Mau tidak mau Gani menyetujui semua yang dikatakan oleh Sarah. Dia masih punya hati untuk tidak membuat wanita itu menjadi stress. Ditambah lagi, Gani tidak ingin kehamilan Sarah mengalami gangguan apapun karena sang ibu banyak pikiran.Setelah membuat Sarah tenang dan percaya pada semua ucapannya, Gani segera pergi dari kamar itu dan menemui Wulan. Wulan masih duduk di sisi ranjang dengan tatapan sendu.“Ma ... Mama kenapa?” tanya Gani kepada Wulan dengan lembut dan memeluk lengannya.“Mama masih nggak percaya semua yang dibilang sama Sarah tadi.” Wulan menjawab dengan nada ketus.“Apa yang membuat Mama begitu yakin kalau dia bukan wanita seperti itu, Ma? Mama juga belum lama ini kenal sama dia kan, Ma? Bisa aja ternyata selama ini kita masuk dalam perangkapnya. Dia butuh biaya banyak untuk pengobatan mamanya, jadi dia mengambil kesempatan dengan mendekati Mama.”“Kamu udah termakan sama omongan Sarah. Kamu mendustai perasaan kamu sendiri!”“Aku hanya percaya dengan apa yang benar-be
Ternyata, Sarah sudah memerintahkan orang untuk memasang beberapa alat penyadap di beberapa tempat di rumahnya itu. Salah satunya termasuk di kamar tamu yang kini dihuni oleh Wulan. Jadi, semua yang dibicarakan oleh Wulan dan Gani tadi didengar oleh Sarah dari ponselnya.“Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus cepat membuat bukti-bukti untuk membuat Maura terlihat bersalah di mata mas Gani dan mama. Aku udah berjalan sejauh ini, nggak boleh kalah.” Sarah berkata dalam hatinya dengan hati yang bergemuruh.Dia mana bisa membiarkan Gani mengetahui kebenaran itu. Jika Gani tahu akan kebenarannya, maka nasibnya pun akan terancam. Sarah sudah berusaha untuk mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang Gani lagi sekarang.Sarah memang tidak ikut andil dalam kepergian Maura dari rumah ini. Namun, itu adalah salah satu hal yang paling diharapkannya sejak dulu. Sekarang, Sarah hanya perlu menutupi tentang kesalahan masa lalunya dan mulai menata hidup yang lebih baik dengan Gani.“Sepertinya, aku harus
Di dalam pesawat, tampak seorang wanita muda duduk dengan wajah pucat. Di sisi kanannya, ada seorang pria yang terlihat seperti suami tapi sebenarnya bukan suami wanita itu.“Apa kamu baik-baik aja, Mau?” tanya pria yang tak lain adalah Rama – sahabat baiknya.“Aku nggak apa-apa kok, Ram. Kamu tenang aja, ya.” Maura berkata dengan suara yang sangat pelan nyaris tak terdengar.“Oke. Kalau kamu merasa nggak enak atau ada sesuatu hal yang terasa, langsung bilang sama aku aja. Jangan dipendam sendiri. Perjalanan kita masih jauh dan lama di sini.”“Iya. Aku tau kok. Kamu perhatian banget sama aku. Nanti kalau orang ngira kamu itu adalah suami aku gimana?” tanya Maura dengan nada menggoda.“Nggak masalah. Aku nggak keberatan dengan hal itu.” Rama berkata dengan penuh keseriusan.“Kamu nggak perlu segitunya, Rama. Kamu udah terlalu banyak berkorban untuk aku. Jangan sampai kamu juga mengorbankan masa depanmu untuk membantuku lagi.”“Aku nggak peduli apapun, Mau. Kamu tau kan kalau aku nggak
Benar saja yang diperkirakan oleh Rama tadi, tidak berselang lama dia pergi, Maura melihat seorang wanita dengan anak perempuan di sampingnya memegang papan nama bertuliskan Rama dan Maura. Hal itu membuat Maura langsung berdiri untuk melambaikan tangan ke arah mereka.“Kamu Maura?” tanya Chika saat mendekati Maura dengan ramah.“Iya, Kak. Aku Maura. Salam kenal, ya Kak.” Maura menjawab dan menjawab tangan Chika dengan sopan.“Hello, Aunty. Aku Flo,” ucap seorang anak perempuan kecil berusia tujuh tahunan dan bahasa Indonesianya tentu saja berlogat Spanyol.“Hai, Flo. Kamu sweet banget, Sayang.” Maura mengelus pipi Flo dengan lembut.“Thank you, Aunty. Kamu juga sweet.”Maura mendengar logat Spanyol Flo yang dibalut dengan bahasa Indonesia dan menjadikan kesan unik. Flo dan Chika terlihat sangat mirip sekali dan saat ini seorang pria bule datang menyusul dari belakang dan langsung memeluk Chika dengan mesra.“Sorry, Honey. Sedikit ada masalah di tempat parkiran tadi.” Pria itu meminta
