Share

3. Better Than His Son

Author: Liliay
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Kenapa asem gitu mukanya? Gagal, ya?"

Jiwa berdecak sebal, melirik Stella yang terkikik geli di sebelahnya. "Diem lo!"

Bukannya diam, Stella justru semakin terbahak. Gadis muda berambut ash blonde itu lalu menjalankan mobil, keluar dari halaman gedung firma hukum tempat Fajar bekerja. Wajah kesal Jiwa dan bibirnya yang terus menggerutu tentang Fajar dan Gibran yang sama berengseknya, menemani perjalanan dua gadis muda itu menuju rumah Stella.

"Percuma gue dandan menor sampek nyium tuh pengacara, hasilnya gagal total." Jiwa menghapus make up yang sejak tadi melekat di wajah ayunya.

Stella si gadis blonde kembali terbahak. Ia tahu betapa kesalnya Jiwa, tapi ceritanya yang lucu membuat Stella lebih memilih tertawa dari pada prihatin.

Sungguh teman yang laknat sekali.

"Nggak usah ketawa lo, nyetir yang bener," ujar Jiwa sembari melemparkan tisu ke arah Stella.

"Lagian kenapa masih kesel, sih? Sejak awal, kan, udah tahu kalau kemungkinan rencana ini sukses tuh cuma lima persen. Lima persen, Wa. Gue ulangi, lima persen doang." Stella menekankan kalimat terakhir. Mengingatkan Jiwa jika mereka sudah membicarakan hal ini sebelumnya.

Jiwa mendengkus, tahu dengan hal itu. Namun, tetap merasa kesal. Menghadapi Fajar tidak semudah yang sudah ia kira. Lelaki itu sulit, tapi, juga wajar mengingat profesinya yang seorang pengacara. Lelaki itu pasti sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam orang.

"Tapi, gue penasaran sama satu hal," kata Stella sebelum menghentikan mobil karena lampu mereh. Gadis blonde itu menurunkan kaca mobil, menatap sepasang kekasih yang baru saja keluar dari Cafe.

"Apa?" tanya Jiwa sewot.

"Gimana rasanya ciuman sama bapaknya mantan?" tanya Stella sembari melempar senyum miring. Bibirnya bersiul dengan jari menunjuk ke arah Gibran yang sedang merangkul pacar barunya.

Jiwa ikut menoleh, lalu berdecih. Rasa kesal semakin berlipat-lipat datangnya.

"He's so much better than his son."

***

"Lo yakin gue pakek ini?" tanya Jiwa pada Stella yang sibuk memoles make up di wajahnya sendiri.

Jiwa menatap pantulan dirinya di cermin. Melihat keseluruhan penampilannya yang beda dari biasanya. Hari ini dia merasa sedang cosplay menjadi orang lain. Pakaian, make up, dan perhiasan mahal yang menempel di tubuhnya membuat nilai diri Jiwa semakin tinggi.

"Kenapa? Lo cantik, kok."

"Punggung gue bolong, La." Jiwa memutar tubuh, melihat pantulan dirinya yang backless. Panjang gaun hitam yang dia kenakan sampai mata kaki dengan bentuk marmaid.

Rambut hitamnya di kuncir ponytail, membuat leher jenjang dan pundaknya yang cantik terekspos jelas.

"Nggak apa-apa, kita udah dua puluh satu tahun. Waktunya keluar dari zona nyaman, lagian siapa tahu nanti ada yang naksir sama kita," sahut Stelle santai.

"Siapa tahu, ya, kan?" ulang Jiwa mengikuti Stella.

"Oke, gue done." Stella berdiri, lalu menyemprotkan parfum mawar ke tubuhnya dan tubuh Jiwa. Keduanya lalu saling merangkul dan berpose di depan cermin.

Kedua gadis dua puluh satu tahun itu mengenakan dress yang sama, hanya beda warna dan gaya rambut. Terlihat seperti saudara kembar alih-alih sahabat.

Setelah mengambil beberapa foto dan video untuk diupload di akun sosial media, keduanya melangkah keluar. Berjalan menuruni tangga dengan sangat anggun dan menarik perhatian. Acara anniversary pernikahan orang tua Stella akan segera di mulai.

"Kalian kok lama banget, sih. Ayo sini maju ke depan, acaranya sudah mau mulai," ujar Tiara, mama Stella yang malam ini menjadi karakter utama.

"Namanya cewek, Ma. Perlu dandan," sahut Stella. Ia menarik tangan Jiwa untuk ikut bersamanya menuruti Tiara.

Jiwa berjalan cepat mengimbangi Stella dan Tiara. Ia sadar kalau mereka sejak tadi banyak yang memperhatikan. Tidak, mungkin hanya Stella dan Tiara saja yang dilihat semua orang. Karena mereka lah yang menjadi tuan rumah.

Jiwa hanya beruntung karena berteman dengan Stella, anak tunggal kaya raya yang baik hati. Berkat itu, dia bisa menginjakkan kaki ke sini dan mengenakan pakaian mewah. Stella juga yang tadi pagi membantu dirinya agar terlihat menarik di mata Fajar.

Bahkan Stella repot-repot mencari info tentang istri Fajar sampai caranya berpakaian. Hanya agar Fajar bisa melihat sosok istrinya yang sudah meninggal di dalam dirinya.

"Ayo kita foto bertiga dulu sebelum acara di mulai," kata Tiara mengeluarkan ponsel. Meminta sang suami untuk menjadi tukang foto dadakan. Wanita yang hampir setengah abad hidup itu berdiri di tengah, menarik Stella dan Jiwa untuk berdiri di masing-masing sisinya.

"Enaknya nggak ada anak laki-laki, ya, begini. Papa jadi ganteng sendiri."

Ketiga wanita itu terkekeh menanggapi gurauan dari sang tuan besar Tjahya. Jiwa mengedarkan pandangan, ingin melihat siapa-siapa saja yang hadir di acara mewah ini.

Jiwa memekik pelan dan tanpa sadar mundur selangkah. Melihat itu Stella jadi mengikuti arah pandang Jiwa.

Fajar Abhicandra. Duda keren dan panas itu baru saja memasuki ruang tamu keluarga Stella yang luas dan mewah. Tatapan tajam si lelaki bertabrakan dengan netra Jiwa yang gugup.

"Kok dia ada di sini, sih." Jiwa memegangi tangan Stella. Menolehkan kepala dan menemukan raut wajah gadis blonde itu yang tenang. Seolah sudah tahu. "Lo tahu dia bakalan ada di sini?"

Stella meringis, menunjukkan deretan giginya yang rapi dengan kikuk. "Dia salah satu temen bapak gue."

"Shit!"

Sekarang semuanya terasa wajar kalau Stella bisa mendapatkan informasi tentang Fajar sampai detail. Bahkan tahu rupa dan gaya berpakaian istri lelaki itu yang sudah meninggal. Stella pasti mengetahuinya dari orang tuanya sendiri.

Jiwa berdecih. Konspirasi macam apa lagi yang Stella sembunyikan.

"Jangan gitu, ini kesempatan bagus buat lo. Tadi, kan, gagal. Siapa tahu kali ini berhasil," bisik Stella pelan. Tak ingin kedua orang tuanya mendengar apa yang dia ucapkan.

"Heh, nyet. Tadi aja yang di tempat tertutup gue udah malu kena tolak. Apalagi kalau kena tolak di tempat rame kayak gini?" sewot Jiwa. Ia tak mengerti dengan cara berpikir Stella yang menyesatkan dirinya.

"Selamat atas peringatan pernikahan kalian, semoga langgeng terus."

Suara Fajar yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya membuat Jiwa tersentak kaget. Lagi-lagi dia melangkah mundur tanpa sadar, namun dengan cepat Stella menariknya kembali.

"Jangan goyah, hajar terus. Inget ini kesempatan emas, dia punya reputasi yang bagus. Nggak mungkin ngomong kasar apalagi nyeret lo keluar kalau rame kayak gini situasinya," bisik Stella kembali meyakinkan Jiwa.

Jiwa melirik Fajar yang sedang berbincang dengan orang tua Stella. Gadis muda itu lalu menegakkan tubuh, memasang postur sempurna agar terlihat sangat percaya diri. Stella tersenyum puas melihat Jiwa yang sudah siap mendekati Fajar.

Fajar melirik Jiwa sekilas, tahu gadis itu sedang menatapnya membuat Fajar jadi merasa tak nyaman. Apalagi ketika gadis itu berniat menghampiri. Fajar buru-buru berpamitan.

"Kalau gitu saya permisi, Al. Mau menyapa yang lain dulu," pamit Fajar pada Aldi Tjahya.

Jiwa yang mendengar itu langsung mematung, matanya mengikuti Fajar yang menjauh dari mereka. Stella menyenggol lengannya, memberi kode dengan dagu agar mengikuti.

Dengan segala keberanian yang sudah terkumpul, Jiwa memantapkan hati untuk mengikuti Fajar. Gadis muda itu berjalan sedikit cepat karena langkah lebar Fajar membuat mereka semakin jauh. Ia harus menyusul lelaki itu dengan segera.

Namun, langkah kaki Jiwa berhenti ketika Fajar mencium pipi seorang wanita. Jiwa tertegun dengan apa yang baru saja dia lihat. Apakah Fajar sudah memiliki kekasih? Karena itu dirinya ditolak?

Hell? Iya, kah?

Fajar yang menyadari keberadaan Jiwa berbalik. Tangannya terselip di belakang pinggang ramping Cecilia. Wanita cantik yang sengaja ia ajak kemari sebagai teman.

"Ada perlu apa?" tanya Fajar sembari menyeringai.

Related chapters

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   4. Hukuman

    Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu. Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar. "Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu. Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli. Tujuannya lebih penting dari apapun. Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   5. Kapan Nikah?

    "Hei si cupu." Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya. "Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo." Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam. Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita. "Heh!" Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran. "Apa-apaan tangan lo tadi, hah?" Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo,

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   6. Selamat Datang, Gibran

    "Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   7. Menikah Dengan Cepat

    Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   8. Mau Ikut Saya?

    "Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   9. Perubahan Tujuan

    "Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   10. Serius atau Tidak?

    Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Jiwa tidak bertemu lagi selama dua hari. Gibran juga tidak terlihat di kampus, tapi hal itu juga wajar karena Jiwa dan Gibran berada di gedung yang berbeda. Pemuda itu pasti juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jiwa setelah mengetahui hubungannya dengan ayahnya. Jiwa juga belum pulang ke rumah. Biasanya setelah pertengkaran dengan orang tuanya, Jiwa baru pulang satu minggu kemudian. Tapi anehnya, baru dua hari ibunya sudah mengirimi dia pesan. Bukan menanyakan kabar atau bertanya kapan dia akan pulang. Ibu yang melahirkannya itu justru menanyakan Fajar. Jiwa tersenyum miring melihat layar ponsel. Mana mungkin ibunya peduli dengan kondisinya, sudah pasti uang adalah yang utama. Saat ini orang tuanya pasti sedang memikirkan bagaiamana caranya memeras Fajar seperti mereka memeras Stella. Kadang Jiwa sampai merasa malu pada sahabatnya itu, Stella yang berniat membantu hidupnya malah diperas habis-habisan oleh ibu kandung dan ayah tirinya. "Jangan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   11. Berlutut

    Menghadapi anak muda yang masih belum dewasa bukanlah keahlian Fajar. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka yang masih perlu banyak belajar. Karena itu dia tidak tahu bagaimana membuat Jiwa kembali bertingkah normal. Gadis muda itu setia bungkam sejak pertanyaan terakhirnya di mobil tadi. "Saya serius mau menikahi kamu," kata Fajar setelah selesai menelan suapan terakhir. Ia memandang Jiwa yang masih sibuk mengunyah sate di depannya. "Saya nggak ngabari karena ngira kamu masih butuh waktu." Fajar masih terus mengatakan kalimatnya meski Jiwa tidak menggubris. "Menikah bukan hal yang mudah. Apalagi ini pertama kalinya buat kamu, pasti semakin nggak gampang."Jiwa menggebrak meja dengan kesal. Ia sudah tak peduli jika berpasang-pasang mata memperhatikan tempatnya dan Fajar. "Bapak ini mau ngomong apa sebenarnya? Langsung ke intinya aja," kata Jiwa tak sabar. Dia nggak suka sesuatu yang bertele-tele seperti kalimat Fajar. "Padahal pengacara, tapi kalau ngomong nggak

Latest chapter

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

DMCA.com Protection Status