"Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?"
Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya.Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki."Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal.Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan.Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja lebih tampan. Fajar jauh lebih matang.Kalau gantengnya Gibran itu kayak tengil, wajah Fajar justru tampan yang dewasa. Sangat matang, sexy, dan panas."Jadi gimana? Mau dateng ke rumah saya?" ulang Fajar. Sadar kalau sejak tadi Jiwa tidak begitu fokus mendengarkannya. Lelaki itu maju satu langkah, membuat jarak keduanya tak begitu jauh.Puncak kepala Jiwa hanya sampai pada dagunya. Cukup tinggi, pikir Fajar.Jiwa memundurkan tubuhnya, tak bisa dekat-dekat dengan Fajar karena ini lingkungan rumahnya. Bisa digorok dia kalau sampai ketahuan dekat dengan lelaki oleh orang tuanya."Mau aja," jawab Jiwa lantang. Wajahnya mendongak, menatap Fajar dengan mata sedikit menyipit. "Sekarang?"Ini adalah kesempatan bagus. Dia bisa membuat Gibran kena serangan jantung kalau sampai dia menggandeng ayahnya."Iya, sekarang." Fajar melihat penampilan Jiwa keseluruhan sekali lagi. "Karena ini mau ketemu sama mama saya, kamu nggak bisa pakek pakaian kayak gini."Jiwa menunduk, melihat pakaiannya yang normal-normal saja. Masih sopan."Kenapa? Ini bagus, kok. Sopan juga," jawab Jiwa. Dalam hati bertanya-tanya, kenapa ia harus bertemu dengan mamanya Fajar. Tapi dia enggan bertanya. Tidak masalah harus bertemu dengan siapa dulu, yang penting adalah dia bisa membuat Gibran menangis pilu nanti."Terlalu muda," sahut Fajar. Lelaki itu menarik tangan Jiwa, membawa tubuh mungil si gadis dua puluh satu tahun itu masuk ke dalam mobil. "Kita ganti baju kamu dulu sebelum ke rumah."Jiwa diam saja selama di mobil. Matanya melihat ke luar, menatap mobil yang juga berlalu lalang. Gadis itu agak gugup berada sedekat ini dengan Fajar. Juga takut bercampur penasaran ketika nanti harus bertemu dengan Gibran.Pacar tiga bulannya itu, kira-kira akan memberikan reaksi seperti apa? Terkejut? Marah? Atau apa? Jiwa penasaran sampai ia jadi bengong sendiri. Ia bahkan tak sadar mobil sudah berhenti kalau saja Fajar tidak menjambak kecil rambutnya."Ngelamunin apa? Ayo keluar."Jiwa mengikuti tubuh tegap Fajar memasuki salah satu butik ternama. Jiwa mengetahui butik itu dari Stella. Teman kaya rayanya itu mengatakan kalau dia sering mampir ke butik yang terkenal sangat eksklusif ini.Hanya orang kaya saja yang diizinkan memakai baju keluaran butik ini."Pak Fajar? Lama nggak ketemu," seru salah satu wanita. Dilihat dari penampilannya yang dewasa, sepertinya wanita itu hanya beberapa tahun lebih muda dari Fajar."Saya lagi nyari baju untuk gadis ini." Fajar menunjuk Jiwa dengan gerakan kepalanya. "Buat penampilannya menjadi sedikit lebih dewasa."Wanita cantik tanpa keriput itu langsung menghampiri Jiwa. "Mari, Nona."Jiwa mengikuti ke mana wanita itu pergi, sementara Fajar memilih duduk dengan tenang di atas sofa. Matanya menatap salah satu gaun cantik warna merah menyala yang dipasang di manekin. Mungkin kalau Jiwa memakai gaun itu akan cantik sekali.Fajar menepuk pelan satu pipinya. Apa-apaan dia. Kenapa jadi memikirkan gadis kecil itu."Pak Fajar baru pertama kali ini gandeng cewek ke sini," ujar Maria, desainer utama sekaligus pemilik butik tersebut. Karena Fajar termasuk VVIP, maka, dia sendiri yang memoles wajah Jiwa.Jiwa menatap Maria dari pantulan cermin. "Perasaan tadi saya masuknya nggak digandeng."Maria menatap Jiwa, agak terkejut karena gadis muda itu bukan tipe anak kalem dan penurut seperti