Sarah masuk ke dalam ruangan Wulan dan duduk di sisi Gani. Dia menatap suaminya dengan sendu dan berharap bahwa suaminya menolak titah atau keputusan sang ibu. Namun, setelah sekian detik menunggu tetap tak ada reaksi dari Gani.
Sarah tahu bahwa Gani tidak akan menentang keputusan dari ibunya itu. Sarah menarik napas panjang dan kemudian berusaha untuk tetap kuat, meski hatinya terasa hancur dan sakit.
“Oke. Silakan Mama menikahkan mas Gani dengan gadis pilihan Mama itu. Tapi, aku ada satu syarat untuk mengizinkan mas Gani menikah lagi,” ucap Sarah dengan sinis dan sorot mata yang tajam.
“Katakan!” titah Gani yang sebenarnya tidak disangka oleh Sarah.
“Aku ingin ... setelah menikah nanti, kamu tetap tinggal sama aku, Mas!” ucap Sarah dengan penuh rasa percaya diri dan seolah dia tak ingin berpisah dari suaminya.
“Apa? Nggak bisa! Mana mungkin Gani tetap tinggal sama kamu, Sarah!” bantah Wulan telak.
“Terus gimana, Ma? Mama mau aku yang ditinggalkan mas Gani? Apa ubahnya itu dengan perceraian?” tanya Sarah yang tetap tak mau mengalah.
“Sarah! Jangan bicara tentang perceraian di depanku! Aku tidak akan menceraikan kamu!” ucap Gani dengan sangat tegas dan juga penuh dengan kewibawaan yang tinggi.
Sarah tersenyum penuh kemenangan mendengar ucapan dari sang suami tercinta. “Mama dengar sendiri kan? Jadi, kalau mas Gani menikah lagi dia tetap akan tinggal bersamaku seperti biasa. Masalah istri barunya, dia hanya akan sekedar mampir di mana istri keduanya itu tinggal dan nggak akan tinggal bersama.” Sarah menjelaskan hal itu dengan sangat tegas.
“Nggak bisa gitu, dong. Itu nggak adil untuk Maura!”
“Oh ... jadi namanya Maura, ya? Cantik juga. Aku berharap dia bisa menjadi menantu seperti yang Mama harapkan. Atau ... dia akan merasakan menjadi menantu yang selalu dituntut oleh ibu mertuanya untuk segera mengandung. Jika tidak berhasil mengandung, maka suaminya akan dinikahkan lagi dengan wanita lain. Seperti itu saja terus sampai istr mas Gani jadi sepuluh!”
“Jadi, maksud kamu ... aku mandul?” tanya Gani dengan suara dingin.
Dia tidak bodoh dengan semua yang didengarnya dari mulut Sarah beberapa detik yang lalu itu. Gani diam saja karena memang tidak ingin lebih banyak menyakiti hati dan perasaan Sarah sebagai istrinya. Di satu sisi, dia juga tidak bisa lagi menentang keputusan Wulan yang sudah final.
Sepertinya, Sarah sudah salah bicara dan membuat Gani menjadi tersinggung. Selama ini, Gani tidak pernah bicara atau bertanya dengan nada seketus itu kepadanya. Hal itu tentu saja mengejutkan Sarah yang tak bisa berkata apa-apa saat ini.
“Sarah! Kau mau bilang kalau Gani itu mandul, hah?” tanya Wulan bernada emosi.
“Nggak, Ma. A-aku nggak maksud ngomong seperti itu,” jawab Sarah akhirnya dengan gugup.
“Terus, kenapa kamu bilang Mama akan seperti ini dan menikahkan Gani terus sampai istrinya jadi sepuluh hanya demi seorang cucu? Itu sama aja artinya kamu mengatakan kalau Gani mandul dan sampai berapapun istri yang Mama pilihkan untuk dia, nggak akan pernah ada yang bisa kasih Mama cucu atau keturunan Gani!” ungkap Wulan yang sungguh merasa kesal pada Sarah.
“Aku yang akan memutuskan. Aku menerima tawaran Mama dan akan menikah minggu depan. Mengenai di mana aku akan tinggal, aku tentu akan tinggal di mana rumahku sekarang,” terang Gani dengan suara bass yang khas dan tidak ada yang berani bicara.
Sarah kembali tersenyum puas mendengar ucapan Gani, karena dia tahu bahwa mana mungkin suaminya itu akan meninggalkan dia. Gani tidak akan tinggal dengan istri barunya dan membiarkannya sendirian di rumah mewah mereka saat ini.
