Lima hari sudah berlalu dan saat ini Maura berada di salah satu kamar pasien. Anita baru saja pulang dari Kuala Lumpur setelah menjalani operasi kangker rahim stadium akhir. Maura menunggu ibunya terbangun dan saat ini dia ditemani oleh Wulan.
Mereka sudah menunggu selama satu jam sampai akhirnya ada pergerakan dari anggota tubuh Anita yang terbaring di ranjang pasien. Maura yang merasa senang, langsung saja mengambil tangan Anita dan air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dia tahan.
“Mama ... aku di sini, Ma. Mama udah bangun kan, Ma? Mama bisa dengar suara aku? Mama bisa liat aku di sini? Mama ingat siapa aku kan?” tanya Maura bertubi-tubi saat melihat mata Anita terbuka perlahan-lahan dengan kedipan yang tak berhenti hingga kelopaknya terbuka total.
“Sayang ... pelan-pelan dulu, ya. Nanti mama kamu jadi bingung,” ucap Wulan berusaha menenangkan Maura dengan menggenggam pundaknya dan memberikan kekuatan.
“Mama aku bangun, Tan.”
“Iya. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar seperti yang kita harapkan. Dokter udah jelaskan kalau mama kamu udah melewati masa-masa kritisnya.”
“Iya, Tante. Makasih atas bantuan Tante selama ini. Aku nggak akan bisa membalas kebaikan Tante.”
“Jangan bicara seperti itu, Maura Sayang. Sebentar lagi, kamu akan jadi menantu Tante. Jadi, mulai sekarang belajar panggil Mama, ya.”
“Mama?” tanya Maura kepada Wulan dengan tak percaya.
“Mau ... ra ...,” panggil Anita dengan terbata-bata dan suaranya terdengar sangat serak.
Maura tidak lagi fokus pada ucapan Wulan dan langsung memandang ke arah ibunya. Matanya masih saja mengalirkan air bening yang terasa hangat. Mereka bertiga berbincang ringan dan sempat membahas masalah pernikahan Maura dengan Gani yang akan berlangsung lusa.
Maura dan Wulan keluar dari ruang rawat inap setelah Anita kembali tertidur. Wulan membawa Maura ke sebuah butik terkenal untuk mencoba gaun pengantinnya. Pernikahan sudah tinggal dua hari lagi dan selama ini Maura selalu menolak untuk mencoba gaun pernikahan dan ingin memakai kebaya biasa saja. Namun, kali ini Maura tidak bisa lagi menolak tawaran dari Wulan itu.
“Kamu cantik banget, Sayang. Kamu cocok banget pakai gaun yang ini,” ungkap Wulan dengan suara yang histeris saat melihat Maura keluar dari ruang ganti.
“Benar kan, Ga?” tanya Wulan lagi yang langsung menarik perhatian Maura.
Maura keluar dari kamar ganti dengan wajah tertunduk karena harus merapikan sedikit hiasan di bagian dada gaun pengantinnya itu. Jadi, dia sama sekali tidak menyadari ada orang lain selain Wulan yang sedang menunggunya. Selain itu, tadinya dia hanya datang berdua dengan Wulan saja ke tempat ini.
“Cantik.” Gani berkata dengan suara halus tapi cukup didengar sampai ke tempat Maura berdiri.
“A-apa ... ini Mas Gani, Tante?” tanya Maura gugup dan juga sedikit malu diperhatikan oleh Gani.
“Oh iya. Maaf, Sayang. Tadi Tante sengaja telpon Gani karena kan dia juga harus cobain jas nikahnya dia. Dia baru aja datang kok, Mau. Kalian kenalan dulu, ya!” Wulan menjawab dengan cepat dengan penjelasan yang dirasa sangat perlu agar semua rencananya itu tidak terlalu kelihatan di depan Gani dan Maura. Tentu saja Wulan sengaja mempertemukan keduanya di tempat ini untuk saling mengenal satu sama yang lainnya, sebelum pernikahan dilangsungkan.
“Kamu ... sepertinya kita pernah ketemu!” seru Gani seraya mengarahkan jari telunjuknya pada Maura.
Dia seperti sedang berusaha mengingat sesuatu, karena jelas saja saat ini keningnya tampak berkerut. Mungkin, dia sedikit lupa kejadian saat Maura menabraknya saat itu. Maura yang kini berdiri di depannya sudah layaknya seorang pengantin dengan riasan di wajah dan tatanan rambut yang sempurna.
“Ma-maaf, Pak. Waktu itu saya nggak sengaja nabrak Bapak,” ucap Maura langsung saja.