kelihatannya. Kemudian, demi menjaga profesionalitasnya, Maria kembali menawarkan senyum semanis madu. Jiwa masih muda dan mudah meledak-ledak rupanya."Yah, pokoknya baru kali ini beliau bawa perempuan. Biasanya nggak pernah, saya sampek kasihan ngelihatnya. Padahal masih ganteng gitu, mapan juga, nggak mungkin nggak ada perempuan yang nggak mau."Maria bekerja dengan cepat meski mulutnya terus berbicara. Wanita dewasa itu meminta Jiwa untuk memejamkan mata, karena selanjutnya eye shadow harus dipoleskan di kelopak matanya. Jiwa menurut saja biar cepat selesai."Ibu kenal dekat dengan Pak Fajar? Kok kayaknya tahu banget," tanya Jiwa mulai penasaran. Mendengar kalimat Maria sebelumnya dia jadi sedikit tertarik dengan Fajar.Meski sudah cukup tua dan seorang duda, tapi Jiwa yakin kalau pria itu pasti masih banyak diincar wanita. Cecilia contohnya. Janda satu anak yang dibawa ke acara keluarga Stella kemarin."Kenal dekat sih, nggak. Tapi kebanyakan customer saya yang lain sering gosipin Pak Fajar. Beliau kalau datang ke sini nggak terlalu sering, palingan kalau ngantar ibunya. Seringnya saya yang diminta ke rumah kalau Nyonya Nana mau pesen baju."Jiwa membuka matanya perlahan. "Cecilia gimana? Pernah denger namanya, nggak?"Masa bodoh kalau dia sudah terlihat seperti remaja labil yang sedang stalking sekarang. Sudah kepalang tanggung, dia terlanjur penasaran.Maria diam selama beberapa detik. Mulai menata rambut halus milik Jiwa."Cecilia si selebgram itu ya?"Jiwa mengangguk meski tak tahu selebgram dengan konten seperti apa si Cecilia itu. Sepertinya dia harus cari tahu nanti."Kalau berdasarkan gosip yang saya denger, sih, mereka deket banget. Lengket, kemana-mana sering bareng. Tapi kalau saya mikirnya sih cuma sebatas temen aja. Cecilia juga sering belanja ke sini, tapi nggak pernah tuh sama Pak Fajar," jawab Maria.Jiwa tersenyum tipis. Rupanya Fajar dan Cecilia hanya sebatas teman saja. Tidak seperti kelihatannya yang mesra, Fajar hanya memperlakukan Cecilia dengan baik. Jiwa jadi merasa lega, meski bingung juga kenapa dia bisa merasakan kelegaan itu.Fajar menutup mulutnya yang menguap. Yang tidak dia suka dari menunggu wanita dandan ya begini. Lama dan wasting time banget. Fajar mengangkat tangan, melirik jam. Kalau bukan karena Nana, dia ogah membuang waktu seperti ini."Sudah selesai, Pak."Suara Maria membuat Fajar mendongak. Menatap seorang wanita cantik di sebelah sang desainer. Jiwa sudah cantik dan terlihat lebih dewasa dari usianya. Meski begitu, gadis muda itu sangat cantik dan menawan.Dress biru selutut membuat si gadis terlihat anggun, make up agak bold terlihat oke juga."Oke. Kirim tagihannya ke saya nanti. Terima kasih, Maria."Jiwa menatap takjub rumah mewah Fajar Abhicandra. Halaman luas, rumah besar, dan perabotan juga terlihat mahal semua. Jiwa berdecak. Ini jauh lebih bagus dari pada rumah Stella."Gila, gue pikir rumah Stella sudah bagus banget," bisiknya pelan. "Ternyata Gibran hidup jauh lebih nyaman selama ini."Fajar melirik Jiwa yang masih mengangumi rumahnya. Lelaki itu menarik pinggang Jiwa agar lebih dekat dengannya. Menimbulkan sedikit pekikan dari gadis itu yang kaget."Ngapain?" bisik Jiwa. "Nggak perlu kayak gini.""Kita akan ketemu mama saya yang mengira kita sepasang kekasih. Jadi harus nempel biar nggak ketahuan bohongnya."Jiwa mengerjapkan mata. Bingung dengan satu hal. "Sepasang kekasih? Kenapa kita dikira begitu?"Fajar menatap datar gadis muda cerewet dalam genggamannya ini. "Salahmu ngapain kemarin ngaku jadi pacar saya.""Tapi.... ""Oh, kalian sudah datang?"Jiwa dan Fajar kompak menatap ke depan. Melihat Nana yang tersenyum lebar menghampiri. Jiwa mengerjapkan