Wulan membesarkan netra matanya saat mendengar keputusan Gani. Memang, Gani sudah setuju untuk menikahi Maura. Akan tetapi, bagaimana Maura bisa mengandung kalau Gani tetap tinggal bersama dengan Sarah dan bukannya bersama Maura?
“Sayang, Mama nggak ....”
“Tunggu, Ma! Aku belum selesai bicara,” potong Gani seakan tahu apa yang akan dikatakan oleh ibunya saat ini.
“Aku memang akan tetap tinggal di rumahku bersama Sarah. Setelah menikahi Maura, maka dia juga akan tinggal bersamaku di sana,” lanjut Gani yang kini membuat dua wanita itu bertukar ekspresi.
“Mas!” bentak Sarah seperti tak terima dengan keputusan suaminya.
Wulan tersenyum puas dan menghela napas dengan lega. “Mama tau kalau kamu adalah pria yang sangat bijaksana dan akan jadi suami yang sangat adil pada Maura, Ga!” ucap Wulan yang memang terbiasa memanggil Gani dengan dua huruf depannya saja.
“Keputusanku sudah final dan silakan Mama persiapkan semuanya. Aku nggak mau repot dengan hal-hal pernikahan. Untuk rumah dan kamar baru di rumahku, Mama bisa minta bantuan Sarah atau para pelayan di rumah untuk melakukan perubahan agar layak ditempati oleh seorang wanita bergelar istri Gani Wardana nantinya!” ungkap Gani pula dan segera berdiri dari tempat duduknya.
Dia merasa semua pembahasan hari ini sudah cukup dan sudah mencapai kesepakatan. Gani akan kembali ke ruangannya lagi dan tidak ingin diganggu bahkan saat Sarah mengekor di belakangnya. Dia meminta Sarah untuk melanjutkan rencana yang sudah dikatakannya tadi dan dua buah kartu kredit tanpa limit pada sang istri.
“Apa keputusanku ini sudah benar? Apa aku tidak menyakiti hati Sarah dengan pernikahan keduaku nanti?” tanya Gani dalam hatinya dengan bimbang.
Dia duduk di singgasananya dengan perasaan dan pikiran yang berkecamuk. Sebenarnya, tidak salah yang dikatakan oleh Sarah kepada ibunya tadi. Bagaimanapun juga, anak adalah soal kuasa Tuhan dan tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu rezeky itu datang.
Di lain sisi, Gani juga sangat tersinggung dan tidak bisa menerima jika dia dianggap sebagai lelaki mandul oleh istrinya sendiri. Gani sangat mencintai Sarah dan dia juga rutin melakukan test kesehatan juga test kesuburan. Gani aman dari semua test dan kemungkinan untuk mempunyai anak itu sangat banyak dan besar. Hanya tinggal menunggu waktu dan kesemapatan saja.
“Aku bahkan belum pernah bertemu dengan gadis itu. Bisa-bisanya aku langsung setuju untuk menikah dengannya!” gumam Gani yang baru saja menyadari kekeliruannya itu.
Gani teringat dengan ucapan Wulan saat dia baru kembali dari Bank untuk mengurus segala keperluan keuangan perusahaan. Wulan berkata bahwa gadis bernama Maura itu baru saja keluar dari ruangan sang ibu dan mendesak seolah tidak percaya saat Gani berkata tidak bertemu dengan gadis yang dimaksud oleh ibunya itu.
Kening Gani berkerut banyak ketika teringat peristiwa yang membuatnya kesal tadi. “Apa gadis kecil yang menabrakku tadi? Apa dia yang akan menjadi istri keduaku?” tanya Gani pada dirinya sendiri dengan senyum misterius.