“Oh ya. Kamu yang nabrak saya di loby beberapa hari yang lalu!” seru Gani lagi dan mengabaikan perminta maafan dari Maura.
“Sayang ... Mama bilang apa! Kamu pasti ketemu sama Maura waktu itu. Di make up atau nggak di make up, Maura cantik kan, Ga?” tanya Wulan masih dengan suasana hati senangnya itu.
Gani hanya diam saja dan terus menatap wajah Maura yang tampak gugup dan takut memandangnya. Gani merasa lucu di dalam hatinya saat melihat reaksi Maura saat ini. Tanpa sengaja, Gani tersenyum tipis dan itu terpantau oleh Wulan.
“Gani senyum melihat Maura! Itu artinya ... dia tertarik sama pilihanku!” ucap Wulan dalam hatinya.
“Jangan panggil aku, Pak. Sebentar lagi, aku akan jadi suami kamu. Bukannya, kamu biasa memanggilku dengan sebutan mas saat sedang berbincang dengan mama?” tanya Gani saat hanya ada mereka berdua di dalam ruang ganti.
“I-iya, Pak. Ma-maksud aku, Mas.” Maura masih belum terbiasa dan saat ini, Wulan sudah meninggalkannya di sini dengan Gani berdua saja.
“Sampai bertemu dua hari lagi,” ucap Gani tanpa basa-basi dan justru ikut meninggalkan Maura di dalam ruangan itu sendirian.
Maura tertegun dan tak percaya bahwa Gani akan pergi begitu saja, tanpa mengatakan atau mungkin membahas tentang pernikahan mereka yang hanya tinggal dua hari lagi itu. Maura menelan ludah dengan susah payah dan segera pergi dari tempat itu setelah menyelesaikan semuanya.
Dua hari yang dinanti, ternyata tidak terlalu lama tiba. Maura yang duduk di samping lelaki bertubuh tinggi dan tegap itu merasa gugup. Aroma wangi yang dikeluarkan oleh tubuh Gani, mampu membuatnya terlena dan mabuk kepayang. Namun, Maura menyadari bahwa dia tidak boleh terbawa suasana dan perasaan dengan pernikahan ini.
“Bagaimana para saksi? Apakah sudah sah?” tanya pak penghulu saat Maura baru saja tersadar dari lamunannya. Ternyata, ijab dan Qabul itu sudah selesai dilaksanakan.
“Sah.”
“Alhamdulillah, Sah.”
“Sah ...”
Silih berganti para saksi dan tamu undangan bersorak sah. Tiba-tiba saja tubuh Maura merasa tegang dan kaku, membayangkan bahwa saat ini dirinya sudah sah menjadi istri kedua Gani.
“Bismillah. Inilah jalan hidup yang sudah aku pilih. Aku nggak akan menyesalinya dan aku nggak akan pernah menyalahkan siapapun dalam keadaan ini. Apapun yang akan terjadi di kemudian hari, aku akan menanggung dan menghadapinya seorang diri.” Hati Maura berkata dengan penuh tekat.
Anita dan Wulan saling berpelukan dengan haru saat akhirnya anak-anak mereka sah menikah. Hanya Sarah yang tidak terlihat di dalam ruangan itu dan tentu saja dia memang sengaja tidak mau hadir di pernikahan kedua suaminya. Sarah masih di Tokyo bersama teman-temannya untuk bersenang-senang.
“Gani ... cium kening istrimu, Nak!” titah Wulan saat melihat Gani hanya terdiam membatu di samping Maura, begitu pun dengan Maura.
“Haruskah, Ma?” tanya Gani setengah berbisik dan dapat didengar oleh Maura.
“Dia sangat mencintai dan menghargai istrinya, walau wanita itu tidak ada di sini hari ini. Aku harus lebih sadar diri dan sadar di mana posisiku. Aku nggak akan bisa sejajar dengan wanita itu di hati mas Gani,” batin Maura berkata dengan berkecil hati ketika mendengar pertanyaan Gani pada Wulan tadi.
