Sarah masuk ke dalam ruangan Wulan dan duduk di sisi Gani. Dia menatap suaminya dengan sendu dan berharap bahwa suaminya menolak titah atau keputusan sang ibu. Namun, setelah sekian detik menunggu tetap tak ada reaksi dari Gani.
Sarah tahu bahwa Gani tidak akan menentang keputusan dari ibunya itu. Sarah menarik napas panjang dan kemudian berusaha untuk tetap kuat, meski hatinya terasa hancur dan sakit.
“Oke. Silakan Mama menikahkan mas Gani dengan gadis pilihan Mama itu. Tapi, aku ada satu syarat untuk mengizinkan mas Gani menikah lagi,” ucap Sarah dengan sinis dan sorot mata yang tajam.
“Katakan!” titah Gani yang sebenarnya tidak disangka oleh Sarah.
“Aku ingin ... setelah menikah nanti, kamu tetap tinggal sama aku, Mas!” ucap Sarah dengan penuh rasa percaya diri dan seolah dia tak ingin berpisah dari suaminya.
“Apa? Nggak bisa! Mana mungkin Gani tetap tinggal sama kamu, Sarah!” bantah Wulan telak.
“Terus gimana, Ma? Mama mau aku yang ditinggalkan mas Gani? Apa ubahnya itu dengan perceraian?” tanya Sarah yang tetap tak mau mengalah.
“Sarah! Jangan bicara tentang perceraian di depanku! Aku tidak akan menceraikan kamu!” ucap Gani dengan sangat tegas dan juga penuh dengan kewibawaan yang tinggi.
Sarah tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan dari sang suami tercinta. “Mama dengar sendiri kan? Jadi, kalau mas Gani menikah lagi dia tetap akan tinggal bersamaku seperti biasa. Masalah istri barunya, dia hanya akan sekedar mampir di mana istri keduanya itu tinggal dan nggak akan tinggal bersama.” Sarah menjelaskan hal itu dengan sangat tegas.
“Nggak bisa gitu, dong. Itu nggak adil untuk Maura!”
“Oh ... jadi namanya Maura, ya? Cantik juga. Aku berharap dia bisa menjadi menantu seperti yang Mama harapkan. Atau ... dia akan merasakan menjadi menantu yang selalu dituntut oleh ibu mertuanya untuk segera mengandung. Jika tidak berhasil mengandung, maka suaminya akan dinikahkan lagi dengan wanita lain. Seperti itu saja terus sampai istr mas Gani jadi sepuluh!”
“Jadi, maksud kamu ... aku mandul?” tanya Gani dengan suara dingin.
Dia tidak bodoh dengan semua yang didengarnya dari mulut Sarah beberapa detik yang lalu itu. Gani diam saja karena memang tidak ingin lebih banyak menyakiti hati dan perasaan Sarah sebagai istrinya. Di satu sisi, dia juga tidak bisa lagi menentang keputusan Wulan yang sudah final.
Sepertinya, Sarah sudah salah bicara dan membuat Gani menjadi tersinggung. Selama ini, Gani tidak pernah bicara atau bertanya dengan nada seketus itu kepadanya. Hal itu tentu saja mengejutkan Sarah yang tak bisa berkata apa-apa saat ini.
“Sarah! Kau mau bilang kalau Gani itu mandul, hah?” tanya Wulan bernada emosi.
“Nggak, Ma. A-aku nggak maksud ngomong seperti itu,” jawab Sarah akhirnya dengan gugup.
“Terus, kenapa kamu bilang Mama akan seperti ini dan menikahkan Gani terus sampai istrinya jadi sepuluh hanya demi seorang cucu? Itu sama aja artinya kamu mengatakan kalau Gani mandul dan sampai berapapun istri yang Mama pilihkan untuk dia, nggak akan pernah ada yang bisa kasih Mama cucu atau keturunan Gani!” ungkap Wulan yang sungguh merasa kesal pada Sarah.
“Aku yang akan memutuskan. Aku menerima tawaran Mama dan akan menikah minggu depan. Mengenai di mana aku akan tinggal, aku tentu akan tinggal di mana rumahku sekarang,” terang Gani dengan suara bass yang khas dan tidak ada yang berani bicara.