“Maura, kamu udah yakin dengan keputusanmu itu, Nak? Mama nggak mau kamu menyesal dan salah mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, ini adalah masa depanmu dan kamu akan menjadi istri kedua, Nak ....” Anita berkata dengan suara pelan dan sendu.Dia sudah mendengar semua cerita dari Maura dan dia merasa tidak berdaya dengan keputusan putrinya itu. Penyakit yang sudah bertahun-tahun menggerogoti tubuhnya itu seakan sudah menjadi beban bagi putrinya. Semua harta peninggalan sang suami sudah habis terkuras untuk biaya pengobatan.Untuk biaya lanjutan pun, Maura harus berkeja sana sini agar mendapatkan uang yang banyak. Sekarang, dengan nota bane balas budi Wulan menawarkan tawaran yang berat itu kepada Maura. Wulan berjanji akan membiayai pengobatan Anita hingga sembuh, bahkan akan memberikan pengobatan terbaik dengan dokter ahli yang terkenal.Sebagai seorang anak yang berbakti, mana mungkin Maura melewatkan tawaran emas itu. Baginya, yang terpenting adalah Anita segera sembuh seperti se
Lima hari sudah berlalu dan saat ini Maura berada di salah satu kamar pasien. Anita baru saja pulang dari Kuala Lumpur setelah menjalani operasi kangker rahim stadium akhir. Maura menunggu ibunya terbangun dan saat ini dia ditemani oleh Wulan.Mereka sudah menunggu selama satu jam sampai akhirnya ada pergerakan dari anggota tubuh Anita yang terbaring di ranjang pasien. Maura yang merasa senang, langsung saja mengambil tangan Anita dan air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dia tahan.“Mama ... aku di sini, Ma. Mama udah bangun kan, Ma? Mama bisa dengar suara aku? Mama bisa liat aku di sini? Mama ingat siapa aku kan?” tanya Maura bertubi-tubi saat melihat mata Anita terbuka perlahan-lahan dengan kedipan yang tak berhenti hingga kelopaknya terbuka total.“Sayang ... pelan-pelan dulu, ya. Nanti mama kamu jadi bingung,” ucap Wulan berusaha menenangkan Maura dengan menggenggam pundaknya dan memberikan kekuatan.“Mama aku bangun, Tan.”“Iya. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar seperti
Semua proses sudah selesai dan saat ini Maura berada di dalam kamar pengantin. Kamar yang sudah disiapkan oleh tim WO sewaan Wulan. Dia duduk di sisi ranjang dengan pakaian pengantin yang masih lengkap dengan aksesoris di tubuhnya.“Kamu sampai kapan akan diam di sana? Mau tidur dengan pakaian pengantin? Segitu bahagianya jadi istri aku?” tanya Gani yang baru saja keluar dari kamar mandi.Cecaran pertanyaan Gani terasa begitu menyakitkan bagi Maura. Namun, dia tidak boleh menyerah sekarang dan membuat semua pengorbanannya sia-sia dalam hitungan jam saja. Anita dan Wulan pasti akan kecewa jika dia menyerah secepat ini.“A-aku nungguin kamu keluar, Mas.” Maura menjawab dengan singkat dan padat.“Nungguin aku keluar? Masuknya aja belum, gimana bisa keluar?” tanya Gani dengan nada yang ambigu di telinga Maura.“Mas Gani ngomong apaan sih? Aku ganti baju dulu,” ucap Maura dengan wajah yang memerah menahan malu karena dia jelas tahu maksud keambiguan ucapan Gani tadi.Maura berada di dalam
Meski awalnya Gani ingin memberikan sedikit sambutan dengan caranya, akan tetapi melihat Maura menangis hatinya menjadi tersentuh. Gani tidak pernah iba melihat wanita lain menangis selain Wulan dan juga Sarah sebelum kehadiran Maura.“Oke. Aku keluar dan aku nggak akan ganggu kamu malam ini. Nikmati tidur di malam pertamamu dengan ditemani guling malam ini,” terang Gani dan segera beranjak dari posisi duduknya.Gani yang menggunakan celana santai panjang dan kaos oblong berwarna hitam, menenteng laptop kerjanya keluar dari kamar pengantin. Ada sedikit perasaan bersalah pula dalam hati Maura karena mengusir Gani dari kamar yang di mana seharusnya semua yang ada di rumah ini adalah hak Gani.“Duh, aku keterlaluan banget nggak sih tadi ngomongnya? Tapi, dia sendiri yang mulai duluan. Dia udah nuduh aku seperti itu. Mana mungkin aku nggak kesal dan marah!” gumam Maura saat yakin dirinya hanya tinggal sendiri di dalam kamar pengantinnya saat ini.Sementara Gani masuk ke kamar kerja setela
Sepasang suami istri sedang bertukar peluh di dalam kamar tidur utama. Sarah yang sudah lama tidak melayani suaminya, kini tampak sangat agresif dan juga dominan. Gani hanya menerima saja semua yang dilakukan istrinya itu.“Mas ... enak nggak?” tanya Sarah saat menggoyangkan pinggulnya dengan perlahan.Tubuh wanita itu polos tanpa sehelai benang pun dan dia sedang berada di atas tubuh Gani yang tentu saja juga dalam keadaan polos. “Banget, Sayang. Kamu udah lama nggak manjain aku begini,” jawab Gani dengan senyum puas.“Maafin aku, ya Sayang. Aku terlalu asik dengan duniaku dan juga terlalu sibuk dengan teman-temanku,” ucapnya dengan nada penyesalan.“Nggak apa-apa, Sayang. Aku ngerti kamu juga bosan di rumah dan butuh hiburan.”Sarah tersenyum mendengar ucapan Gani dan tentu saja semakin mempercepat ritme gerakannya itu. Kamar utama dan kamar tidur baru yang ditempati Maura saat ini jaraknya tidak terlalu jauh. Sarah masih asik bergumul dengan Gani, seolah merekalah yang baru saja me
“Huh! Apa laki-laki kaya itu selalu bersikap angkuh dan sombong? Aku kalau bukan karena ....”Maura menghentikan ucapannya karena takut didengar oleh orang lain. Dia tidak ingin ada yang tahu bahwa Wulan sedang sakit parah. Tentu saja semua itu adalah keinginan dan permintaan Wulan secara khusus kepadanya.Maura menyantap makan malamnya dengan lahap hingga merasa kenyang. “Setidaknya, dia masih mau perhatian sama aku apapun alasannya.” Maura berkata setelah berbaring di atas ranjangnya.Mungkin karena terlalu lelah dengan resepsi pernikahan hari ini, mata Maura dengan cepatnya terlelap. Pintu kamar tidur lupa dikunci oleh Maura hingga pagi pun datang menyapa.“Duh, pengantin baru jam segini masih tidur.”Terdengar suara yang tak asing di telinga Maura dan perlahan dia mengerjapkan matanya. Maura tidak tahu sudah jam berapa pagi ini. Dia tidur dengan pulas karena terlalu lelah dan tidur dengan perut yang kenyang.Maura mendengar ada suara dengkuran halus di sampingnya. Saat dia memperh
Wulan menemui Sarah yang sedang duduk di ruang santai, dekat dengan ruang makan. Memang Sarah awalnya tidak disetujui oleh Wulan saat Gani mengatakan akan meminang wanita itu. Sarah tampak tidak ramah dan tidak bisa mengambil hati Wulan sebagai ibu mertua.“Sarah. Mama mau ngomong sebentar sama kamu,” ucap Wulan saat menghampiri Sarah.Sarah meletakkan gawainya dan duduk dengan menyilangkan kaki. “Iya, Ma. Mau ngomong apa?” tanya Sarah dengan ramah, tidak seperti biasanya.“Kamu nggak masalah kan kalau Gani menikahi Maura? Mama harap, kamu bisa berbaik hati menerima kehadiran Maura di rumah ini,” jawab Wulan dengan nada tegas.“Memangnya, kalau aku menolak sekarang pun, bisa merubah keadaan? Toh, kenyataannya tetap aja mas Gani udah nikahin tuh perempun,” ucap Sarah yang terdengar tidak senang.“Mama nggak punya pilihan lain selain mencoba dengan cara ini. Umur nggak ada yang tau kan? Siapa tau aja Mama nggak punya umur panjang? Jadi, Mama ingin melihat cucu Mama sebelum dipanggil sam
Sarapan pagi itu terkesan sangat horor karena sikap dingin semua penghuni kursi di meja makan. Terutama Sarah yang terus saja menatap ke arah Maura dengan tatapan tak senang. Apalagi, Wulan memposisikan Maura di samping Gani dan itu semakin membuat Sarah marah.“Makan yang banyak, Mau. Kamu harus mulai mengkonsumsi banyak makanan sehat, buah dan sayur gitulah pokoknya.” Wulan memberikan perhatian penuh pada Maura.“Kamu juga harus gitu, Sarah.” Wulan melanjutkan ucapannya untuk Sarah.“Iya, Ma.”Sarah dan Maura menjawab serentak dan tentu saja hanya dengan kalimat singkat itu. Gani memperhatikan Sarah dengan iba. Dia tidak tega melihat istrinya tertekan dengan keadaan ini.“Sayang, kamu ada rencana apa hari ini?” tanya Gani berusaha menghibur Sarah.“Nggak ada, Mas. Aku sepertinya di rumah aja hari ini, aku capek!” jawab Sarah pelan.“Ya udah. Kamu istirahat aja di rumah dan kalau butuh apa-apa, telpon aja Dion. Aku hari ini juga akan ke luar kota dan sepertinya akan pulang larut mala