"Sayang, apa kamu lelah?" ujar Gavin dengan seringai licik. Alice memelototi Gavin, "Mengesalkan sekali! Apa kamu tahu bahwa ini sangat menyakitkan? Huh!" Alice sangat kesal. "Maafkan aku, kalau Brigitta tidak mendengar auara desahanmu, dia tidak akan pergi dari depan pintu kamar dan akan terus menerus mengganggu kita." "Apa? Jadi kamu sengaja membuatku menjerit?Huh dasar kamu, Gavin! Rasakan ini!" Alice mencubit pinggang Gavin karena kesal. "Au, ampun Sayang. Hentikan, ini terasa geli dan sakit." "Sudahlah, aku mau melihat ponselku, siapa tahu tadi itu telepon penting." Alice beranjak dari tempat tidur sambil memegang selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia mengambil ponselnya di sofa. Setelah Alice melihat ponselnya, alisnya agak berkerut. "Siapa yang meneleponmu?" tanya Gavin penasaran. "Panggilan dari Ibu, dan sebuah nomor ponsel yang tidak aku kenal juga menelepon berkali-kali." Alice kemudian memainkan jarinya diatas layar ponselnya dan menelepon Sera. Setelah beb
Alice menatap heran pada wanita yang saat ini duduk di ruang keluarga. Jika saja ia tidak memperhatikan dengan seksama wanita itu, dia akan berlari dan memeluknya karena mengira dia adalah ibunya, Sera.Wanita itu memiliki rambut sebahu berwarna coklat dengan tatanan rambut bergelombang dan wajahnya dirias dengan sangat terampil. Sedangkan Sera, dia tidak begitu mahir berdandan. Ibunya seringkali tampil natural tanpa riasan apa pun di wajahnya.Bahkan semakin mendekat Alice padanya, semakin dia dapat melihat perbedaan wanita paruh baya itu dengan Sera. Warna iris matanya persis seperti warna mata Alice, yakni berwarna hazel. Tubuh wanita itu juga cukup tinggi jika dibandingkan dengan Sera yang bertubuh mungil."Alice_ Putriku, akhirnya aku dapat berjumpa denganmu, Nak." Sara mendekat dan memegang kepala Alice dengan lembut."Maafkan aku, tapi Anda adalah_?" Alice merasa bingung dengan panggilan 'putriku' yang disematkan wanita itu padanya."Aku adalah Ibu kandungmu, Ansara Anabel. Aku
"Gavin, kamu tidak harus ikut menemaniku. Bukankah beberapa hari lagi akan ada konferensi di Paris. Itu adalah acara yang sangat dinantikan seluruh pemimpin mancanegara." Alice khawatir mengganggu pekerjaan Gavin. "Masih beberapa hari lagi kan? Aku masih punya waktu untuk menemanimu." "Baiklah, yang jelas bukan aku yang memaksamu." Ketika Alice dan Gavin hendak masuk ke dalam mobil milik Sara, Brigitta yang baru datang entah darimana, berlari dan menghampiri Gavin. "Gavin, kamu mau pergi kemana lagi? Aku ikut!" ujarnya bergelayut manja di tangan Gavin. Sara menatap kepada gadis itu dan kemudian menatap Alice, "Alice, siapa gadis ini?" Alice melihat dengan malas ke arah Brigitta yang bergelayut manja pada suaminya, "Konon katanya, dia adalah calon Ratu untuk Gavin Welbert, Bu." Alice memutar bola matanya. "APA?!" Sara merasa tidak terima dengan sikap Gavin pada putrinya. "Alice, mengapa kamu hanya diam saja?" Sara bertanya dengan nada agak tinggi. Alice tersenyum, "Bu,
"Gavin, lihatlah Alice. Ada keributan dari arah belakang." Sara merasa khawatir mendengar suara gaduh di bagian belakang pesawat. Gavin bergegas mendatangi Alice. Tidak disangka, Alice kini bertarung dengan 11 orang sekaligus. Gavin datang dan membantu Alice. Sekarang lebih baik, pertarungan ini lebih adil. Alice agak kewalahan juga menangani 11 orang sekaligus. BAK BUK "Argh" Suara pukulan dan erangan terdengar terus menerus. Untungnya, erangan kesakitan tidak keluar dari mulut Alice dan Gavin. Meski sesekali tubuh dan wajah Alice, juga Gavin terkena pukulan yang tidak bisa terelakkan. Namun semua orang itu akhirnya tumbang dan babak belur, bahkan sebagian pingsan karena dipukul sangat kuat. Wanita berseragam pramugari itu hendak berlari keluar dengan parasut yang sudah terpasang pada tubuhnya. Ketika ia nyaris membuka pintu darurat pesawat, Alice menendangnya hingga terkapar. Alice merobek tas parasut yang ada di punggung wanita itu dengan sekali tarikan. Alice duduk