Sarah kembali tersenyum puas mendengar ucapan Gani, karena dia tahu bahwa mana mungkin suaminya itu akan meninggalkan dia. Gani tidak akan tinggal dengan istri barunya dan membiarkannya sendirian di rumah mewah mereka saat ini.
Wulan membesarkan netra matanya saat mendengar keputusan Gani. Memang, Gani sudah setuju untuk menikahi Maura. Akan tetapi, bagaimana Maura bisa mengandung kalau Gani tetap tinggal bersama dengan Sarah dan bukannya bersama Maura?
“Sayang, Mama nggak ....”
“Tunggu, Ma! Aku belum selesai bicara,” potong Gani seakan tahu apa yang akan dikatakan oleh ibunya saat ini.
“Aku memang akan tetap tinggal di rumahku bersama Sarah. Setelah menikahi Maura, maka dia juga akan tinggal bersamaku di sana,” lanjut Gani yang kini membuat dua wanita itu bertukar ekspresi.
“Mas!” bentak Sarah seperti tak terima dengan keputusan suaminya.
Wulan tersenyum puas dan menghela napas dengan lega. “Mama tau kalau kamu adalah pria yang sangat bijaksana dan akan jadi suami yang sangat adil pada Maura, Ga!” ucap Wulan yang memang terbiasa memanggil Gani dengan dua huruf depannya saja.
“Keputusanku sudah final dan silakan Mama persiapkan semuanya. Aku nggak mau repot dengan hal-hal pernikahan. Untuk rumah dan kamar baru di rumahku, Mama bisa minta bantuan Sarah atau para pelayan di rumah untuk melakukan perubahan agar layak ditempati oleh seorang wanita bergelar istri Gani Wardana nantinya!” ungkap Gani pula dan segera berdiri dari tempat duduknya.
Dia merasa semua pembahasan hari ini sudah cukup dan sudah mencapai kesepakatan. Gani akan kembali ke ruangannya lagi dan tidak ingin diganggu bahkan saat Sarah mengekor di belakangnya. Dia meminta Sarah untuk melanjutkan rencana yang sudah dikatakannya tadi dan dua buah kartu kredit tanpa limit pada sang istri.
“Apa keputusanku ini sudah benar? Apa aku tidak menyakiti hati Sarah dengan pernikahan keduaku nanti?” tanya Gani dalam hatinya dengan bimbang.
Dia duduk di singgasananya dengan perasaan dan pikiran yang berkecamuk. Sebenarnya, tidak salah yang dikatakan oleh Sarah kepada ibunya tadi. Bagaimanapun juga, anak adalah soal kuasa Tuhan dan tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu rezeky itu datang.
Di lain sisi, Gani juga sangat tersinggung dan tidak bisa menerima jika dia dianggap sebagai lelaki mandul oleh istrinya sendiri. Gani sangat mencintai Sarah dan dia juga rutin melakukan test kesehatan juga test kesuburan. Gani aman dari semua test dan kemungkinan untuk mempunyai anak itu sangat banyak dan besar. Hanya tinggal menunggu waktu dan kesemapatan saja.
“Aku bahkan belum pernah bertemu dengan gadis itu. Bisa-bisanya aku langsung setuju untuk menikah dengannya!” gumam Gani yang baru saja menyadari kekeliruannya itu.
Gani teringat dengan ucapan Wulan saat dia baru kembali dari Bank untuk mengurus segala keperluan keuangan perusahaan. Wulan berkata bahwa gadis bernama Maura itu baru saja keluar dari ruangan sang ibu dan mendesak seolah tidak percaya saat Gani berkata tidak bertemu dengan gadis yang dimaksud oleh ibunya itu.
Kening Gani berkerut banyak ketika teringat peristiwa yang membuatnya kesal tadi. “Apa gadis kecil yang menabrakku tadi? Apa dia yang akan menjadi istri keduaku?” tanya Gani pada dirinya sendiri dengan senyum misterius.
