Tak terasa satu bulan sudah berlalu. Di sore hari yang cukup cerah, Diana sedang makan seblak di dalam kos-kosan saat pintunya tiba-tiba diketuk dari arah luar."Diana buka! Ini aku Abian!"Cepat-cepat Diana membukakan pintu untuk orang yang tidak sabaran itu. Saat kepalanya melongok ke luar, ternyata Diana menabrak sebuah dada bidang milik seorang pria. Yups! Itu adalah dada suaminya sendiri."Maaf Mas! Maaf!" Gadis itu mengusap kepalanya sendiri. Dada Abian ini terbuat dari apa sih? Kenapa rasanya bisa keras seperti tembok?Sementara Abian tersenyum geli melihat tingkah Diana yang gugup dan malu-malu. "Boleh aku masuk?" izin pria itu."Iya Mas. Tapi maaf kamarku berantakan banget. Aku juga baru selesai makan," ujarnya."Nggak papa! Aku datang ke sini cuma mau menagih janji padamu. Kamu harus segera kembali ke apartemen karena ini sudah tanggal 31," ucap Abian.Diana terpaksa membuka pintu lebar-lebar kemudian menyuruh lelaki itu masuk ke dalam saja."Apa tidak ada perpanjangan wakt
Suara kembang api mulai terdengar di mana-mana meski waktu belum menunjukkan jam 12 malam. Tak ikut bergabung, Diana memutuskan untuk belajar di kamar untuk mempelajari materi yang diberikan Mis Nancy kemarin.Dia sangat bersungguh-sungguh ingin membuktikan pada Abian kalau dirinya layak mengemban pendidikan tinggi.Seperti yang dikatakan oleh Kakek Bram. Siapa pun yang menjadi istri Abian harus memiliki kemampuan yang tinggi. Diana harus berpendidikan agar ia tidak direndahkan lagi.Tapi ngomong-ngomong, bukankah suatu saat nanti mereka akan bercerai? Lantas untuk apa pendidikan tinggi itu kalau mereka sudah tidak bersama lagi?Kadang Diana geli sendiri saat memikirkanya. Tapi Diana paham kalau ilmu tidak akan luntur. Ia yakin niat baiknya akan tetap berguna meski ia sudah tidak menjabat sebagai istri Abian lagi.Ceklek .... Pintu dibuka lalu ditutup lagi. Tampak Abian berjalan menuju tempat Diana duduk sambil menyugar rambunya."Di luar hanya ada Doni dan Raka. Yakin kau tidak mau b
“Apa aku boleh ikut gabung?” Suara imut gadis itu membuyarkan fokus ketiga pria yang sibuk mengobrol tanpa memperhatikan kehadirannya.“Eh, ada Diana?” Doni menjadi manusia paling waras setelah beberapa saat terpaku menatap Diana dari atas hingga ke bawah. Ternyata jika pakai baju biasa gadis itu lumayan juga, pikirnya.Sementara Diana sendiri sedikit mematung bingung. Tak ada yang aneh dengan penampilan gadis itu. Dia hanya memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis. Niatnya supaya tidak terlihat pucat, tapi penampilan Diana yang seperti itu sukses menyihir ketiga manusia yang sedang duduk ngampar di ruang tamu. Mereka sempat menatap Diana tanpa berkedip hingga gadis itu merasa sungkan sendiri.“Kamu udah bisa dandan?” tanya Doni lagi. Perempuan yang menggunakan rok hitam sepanjang lutut dan kaos putih polos itu mengangguk. "Iya, saya memang sengaja dandan untuk diperlihatkan ke Pak Doni," ujarnya.Jangan tanya Abian dan Raka sedang apa!Raka terlihat gugup, sementara Abian sed
"Mas Bian, tolong jangan seperti ini!" Dua kelopak mata Diana terpejam saat Abian menyusuri tubuhnya dengan kedua tangan. Sebisa mungkin Diana menolak, tapi sesuatu yang dasyat membuat Diana merasa kesulitan mendorong tubuh Abian yang semakin berani.Alih-alih terlepas Abian justru memperdalam ciumannya semakin buas. Dia mengobrak-abrik seluruh isi mulut Diana seolah mencari-cari sesuatu hingga lidah keduanya saling membelit. Awalnya Diana cukup kaget dengan ciuman aneh tersebut. Dia jijik, geli, namun tanpa sadar tubuhnya mulai melemah dan menerima perlakuan Abian entah sejak kapan. Secara tidak sadar Diana menikmati ciuman Abian bahkan membalas kenikmatan yang sedang pria itu berikan.Keduanya seperti manusia hilang kendali. Diana merasa menjadi seperti wanita yang lebih buruk dari seorang jal*ng karena memanfaatkan keadaan Abian yang seperti itu, tapi dia sungguh tidak menolak semua yang dilakukan oleh Abian. Otak kotor gadis itu terus menuntun dirinya pada sebuah pencapaian yan