"Alpha, lama tidak berjumpa!" Seorang pria berkulit agak gelap, bertubuh kekar, dan tinggi menyapa Alice yang baru saja turun dari pesawat pribadi kerajaan Yustan. "Matheo, lama tidak berjumpa." Alice mengulurkan tangannya berjabat tangan untuk menyapa pria itu. Matheo menjabat tangan Alice, "Alpha, aku memikirkan alasan kamu tiba-tiba mengundurkan diri sebagai jenderal pasukan elit Casia. Banyak berita yang beredar, termasuk bahwa kamu telah_ Yah, sekarang aku percaya berita itu tidak terbukti." "Hahaha, aku hanya merasa lelah dan ingin fokus pada satu hal." "Dimana orang-orang itu?" tanya Matheo. "Mereka ada di pesawat, 10 pria dan 1 wanita. Matheo, korban-korban itu, tolong bantu untuk mengurus mereka dengan layak." Yang dimaksud Alice adalah jenazah Pilot, Kopilot, dan juga para pengawal Sara. "Ya, aku akan melakukannya," jawab pria bermata besar dan berhidung mancung itu. Dia menatap para bawahannya, melambaikan tangannya dan menunjuk pesawat. Mereka mengikuti petunju
Sara berjalan menuju ke pintu kamar dan berbicara setelah membuka pintunya dengan benar, "Iya Bu, ini aku." "Apa Gavin Welbert dan Alice Welbert ikut bersamamu? Bawa lah mereka kemari, aku ingin berbicara dengan mereka, hanya kami bertiga. Kamu dan Logan boleh pergi." "Iya, Bu." Sara kemudian berbalik keluar dan mempersilahkan Gavin dan Alice untuk masuk, "Yang Mulia, silahkan masuk. Ibuku ingin bertemu dengan kalian." Gavin dan Alice melangkah masuk ke dalam kamar. Sedangkan Sara menutup pintu kamar dari luar dan mengajak Logan pergi. "Ayo, kita pergi dari sini. Ibu sepertinya tidak ingin pembicaraannya didengar oleh kita." Biar bagaimanapun, Logan tidak bisa untuk bertindak lancang melawan titah Sang Ratu. Dia pun dengan tidak rela pergi dari area kamar Ratu Isabela. Alice dan Gavin masuk ke dalam kamar Isabela. Sungguh tidak terduga, suara yang sangat tegas dan berwibawa yang didengar mereka tadi, berasal dari seorang wanita yang sudah sangat tua. Tubuhnya sangat ku
"Yang Mulia, ini kamar yang telah dipersiapkan untuk kalian." Louis menunjukkan sebuah kamar untuk Alice dan Gavin. Kamar itu sangat luas dan dipenuhi dengan furnitur mewah. Sangatlah sesuai dengan identitas negara Yustan yang terkenal akan berlimpahnya hasil pertambangan emas dan berlian. "Yang Mulia, Tuan Putri, jika perlu sesuatu hubungi aku. Di kamar ini ada sebuah telepon, jika memerlukan sesuatu tekanlah angka 5 untuk memanggilku. Selamat beristirahat." Louis kemudian pergi meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Gavin dan Alice mengamati keadaan di kamar itu. Alice tampak memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa kamar itu aman untuk ditempati. Sedangkan Gavin, pergi menuju kamar mandi. Dia membuka satu persatu lemari di sekitar wastafel. "Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Alice. "Ah, aku menemukannya." Gavin mengeluarkan sebuah kotak dari dalam lemari yang bertuliskan 'kotak obat darurat'. "Ya, aku melupakan bahwa kamu terluka karena penyerangan di pesawat. Gav