“Maura, kamu udah yakin dengan keputusanmu itu, Nak? Mama nggak mau kamu menyesal dan salah mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, ini adalah masa depanmu dan kamu akan menjadi istri kedua, Nak ....” Anita berkata dengan suara pelan dan sendu.Dia sudah mendengar semua cerita dari Maura dan dia merasa tidak berdaya dengan keputusan putrinya itu. Penyakit yang sudah bertahun-tahun menggerogoti tubuhnya itu seakan sudah menjadi beban bagi putrinya. Semua harta peninggalan sang suami sudah habis terkuras untuk biaya pengobatan.Untuk biaya lanjutan pun, Maura harus berkeja sana sini agar mendapatkan uang yang banyak. Sekarang, dengan nota bane balas budi Wulan menawarkan tawaran yang berat itu kepada Maura. Wulan berjanji akan membiayai pengobatan Anita hingga sembuh, bahkan akan memberikan pengobatan terbaik dengan dokter ahli yang terkenal.Sebagai seorang anak yang berbakti, mana mungkin Maura melewatkan tawaran emas itu. Baginya, yang terpenting adalah Anita segera sembuh seperti se
Lima hari sudah berlalu dan saat ini Maura berada di salah satu kamar pasien. Anita baru saja pulang dari Kuala Lumpur setelah menjalani operasi kangker rahim stadium akhir. Maura menunggu ibunya terbangun dan saat ini dia ditemani oleh Wulan.Mereka sudah menunggu selama satu jam sampai akhirnya ada pergerakan dari anggota tubuh Anita yang terbaring di ranjang pasien. Maura yang merasa senang, langsung saja mengambil tangan Anita dan air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dia tahan.“Mama ... aku di sini, Ma. Mama udah bangun kan, Ma? Mama bisa dengar suara aku? Mama bisa liat aku di sini? Mama ingat siapa aku kan?” tanya Maura bertubi-tubi saat melihat mata Anita terbuka perlahan-lahan dengan kedipan yang tak berhenti hingga kelopaknya terbuka total.“Sayang ... pelan-pelan dulu, ya. Nanti mama kamu jadi bingung,” ucap Wulan berusaha menenangkan Maura dengan menggenggam pundaknya dan memberikan kekuatan.“Mama aku bangun, Tan.”“Iya. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar seperti
Semua proses sudah selesai dan saat ini Maura berada di dalam kamar pengantin. Kamar yang sudah disiapkan oleh tim WO sewaan Wulan. Dia duduk di sisi ranjang dengan pakaian pengantin yang masih lengkap dengan aksesoris di tubuhnya.“Kamu sampai kapan akan diam di sana? Mau tidur dengan pakaian pengantin? Segitu bahagianya jadi istri aku?” tanya Gani yang baru saja keluar dari kamar mandi.Cecaran pertanyaan Gani terasa begitu menyakitkan bagi Maura. Namun, dia tidak boleh menyerah sekarang dan membuat semua pengorbanannya sia-sia dalam hitungan jam saja. Anita dan Wulan pasti akan kecewa jika dia menyerah secepat ini.“A-aku nungguin kamu keluar, Mas.” Maura menjawab dengan singkat dan padat.“Nungguin aku keluar? Masuknya aja belum, gimana bisa keluar?” tanya Gani dengan nada yang ambigu di telinga Maura.“Mas Gani ngomong apaan sih? Aku ganti baju dulu,” ucap Maura dengan wajah yang memerah menahan malu karena dia jelas tahu maksud keambiguan ucapan Gani tadi.Maura berada di dalam
