Share

5. Kapan Nikah?

Author: Liliay
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Hei si cupu."

Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya.

"Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo."

Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam.

Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?

Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita.

"Heh!"

Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran.

"Apa-apaan tangan lo tadi, hah?"

Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo," jawabnya malas.

Gibran menyipitkan mata, memajukan wajah ingin melihat Jiwa lebih dekat. Mantan pacarnya yang miskin sepertinya tidak secantik ini. Kulit putih mulus, hidung mancung, dengan bibir tipis yang manis. Jiwa tidak seperti biasanya.

Ada sedikit polesan yang menonjolkan bagian terbaik dari wajahnya yang biasanya polos tanpa apapun.

"Putus dari gue buat lo sefrustasi itu, ya? Sampek ngelakuin hal yang nggak lo suka?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. Bingung selama beberapa detik. Namun langsung mendengus ketika tahu apa yang dimaksud oleh Gibran. Jiwa melihat Stella yang baru saja tiba dan sedang berjalan ke arahnya. Tangannya terangkat, melambai pada gadis blonde itu yang langsung berlari menuju Jiwa.

"Ngapain ada monyet di depan bidadari kayak lo, Wa?" ketus Stella ketika sudah berdiri di dekat Jiwa.

Sepertinya Gibran memang tak memiliki harga diri di depan dua gadis ini. Sejak tadi pemuda itu terus diumpati dan dihina secara terang-terangan.

"Gue mau di mana aja bukan urusan kalian. Suka-suka gue," balas Gibran tak kalah sewot. Tak mau kalah dari dua gadis yang kini menatap sengit padanya.

"Biasa, La. Si monyet lagi nyari pisang di sini, di wilayahnya kagak ada yang matang pisangnya," sahut Jiwa yang berhasil meledakkan tawa seorang Stella.

Gibran ternganga sampai tanpa sadar kedua gadis itu melewati dirinya begitu saja.

"Heh, sialan!" umpat Gibran tak kalah keras.

***

"Mama dengar semalam kamu membawa pacar kamu ke acara temen, ya?"

Fajar menghentikan niatanya yang akan menyuap nasi. Pria dewasa itu menoleh pada mamanya yang kini fokus melihat ke arahnya.

"Mama senang akhirnya kamu memiliki pacar. Jadi, kapan nikah?"

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Fajar sebenarnya sudah sangat lelah dengan pertanyaan ini. Dia sudah empat puluh dua tahun, delapan tahun lagi usianya sudah menginjak angka lima puluh. Wanita mana yang akan mau menikah dengannya?

Lagi pula, dirinya tidak ada niatan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun. Terutama bocah seperti Jiwa yang seharian kemarin mengganggu dirinya.

"Nikahnya masih nanti-nanti, Ma. Baru juga ada hubungan."

Wanita berusia enam puluh lima tahun itu mengetuk meja dengan jarinya. "Kamu sudah empat puluh dua tahun, Jar. Main-main lagi itu sudah nggak pantes, mending langsung nikah aja."

"Ma, yang aku pacari itu masih muda. Lagian aku nggak mau buru-buru nikah, takut kalau akhirnya malah nggak cocok terus akhirnya cerai lagi. Jadi duda dua kali bukan cita-cita aku," balas Fajar masih santai.

Dia dipanggil pulang dengan alasan mau makan siang bersama, tak tahunya malah ditanya kapan nikah. Kalau tahu begini, seharusnya tadi dia mencari alasan untuk menghindar.

"Omong-omong, Mama tahu dari mana soal semalam? Ada mata-mata yang mama kirim buat aku?"

Nana, wanita paruh baya itu menyuap nasi dengan kesal. Meski sudah tua, tapi Nana masih sangat sehat untuk makan dan mandi sendiri dengan baik. Karena itu, dia menolak dengan tegas setiap kali Fajar mau mempekerjakan suster buat merawat.

"Mana bisa Mama mengirim mata-mata untuk pengacara handal seperti kamu?" Nana menatap serius pada putranya. "Jangan mikirin yang nggak penting kayak gitu. Pikir aja kamu nikah mau pakek adat apa."

Fajar terkejut dengan ucapan mamanya. Sepertinya Nana benar-benar berharap dia akan menikah. Padahal gadis yang mengaku pacarnya semalam pasti sekarang sedang membencinya.