"Sayang, kenapa kamu tidak menggunakan pakaian yang lebih feminim dan berdandan cantik?" Menurut Gavin, seharusnya Alice bisa saja berpakaian dan berdandan lebih baik seperti sebelumnya yang dilakukannya setiap kali ada acara makan malam atau acara-acara penting. "Aku tahu maksudmu, seharusnya aku berpenampilan lebih baik untuk menarik simpati orang-orang di istana ini. Namun, aku ingin memperlihatkan diriku apa adanya, tanpa embel-embel Ratu Albain ataupun sebagai putri dari Ansara Anabel." Alice kini menggunakan celana panjang warna hitam berbahan stretch dan kaos polos berkerah berwarna putih. Rambutnya dikuncir tinggi. Dan dia sama sekali tidak berdandan. Kesehariannya, Alice memang seringkali tidak berdandan, dia hanya menggunakan sunscreen dan pelembab bibir. Namun, Alice memiliki bibir yang berwarna cherry dan kulit yang cerah dan merona alami seperti matahari terbenam. Bulu matanya lebat dan lentik, menambah keindahan iris matanya yang berwarna hazel. Jadi sebenarnya, mesk
"AYO, KERAHKAN TENAGA KALIAN!" Alice berteriak kencang memerintahkan para tentara pasukan elit Albain untuk melalui halang rintang yang dibuatnya di tengah-tengah hutan lebat pegunungan Albain. Ratusan tentara elit Albain itu telah melalui pelatihan Alice selama hampir 1 bulan ini. Pelatihan yang diberikan Alice benar-benar mengerikan. Sang Alpha, menciptakan neraka untuk membentuk tentara-tentara terlatih dan profesional. Ketika pelatihannya berakhir, Alice melihat kembali seluruh catatan skor dari setiap orang. "Bagus, bagus. Kalian mengalami peningkatan, meskipun hanya sedikit." Alice memuji para peserta pelatihannya. Seluruh peserta bukannya senang, mereka malah merasa merinding. Jika Alice mengucapkan kata 'peningkatan sedikit' itu artinya, besok harinya akan dibuat sebuah rintangan pelatihan yang baru dan lebih sulit. "Ada apa dengan wajah kalian? Mengapa di wajah kalian aku melihat ada 'keluhan'?" Alice menatap barisan tentara itu satu persatu. "TIDAK, YANG MULIA RATU!
Alice melangkah perlahan di komplek pemakaman dengan memegang seikat karangan bunga Krisan Putih di tangannya. Langkahnya terhenti di sebuah makam keluarga yang terlihat masih baru. Tanahnya masih basah, belum ditumbuhi subur oleh rumput hias yang cantik seperti makam di sekitarnya. Dia berjongkok dan meletakkan bunga Krisan Putih yang dipegangnya. Dipegangnya pusara dengan hati-hati. Perutnya kini agak membuncit, jadi Alice tidak tahan berjongkok lama-lama. Ketika Alice akan bangkit berdiri, sepasang tangan merangkul bahunya dari belakang untuk membantunya. Lalu pada bahunya disampirkan sebuah mantel hangat. "Mengapa kau tidak menggunakan pakaian yang agak tebal? Sekarang sudah hampir musim dingin. Bagaimana nanti jika sakit?" Suara hangat pria mengalun di telinga Alice. Alice menatap pria itu kemudian tersenyum, "Ada kau di sisiku, aku tidak akan sakit." Alice melingkarkan tangannya di pinggang Gavin, dan menyandarkan kepalanya di dadanya. Gavin mengecup pelan dahi istrinya