Meski awalnya Gani ingin memberikan sedikit sambutan dengan caranya, akan tetapi melihat Maura menangis hatinya menjadi tersentuh. Gani tidak pernah iba melihat wanita lain menangis selain Wulan dan juga Sarah sebelum kehadiran Maura.“Oke. Aku keluar dan aku nggak akan ganggu kamu malam ini. Nikmati tidur di malam pertamamu dengan ditemani guling malam ini,” terang Gani dan segera beranjak dari posisi duduknya.Gani yang menggunakan celana santai panjang dan kaos oblong berwarna hitam, menenteng laptop kerjanya keluar dari kamar pengantin. Ada sedikit perasaan bersalah pula dalam hati Maura karena mengusir Gani dari kamar yang di mana seharusnya semua yang ada di rumah ini adalah hak Gani.“Duh, aku keterlaluan banget nggak sih tadi ngomongnya? Tapi, dia sendiri yang mulai duluan. Dia udah nuduh aku seperti itu. Mana mungkin aku nggak kesal dan marah!” gumam Maura saat yakin dirinya hanya tinggal sendiri di dalam kamar pengantinnya saat ini.Sementara Gani masuk ke kamar kerja setela
Sepasang suami istri sedang bertukar peluh di dalam kamar tidur utama. Sarah yang sudah lama tidak melayani suaminya, kini tampak sangat agresif dan juga dominan. Gani hanya menerima saja semua yang dilakukan istrinya itu.“Mas ... enak nggak?” tanya Sarah saat menggoyangkan pinggulnya dengan perlahan.Tubuh wanita itu polos tanpa sehelai benang pun dan dia sedang berada di atas tubuh Gani yang tentu saja juga dalam keadaan polos. “Banget, Sayang. Kamu udah lama nggak manjain aku begini,” jawab Gani dengan senyum puas.“Maafin aku, ya Sayang. Aku terlalu asik dengan duniaku dan juga terlalu sibuk dengan teman-temanku,” ucapnya dengan nada penyesalan.“Nggak apa-apa, Sayang. Aku ngerti kamu juga bosan di rumah dan butuh hiburan.”Sarah tersenyum mendengar ucapan Gani dan tentu saja semakin mempercepat ritme gerakannya itu. Kamar utama dan kamar tidur baru yang ditempati Maura saat ini jaraknya tidak terlalu jauh. Sarah masih asik bergumul dengan Gani, seolah merekalah yang baru saja me
“Huh! Apa laki-laki kaya itu selalu bersikap angkuh dan sombong? Aku kalau bukan karena ....”Maura menghentikan ucapannya karena takut didengar oleh orang lain. Dia tidak ingin ada yang tahu bahwa Wulan sedang sakit parah. Tentu saja semua itu adalah keinginan dan permintaan Wulan secara khusus kepadanya.Maura menyantap makan malamnya dengan lahap hingga merasa kenyang. “Setidaknya, dia masih mau perhatian sama aku apapun alasannya.” Maura berkata setelah berbaring di atas ranjangnya.Mungkin karena terlalu lelah dengan resepsi pernikahan hari ini, mata Maura dengan cepatnya terlelap. Pintu kamar tidur lupa dikunci oleh Maura hingga pagi pun datang menyapa.“Duh, pengantin baru jam segini masih tidur.”Terdengar suara yang tak asing di telinga Maura dan perlahan dia mengerjapkan matanya. Maura tidak tahu sudah jam berapa pagi ini. Dia tidur dengan pulas karena terlalu lelah dan tidur dengan perut yang kenyang.Maura mendengar ada suara dengkuran halus di sampingnya. Saat dia memperh
Wulan menemui Sarah yang sedang duduk di ruang santai, dekat dengan ruang makan. Memang Sarah awalnya tidak disetujui oleh Wulan saat Gani mengatakan akan meminang wanita itu. Sarah tampak tidak ramah dan tidak bisa mengambil hati Wulan sebagai ibu mertua.“Sarah. Mama mau ngomong sebentar sama kamu,” ucap Wulan saat menghampiri Sarah.Sarah meletakkan gawainya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Iya, Ma. Mau ngomong apa?” tanya Sarah dengan ramah, tidak seperti biasanya.“Kamu nggak masalah kan kalau Gani menikahi Maura? Mama harap, kamu bisa berbaik hati menerima kehadiran Maura di rumah ini,” jawab Wulan dengan nada tegas.“Memangnya, kalau aku menolak sekarang pun, bisa merubah keadaan? Toh, kenyataannya tetap aja mas Gani udah nikahin tuh perempun,” ucap Sarah yang terdengar tidak senang.“Mama nggak punya pilihan lain selain mencoba dengan cara ini. Umur nggak ada yang tau kan? Siapa tau aja Mama nggak punya umur panjang? Jadi, Mama ingin melihat cucu Mama sebelum dipanggil sam
