Panggilan telepon itu terputus. Daren memutuskan menghubungi balik neneknya. Mungkin neneknya ingin menyampaikan sesuatu."Bobo.... Lei hou, Bobo?" tanya Daren ingin tahu keadaan neneknya saat neneknya mengangkat teleponnya.Sudah lama dia tidak pernah menghubungi neneknya. Selain karena kesibukan, neneknya berada jauh di lintas benua sana dengan jarak ribuan kilometer. Neneknya tinggal di Hongkong sejak Daren belum lahir."Oh, mo lamko lei cung kwansam lei ke Bobo.Ngo yiwai lei emkeitak liko loyanka (Oh, ternyata kau masih peduli dengan nenekmu. Aku pikir kau sudah melupakan wanita tua ini)," balas neneknya sedikit ketus dan pura-pura merajuk."Tentu saja aku masih peduli dengan nenek. Nenek adalah keluargaku satu-satunya yang masih hidup hingga sekarang." Daren menimpali dengan nada sedikit bercanda.Meskipun mereka sudah jarang berhubungan, itu bukan berarti Daren sudah melupakan neneknya. Neneknya pasti mengerti keadaannya. Sejak dulu neneknya tidak pernah menuntut apa-apa dari cu
"Tidak .... Aku tidak mungkin melakukannya," ucap Adriana sambil menggelengkan kepalanya. Ide Daren benar-benar gila dan berada di luar logika."Kenapa tidak? Kita bisa bersikap seperti biasanya. Yang kita lakukan hanya lah pura-pura menjadi pasangan suami dan istri," tukas Daren mencoba meyakinkan Adriana.Adriana menatap Daren, mencari keseriusan dari sorot mata Daren. Otaknya berkecamuk. Sungguh tidak masuk akal bila mereka harus berpura-pura menjadi suami istri."Aku tidak ingin membohongi nenekmu. Tindakan kita akan melukai hatinya bila suatu hari nanti kebohongan kita terbongkar," ucap Adriana teguh pada pendiriannya. Seumur hidup dia selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. "Hanya sebentar. Setelah nenek pulang ke Hongkong, aku pasti akan menceritakan yang sebenarnya pada nenek," desak Daren mencoba meyakinkan Adriana."Tidak mau. Seharusnya kau memberi tahu nenekmu tentang istrimu yang telah meninggal. Kenapa kau tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya?" tanya Adria
Adriana menatap Daren dengan tidak percaya. Bisa-bisanya Daren mengancam dirinya dengan sesuatu yang terdengar sangat menjijikkan. Daren akan menyewa wanita lain untuk pura-pura menjadi istrinya. Apakah Daren sudah gila?"Apa kau sedang mengancamku?" tanya Adriana sambil menggelengkan kepalanya."Aku tidak punya pilihan lain," tukas Daren pendek. "Itu adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk saat ini karena kau menolak permintaanku."Adriana mendengus. Lalu tangannya menyentuh dahinya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, dan pusing."Nenekmu pasti curiga saat kau mempertemukan wanita itu dengan nenekmu," timpal Adriana dengan suara bergetar. "Nenekmu akan menyadari bahwa istrimu saat ini tidak sama dengan istri yang kau kenalkan dulu.""Kau salah besar. Memang analisamu ini sangat akurat dan sulit terbantahkan. Tapi kau tidak mengetahui satu hal," kata Daren sengaja berteka-teki.Lelah berdebat dengan Daren, membuat Adriana memilih untuk duduk di sofa. Kakinya mendadak teras
"Tiga hari? Apa kau sedang bercanda?"Adriana menggeleng cepat. Sebelumnya dia sudah menduga Daren akan bereaksi seperti ini. Tapi, dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi protes dari Daren."Aku sama sekali tidak bercanda. Aku tidak mungkin berlama-lama menjadi istri pura-puramu," sergah Adriana putus asa. "Rasanya sangat berat. Terlebih karena aku harus berbohong dengan nenekmu."Daren menggertakkan giginya. "Aku tidak pernah menduga kau akan mengatakan itu padaku," ucap Daren sulit percaya dengan permintaan Adriana. "Aku bahkan tidak mengetahui berapa lama nenekku akan tinggal di sini."Adriana mengangkat bahunya acuh tak acuh. Dia menatap Daren dengan sorot menantang. Kali ini dia tidak akan membiarkan Daren mengembalikan dirinya seenaknya. Mulai sekarang dia akan menentukan semua keputusan yang harus dia ambil."Terserah padamu. Kau setuju atau pun tidak, keputusanku tetap sama."Daren langsung menutup mulutnya rapat. Dia tidak ingin bertindak gegabah karena semua ini menyan