Semua proses sudah selesai dan saat ini Maura berada di dalam kamar pengantin. Kamar yang sudah disiapkan oleh tim WO sewaan Wulan. Dia duduk di sisi ranjang dengan pakaian pengantin yang masih lengkap dengan aksesoris di tubuhnya.“Kamu sampai kapan akan diam di sana? Mau tidur dengan pakaian pengantin? Segitu bahagianya jadi istri aku?” tanya Gani yang baru saja keluar dari kamar mandi.Cecaran pertanyaan Gani terasa begitu menyakitkan bagi Maura. Namun, dia tidak boleh menyerah sekarang dan membuat semua pengorbanannya sia-sia dalam hitungan jam saja. Anita dan Wulan pasti akan kecewa jika dia menyerah secepat ini.“A-aku nungguin kamu keluar, Mas.” Maura menjawab dengan singkat dan padat.“Nungguin aku keluar? Masuknya aja belum, gimana bisa keluar?” tanya Gani dengan nada yang ambigu di telinga Maura.“Mas Gani ngomong apaan sih? Aku ganti baju dulu,” ucap Maura dengan wajah yang memerah menahan malu karena dia jelas tahu maksud keambiguan ucapan Gani tadi.Maura berada di dalam
Meski awalnya Gani ingin memberikan sedikit sambutan dengan caranya, akan tetapi melihat Maura menangis hatinya menjadi tersentuh. Gani tidak pernah iba melihat wanita lain menangis selain Wulan dan juga Sarah sebelum kehadiran Maura.“Oke. Aku keluar dan aku nggak akan ganggu kamu malam ini. Nikmati tidur di malam pertamamu dengan ditemani guling malam ini,” terang Gani dan segera beranjak dari posisi duduknya.Gani yang menggunakan celana santai panjang dan kaos oblong berwarna hitam, menenteng laptop kerjanya keluar dari kamar pengantin. Ada sedikit perasaan bersalah pula dalam hati Maura karena mengusir Gani dari kamar yang di mana seharusnya semua yang ada di rumah ini adalah hak Gani.“Duh, aku keterlaluan banget nggak sih tadi ngomongnya? Tapi, dia sendiri yang mulai duluan. Dia udah nuduh aku seperti itu. Mana mungkin aku nggak kesal dan marah!” gumam Maura saat yakin dirinya hanya tinggal sendiri di dalam kamar pengantinnya saat ini.Sementara Gani masuk ke kamar kerja setela
Sepasang suami istri sedang bertukar peluh di dalam kamar tidur utama. Sarah yang sudah lama tidak melayani suaminya, kini tampak sangat agresif dan juga dominan. Gani hanya menerima saja semua yang dilakukan istrinya itu.“Mas ... enak nggak?” tanya Sarah saat menggoyangkan pinggulnya dengan perlahan.Tubuh wanita itu polos tanpa sehelai benang pun dan dia sedang berada di atas tubuh Gani yang tentu saja juga dalam keadaan polos. “Banget, Sayang. Kamu udah lama nggak manjain aku begini,” jawab Gani dengan senyum puas.“Maafin aku, ya Sayang. Aku terlalu asik dengan duniaku dan juga terlalu sibuk dengan teman-temanku,” ucapnya dengan nada penyesalan.“Nggak apa-apa, Sayang. Aku ngerti kamu juga bosan di rumah dan butuh hiburan.”Sarah tersenyum mendengar ucapan Gani dan tentu saja semakin mempercepat ritme gerakannya itu. Kamar utama dan kamar tidur baru yang ditempati Maura saat ini jaraknya tidak terlalu jauh. Sarah masih asik bergumul dengan Gani, seolah merekalah yang baru saja me
“Huh! Apa laki-laki kaya itu selalu bersikap angkuh dan sombong? Aku kalau bukan karena ....”Maura menghentikan ucapannya karena takut didengar oleh orang lain. Dia tidak ingin ada yang tahu bahwa Wulan sedang sakit parah. Tentu saja semua itu adalah keinginan dan permintaan Wulan secara khusus kepadanya.Maura menyantap makan malamnya dengan lahap hingga merasa kenyang. “Setidaknya, dia masih mau perhatian sama aku apapun alasannya.” Maura berkata setelah berbaring di atas ranjangnya.Mungkin karena terlalu lelah dengan resepsi pernikahan hari ini, mata Maura dengan cepatnya terlelap. Pintu kamar tidur lupa dikunci oleh Maura hingga pagi pun datang menyapa.“Duh, pengantin baru jam segini masih tidur.”Terdengar suara yang tak asing di telinga Maura dan perlahan dia mengerjapkan matanya. Maura tidak tahu sudah jam berapa pagi ini. Dia tidur dengan pulas karena terlalu lelah dan tidur dengan perut yang kenyang.Maura mendengar ada suara dengkuran halus di sampingnya. Saat dia memperh
Wulan menemui Sarah yang sedang duduk di ruang santai, dekat dengan ruang makan. Memang Sarah awalnya tidak disetujui oleh Wulan saat Gani mengatakan akan meminang wanita itu. Sarah tampak tidak ramah dan tidak bisa mengambil hati Wulan sebagai ibu mertua.“Sarah. Mama mau ngomong sebentar sama kamu,” ucap Wulan saat menghampiri Sarah.Sarah meletakkan gawainya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Iya, Ma. Mau ngomong apa?” tanya Sarah dengan ramah, tidak seperti biasanya.“Kamu nggak masalah kan kalau Gani menikahi Maura? Mama harap, kamu bisa berbaik hati menerima kehadiran Maura di rumah ini,” jawab Wulan dengan nada tegas.“Memangnya, kalau aku menolak sekarang pun, bisa merubah keadaan? Toh, kenyataannya tetap aja mas Gani udah nikahin tuh perempun,” ucap Sarah yang terdengar tidak senang.“Mama nggak punya pilihan lain selain mencoba dengan cara ini. Umur nggak ada yang tau kan? Siapa tau aja Mama nggak punya umur panjang? Jadi, Mama ingin melihat cucu Mama sebelum dipanggil sam
Sarapan pagi itu terkesan sangat horor karena sikap dingin semua penghuni kursi di meja makan. Terutama Sarah yang terus saja menatap ke arah Maura dengan tatapan tak senang. Apalagi, Wulan memposisikan Maura di samping Gani dan itu semakin membuat Sarah marah.“Makan yang banyak, Mau. Kamu harus mulai mengkonsumsi banyak makanan sehat, buah dan sayur gitulah pokoknya.” Wulan memberikan perhatian penuh pada Maura.“Kamu juga harus gitu, Sarah.” Wulan melanjutkan ucapannya untuk Sarah.“Iya, Ma.”Sarah dan Maura menjawab serentak dan tentu saja hanya dengan kalimat singkat itu. Gani memperhatikan Sarah dengan iba. Dia tidak tega melihat istrinya tertekan dengan keadaan ini.“Sayang, kamu ada rencana apa hari ini?” tanya Gani berusaha menghibur Sarah.“Nggak ada, Mas. Aku sepertinya di rumah aja hari ini, aku capek!” jawab Sarah pelan.“Ya udah. Kamu istirahat aja di rumah dan kalau butuh apa-apa, telpon aja Dion. Aku hari ini juga akan ke luar kota dan sepertinya akan pulang larut mala
“Untung aja aku nggak jadi dibawa sama mas Gani ke luar kota. Dih, nggak kebayang gimana canggungnya kalau beneran harus ikut sama mba Sarah juga.”“Kamu kenapa sih, Nak?” tanya Anita heran karena sejak datang tadi Maura tampak cemberut.“Nggak apa-apa kok, Ma. Mama gimana keadaannya sekarang? Udah nggak pusing-pusing lagi kan, Ma? Harusnya sih nggak lagi, ya, soalnya ini obat mahal banget, Ma. Dijamin bakal bisa buat Mama cepet sembuh,” terang Maura pada Anita dengan senyum lebar.Anita yang terbaring di tempat tidurnya ikut tersenyum dan bahagia saat melihat lagi senyuman Maura. Putrinya itu adalah gadis yang ceria dan selalu murah senyum sebelumnya.“Gimana hubungan kamu sama Gani? Kalian udah saling mengenal satu sama yang lainnya?” tanya Anita ingin tahu kelanjutan hubungan putrinya dengan sang suami.“Hmm ... baik-baik aja kok, Ma. Namanya juga baru nikah, nggak mungkin langsung akrab. Apalagi, kami nggak saling kenal sebelumnya.”“Mama ngerti gimana perasaan kamu.”“Masa? Meman
Maura dan Rama duduk berhadapan di sebuah meja di satu cafe. Mereka saling diam saja sejak beberapa waktu lalu dan tampaknya masih tidak ada yang ingin memulai percakapan. Hal ini dilakukan agar Maura dan Rama bisa bicara dari hati ke hati tanpa mengganggu istirahat Anita.“Kamu bisa jelasin semuanya ke aku sekarang, Mau!” pinta Rama dengan sedikit mendesak.“A-aku ... aku nggak tau harus mulai dari mana, Rama.” Maura berkata dengan lirih.“Kapan kamu nikah dan sama siapa? Kenapa kamu nggak kasih tau aku dan kenapa nggak ngundang aku? Apa aku ini memang nggak seberarti itu dalam hidupmu, Mau?” tanya Rama beruntun.“Maafin aku, ya. Aku nggak tau harus mulai dari mana ngomongnya sama kamu. Aku baru nikah kemarin dan semuanya serba dadakan aja, Rama. Aku juga nggak tau bakalan nikah secepat ini,” terang Maura seperti sedang menjelaskan situasi pada sang kekasihnya.“Kemarin? Kamu serius? Kamu ... kamu menukar hidupmu dengan ... biaya pengobatan tante Anita? Aku nggak memikirkan kemungkin