Sarapan pagi itu terkesan sangat horor karena sikap dingin semua penghuni kursi di meja makan. Terutama Sarah yang terus saja menatap ke arah Maura dengan tatapan tak senang. Apalagi, Wulan memposisikan Maura di samping Gani dan itu semakin membuat Sarah marah.“Makan yang banyak, Mau. Kamu harus mulai mengkonsumsi banyak makanan sehat, buah dan sayur gitulah pokoknya.” Wulan memberikan perhatian penuh pada Maura.“Kamu juga harus gitu, Sarah.” Wulan melanjutkan ucapannya untuk Sarah.“Iya, Ma.”Sarah dan Maura menjawab serentak dan tentu saja hanya dengan kalimat singkat itu. Gani memperhatikan Sarah dengan iba. Dia tidak tega melihat istrinya tertekan dengan keadaan ini.“Sayang, kamu ada rencana apa hari ini?” tanya Gani berusaha menghibur Sarah.“Nggak ada, Mas. Aku sepertinya di rumah aja hari ini, aku capek!” jawab Sarah pelan.“Ya udah. Kamu istirahat aja di rumah dan kalau butuh apa-apa, telpon aja Dion. Aku hari ini juga akan ke luar kota dan sepertinya akan pulang larut mala
“Apa salahnya kalau aku ngomong seperti itu ke dia, Mas? Biar dia tau posisinya seperti apa dan selama dia pergi, kamu nggak menunggu dia sama sekali.”“Kamu udah berbohong dan membuat aku buruk di mata Maura!”“Mas! Memangnya kamu mau dia berpikir selama dia pergi dengan selingkuhannya itu, kamu nggak bahagia dan nggak bisa move on dari dia? Sementara, dia sama laki-laki itu hidup bahagia sampai punya anak.”Mendengar kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Sarah, tentu saja Gani merasa bahwa semua itu ada benarnya juga. Gani tidak ingin terlihat sebagai lelaki yang patah hati di hadapan Maura. Sementara dia bahagia dengan lelaki lain di hidupnya.Sarah tahu bahwa dalam hatinya, Gani membenarkan yang baru saja dia katakan. Tidak sulit untuk menebak jalan pikiran Gani saat ini. Hanya saja, Sarah tidak mau terlalu menggebu gebu dan terlihat konyol di depan Gani.Saat ini, yang perlu dia lakukan adalah mengambil kembali kepercayaan Gani dan merusak pikirannya tentang Maura. Sarah har
“Mas Gani nggak usah jadi mempertanyakan hal itu. Sekarang yang dibahas adalah tentang mba Sarah dan pil yang waktu itu ada di kamarnya. Aku udah simpan dan aku udah bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Hasilnya ... itu adalah pil KB dosis tinggi.”Maura menjelaskan hal yang sebenarnya dan sudah terpendam sangat lama di hatinya. Kertas hasil pemeriksaan obat itu pun masih tersimpan dengan baik di antara barang-barang berharga Maura.Hal itu karena Maura yakin suatu saat nanti dia akan membutuhkan kertas dari dokter yang sudah diterimanya dua tahun silam itu.“Jangan percaya sama ucapan dia, Mas. Bisa aja dia bohong sama kamu, Mas. Kita nggak tau obat apa yang dia ambil dari kamar aku dan obat apa pula yang dia bawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Orang kalau udah memang niatnya buruk, sampai kapan pun akan tetap buruk, Mas.” Sarah dengan cepat menjabarkan hal itu seperti sedang mencari pembelaan diri dengan menydutkan Maura.Maura menyunggingkan senyuman sinisnya pada Sarah. “Kalau Mb