Tak ada yang bisa Diana lakukan selain menangis dan meratapi kebodohannya sendiri. Kalau ditanya apakah ia menyesal? Jelas Diana menyesal!Hari sudah memasuki pagi saat gadis itu berjalan gontai tanpa arah tujuan. Dia sudah keluar dari gedung apartemen sejak dua jam lalu. Sekarang Diana berjalan bahkan tanpa menggunakan alas kaki. Gadis 19 tahun itu terus menangis sambil menutupi bagian bajunya yang sobek karena sempat ketarik oleh kuku tajam Miranda."Apa salahku terlalu besar sampai aku layak diperlakukan seperti ini?" guman Diana dengan suara lirih tertahan menahan isak tangis.Ya, Diana akui dia memang salah karena sudah memanfaatkan keadaan tidak sadar seorang Abian. Tapi Miranda juga tidak beda jauh. Dia sejahat itu sampai tega mengusir Diana dalam keadaan seperti ini.Andai boleh memilih Diana sendiri juga tidak mau kejadian memalukan seperti ini sampai terjadi. Dia sungguh tidak paham dengan tubuhnya yang tak selaras dengan otak. Walau sudah sempat berusaha melepaskan diri, p
"Apa kamu gila Bian? Kamu berani ngancem aku cuma buat manusia kayak dia?" Miranda menggeleng tak percaya. Tatapannya mengarah marah pada lelaki itu. Hati wanita itu teramat sakit mendengar perkataan Abian barusan. Bodoh! Ia merasa bodoh karena tidak menyadari kalau kekasihnya itu banyak berubah sejak kehadiran Diana di antara mereka. Apakah diam-diam Abian memiliki ketertarikan pada wanita kampung itu?Kalau iya Miranda tak tahu harus bagaimana karena Diana jauh lebih mampu berada di dekat Abian dibanding dirinya. Mau bagaimanapun Diana ada di pihak Kakek Bram, hal itu sangat memudahkan Diana untuk melakukan interaksi lebih dengan kekasihnya dibanding Miranda yang memiliki status pacar.Arghh! Memikirkan itu rasanya Miranda hampir gila!"Ini bukan masalah mengancam! Tapi karena kamu sudah sangat keterlaluan pada Diana. Kamu berani mengusir Diana tanpa sepengetahuanku!""Jadi menurutmu perbuatanku salah?" Suara keras Miranda membuat Abian terdiam mencerna semuanya."Katakan padaku,
"Mir, apa aku boleh minta izin untuk mencari Diana?" Abian bertanya takut-takut. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, dan ia benar-benar khawatir karena gadis itu pergi tanpa membawa uang atau pun ponsel. Dan hingga detik ini Diana tidak ada tanda-tanda mau kembali.Sementara Miranda terus menempel di lengan pria itu. Miranda seolah sengaja membuat Abian tidak bisa lepas dari dirinya. "Ayolah Abian ... kita jarang libur bersama dan punya waktu berduaan seperti ini. Diana pasti baik-baik saja. Nanti juga kalau sudah sadar dia akan kembali ke sini. Dia tidak mungkin bisa pergi jauh karena barang-barangnya masih di sini.""Justru itu yang membuatku khawatir Mir. Kamu ngusir dia tanpa membawa uang dan ponsel. Bagaimana caranya dia bertahan hidup kalau dua pokok kehidupannya saja masih ada di sini!""Pasti dia sudah minta tolong temannya lah! Diana bukan gadis bodoh. Dia mungkin sudah menghubungi Raka atau teman lainnya," kekeh Miranda. Dia tetap tidak membolehkan Abian pergi mencari
Bram menarik napas dalam guna menetralkan sedikit emosinya. Dia melihat Diana mencicit ketakutan karena ucapan kasarnya, dan ia tidak mau sang cucu menantu itu jadi trauma karena ulah Bram sendiri.“Maafkan Kakek Diana! Kakek tidak bermaksud membuat kamu ketakutan apalagi tertekan,” ujarnya. Diana menggeleng. Mata gadis itu berkaca-kaca dan terlihat meloloskan buliran bening dari ujung mata bagian kiri.“Tidak papa Kek. Maafkan aku karena sudah bersikap tidak tahu diri,” kata gadis itu.Kakek Bram semakin merasa bersalah. Tapi dia merasa tidak salah mencarikan seorang istri untuk cucunya, Diana memiliki pembawaan lembut dan kadang tegas di satu sisi. Bram bisa tahu itu karena Diana sempat bersikap jutek saat mengira Kakek Bram yang akan menikahi gadis itu. Dia terus menolak kebaikan Bram, bahkan menghindari kontak fisik dengan lelaki tua itu. Contohnya saat disentuh bahunya Diana tidak mau. Sejauh ini Kakek Bram menebak Diana adalah gadis yang penuh pertahanan diri.“Sebenarnya Kake
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah