Diana berbaring di ranjangnya dengan mata lebar, tak mampu terlelap. Saat jarum jam menunjukkan pukul empat pagi, jantungnya berdegup keras menyadari bahwa Abian belum juga pulang ke rumah sampai detik ini. "Lagi dan lagi... kali ini entah keberapa kalinya dia ingkar janji untuk segera pulang," gumamnya lirih. Otaknya terus mengkhayal, mempertanyakan apakah Abian bersama Miranda di waktu-waktu seperti ini dan apa saja yang mungkin mereka lakukan bersama. "Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir, ini hanya membuatku semakin tidak bisa tidur," bisik Diana pada dirinya sendiri. Namun, semakin ia mencoba untuk mengalihkan perhatiannya, pikiran tentang Abian dan Miranda terus menghantui dan menyesakkan dada. Tidak sadar, Diana merasa air matanya mengalir saat ia melamun memikirkan hal buruk yang mungkin saja terjadi. Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, tubuh Diana terasa lemas dan pusing. Pemikiran mengenai Abian dan Miranda yang menghantui sepanjang malam telah menguras sel
Abian menarik napas panjang saat dia memasuki kosan Miranda. Tadi saat Abian hendak menyuruhnya turun dari mobil, gadis itu tiba-tiba saja mendesah kesakitan, memegang perutnya yang katanya sakit luar biasa."Perutku sakit banget, Bian. Tolong temani aku di kosan sampai dokter datang," pinta Miranda dengan wajah memelas.Abian merasa muak, namun ia harus berpura-pura menjadi pacar yang baik. Meski tidak ingin, ia mengangguk setuju untuk menemani Miranda.Di dalam kosan, Abian tetap waspada. Dia masih trauma dan tidak ingin mengulangi kesalahan. Ia menolak minuman atau makanan apa pun yang ditawarkan Miranda, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."Aduh, sakit banget, Bian!" keluh Miranda lagi, kemudian meminta Abian untuk mengusap perutnya.Dengan perasaan terpaksa, Abian mulai mengurut perut Miranda dengan hati-hati. Sebenarnya ia tahu gadis itu hanya berpura-pura sakit supaya mendapat perhatian lebih darinya. Namun, Abian harus bermain dengan peran ini hingga akhir."Kapan
Abian menatap Diana yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan matanya terlihat yang sayu. Hatinya terasa sangat bersalah melihat keadaan Diana. Dari kemarin ia berpikir Diana sedang marah padanya karena tidak ada bekas panggilan satu pun saat Abian menyalakan ponsel, ternyata wanita itu justru sedang sakit hingga harus dilarikan ke rumah sakit."Maafkan aku, Diana. Sekali lagi, maafkan aku," ucap Abian dengan suara bergetar, menahan tangis."Iya, Mas. Aku nggak papa kok. Mas Abian apa kabar? Kenapa ponselnya nggak aktif dari kemarin? Mas Abian dari mana aja?" tanya Diana dengan lemah, berusaha menunjukkan kecemasan layaknya istri yang baik.Sebelum Abian sempat menjawab, tiba-tiba kakeknya datang dengan langkah cepat dan wajah yang memerah karena marah. "Abian! Apa yang sudah kamu lakukan selama ini? Diana sampai sakit, kenapa kamu malah menghilang tanpa kabar!" bentak kakeknya, mengejutkan Abian dan Diana.Abian menunduk, merasa sangat bersalah atas kelalaian
Miranda merasakan gelisah yang menusuk hatinya sejak dua hari ini. Entah kenapa, rasa cemas dan resah begitu menyelimuti hari-harinya karena Abian tak juga memberi kabar padahal kemarin dia janji akan menceraikan istrinya demi Miranda. Pikirannya bercelaru, antara marah karena diacuhkan dan bingung akan sikap Abian yang menghilang begitu saja. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mencoba menghindar dariku?" batin Miranda, merasa terpukul. Rasa penasaran menggerogoti hatinya hingga tak mampu menahan perasaan. Meluapkan kekesalannya, Miranda mengambil keputusan nekat. Dalam satu pesan singkat, dia mengancam akan menyebarkan foto mesra mereka berdua jika Abian masih menghilangkan diri. Namun ternyata, ancamannya tak berbekas sama sekali. Abian tetap saja seperti menghilang dari dunia. "Sialan kamu Bian. Apa kamu kira ancamanku cuma gertakan saja?" Miranda mulai kalut."Baiklah. Karena kamu tidak ada kabar. Aku terpaksa harus melakukan ini Bian. Aku harap setelah semuanya hancur