Maura dan Rama memandang ke arah David secara bersamaan. Mereka berdua merasa aneh dengan tanggapan spontan dari suami Chika itu. Harusnya, Flo yang menjawab pertanyaan Maura tadi, bukan David. Namun, sepertinya itu bukan hal aneh bagi Chika. Wanita itu tetap santai dan tersenyum sambil memandang heran pada Maura bergantian pada Rama.“Kenapa? Kok kalian jadi gitu? Ada yang aneh, ya?” tanya Chika pada Rama dan kemudian menatap ke arah Maura.“Nggak apa-apa, Kak. Mungkin, karena belum terbiasa aja.” Rama menjawab cepat meski terlihat canggung dalam mengatakannya.“Oh gitu. Nanti lama-lama juga biasa kok. Ya udah, buruan kita pulang.” Chika mengajak keduanya dengan senyum lebar.Maura dan Rama mengikuti langkah tiga beranak itu sampai ke luar bandara. Kemudian, David memisahkan diri karena harus mengambil mobil di parkiran. Setelahnya, mereka menunggu di pembatas jalan dan Flo melihat ada yang menjual es cream di luar bandara.Gadis itu sangat senang dan mengajak Chika untuk pergi membe
“Ayo masuk!” seru David dari dalam mobil mewahnya itu.“Wait. Flo sedang dibawa Rama, di sana.” Chika menunjuk ke arah Rama dan Flo berada dan mereka sedang mengantri ice cream.“Ayo, jalan dulu. Kita berputar. Nanti dimarahi petugas parkir di depan pintu masuk seperti ini.” David berkata dengan tetap mengajak Maura dan Chika masuk ke dalam mobil.“David benar. Ayo kita masuk ke mobil dulu, Mau.” Chika mengajak Maura yang masih termenung memikirkan pertanyaan dari kakak sahabatnya itu tadi.Chika membantu Maura membawa koper dan barang lainnya ke dalam mobil. Pria yang disangka oleh Maura adalah suami wanita itu. Ternyata, selama belasan tahun mereka hanya hidup di bawah satu atap tanpa ikatan pernikahan. Kalau di Indonesia, tentu saja itu dinamakan dengan kumpul kebo.Maura duduk di kursi tengah sementara Chika duduk di samping David mengemudi. Mereka mengitari sebuah bundaran yang cukup luas dan saat sampai di depan penjual ice cream, Flo dan Rama sudah selesai dengan satu ice cream
Maura ditinggalkan bersama Rama di dalam kamar berukuran sangat luas itu. Sementara David dan Chika pergi entah ke mana membawa anak mereka – Flo. Rama membantu Maura membereskan barang-barang yang dibawa wanita itu ke tempat yang sudah disediakan.“Rama ... kita nggak usah lama-lama di rumah ini, ya. Kamu ada kenalan di negara ini yang bisa kasih kerjaan nggak?” tanya Maura dengan raut wajah cemas.“Kenapa? Kamu nggak nyaman ada di sini? Apa yang terjadi saat aku pergi beli ice cream dengan Flo tadi?” tanya Rama yang langsung mencecar Maura.“Mmm ... nggak ada. Aku hanya nggak mau merepotkan kakak kamu dan suaminya lama-lama di sini,” jawab Maura berbohong.“Jangan berbohong sama aku, Mau. Aku bukan orang yang baru mengenal kamu hari ini. Ada yang membuat kamu nggak nyaman berada di sini kan?”Maura terdiam saat mendengar pertanyaan dari Rama itu, dan memang sahabatnya lebih tau tentang dia yang sebenarnya tanpa diminta. Maura tidak ingin berbohong kepada Rama. Namun, rasanya juga ta
“Rama ... makasih ya karna kamu selalu ada untukku,” lirih Maura dengan tenang.“Ssstt ... jangan bahas masalah itu lagi. Makasih dan maaf itu dua kata yang nggak boleh kamu ucapkan ke aku. Oke?”“Apa salahnya aku berterima kasih sama kamu dan meminta maaf karena udah selalu merepotkan kamu? Aku nggak mau dianggap sebagai orang yang nggak tau terima kasih dan selalu memanfaatkan kebaikan kamu,” ungkap Maura terdengar begitu sungguh-sungguh.“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu!” ucap Rama dengan nada tegas pada Maura.“Kamu memang nggak pernah. Tapi, kakak kamu akan selalu beranggapan seperti itu.”“Persetan dengan dia, Mau.”“Dia kakakmu, Rama! Jangan hancurkan hubungan kalian hanya karena aku.”“Walau kamu nggak ada, hubunganku sama dia sebenarnya juga udah hancur dari lama, Mau. Kamu jangan menyalahkan diri karena hal itu lagi. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu, udah membawa kamu ke tempat yang salah dan menganggap bahwa itu adalah tempat te