Adriana memegang dadanya. Jantungnya berdetak sangat kencang, seolah akan keluar dari tubuhnya. Lalu, tangannya menyentuh bibirnya. Ciuman Daren masih bisa dia rasakan. Ternyata pengaruh Daren masih bisa mengguncang hatinya. Dia seperti seorang gadis remaja yang baru merasakan jatuh cinta.Telepon Adriana berdering berkali-kali, membawa dia kembali ke dunia nyata. Dia buru-buru mengambilnya, dan melihat Daren lah yang meneleponnya. Adriana mengerutkan keningnya, lalu mengangkat telepon itu."Halo ....""Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku benar-benar telah menyesal dengan semua yang aku lakukan padamu," ucap Daren pelan, dan hampir seperti sedang berbisik. "Maafkan aku karena telah membuatmu terluka." Suara Daren terdengar sangat tulus saat mengucapkan kalimat itu. Setelah itu dia mematikan ponselnya.Adriana menatap layar ponsel yang telah gelap. Dia merasa yang menelepon dia beberapa menit lalu bukan lah Daren yang dia kenal selama ini. Daren tidak mungkin bersikap seperti itu. Laki-
Ciiittt.Terdengar suara roda mobil berdecit, disusul bunyi bedebam yang keras. Daren menginjak rem dengan sekuat tenaga saat menghindari sebuah motor yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Mobilnya kehilangan keseimbangan, lalu menabrak pohon besar di pinggir jalan. Beruntungnya tidak terjadi sesuatu yang parah kecuali bagian depan mobil Daren sedikit penyok dan lecet-lecet. Daren mengalami luka ringan di pelipisnya yang tidak sengaja terbentur kaca jendela mobilnya. Selain itu dia hanya terkejut usai kejadian itu.Daren segera keluar dari mobilnya. Tangannya mengambil ponselnya di saku celananya, lalu dia menghubungi Adriana. Pikirnya, Adriana pasti tengah menunggu dia."Aku baru saja mengalami kecelakaan. Aku hanya ingin mengabarimu kalau kau sedang menungguku," kata Daren santai sambil memijit keningnya yang terasa berdenyut-denyut."Bagaimana keadaanmu? Apa kau terluka parah?" tanya Adriana setengah histeris.Daren menggelengkan kepalanya. "Tidak terlalu," jawab Daren. Dia mering
Panggilan telepon itu terputus. Daren memutuskan menghubungi balik neneknya. Mungkin neneknya ingin menyampaikan sesuatu."Bobo.... Lei hou, Bobo?" tanya Daren ingin tahu keadaan neneknya saat neneknya mengangkat teleponnya.Sudah lama dia tidak pernah menghubungi neneknya. Selain karena kesibukan, neneknya berada jauh di lintas benua sana dengan jarak ribuan kilometer. Neneknya tinggal di Hongkong sejak Daren belum lahir."Oh, mo lamko lei cung kwansam lei ke Bobo.Ngo yiwai lei emkeitak liko loyanka (Oh, ternyata kau masih peduli dengan nenekmu. Aku pikir kau sudah melupakan wanita tua ini)," balas neneknya sedikit ketus dan pura-pura merajuk."Tentu saja aku masih peduli dengan nenek. Nenek adalah keluargaku satu-satunya yang masih hidup hingga sekarang." Daren menimpali dengan nada sedikit bercanda.Meskipun mereka sudah jarang berhubungan, itu bukan berarti Daren sudah melupakan neneknya. Neneknya pasti mengerti keadaannya. Sejak dulu neneknya tidak pernah menuntut apa-apa dari cu
"Tidak .... Aku tidak mungkin melakukannya," ucap Adriana sambil menggelengkan kepalanya. Ide Daren benar-benar gila dan berada di luar logika."Kenapa tidak? Kita bisa bersikap seperti biasanya. Yang kita lakukan hanya lah pura-pura menjadi pasangan suami dan istri," tukas Daren mencoba meyakinkan Adriana.Adriana menatap Daren, mencari keseriusan dari sorot mata Daren. Otaknya berkecamuk. Sungguh tidak masuk akal bila mereka harus berpura-pura menjadi suami istri."Aku tidak ingin membohongi nenekmu. Tindakan kita akan melukai hatinya bila suatu hari nanti kebohongan kita terbongkar," ucap Adriana teguh pada pendiriannya. Seumur hidup dia selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. "Hanya sebentar. Setelah nenek pulang ke Hongkong, aku pasti akan menceritakan yang sebenarnya pada nenek," desak Daren mencoba meyakinkan Adriana."Tidak mau. Seharusnya kau memberi tahu nenekmu tentang istrimu yang telah meninggal. Kenapa kau tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya?" tanya Adria
