Share

Dia Mandul?

“Maura, kamu udah yakin dengan keputusanmu itu, Nak? Mama nggak mau kamu menyesal dan salah mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, ini adalah masa depanmu dan kamu akan menjadi istri kedua, Nak ....” Anita berkata dengan suara pelan dan sendu.

Dia sudah mendengar semua cerita dari Maura dan dia merasa tidak berdaya dengan keputusan putrinya itu. Penyakit yang sudah bertahun-tahun menggerogoti tubuhnya itu seakan sudah menjadi beban bagi putrinya. Semua harta peninggalan sang suami sudah habis terkuras untuk biaya pengobatan.

Untuk biaya lanjutan pun, Maura harus berkeja sana sini agar mendapatkan uang yang banyak. Sekarang, dengan nota bane balas budi Wulan menawarkan tawaran yang berat itu kepada Maura. Wulan berjanji akan membiayai pengobatan Anita hingga sembuh, bahkan akan memberikan pengobatan terbaik dengan dokter ahli yang terkenal.

Sebagai seorang anak yang berbakti, mana mungkin Maura melewatkan tawaran emas itu. Baginya, yang terpenting adalah Anita segera sembuh seperti semula. Dia tak peduli lagi tentang masa depannya yang akan menjadi istri kedua itu.

“Pokoknya Mama tenang aja, ya. Aku nggak apa-apa kok walau harus nikah sama anaknya tante Wulan. Mama bisa liat sendiri kan, tante Wulan itu orangnya baik. Anaknya juga ganteng banget, Ma.” Maura berusaha membesarkan hati Anita dengan ucapannya itu.

“Kamu udah pernah ketemu sama dia, Nak?” tanya Anita dengan mengerutkan keningnya heran.

“Udah, dong Ma. Kalau belum pernah, mana aku tau kalau dia ganteng dan tinggi.”

Maura sebenarnya tidak yakin, tapi dia tetap menganggap bahwa pria yang ditabraknya tadi adalah Gani. Jadi, dia sedikit berbohong kepada Anita agar ibunya itu percaya dan tidak lagi khawatir.

“Kamu akan jadi istri kedua, Nak. Apa kamu siap? Istri pertamanya mungkin akan merasa tersisih dan akan berusaha untuk terus memusuhi kamu. Kamu siap dengan itu?” tanya Anita yang jelas merasa takut anaknya akan diintimidasi oleh istri pertama Gani nantinya.

“Mama tau kan siapa anak Mama ini? Aku Maura, Ma! Aku akan hadapi siapapun yang berusaha menggangguku!” ucap Maura penuh rasa percaya diri.

Anita dengan selang infus di tangan kanannya, mengulurkan tangan dan membelai wajah Maura yang kini sudah tampak kusam dan juga terlihat kurus. Tidak ada yang membuat hati seorang ibu sedih selain melihat anaknya yang akan menikah, apalagi menjadi istri kedua seorang pria beristri.

“Jangan sedih, dong Ma. Aku kuat untuk Mama, jadi Mama harus kuat untukku. Aku dan mas Gani ... akan menikah minggu depan. Mama harus sehat dan juga kuat, karena aku mau Mama hadir. Aku nggak mau acara yang besar dan aku nggak mau dipublikasikan di umum. Biarlah orang nggak tau siapa aku, karena aku takut juga akan dibully sebagai pelakor, Ma.”

“Mama akan kuat untuk kamu, Nak. Mama nggak akan menyia-nyiakan pengorbanan dan perjuangan yang udah kamu lakukan untuk Mama selama ini. Terima kasih, Sayang.”

Dua ibu dan anak itu akhirnya tetap saja berpelukan dengan perasaan yang mengharu biru. Mereka meluapkan tangis dengan sepuasnya karena setelah ini mereka tidak lagi boleh bersedih. Maura berjanji bahwa tidak akan pernah menderita meski dia akan jadi istri kedua nantinya.

Setelah berkunjung ke rumah sakit, Maura kembali ke sebuah caffe kecil tempat dia bekerja. Di sana ada Rama yang menunggunya sejak tadi. “Dari mana aja sih kamu, Mau? Aku keteteran nih sendirian!” omel Rama pada Maura, meski tidak terlalu serius.