Abian berdiri di antara Doni dan Raka yang terdiam seperti patung, tatapannya kosong, dan tidak bergerak sama sekali. Kepala Abian penuh dengan kebingungan yang memuncak, seolah-olah dunia ini menjadi labirin tanpa jalan keluar."Rak, jangan diam saja! Jelasin ke aku apa yang terjadi!" Abian menoleh pada Raka."Don! Jelasin ke aku. Diana pergi kemana? Dia cuma pergi sebentar kan?" Abian menoleh geram. Tidak mungkin kan Diana mati! Semalam gadis itu masih sehat sekali. Kalaupun Diana meninggal jelas mereka akna menangis. Tapi ini tampang-tampang sahabatnya lebih mirih orang bodoh ketimbang orang sedih.Tiba-tiba, Kakek yang sejak tadi diam tak mau menjelaskan rinci berseru. Membuat Abian terlonjak kaget "Diana sudah pergi. Gak usah dicari!" ujar sang kakek dengan nada santai, seolah-olah kepergian Diana hanyalah hal yang biasa."Maksud Kakek pergi yang gimana sih?"Abian terdiam sejenak, mencoba mencerna kabar yang baru saja diterimanya. Pergi? Apa yang dimaksud kakek dengannya? Diana
Abian mengamuk seperti orang gila, memukul apa pun dan mengamuk pada Raka dan Doni, ia menyalahkan mereka atas kepergian Diana. Dia menangis, berteriak, dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Raka dan Doni benar-benar kewalahan menghadapi Abian yang sudah tak seperti manusia lagi."Gimana ini Rak? Apa baiknya kita bawa Abian ke rumah sakit jiwa saja?"Sementara itu, Kakek Bram merasa tertekan dengan tuduhan-tuduhan Abian yang tak berhenti. Dia terus dituduh menyembunyikan Diana, padahal memang benar dia yang membantu Diana pergi demi kebaikan semua pihak. Kakek Bram berusaha menenangkan diri, namun sia-sia karena Abian menggila minta dibawakan Dian.Akhirnya, Kakek Bram mengambil keputusan untuk memberi Abian garis telak. "Abian, cukup sudah kamu berkelahi dan menyalahkan orang lain, kenapa kamu tidak intropeksi diri? Apakah kamu sudah berusaha menjadi suami yang baik untuk Diana?" ujarnya dengan tegas."Diana pergi atas kemauannya sendiri. Dia memberi kamu waktu menyelesai
Sejak foto mesra Abian tersebar luas, hidupnya berubah drastis. Dulu ia seorang CEO yang dihormati, kini ia terpuruk dan hanya bisa berbaring di atas ranjang, tubuhnya semakin lemah dan kurus karena kurang makan. Sudah satu minggu berlalu, namun Abian tak kunjung bangkit dari keterpurukannya.Kakek Bram, yang sangat mencintai cucunya, tak tega melihat keadaan Abian yang semakin memburuk. Terlebih Raka terus merengek dan menyuruh Bram memaafkan Diana."Ayolah Kek! Tolong Abian. Aku sungguh tidak tega melihat keadaanya.""Mau bagaimana lagi? Diana sudah terlanjur sakit hati apalagi saat dirinya melihat foto mesra Abian dan Miranda. Meskipun nantinya Abian bisa membuktikan kalau dia dijebak, tetap saja foto itu bukan editan.""Tapi itu bukan atas dasar kemauan Abian Kek. Oke saya tahu Abian bersalah, tapi apa dia pantas diperlakukan seperti ini. Setidaknya bantu Abian bertemu Diana satu kali saja agar dia bisa menjelaskan langsung pada Diana!""Hmmm. Nanti coba Kakek bicarakan dengan Dia
Sorot mata Diana yang teduh menatap layar ponselnya saat melakukan panggilan video dengan Abian. Rasa cinta terpancar jelas dari wajah Diana, namun sayangnya rasa cinta itu tak cukup untuk mengobati hati yang terluka karena ulah Abian sendiri."Maaf Mas. Aku tidak bisa kembali sama Mas Bian," ucap Diana dengan suara yang bergetar. "Bukannya aku tidak cinta lagi, tapi aku terus-terusan terbayang foto mesra Mas Bian sama Mbak Miranda. Aku rasa aku nggak bisa hidup dalam bayang-bayang seperti itu. Kalau kita bersama, mungkin aku bakalan sesak napas setiap hari!"Abian terdiam, matanya membulat tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Nafasnya terasa berat, seperti ditusuk oleh seribu jarum saat mendengar kata-kata Diana. Dia merasa seolah hatinya diperas hingga tak ada sisa air mata yang bisa jatuh."Diana, aku...," Abian mencoba menjelaskan, namun Diana menggoyang kepala pelan, menandakan bahwa dia tak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Abian. Hatinya telah rapuh, tak ma
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah