice membulat karena t
"Tuan, sepertinya itu Nyonya...dan..."James melihat ke arah wanita yang baru saja keluar dari mobil Bugatti La Voiture Noire berwarna hitam. Awalnya ketika dia melihat Alice, dia ingin menyampaikannya kepada Gavin. Namun setelah dia melihat bahwa seorang pria keluar dari kursi kemudi, James menjadi gugup dan terdiam.'Semoga Tuan tidak melihatnya..Semoga dia tidak mendengar apa yang aku katakan barusan,' batin James.Namun James salah. Bahkan sebelum dia mengatakannya, Gavin sudah melihat terlebih dulu sosok Alice. Dia kini menatap tajam kepada pria yang sedang bersama dengan Alice. Pria itu memiliki tinggi badan 185 sentimeter, kulitnya putih, wajahnya cukup tampan dan maskulin, dan tubuhnya meskipun kurus tapi terlihat bahwa otot-ototnya terbentuk sempurna dibalik pakaiannya."James, catat nomor kendaraan pria itu, selidiki siapa dia!"Sebuah perintah dengan aura kedinginan di dalamnya, membuat bulu tengkuk James bergidik.Gavin masih terus memandang ke arah Alice dan pria itu, hin