"Bawa pacar kamu kemari."

"Hah?" Fajar berharap dia salah dengar.

Nana mengeluarkan sesuatu dari saku baju rajutnya. Menyodorkan selembar foto pada Fajar. "Ini kan pacar kamu? Bawa ke sini secepatnya atau mama yang akan datang ke rumahnya buat melamar sendiri."

Fajar bersandar lemah pada kursi. Seniat apa Nana menguntit dirinya sampai bisa mendapatkan foto dirinya dan Jiwa di rumah orang.

"Ma, please. Jangan kayak gini."

"Pokoknya bawa ke sini, Fajar. Jangan membantah Mama yang sudah tua ini."

Kalau sudah seperti ini, bagaimana caranya Fajar bisa menolak?

***

Jiwa menendang-nendang kecil angin yang ada di depannya. Dia sedang duduk di taman yang ada di perumahan tempatnya tinggal. Malas pulang ke rumah dengan cepat-cepat tapi Stella sedang tidak bisa diajak bermain.

Gadis itu menghela napas. Kesal bukan main karena gagal membalas dendam pada Gibran.

"Rupanya ada di sini? Saya nungguin dari tadi."

Sepasang sepatu kulit hitam mengkilap berhenti di depan Jiwa. Membuat gadis muda itu mendongak dengan perlahan sembari meperhatikan kaki panjang lelaki di depannya ini.

Setelan pakainnya rapi dan mahal, sangat kontras dengan pakaian Jiwa yang biasa saja. Kalau saja dia masih memakai pakaian yang ia pinjam dari Stella, mungkin akan serasi.

Jiwa hampir jatuh terjengkang ketika wajah Fajar Abichandra menunduk menatapnya.

"Ngagetin aja tuh muka," seru Jiwa setelah dirinya berhasil tenang. Tangannya mengelus dadanya yang masih sedikit berdebar. "Ngapain ada di sini?"

Fajar menenggelamkan kedua tangan dalam saku celana. Memperhatikan penampilan Jiwa yang sangat jauh berbeda dari kemarin. Kali ini gadis muda itu lebih cocok dengan usianya.

Polos dan terlihat bodoh.

"Masih mau ke rumah saya?"

Jiwa menaikkan sebelah alisnya. "What? Ngapain aku ke rumah Bapak? Ngapain, hah? Nggak penting sama sekali. Anda pikir situ siapa?"

"Jadi, sudah berubah pikiran untuk nggak balas dendam?" tanya Fajar lagi. Pria itu menyunggingkan senyum tipis melihat Jiwa yang mengerjap ragu.

"Ya, masih mau, sih. Apalagi tadi si cecunguk itu sialan banget tingkahnya," balas Jiwa kembali mengingat Gibran yang menyebalkan.

Fajar sontak menjitak kepala Jiwa. Enak saja anaknya dibilang cecunguk sialan.

"Jangan ngomong aneh-aneh tentang anak saya."

"Kalau nggak mau dibilang kayak gitu ya didik dengan benar, dong." Jiwa mendengus kesal. Lalu mengelap hidungnya yang masih saja berair. Padahal dia sudah meminum obat flu.

"Kamu mau bantu saya mendidik Gibran?"

Related chapters

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   6. Selamat Datang, Gibran

    "Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   7. Menikah Dengan Cepat

    Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   8. Mau Ikut Saya?

    "Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   9. Perubahan Tujuan

    "Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   10. Serius atau Tidak?

    Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Jiwa tidak bertemu lagi selama dua hari. Gibran juga tidak terlihat di kampus, tapi hal itu juga wajar karena Jiwa dan Gibran berada di gedung yang berbeda. Pemuda itu pasti juga sedang tidak ingin bertemu dengan Jiwa setelah mengetahui hubungannya dengan ayahnya. Jiwa juga belum pulang ke rumah. Biasanya setelah pertengkaran dengan orang tuanya, Jiwa baru pulang satu minggu kemudian. Tapi anehnya, baru dua hari ibunya sudah mengirimi dia pesan. Bukan menanyakan kabar atau bertanya kapan dia akan pulang. Ibu yang melahirkannya itu justru menanyakan Fajar. Jiwa tersenyum miring melihat layar ponsel. Mana mungkin ibunya peduli dengan kondisinya, sudah pasti uang adalah yang utama. Saat ini orang tuanya pasti sedang memikirkan bagaiamana caranya memeras Fajar seperti mereka memeras Stella. Kadang Jiwa sampai merasa malu pada sahabatnya itu, Stella yang berniat membantu hidupnya malah diperas habis-habisan oleh ibu kandung dan ayah tirinya. "Jangan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   11. Berlutut

    Menghadapi anak muda yang masih belum dewasa bukanlah keahlian Fajar. Ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan mereka yang masih perlu banyak belajar. Karena itu dia tidak tahu bagaimana membuat Jiwa kembali bertingkah normal. Gadis muda itu setia bungkam sejak pertanyaan terakhirnya di mobil tadi. "Saya serius mau menikahi kamu," kata Fajar setelah selesai menelan suapan terakhir. Ia memandang Jiwa yang masih sibuk mengunyah sate di depannya. "Saya nggak ngabari karena ngira kamu masih butuh waktu." Fajar masih terus mengatakan kalimatnya meski Jiwa tidak menggubris. "Menikah bukan hal yang mudah. Apalagi ini pertama kalinya buat kamu, pasti semakin nggak gampang."Jiwa menggebrak meja dengan kesal. Ia sudah tak peduli jika berpasang-pasang mata memperhatikan tempatnya dan Fajar. "Bapak ini mau ngomong apa sebenarnya? Langsung ke intinya aja," kata Jiwa tak sabar. Dia nggak suka sesuatu yang bertele-tele seperti kalimat Fajar. "Padahal pengacara, tapi kalau ngomong nggak

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   12. Jaga Sikap

    Jiwa menatap penuh angkuh pada Gibran yang masih diam. Seratus persen dia yakin kalau pemuda itu tak akan mau melakukannya. Harga dirinya yang tinggi membuat Gibran enggan mengatakan maaf. Bahkan ketika masih memiliki hubungan dengannya saja, Gibran dengan egonya tak pernah merasa bersalah. "Gila lo?" tanya Gibran dengan suara dalam dan dingin. Jiwa mengangkat sebelah alisnya. Gibran mirip sekali dengan Fajar kalau sedang seperti ini. "Lo tau gue gila ngapain masih nyari masalah sama gue?" Jiwa tersenyum miring. Maju dua langkah sampai membuat dirinya dan Gibran tak berjarak. Jari telunjuknya menunjuk dada kiri Gibran berulang kali. "Mending lo diem dan jangan pernah ganggu gue lagi." Jiwa mendongak untuk menatap wajah Gibran yang menunduk. Tatapan mereka bertemu dengan sorot arti yang berbeda. "Jaga sikap mulai sekarang, Nak." Gibran mengepalkan tangan kuat. Lalu menarik rambut Jiwa tanpa ampun. Tidak peduli sekarang dia menjadi seorang pengecut ataupun pecundang yang sedang berb

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   13. Nggak Mudah

    Jiwa bisa mendengarnya. Ia mendengar dengan jelas kalimat kurang ajar yang keluar dari bibir busuk sang ayah tiri. Satu miliar? Hah! Jiwa yakin Fajar mampu memberikan uang sebanyak itu. Hanya saja Jiwa berharap pengacara itu tidak melakukannya. Memangnya Jiwa barang yang bisa dipakai sesuka hati setelah dibeli? Gadis itu melirik ibunya yang cuma diam, padahal dia yakin kalau beliau pasti juga Mendengarnya. Jiwa menghela napas pelan, tatapannya tanpa sengaja bertabrakan dengan Gibran. Melihat senyum miring di wajah manis itu membuat Jiwa yakin sekali kalau Gibran pasti juga mendengar yang dikatakan ayah tirinya. Rasanya ruang tamu yang sudah sempit itu semakin sesak karena amarah Jiwa mulai menguasi hatinya. "Saya akan memberikan mahar yang sesuai dan pantas untuk Jiwa," jawab Fajar dengan tenang. Ekspresinya masih terlihat ramah, tidak marah sama sekali. Justru ayah tiri Jiwa yang bersadar pada kursi dengan wajah kecewa. "Anda pasti tahu kalau mahar adalah hak seorang istri. B

Latest chapter

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

DMCA.com Protection Status