Adriana menatap Daren dengan tidak percaya. Bisa-bisanya Daren mengancam dirinya dengan sesuatu yang terdengar sangat menjijikkan. Daren akan menyewa wanita lain untuk pura-pura menjadi istrinya. Apakah Daren sudah gila?"Apa kau sedang mengancamku?" tanya Adriana sambil menggelengkan kepalanya."Aku tidak punya pilihan lain," tukas Daren pendek. "Itu adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk saat ini karena kau menolak permintaanku."Adriana mendengus. Lalu tangannya menyentuh dahinya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut, dan pusing."Nenekmu pasti curiga saat kau mempertemukan wanita itu dengan nenekmu," timpal Adriana dengan suara bergetar. "Nenekmu akan menyadari bahwa istrimu saat ini tidak sama dengan istri yang kau kenalkan dulu.""Kau salah besar. Memang analisamu ini sangat akurat dan sulit terbantahkan. Tapi kau tidak mengetahui satu hal," kata Daren sengaja berteka-teki.Lelah berdebat dengan Daren, membuat Adriana memilih untuk duduk di sofa. Kakinya mendadak teras
"Tiga hari? Apa kau sedang bercanda?"Adriana menggeleng cepat. Sebelumnya dia sudah menduga Daren akan bereaksi seperti ini. Tapi, dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi protes dari Daren."Aku sama sekali tidak bercanda. Aku tidak mungkin berlama-lama menjadi istri pura-puramu," sergah Adriana putus asa. "Rasanya sangat berat. Terlebih karena aku harus berbohong dengan nenekmu."Daren menggertakkan giginya. "Aku tidak pernah menduga kau akan mengatakan itu padaku," ucap Daren sulit percaya dengan permintaan Adriana. "Aku bahkan tidak mengetahui berapa lama nenekku akan tinggal di sini."Adriana mengangkat bahunya acuh tak acuh. Dia menatap Daren dengan sorot menantang. Kali ini dia tidak akan membiarkan Daren mengembalikan dirinya seenaknya. Mulai sekarang dia akan menentukan semua keputusan yang harus dia ambil."Terserah padamu. Kau setuju atau pun tidak, keputusanku tetap sama."Daren langsung menutup mulutnya rapat. Dia tidak ingin bertindak gegabah karena semua ini menyan
Adriana tengah berdiri di depan jendela kamar itu sambil menatap ke arah gedung di seberang sana. Lampu-lampu jalan di bawah sana telah menyala dan memberi kesan keindahan malam yang syahdu. Kotak beledu berisi kalung berlian pemberian nenek Daren masih teronggok di atas kasur. Dia belum menyentuhnya lagi karena dia merasa tidak pantas untuk menerimanya."Apa yang kau lakukan?"Adriana menoleh sebentar saat Daren masuk ke kamar itu. Daren baru saja pulang dari kantor dan belum sempat berganti pakaian. Dia melepaskan ikatan dasinya yang melilit lehernya, lalu melemparnya begitu saja di atas kursi."Hanya melihat ke arah luar," jawab Adriana pelan. Daren melihat punggung Adriana yang tegang. Tanpa Adriana bercerita, dia tahu Adriana tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat mengusik pikiran Adriana.“Aku sangat mengenal dirimu. Kau tidak mudah berbohong.” Daren mendekati Adriana, lalu memeluk pinggang Adriana sambal meletakkan dagunya di bahu Adriana.Adriana menarik napas panjang
"Selamat pagi," sapa Adriana pada Airin yang tengah menggambar sketsa di ruang tamu butik.Airin mengangkat kepalanya, lalu menghentikan pekerjaannya. "Selamat pagi," balas Airin sambil menatap Adriana lurus. Airin memicingkan matanya, menangkap sekelabat bayangan hitam yang sempat muncul di wajah Adriana. Sahabatnya itu memang tersenyum kepadanya. Tapi dia menyadari Adriana menggunakan senyum itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.Adriana menghempaskan tubuhnya di sofa dengan anggun. "Maafkan aku karena kemarin terlambat memberi tahumu aku tidak bisa masuk kerja," ucap Adriana penuh dengan ras bersalah."Tidak apa-apa. Apakah ada masalah yang sedang kau hadapi?"Adriana menggigit bibir bawahnya, dan memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Airin yang penuh selidik. "Nenek Daren datang dari Hongkong. Aku harus tinggal di apartemen Daren selama neneknya tinggal di sini.""Hah?" Airin menjatuhkan pensilnya di atas meja. Matanya membulat, lalu tangannya meraih tanga