Adriana tengah berdiri di depan jendela kamar itu sambil menatap ke arah gedung di seberang sana. Lampu-lampu jalan di bawah sana telah menyala dan memberi kesan keindahan malam yang syahdu. Kotak beledu berisi kalung berlian pemberian nenek Daren masih teronggok di atas kasur. Dia belum menyentuhnya lagi karena dia merasa tidak pantas untuk menerimanya."Apa yang kau lakukan?"Adriana menoleh sebentar saat Daren masuk ke kamar itu. Daren baru saja pulang dari kantor dan belum sempat berganti pakaian. Dia melepaskan ikatan dasinya yang melilit lehernya, lalu melemparnya begitu saja di atas kursi."Hanya melihat ke arah luar," jawab Adriana pelan. Daren melihat punggung Adriana yang tegang. Tanpa Adriana bercerita, dia tahu Adriana tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat mengusik pikiran Adriana.“Aku sangat mengenal dirimu. Kau tidak mudah berbohong.” Daren mendekati Adriana, lalu memeluk pinggang Adriana sambal meletakkan dagunya di bahu Adriana.Adriana menarik napas panjang
"Selamat pagi," sapa Adriana pada Airin yang tengah menggambar sketsa di ruang tamu butik.Airin mengangkat kepalanya, lalu menghentikan pekerjaannya. "Selamat pagi," balas Airin sambil menatap Adriana lurus. Airin memicingkan matanya, menangkap sekelabat bayangan hitam yang sempat muncul di wajah Adriana. Sahabatnya itu memang tersenyum kepadanya. Tapi dia menyadari Adriana menggunakan senyum itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.Adriana menghempaskan tubuhnya di sofa dengan anggun. "Maafkan aku karena kemarin terlambat memberi tahumu aku tidak bisa masuk kerja," ucap Adriana penuh dengan ras bersalah."Tidak apa-apa. Apakah ada masalah yang sedang kau hadapi?"Adriana menggigit bibir bawahnya, dan memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Airin yang penuh selidik. "Nenek Daren datang dari Hongkong. Aku harus tinggal di apartemen Daren selama neneknya tinggal di sini.""Hah?" Airin menjatuhkan pensilnya di atas meja. Matanya membulat, lalu tangannya meraih tanga
"Kau menyakitiku," desis Adriana dengan sorot mata terluka. Sebutir kristal bening jatuh dari ujung matanya, lalu mengenai sofa.Daren mengangkat tubuhnya menjauh dari Adriana. Dia bisa menangkap kebencian yang Adriana rasakan padanya. Mungkin sikapnya kali ini benar-benar telah keterlaluan dan di luar kendali. Seharusnya dia bisa menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada Adriana.Bukan salah Adriana bila neneknya kecewa karena tidak ada orang yang menemaninya setelah jauh-jauh datang ke sini. Neneknya pasti menginginkan kunjungannya ini akan disambut dengan hati terbuka oleh dirinya. Bila disuruh memilih, neneknya pasti lebih memilih untuk tidak datang ke Indonesia bila akhirnya cucu dan cucu menantunya lebih mementingkan pekerjaannya.Yang pasti, ini memang salahnya bila dia terlalu berharap pada Adriana untuk bisa meluangkan waktunya dan meninggalkan pekerjaannya demi neneknya. Seharusnya dia tahu bahwa Adriana tidak mungkin pura-pura berperan menjadi istrinya. Dan pa
"Ada apa?" tanya nenek Daren seakan merasakan ketegangan yang melingkupi diri Adriana. Dia meraba-raba mencari tangan Adrian. Setelah menemukannya, nenek menggenggam tangan Adriana erat."Tidak ada apa-apa, Nek," jawab Adriana berbohong.Adriana menghadap ke depan kembali sambil menghitung dalam hati. Sebentar lagi dia akan berhadapan dengan wanita itu. Entah kenapa rasa sakit yang dulu sudah dia lupakan kini hadir kembali bersamaan dengan kemunculan wanita itu. Ibu kandungnya yang telah mencampakkan dia sejak usia dua tahun.Setelah ayahnya meninggal Adriana sempat menemui ibunya saat lulus SMA, tapi dia mendapat perlakuan yang sangat buruk. Ibunya langsung mengusir dia tanpa belas kasihan. Seolah Adriana adalah sampah busuk yang harus dihindari."Kau ...." Wanita itu, Ambar, menunjuk Adriana dengan mata terbuka lebar. Dia menutup mulutnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kedua matanya memindai Adriana dari ujung rambut hingga ujung kaki."Sedang apa kau di sini?" tanya Ambar de
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening