Share

4. Hukuman

Author: Liliay
last update Last Updated: 2022-07-28 13:10:50

Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu.

Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar.

"Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya.

Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu.

Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli.

Tujuannya lebih penting dari apapun.

Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yang sedang menyorot mereka bertiga.

"Kita sama-sama tamu di sini. Akan lebih baik kalau sama-sama menjaga sikap," kata Fajar dengan tegas.

"Siapa?" tanya Cecilia setelah beberapa menit diam.

Jiwa melihat wanita cantik itu. Anggun dan menawan adalah dua kata yang cukup menggambarkan bagaimana look seorang Cecilia malam ini. Terlihat menarik karena wanita itu juga dalam usia yang matang.

"Hai, Tante," sapa Jiwa kurang ajar.

Fajar menarik napas sebelum berlalu pergi. Tak ingin terlibat dalam permainan yang akan dimulai Jiwa.

Melihat sang target pergi, Jiwa menyusul. Cecilia yang memiliki niat sama seperti Jiwa langsung menahan diri. Urung mengikuti Fajar. Ia ingin tahu ada hubungan apa mereka berdua selama ini. Karena kalau tidak ada apa-apa, Fajar tak akan bersikap seperti itu.

Namun, baru kali ini juga Cecilia melihat seorang wanita yang dekat dengan Fajar. Pengacara sukses itu terkenal tak pernah menyukai wanita setelah kematian istrinya.

"Buru-buru banget, sih, jalannya," ujar Jiwa yang sudah berhasil menyusul.

Pengacara yang baru saja menyapa beberapa orang itu menoleh. Ternyata tidak peduli sekeras apa dia menjauh, Jiwa tetap akan mengikutinya. Gadis yang sungguh keras kepala.

"Pak Fajar kenal?" tanya seorang pria yang sepertinya usianya tak jauh dari Fajar.

Fajar menggeleng pelan, namun Jiwa malah mendekat. Merangkul lengan si pengacara dan mengelus pundaknya dengan lembut.

"Saya Jiwa, pacarnya Pak Fajar," katanya memperkenalkan diri.

Si pengacara itu melotot, tak terima dengan apa yang dikatakan Jiwa. Enak saja memperkenalkan diri seperti itu.

"Ucapan kamu membuat semua orang akan salah paham, cepat ralat," bisik Fajar pelan. Ia sangat geram dengan tingkah Jiwa yang selalu kelewat batas.

Beberapa orang yang berkumpul di sana memperhatikan Jiwa dan Fajar bergantian. Perbedaan usia di antara mereka berdua jelas mencolok. Siapa pun tahu kalau Fajar adalah duda yang sudah memiliki anak dewasa.

Mungkin Jiwa akan lebih cocok jika menjadi menantunya dari pada menjadi pacarnya.

"Oh, Pak Fajar ternyata ada wanita lain, toh. Kirain sama Mbak Cecilia si selebgram itu," komentar salah satu wanita. Jiwa tersenyum manis, mengangguk.

Jiwa jadi penasaran, apakah cewek tadi yang bernama Cecilia?

"Hidup emang nggak bisa diprediksi, Bu. Keliatannya deket sama siapa, eh, jadinya sama siapa," sahut Jiwa semakin mendalami perannya.

Fajar hanya diam, tidak mungkin dia langsung menarik Jiwa menjauh atau menyuruh gadis itu pergi.

Dia masih harus menjaga image.

"Itu di sana Mbak Cecil datang sama siapa? Kok sendirian begitu?" pertanyaan kembali muncul dan Jiwa kini melirik Cecilia yang curi-curi pandang ke arah sini.

Sebagai sesama perempuan, Jiwa jelas tahu kalau wanita itu menaruh perasaan pada Fajar.

"Dia datang sama saya. Mohon maaf saya harus pergi dulu," pamit Fajar dengan sopan. Ia memutar tubuh dan bersiap melangkah, Jiwa yang memegangi lengannya jelas ikut berbalik.

Bukan menghampiri Cecilia, Fajar justru menbawa Jiwa keluar dari ruangan. Mereka berjalan menuju samping rumah yang sepi, tepat di pinggir kolam renang.

Letaknya yang cukup jauh dari ruang acara membuat Fajar bisa mengekspresikan perasaannya.

"Apa-apaan tadi, hah?"

Fajar menarik tubuh Jiwa mendekat, menempel dengan tubuhnya yang masih bagus meski usia sudah berkepala empat. Sepertinya di tengah kesibukannya membela seorang klien, Fajar cukup rajin menjaga kebugaran tubuhnya.

"Saya peringatkan sekali lagi, jangan main-main dengan saya. Bocah seperti kamu sama sekali nggak membuat saya tertarik," desis Fajar menahan amarah.

Jiwa sudah sangat melewati batas, Fajar merasa terusik. Kedamaiannya diganggu.

"Terus gimana biar Pak Pengacara ini tertarik? Apa harus berdandan anggun, manis, dan menawan seperti Cecilia?" tanya Jiwa dengan berani.

Mungkin karena usianya masih sangat muda, gadis itu jadi meledak-ledak. Tindakannya sangat egois karena hanya mementingkan dirinya sendiri. Tapi, apapun itu Fajar tidak bisa lagi memberikan toleransi.

Apalagi alasan Jiwa mendekatinya jelas karena gadis itu ingin memanfaatkan dia.

"Apa kamu nggak berpikir kalau saya terima tawaran kamu, maka, hubungan saya dan Gibran juga akan terganggu?" Fajar menangkup wajah Jiwa dengan kedua tangan. Bukan cengkraman lembut, sentuhan tangannya terkesan mengancam.

"Jangan egois! Saya nggak mau orang luar mengacaukan hubungan keluarga kecil saya," lanjut Fajar.

Jiwa mengerjap, dia tidak berpikir sejauh itu. Tapi, benar kah dia egois? Memangnya sedekat apa hubungan ayah dan anak ini?

"Memangnya hubungan kalian baik-baik saja selama ini?" tanya Jiwa masih dengan keberanian yang ada. Gadis itu seakan tak memiliki ketakutan apapun.

Itu adalah pertanyaan yang simple, tapi, kenapa Fajar tidak bisa menjawabnya?

Apakah hubungannya dengan Gibran baik-baik saja? No, jawabannya adalah tidak.

Mereka ayah dan anak yang kaku. Gibran lebih dekat pada neneknya dibanding dirinya. Fajar yang sibuk tidak pernah ada waktu untuk mengobrol dengan putra satu-satunya.

Melihat keterdiaman Fajar, Jiwa langsung mendengus. Tangannya melepas cengkraman Fajar pada wajahnya.

"Di dunia ini tidak ada hubungan keluarga yang bahagia," lanjut Jiwa sembari menjauhkan tangan Fajar dari wajahnya. "Jadi, apa yang mau dipertahankan? Bahkan kalau bukan orang lain, orang dalam pasti akan menghancurkan hubungan keluarga yang sudah dibangun."

Jiwa mundur beberapa langkah. Kedua tangannya menyilang di depan dada sembari mata terus memperhatikan Fajar yang masih belum bersuara. Hembusan angin malam yang dingin menerpa kulit punggungnya yang terbuka. Jiwa mengumpat dalam hati, dia tidak akan lagi menuruti Stella kalau diminta memakai pakaian seperti ini.

"Keluarga bahagia itu memangnya yang seperti apa?" tanya Fajar. Lelaki itu berhasil menemukan kesadarannya kembali. "Dan kalau memang tidak bahagia, bukan berarti menghancurkan adalah jalan yang lebih baik."

Jiwa merasa tersentil dengan kalimat Fajar. Matanya menatap lurus dengan netra cokelat Fajar yang indah. Bahkan hanya disirami cahaya bulan saja, Fajar masih terlihat sangat tampan.

Lelaki itu maju secara perlahan. Memperhatikan penampilan Jiwa yang mampu membuat dadanya berdesir. Sejujurnya pertama kali melihat gadis muda ini tadi, Fajar sempat berpikir Jiwa gadis yang cantik dan elegan.

Jiwa menurunkan kedua tangan, kepalanya semakin mendongak menatap wajah Fajar yang datar. Jarak mereka yang sangat dekat membuat indra penciuman mereka bisa menghirup aroma masing-masing.

"Ini hukuman untuk kurang ajarmu hari ini."

Fajar meraih kedua lengan Jiwa, menarik tubuh wanita itu mendekat padanya, lalu tanpa aba-aba Fajar mendorong Jiwa ke kolam renang.

BYUR

Satu detik, dua detik, tiga detik, dan hingga detik ke lima Jiwa belum terlihat naik ke permukaan. Fajar menyipitkan mata, mulai ingin masuk ke dalam kolam. Tapi ternyata detik selanjutnya Jiwa menyembulkan kepalanya.

"Sialan! Dingin banget, bangkek!" teriak Jiwa mengeluarkan sumpah serapahnya. "Dasar pengacara gila!"

Fajar berdecih. "Untung bisa renang," katanya sebelum memilih menjauh. Meninggalkan Jiwa yang masih belum naik ke tepian kolam sendirian.

Related chapters

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   5. Kapan Nikah?

    "Hei si cupu." Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya. "Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo." Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam. Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita. "Heh!" Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran. "Apa-apaan tangan lo tadi, hah?" Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo,

    Last Updated : 2022-07-28
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   6. Selamat Datang, Gibran

    "Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le

    Last Updated : 2022-08-18
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   7. Menikah Dengan Cepat

    Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang

    Last Updated : 2022-08-18
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   8. Mau Ikut Saya?

    "Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d

    Last Updated : 2022-08-19
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   9. Perubahan Tujuan

    "Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad

    Last Updated : 2022-08-20
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   10. Serius atau Tidak?

    Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Jiwa tidak bertemu lagi selama dua hari. Gibran juga tidak terlihat di kampus, tapi hal itu juga wajar karena Jiwa dan Gibran berada di gedung yang berbeda. Pemuda itu pasti juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jiwa setelah mengetahui hubungannya dengan ayahnya. Jiwa juga belum pulang ke rumah. Biasanya setelah pertengkaran dengan orang tuanya, Jiwa baru pulang satu minggu kemudian. Tapi anehnya, baru dua hari ibunya sudah mengirimi dia pesan. Bukan menanyakan kabar atau bertanya kapan dia akan pulang. Ibu yang melahirkannya itu justru menanyakan Fajar. Jiwa tersenyum miring melihat layar ponsel. Mana mungkin ibunya peduli dengan kondisinya, sudah pasti uang adalah yang utama. Saat ini orang tuanya pasti sedang memikirkan bagaiamana caranya memeras Fajar seperti mereka memeras Stella. Kadang Jiwa sampai merasa malu pada sahabatnya itu, Stella yang berniat membantu hidupnya malah diperas habis-habisan oleh ibu kandung dan ayah tirinya. "Jangan

    Last Updated : 2022-08-26
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   11. Berlutut

    Menghadapi anak muda yang masih belum dewasa bukanlah keahlian Fajar. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka yang masih perlu banyak belajar. Karena itu dia tidak tahu bagaimana membuat Jiwa kembali bertingkah normal. Gadis muda itu setia bungkam sejak pertanyaan terakhirnya di mobil tadi. "Saya serius mau menikahi kamu," kata Fajar setelah selesai menelan suapan terakhir. Ia memandang Jiwa yang masih sibuk mengunyah sate di depannya. "Saya nggak ngabari karena ngira kamu masih butuh waktu." Fajar masih terus mengatakan kalimatnya meski Jiwa tidak menggubris. "Menikah bukan hal yang mudah. Apalagi ini pertama kalinya buat kamu, pasti semakin nggak gampang."Jiwa menggebrak meja dengan kesal. Ia sudah tak peduli jika berpasang-pasang mata memperhatikan tempatnya dan Fajar. "Bapak ini mau ngomong apa sebenarnya? Langsung ke intinya aja," kata Jiwa tak sabar. Dia nggak suka sesuatu yang bertele-tele seperti kalimat Fajar. "Padahal pengacara, tapi kalau ngomong nggak

    Last Updated : 2022-09-01
  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   12. Jaga Sikap

    Jiwa menatap penuh angkuh pada Gibran yang masih diam. Seratus persen dia yakin kalau pemuda itu tak akan mau melakukannya. Harga dirinya yang tinggi membuat Gibran enggan mengatakan maaf. Bahkan ketika masih memiliki hubungan dengannya saja, Gibran dengan egonya tak pernah merasa bersalah. "Gila lo?" tanya Gibran dengan suara dalam dan dingin. Jiwa mengangkat sebelah alisnya. Gibran mirip sekali dengan Fajar kalau sedang seperti ini. "Lo tau gue gila ngapain masih nyari masalah sama gue?" Jiwa tersenyum miring. Maju dua langkah sampai membuat dirinya dan Gibran tak berjarak. Jari telunjuknya menunjuk dada kiri Gibran berulang kali. "Mending lo diem dan jangan pernah ganggu gue lagi." Jiwa mendongak untuk menatap wajah Gibran yang menunduk. Tatapan mereka bertemu dengan sorot arti yang berbeda. "Jaga sikap mulai sekarang, Nak." Gibran mengepalkan tangan kuat. Lalu menarik rambut Jiwa tanpa ampun. Tidak peduli sekarang dia menjadi seorang pengecut ataupun pecundang yang sedang berb

    Last Updated : 2022-09-02

Latest chapter

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

DMCA.com Protection Status