Aku sangat bisa, Mas. Aku masih menyimpan hasil laporan tentang obat itu. Aku masuk ke kamar saat itu dan kamu tau juga kan, Mas? Kamu yang suruh aku tutup pintu kamar kamu dan mba Sarah? Itu waktu mama masuk rumah sakit dan kalian berdua menemani mama di sana. Aku sendirian di rumah dan kita berbalas pesan.”Memori ingatan Gani kembali mengilas masa lalu yang memang masih terpatri dalam otaknya. Dia ingat saat itu di mana Maura terpaksa pulang ke rumah dan sendirian di rumah. Hal itu dia lakukan agar Sarah tidak terus-terusan menyakiti hati Maura.“Ya. Aku sangat ingat dan masih terekam jelas dalam otakku,” jawab Gani singkat.“Kamu pasti juga masih ingat waktu kamu suruh aku mengambil dua butir obat yang berserakan di atas kasur kamu dan mba Sarah?” tanya Maura sekali lagi.Gani semakin teringat dengan hari itu dan dia memang meminta Maura untuk mengambil dua butir obat itu. Maura mengadukan padanya bahwa di kamar itu berserakan banyak sekali obat yang tidak tahu obat apa.Sebagai
“Apa maksud kamu, Mau?” tanya Gani yang kini mengguncang bahu Maura.Hal itu tentu saja membuat Melody menjadi terkejut dan takut. Bayi perempuan yang lucu itu langsung menangis sambil memeluk erat tubuh Maura. Maura tidak tega mendengar buah hatinya menangis ketakutan seperti itu.“Apa yang kamu lakukan, Mas? Kamu membuat Melody menjadi takut!” ucap Maura dan menepis tangan Gani dengan kasar.“Sayang ... nggak apa-apa, Sayang. Mami di sini, Nak. Nggak usah takut lagi, ya.” Maura berusaha menenangkan Melody dan hal itu membuat Gani tercengang.Jiwa keibuan jelas terlihat dari raut wajah Maura dan Sarah juga sedikit terkesip. Dia bahkan tidak pernah berkata selembut dan semanis itu kepada Kesya. Walaupuan Kesya terlahir dari rahimnya, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah menyayangi Kesya seperti yang baru saja ditampilkan Maura kepada putrinya – Melody.Tangisan itu mereda dan Maura merasa lega secara bersamaan. Namun, sorot matanya jelas menatap ke arah Gani dengan tajam. Dia tida
“Jo-Jonathan? Siapa yang kamu maksud, Mas? Aku nggak tau sama sekali!” ucap Sarah gugup dan panik ketika nama Jonathan disebut oleh Gani.“Jangan bersandiwara lagi di depanku, Sarah. Aku bukan laki-laki bodoh yang bisa kamu tipu dan kamu bodohi terus,” ungkap Gani yang berusaha menahan amarahnya karena mengingat ini adalah rumah sakit dan tidak boleh ada kebisingan di sini.“Mas! Jangan bicara sembarangan kalau nggak ada bukti. Apa kamu pernah liat aku dekat sama pria lain selama ini, Mas? Kamu tau dengan jelas siapa-siapa aja teman aku kan?”“Aku nggak pernah tau siapa aja yang kamu simpan dan bohongi dari aku.”“Siapa yang udah mencuci otak kamu, Mas? Sepertinya ... semenjak kedatangan Maura dalam rumah tangga kita, kamu terlalu banyak berubah.”“Jangan sebut lagi nama wanita itu di sini. Dia nggak ada hubungannya sama sekali dengan yang aku bicarakan saat ini dengan kamu, Sarah!”“Tapi, memang dia yang membuat kamu berubah, Mas. Kamu jadi nggak percaya sama aku dan cinta kamu ke ak
Gani tidak bisa tenang dengan ucapan yang dilontarkan oleh Wulan tadi. Belum sempat wanita itu menjawab pertanyaan Gani, kondisinya kembali drop dan tak sadarkan diri hingga saat ini. Sedangkan Gani masih saja penasaran dengan kata-kata yang tadi dikatakan oleh Wulan kepadanya.“Kenapa tadi mama ngomong gitu? Apa mungkin memang, anak itu adalah anakku?” tanya Gani di dalam hatinya sambil terus duduk dan menunggu dokter selesai memeriksa Wulan di dalam ruangan.“Nggak. Itu nggak mungkin terjadi dan sepertinya memang nggak mungkin benar. dia udah pergi saat itu dan aku tau dia nggak hamil saat pergi. Usia anak itu memang pas seperti dia yang waktu itu baru menikah sama aku. Jadi, ada kemungkinan dia hamil sebelum menikah sama aku kan?” tanya Gani lagi seorang diri dan seperti sedang berbicara pada lantai keramik rumah sakit.“Tapi ... anak itu punya beberapa kesamaan sama aku. Dari mata dan hidungnya, itu mirip aku. Bibirnya mirip sama Maura, dan senyumannya sama persis dengan Maura. ba