Berjam-jam waktu telah berlalu, Alice masih duduk di kursinya tanpa beranjak sedikitpun. Wajahnya terlihat lelah dan juga pucat. "Alice, sebaiknya kamu dan Ibu pulang dan beristirahat. Aku dan Jake akan menunggu di sini. Kami akan mengabari kamu jika Gavin telah sadar." Elisa merangkul bahu Alice yang duduk di sisinya. Semalaman Alice tidak tidur. Kini hari sudah berganti pagi. Waktu menunjukan pukul 09.00 pagi. Namun Gavin belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Mereka juga hanya bisa duduk dan menunggu di luar, karena Gavin saat ini masih berada di ruang observasi. "Ya, aku juga akan tetap di sini." Mario juga sejak semalam masih berada di sana. "Kami akan mengantarkan kamu, Bos!" Wella berkata kepada Alice sambil menunjuk dirinya dan Henry. "Benar Alice, setidaknya kau harus menjaga kondisimu juga. Beristirahatlah sejenak!" Ujar Jake pada Alice. Alice sebenarnya merasa tidak tenang jika harus pergi meninggalkan Gavin di rumah sakit. Tapi memang benar, dia harus menjaga k
Tuuuuuuuutttt Dokter melakukan teknik Resusitasi Jantung Paru kepada Gavin, namun tidak juga ada tanda-tanda detak jantungnya kembali. Mesin masih terus berbunyi, tanda detak jantung Gavin tidak terdeteksi. "Siapkan defibrillator!" Dokter meminta perawat memberikan alat kejut jantung. "50 Joule!" Perintah dokter pada perawat yang memegang alat defibrillator. "Everybody clear!" Dokter memberikan kejut jantung pertama kepada Gavin. Namun tidak ada reaksi apapun. "100 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tetap tidak ada reaksi apapun pada Gavin. "150 Joule!" Perintah dokter lagi pada perawat. "Everybody clear!" Tut...Tut...Tut... "Oke, jantung mulai berfungsi. Siapkan ruang operasi. Aku akan mensterilkan diri." Dokter kemudian keluar dari ruang gawat darurat. "Nyonya, sebaiknya Anda menunggu di luar. Kami akan mempersiapkan pasien untuk dioperasi." Alice mengangguk, namun sebelumnya ia memegang tangan Gavin sebelum keluar, "Sayangku
"Ya, aku bersedia bersaksi untuk kerajaan." Louis bersuara. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam ruang rapat Parlemen. "Louis?" Isabela menatap tajam kepada pembunuh putrinya itu. Sebenarnya Isabela tahu bahwa yang meracuni Ansara adalah Louis dan Logan. Hanya saja, dia tidak punya cara untuk membuktikannya. Mereka berdua telah bersekongkol dengan sangat rapi. Seluruh rekaman kamera pengawas telah dihapus pada bagian dimana mereka memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman Ansara. Setiap kali mereka secara bergantian meracuni Sara. "Aku akan menyerahkan diri dan mengakui perbuatanku. Aku juga akan menjadi saksi kejahatan Logan. Aku menyimpan beberapa bekas botol racun yang telah kosong. Aku rasa itu cukup kuat untuk dijadikan alat bukti." Louis berkata sambil menunjuk Logan. "Pria bajingan ini memaksa aku dan putraku untuk menjadi kaki tangannya. Namun, ketika kami sudah tidak dibutuhkan lagi, dia memerintahkan orang untuk membunuhku. Beruntung bagiku, Matheo tiba di rumah ber
"Rekam baik-baik semua bukti yang akan aku tunjukkan kepada kalian hari ini!" Lalu proyektor menampilkan seluruh bukti transfer uang senilai 1 milyar kepada seluruh anggota Dewan Parlemen yang berasal dari rekening Firlo More. Setelahnya, menampilkan seluruh percakapan Ketua, Wakil, dan beberapa anggota Dewan Parlemen sebelum rapat hari ini dimulai. 'Apakah kalian telah menerima uang senilai 1 milyar yang dikirimkan Firlo?' Terdengar suara Ketua Dewan Parlemen. 'Hahaha, kami telah menerimanya. Pokoknya, apapun yang tuan Firlo minta, akan kita lakukan. Jika mengikutinya, kita akan semakin kaya raya.' Seorang anggota merasa sangat senang. 'Ya, yaa.. Nominal 1 milyar setiap bulan, sangat besar. Tuan Firlo memang sangat murah hati.' Wakil Ketua Dewan Parlemen terdengar sangat bersemangat. 'Hei, sudah. Itu, Perdana Menteri telah datang!' Seseorang dari mereka meminta untuk menghentikan obrolan. 'Tuan Firlo, terima kasih atas hadiahnya. Hahaha.' Ketua Dewan Parlemen bersuara.