“Sorry, tadi aku ke rumah sakit lama banget, ya. Aku mau memastikan mama mendapatkan pengobatan terbaik,” jelas Maura dan langsung mengambil pekerjaannya seperti biasa.

“Kamu udah punya biaya untuk pengobatan mama, ya?” tanya Rama menatap Maura lekat.

Maura tidak menjawab pertanyaan Rama, karena dia sungguh tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak tahu apakah harus jujur kepada Rama atau tidak tentang keputusannya menikah dengan Gani. Namun, setelah memikirkan lebih lanjut, Maura memilih untuk tetap diam dan tidak membahasnya.

“Aku dapat pinjaman dan bantuan besar dari keluarga papa. Jadi, mama akan segera operasi dua hari lagi. Do’akan semoga operasinya berhasil dan semuanya bisa kembali seperti yang dulu.”

“Aku pasti mendo’akan yang terbaik untuk tante Anita.”

Maura memang sudah bersahabat lama dengan Rama dan mereka sudah lebih seperti kakak adik kandung. Selama ini Rama selalu perhatian kepada Maura dan dia akan selalu membantu gadis itu dalam setiap situasi sulit sebisa dan semampu dirinya.

Hari itu Maura bekerja sangat lelah hingga langit sudah menjadi gelap. Sift Maura hanya sampai jam delapan malam, karena dia bekerja dari jam dua siang hari ini. Maura bergegas berganti pakaian dan ingin pulang ke rumah.

Tante Wulan: Maura Sayang ... Tante udah siapkan semuanya untuk pernikahan kamu seminggu ke depan. Kamu jangan terlalu capek kerja, ya Sayang. Gani akan marah kalau tau kamu masih kerja, jadi sebaiknya kamu berhenti aja kerja mulai besok.

Pesan dari Wulan masuk ke ponsel Maura dan membuat hatinya berdenyut. Maura seprti tidak rela melepaskan pekerjaan ini dan juga tidak tahu akan memberikan alasan apa kepada Rama. Sahabatnya itu pasti akan bertanya banyak hal kepadanya nanti.

Maura: Makasih banyak, Tante. Aku juga udah dapat kabar dari pihak Rumah Sakit, kalau mama akan segera dioperasi di Kuala Lumpur. Makasih banyak atas semua bantuan Tante.

Tante Wulan: Itu semua nggak sebanding dengan yang udah kamu lakukan, Sayang. Tapi, nggak masalah kan kalau kamu tinggalnya serumah sama Sarah juga setelah menikah?

Maura: Maksud Tante, aku sama istri pertama mas Gani akan tinggal satu rumah?

Tante Wulan: Iya, Sayang. Itu adalah keputusan Gani dan jangan takut sama Sarah, sepertinya sekarang Gani juga ilfeel sama dia karena tadi dia udah bilang Gani mandul di depan Tante.

Maura: Hah? Tante serius? Aku jadi makin ngeri kalau gitu, Tante. Apa dia bisa menerima aku di rumahnya nanti, Tan? Gimana kalau aku tetap tinggal di rumah mamaku aja, Tan? Aku ... aku siap kok mengandung anak mas Gani, tapi tetap tinggal di rumah mama aja.

Maura mencoba membujuk Wulan dengan kata-katanya itu, karena terus terang saja dia memang merasa takut jika harus berhadapan dengan Sarah. Dia tahu bahwa istri pertama pasti sangat galak.

Wulan: Jangan, dong Sayang. Apalagi kalau kamu hamil, kamu justru harus tinggal di sana dan dalam pengawasan ketat oleh Tante nantinya. Kamu akan diperlakukan seperti princess saat kamu hamil anak Gani nanti.

Maura membaca pesan itu dengan sedikit merinding, membayangkan jika benar dia mengandung anak Gani setelah mereka resmi menikah nanti. Maura yang masih perawan itu tidak berani membayangkan bagaimana dia akan melewati malam pertamanya nanti.

“Tapi ... apa benar aku bisa hamil anak mas Gani? Mungkin benar kata istrinya, kalau sebenarnya dia mandul. Buktinya ... udah tiga tahun nikah tapi istrinya nggak hamil juga sampai saat ini,” gumam Maura yang langsung merasa merinding.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status