Gani sudah menunggu selama hampir lima belas menit di luar ruangan, dan memang belum ada tanda-tanda Maura akan keluar dari ruangan anak. Hingga akhirnya dengan terpaksa Gani meninggalkan tempat itu karena sudah dihubungi oleh perawat yang menjaga Wulan.“Aku pasti akan menemukan kamu, Mau.” Gani bergumam sambil melangkah pergi.Gani menuju ke ruangan di mana Wulan saat ini berada dan sudah dipasangi dengan alat-alat medis. Wulan tersenyum dengan wajah yang pucat saat melihat Gani datang mendekat.“Kamu dari mana, Nak?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.“Aku tadi keluar sebentar, Ma. Merokok. Mama nungguin aku dari tadi, ya? Maaf, ya Ma.” Gani berbohong menjawab pertanyaan Wulan.Sebagai orang tua, jelas saja Wulan bisa tahu jika Gani berbohong padanya. Namun, dia tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang hal itu kepada Gani.“Nggak, baru aja Mama bangun.”“Mama mau apa?”“Senyummu.”Hening. Tidak ada sahutan dari Gani ketika mendengar jawaban dari ibunya itu. Dia tahu dengan jela
“Kamu kan ayahnya Melody. Masa kamu nggak bisa jawab pertanyaan dia sih?” tanya Maura setelah beberapa saat terdiam mendengar pertanyaan Rama tadi.Kini giliran Rama yang terdiam setelah Maura berbicara. Dia tidak menyangka sama sekali kalau jawaban Maura adalah kata-kata seperti itu. Namun, jujur saja di dalam hatinya Rama merasa senang karena pada akhirnya Maura mau mengatakan hal itu.“Iya, dong. Siniin dulu anak ayah yang cantik. Maminya pasti capek dari tadi gendongin boneka embul ini,” ucap Rama dan segera mengambil Melody dari gendongan Maura.Maura tidak mengelak dari Rama dan dengan senang hati memindahkan putrinya pada Rama. Mereka sudah tinggal bersama dalam hitungan tahun. Bagi Melody, tentu saja Rama memang adalah sosok ayah yang dicintainya. Bayi perempuan itu terlihat sangat nyaman pada Rama dan tertawa girang saat dipangku sang ayah.“Kamu jangan nangis nanti kalau diperiksa sama dokter, ya Sayang. Ayah akan selalu ada di samping kamu dan menjaga kamu dengan sepenuh ji
“Tunggu aja nanti, Sarah. Aku pasti bisa membongkar kebohongan kamu selama ini. Udah lama aku curiga sama kamu dan Kesya. Gimana pun aku marah sama Sarah, kalau memang Kesya itu anak kandungku, nggak mungkin aku nggak merasa ada ikatan batin sama anak itu. Tapi, terus terang aja selama ini hatiku memang nggak bisa untuk dekat dan menyayangi dia seperti yang seharusnya.”Gani berkata seorang diri tentang bagaimana sikapnya selama ini kepada Kesya. Dia sendiri mengakui bahwa perasaannya tidak bisa dibohongi. Gani tidak bisa menyayangi Kesya seperti yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang ayah.Itu sebabnya, sejak kelahiran Kesya ke dunia ini, Gani jadi jarang di rumah. Dia lebih suka menghabiskan waktu di kantor atau ruang kerjanya di rumah besar itu.Gani masih duduk seorang diri di dalam mobilnya saat Juminah sudah pergi lagi ke UGD untuk membantunya mengorek informasi yang bisa dia dapatkan. Saat itu pula, seorang wanita berjalan di depan mobil Gani dengan menggendong seorang bay