Pimpinan Rapat Dewan Parlemen mengamati waktu pada jam tangannya. "Sudahlah Pak Ketua Parlemen, lebih baik kita segera mulai saja rapatnya. Ini sudah pukul 09.05. Tidak baik menunda lebih lama lagi." Firlo mendesak Pimpinan Rapat agar segera mengetuk palunya dan membuka rapat. "Baiklah, semuanya harap tenang. Dengan mengucap syukur kepada Yang Maha Esa, maka Rapat Dewan Parlemen dalam rangka penetapan berlakunya konstitusi baru, telah dimulai secara resmi." Kemudian Pimpinan Rapat yang juga merupakan Ketua Dewan Parlemen, mengetuk palunya di atas meja. Tok "Hari ini adalah voting terakhir pemberlakuan konstitusi baru Negara Yustan tentang Anggaran Belanja Negara Perlengkapan Militer. Seperti yang kita ketahui, sebulan yang lalu, hanya Putri Mahkota Alice Anabel yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemberlakuan konstitusi baru. Beliau berjanji, akan membawa bukti dan bantahan untuk menggagalkan pemberlakuan konstitusi baru ini." "Benar sekali. Namun, Putri Alice Anabel
"Alice, pakaianmu ini seluruhnya berwarna hitam. Tidakkah kamu ingin menambahkan warna lain?" Sera menyerahkan sebuah saputangan putih untuk Alice letakkan di saku jasnya. Karena menurut kebiasaan di Yustan menggunakan setelan jas serba hitam dan perlengkapan serba hitam, hanya boleh dilakukan ketika pemakaman. Menurut kepercayaan mereka, jika menggunakan pakaian dan perlengkapan serba hitam selain di acara pemakaman dapat membawa kesialan. "Tidak, Bu. Hari ini memang akan menjadi hari kesialan dan pemakaman bagi beberapa orang." Alice memasukkan sebuah saputangan berwarna hitam di saku jasnya. "Aku pergi Bu, Nenek." Alice melihat ke seseorang yang berdiri di belakang Sera. "Alice, kau terlalu tergesa-gesa untuk mendorong pergi Logan dan Firlo." Isabela merasa tidak setuju dengan rencana Alice yang membahayakan dirinya. Padahal dia dapat menyingkirkan mereka perlahan setelah menjabat sebagai Ratu Yustan kelak. "Nenek, untuk menyingkirkan rumput liar, harus mencabut hingga ke ak
"Kau, ajaklah Firlo dan Logan bertemu. Laporkan bahwa kau berhasil membunuh Alice." Jake memerintahkan Maxim keluar dari ruang tahanan untuk segera berpakaian rapi, kemudian mengembalikan ponsel miliknya. "Beberapa hari ini, mereka terus menerus menghubungimu. Aku tidak ingin mereka tahu bahwa kalian gagal membunuh Alice," sambung Jake lagi. "Maksudmu, agar mereka mengira rencananya berhasil dan mereka kemudian lengah?" Maxim menebak rencana mereka. "Ya, katakanlah seperti itu," ujar Jake sambil tersenyum. "Jangan mencoba berpikir untuk kabur! Kami akan mengikuti mu dan memantau setiap pergerakan mu." Jake memperingatkan Maxim. "Bagaimana jika aku berhasil kabur?" Maxim menatap sinis ke arah Jake yang tampak meremehkannya. "Pertama, aku yakin karena kau akan membawa alat penyadap ini di tubuhmu. Kedua, karena pasukanmu masih berada di bawah pengawasan kami. Dan ketiga, adik kandungmu ada di antara mereka. Kau tidak akan berani mengambil resiko dengan melakukan itu." Jake me