mata, kagum dengan sosok Nana yang masih cantik. Padahal dia yakin wanita itu sudah tidak lagi muda.Kalau saja dia masih bersama Gibran, wanita itu pasti akan dia panggil dengan sebutan nenek. Tapi, karena posisinya di sebelah Fajar, tidak mungkin kan dia begitu?"Ha-halo, Tante." Jiwa mengulurkan tangan. Ingin mencium tangan Nana sebagai bentuk kesopanan. Tapi justru wanita itu mengabaikan tangannya yang terulur."Kamu cantik banget," ucap Nana sembari memeluk tubuh Jiwa dengan hangat. Wanita itu memeluk Jiwa sedikit lama. "Mama seneng banget Fajar akhirnya beneran punya cewek."Fajar memutar bola mata malas. "Ma, lepasin Jiwanya. Kasihan, sesak nanti dia."Nana melepas pelukan dengan bingung. "Lepasin Jiwanya? Maksudnya kamu suruh mama mati?"Jiwa merapatkan bibir menahan tawa. Namanya memang unik. Kadang bisa membuat orang salah paham seperti Nana. Ia bahkan bisa melihat Fajar yang mati kutu, bingung harus menjawab apa."Nama saya Jiwa, Tante." Akhirnya Jiwa yang mengalah. Gadis muda itu tersenyum tipis. Dalam hati berharap kalau wajahnya tidak terlihat aneh sekarang."Oh, jadi nama kamu Jiwa." Nana mengangguk-anggukan kepalanya. Sementara Fajar menatap mamanya dengan datar. Hebat sekali acting skill mamanya ini. Perasaan Nana sudah tahu nama Jiwa, kenapa harus pura-pura tidak tahu?"Omah, i'm home."Ketiga orang itu menatap pintu rumah dengan kompak. Melihat kedatangan Gibran yang baru saja pulang. Jiwa mengangkat alis dengan senyum tipis menyeringai.Here we go."Oh, kamu pulang di waktu yang pas, Gibran," ujar Nana dengan wajah sumringah."Selamat datang, Gibran," kata Jiwa dengan anggun.Gibran menghentikan langkah. Menatap Jiwa dengan wajah tercengang.Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang
"Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d
"Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Jiwa tidak bertemu lagi selama dua hari. Gibran juga tidak terlihat di kampus, tapi hal itu juga wajar karena Jiwa dan Gibran berada di gedung yang berbeda. Pemuda itu pasti juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jiwa setelah mengetahui hubungannya dengan ayahnya. Jiwa juga belum pulang ke rumah. Biasanya setelah pertengkaran dengan orang tuanya, Jiwa baru pulang satu minggu kemudian. Tapi anehnya, baru dua hari ibunya sudah mengirimi dia pesan. Bukan menanyakan kabar atau bertanya kapan dia akan pulang. Ibu yang melahirkannya itu justru menanyakan Fajar. Jiwa tersenyum miring melihat layar ponsel. Mana mungkin ibunya peduli dengan kondisinya, sudah pasti uang adalah yang utama. Saat ini orang tuanya pasti sedang memikirkan bagaiamana caranya memeras Fajar seperti mereka memeras Stella. Kadang Jiwa sampai merasa malu pada sahabatnya itu, Stella yang berniat membantu hidupnya malah diperas habis-habisan oleh ibu kandung dan ayah tirinya. "Jangan
Menghadapi anak muda yang masih belum dewasa bukanlah keahlian Fajar. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka yang masih perlu banyak belajar. Karena itu dia tidak tahu bagaimana membuat Jiwa kembali bertingkah normal. Gadis muda itu setia bungkam sejak pertanyaan terakhirnya di mobil tadi. "Saya serius mau menikahi kamu," kata Fajar setelah selesai menelan suapan terakhir. Ia memandang Jiwa yang masih sibuk mengunyah sate di depannya. "Saya nggak ngabari karena ngira kamu masih butuh waktu." Fajar masih terus mengatakan kalimatnya meski Jiwa tidak menggubris. "Menikah bukan hal yang mudah. Apalagi ini pertama kalinya buat kamu, pasti semakin nggak gampang."Jiwa menggebrak meja dengan kesal. Ia sudah tak peduli jika berpasang-pasang mata memperhatikan tempatnya dan Fajar. "Bapak ini mau ngomong apa sebenarnya? Langsung ke intinya aja," kata Jiwa tak sabar. Dia nggak suka sesuatu yang bertele-tele seperti kalimat Fajar. "Padahal pengacara, tapi kalau ngomong nggak
Jiwa menatap penuh angkuh pada Gibran yang masih diam. Seratus persen dia yakin kalau pemuda itu tak akan mau melakukannya. Harga dirinya yang tinggi membuat Gibran enggan mengatakan maaf. Bahkan ketika masih memiliki hubungan dengannya saja, Gibran dengan egonya tak pernah merasa bersalah. "Gila lo?" tanya Gibran dengan suara dalam dan dingin. Jiwa mengangkat sebelah alisnya. Gibran mirip sekali dengan Fajar kalau sedang seperti ini. "Lo tau gue gila ngapain masih nyari masalah sama gue?" Jiwa tersenyum miring. Maju dua langkah sampai membuat dirinya dan Gibran tak berjarak. Jari telunjuknya menunjuk dada kiri Gibran berulang kali. "Mending lo diem dan jangan pernah ganggu gue lagi." Jiwa mendongak untuk menatap wajah Gibran yang menunduk. Tatapan mereka bertemu dengan sorot arti yang berbeda. "Jaga sikap mulai sekarang, Nak." Gibran mengepalkan tangan kuat. Lalu menarik rambut Jiwa tanpa ampun. Tidak peduli sekarang dia menjadi seorang pengecut ataupun pecundang yang sedang berb
Jiwa bisa mendengarnya. Ia mendengar dengan jelas kalimat kurang ajar yang keluar dari bibir busuk sang ayah tiri. Satu miliar? Hah! Jiwa yakin Fajar mampu memberikan uang sebanyak itu. Hanya saja Jiwa berharap pengacara itu tidak melakukannya. Memangnya Jiwa barang yang bisa dipakai sesuka hati setelah dibeli? Gadis itu melirik ibunya yang cuma diam, padahal dia yakin kalau beliau pasti juga Mendengarnya. Jiwa menghela napas pelan, tatapannya tanpa sengaja bertabrakan dengan Gibran. Melihat senyum miring di wajah manis itu membuat Jiwa yakin sekali kalau Gibran pasti juga mendengar yang dikatakan ayah tirinya. Rasanya ruang tamu yang sudah sempit itu semakin sesak karena amarah Jiwa mulai menguasi hatinya. "Saya akan memberikan mahar yang sesuai dan pantas untuk Jiwa," jawab Fajar dengan tenang. Ekspresinya masih terlihat ramah, tidak marah sama sekali. Justru ayah tiri Jiwa yang bersadar pada kursi dengan wajah kecewa. "Anda pasti tahu kalau mahar adalah hak seorang istri. B
"Kenapa nomor gue di block?" Gibran duduk di atas meja Jiwa dengan tatapan malas. Namun, sialnya masih terlihat menawan untuk seorang Jiwa Sandaya. Andai saja mereka masih pacaran, Jiwa tak akan ragu langsung memeluk pemuda tampan yang sedang bersikap songong ini. "Udah nggak ada urusan," jawab Jiwa dengan malas juga. "Lagian ngapain lo ke sini?" Stella ikut nyolot, masih kesal dengan kelakuan Gibran yang seperti semut. Datang kalau ada yang manis-manis saja. "Lo pulang jam berapa nanti?" Gibran memilih mengabaikan kalimat sarkas kedua gadis itu. Karena kalau diladeni yang ada dirinya bisa sakit kepala. "Jangan salah paham dulu, lo nggak lupa kan kalau gue disuruh bawa lo ke rumah?" Kalimat Gibran yang cukup keras itu membuat berpasang-pasang mata melirik ingin tahu. Berita kencan Jiwa dan Gibran sempat membuat heboh Universitas karena bersatunya seorang bad boy dan brilliant girl. Namun, alasan putusnya mereka berdua jauh lebih menggemparkan. Tak pernah ada yang menyangka kalau
Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c
"Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka
“Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan
Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga
Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons
Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J
Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik
"Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr
Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga