Share

Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Menjadi Istri Mantan Calon Mertua
Penulis: Liliay

1. Pelecehan

Penulis: Liliay
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Candhra and partners.

Jiwa melihat nama firma hukum yang menempel indah di atas gedung tinggi di depannya. Bibirnya menyeringai tipis dibarengi dengan kilatan mata yang membara. Kemudian melangkahkan kaki dengan yakin dan penuh percaya diri.

Memakai dress sexy bertali spageti merah menyala dengan make up bold, juga perhiasan mahal membuat seluruh mata menyorot Jiwa. Ketukan high heels yang dipakai mantap penuh perhitungan. Wajahnya lurus menatap angkuh semua yang berada dalam jarak pandangnya.

"Bilang pada Fajar Abhicandra kalau ada wanita yang datang ingin bertemu," ujar Jiwa pada resepsionis. "Katakan ini ada hubungannya dengan putra kesayangannya."

Tak membutuhkan waktu lama, si wanita yang berdiri di balik meja tinggi sebatas dada itu langsung menghubungi lelaki yang dicari. Lalu mempersilahkan Jiwa untuk naik ke atas, tempat di mana Fajar berada.

"Langsung saja, siapa dan ada perlu apa?"

Fajar Abichandra, pengacara terkenal yang sudah dikenali hampir seluruh masyarakat Indonesia. Berkat kasus yang ditangani, Fajar selalu tersorot media. Membuat namanya masuk dalam jajaran pengacara paling berpengaruh.

Saat ini, lelaki dengan wajah tegas dan dingin itu menatap lurus Jiwa. Wanita yang mengaku memiliki kepentingan dengan seorang Fajar. Lelaki itu menyatukan kedua tangan di depan wajah dengan siku menpempel pada meja kaca. Auranya menguar dengan tajam, namun tak berhasil membuat Jiwa terpengaruh.

"Namaku Jiwa, aku menyukai Anda." Jiwa masih terlihat santai dan percaya diri, padahal dalam hati sudah meramalkan doa agar dia tidak diusir. Mending kalau diusir, kalau dia justru dimasukkan ke dalam penjara bagaimana? Hancur sudah semua rencana yang sudah dia susun.

"Sinting!" komentar Fajar. Jelas, semua pria yang berada di posisinya juga akan mengatakan hal yang sama.

Jiwa yang terlihat sangat cantik dan dewasa ini jelas hanya cover semata. Fajar sudah hidup cukup lama, berpengalaman menghadapi berbagai macam jenis manusia. Dia tahu kalau Jiwa adalah seorang gadis muda, bukan wanita dewasa seperti kelihatannya.

Meski nampak percaya diri tapi mata manusia tidak pernah bisa berbohong. Dua bola indah itu menunjukkan bagaimana perasaan wanita bernama Jiwa yang sebenarnya.

"Saya tidak suka main-main dengan anak kecil. Silahkan pergi, maka, saya akan memaafkan."

Fajar meluruskan tangan menunjuk pintu, mempersilahkan orang asing di depannya itu untuk pergi. Bermain-main saat harus menyelidiki kasus yang rumit bukan lah hal yang menyenangkan. Fajar tidak suka membuang waktu dengan sia-sia.

Begitu pun dengan Jiwa. Jelas dia tidak ingin kedatangannya ke kandang singa ini menjadi sia-sia. Jiwa harus mendapatkan apa yang dia mau.

"Aku benar-benar menyukai Anda," kata Jiwa masih tidak ingin menyerah. Ia mendekat pada meja kerja Fajar yang luas dan panjang.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Fajar masih mencoba bersikap sabar. "Kamu bilang kedatanganmu ke sini ada hubungannya dengan anakku."

Sesuai rumor yang beredar, Fajar Abichandra memang lebih tampan jika dilihat dari langsung. Tidak ada keriput sama sekali di wajahnya yang putih. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang menawan. Rahangnya? Jiwa rasanya ingin menggenggam erat rahang si lelaki karena begitu mirip dengan milik Gibran.

Jiwa merutuk dalam hati. Jelas kalau mereka berdua memiliki kemiripan. Gibran adalah putra Fajar sekaligus mantan pacarnya yang menyebalkan.

Jiwa menggigit bibir dalamnya. Tiba-tiba sudah lupa dengan semua kalimat yang sudah ia susun sebelumnya bersama Stella.

"Karena aku ingin menjadi pacar Anda," kata Jiwa setelah mendapat seluruh ingatannya akan rencana yang sudah ia susun.

Fajar menaikkan sebelah alisnya. Dia benar-benar tidak suka bercanda. Sebagai seorang pengacara dia memiliki daya ingat yang bagus. Dan Jiwa sama sekali tidak masuk dalam memorinya, yang mana artinya adalah Fajar tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya.

"Kamu mengabaikan semua pertanyaan saya, mengatakan hal yang sangat bodoh dan tidak masuk akal." Fajar mengendurkan dasinya yang sejak tadi terasa mencekik. "Sekali lagi, selagi saya masih mengatakan semuanya dengan baik-baik. Silahkan keluar."

Lelaki berkemeja putih itu tidak tahu apa tujuan Jiwa kemari. Walau begitu satu hal yang dia yakini, Jiwa pasti mengenal Gibran. Kalau tidak, mana mungkin gadis muda sepertinya berani datang menggunakan nama anaknya.

Gadis itu benar-benar tidak bisa keluar begitu saja. Rencananya harus berhasil, kalau tidak dia akan kehilangan muka. Usahanya untuk sampai di sini juga akan sia-sia. Maka, dengan keberanian yang ada. Jiwa menjatuhkan bokongnya di atas meja kerja Fajar. Setengah berbalik menatap sang lelaki dengan tubuh hampir jatuh sempurna ke atas meja.

Lengan kanannya menumpu tubuhnya, ia membentuk ekspresi wajah yang menurutnya sexy. Di titik ini, Fajar tercengang.

Ia tidak mempedulikan berkas yang diduduki Jiwa atau pekerjaannya yang tertunda. Fajar meneguk ludah, memori di kepalanya memutar wajah istri yang sudah meninggal. Bergantian dengan wajah Jiwa saat ini.

Dilihat sedekat ini Jiwa sangat mirip dengan istrinya. Bukan dari wajah, tapi aura dan juga cara menatap Jiwa. Fajar melengos, tidak ingin kehilangan kendali karena perasaan yang tiba-tiba menjadi emosional.

Sementara Jiwa tersenyum menang, berpikir kalau Fajar sedang tergoda dengannya dan akan luluh.

"Aku bukan wanita biasa, kan? Aku sangat menarik." Jiwa mengusap lembut pundak tegap Fajar, membuat si lelaki menahan napas. Alhasil, Jiwa terkikik geli karena merasa menang. "Jadi, bagaimana kalau kita pacaran? Bawa aku ke rumah Anda dan mari bersenang-senang."

Jalang.

Satu kata yang pantas menggambarkan seorang Jiwa saat ini. Semua orang sudah pasti sepakat dengan sebutan itu kalau melihat bagaimana posisi dirinya.

Fajar memejamkan mata, mencoba meraih kesadarannya kembali. Ia tidak boleh terjerat permainan Jiwa. Pengacara dengan perawakan layaknya pria usia dua puluhan itu berdecih pelan dengan tangan mendorong wajah Jiwa menjauh.

"Turun. Kamu nggak sopan kayak gini. Saya akan panggil keamanan," kata Fajar ketus dengan tangan yang sudah siap mengangkat gagang telepon.

Jiwa mendelik, spontan merebut telepon dan menjauhkannya dari Fajar. Gadis muda yang berani itu turun dari meja dengan wajah kesal. Sebal bukan main karena Fajar sangat sulit untuk ditaklukkan.

"Anda nggak boleh panggil keamanan," tegas Jiwa. Wanita itu lalu memutari meja Fajar, menghampiri lelaki itu dengan tatapan sengit. Kini, Jiwa sudah berdiri dengan kepala mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri. Tangannya terkepal membulatkan tekad.

Jiwa menurunkan satu tali spageti yang bergantung pada bahunya. Mengacak rambut hitam sebahunya sampai berantakan. Lalu berjinjit, mengecup bibir Fajar yang diam membeku.

Lelaki itu blank, bingung dengan apa yang terjadi. Ketika dia ingin mendorong Jiwa menjauh, gadis itu justru menciumnya dengan kasar. Melesak masuk pada belah bibir Fajar, menarik kuat lidahnya dan menjilat dengan agresif. Jiwa mencengkeram kuat rahang tegas si pengacara, bibirnya semakin bergerak dengan liar sampai Fajar kewalahan untuk mengimbangi.

Setelah merasa cukup, Jiwa menarik diri. Tersenyum puas melihat bekas lipstik menempel pada bibir manis Fajar Abichandra.

"Anda akan menyesal karena sudah menolak aku."

Jiwa berjalan cepat keluar ruangan Fajar. Lelaki itu tidak mengatakan apapun, masih sangat terkejut. Kemudian dia tersadar dengan teriakan heboh dan keras dari luar ruangan.

"Tolong! Tolong, saya dilecehkan," teriak Jiwa dengan histeris. Menimbulkan kekacauan luar biasa di lantai lima belas itu. Manusia di sana yang semula sibuk dengan pekerjaan menjadi fokus pada Jiwa.

"Tolongin saya," ucap Jiwa lirih sembari menangis. "Pak Fajar melecehkan saya, saya merasa direndahkan," teriaknya lagi.

"Padahal ini adalah kantor hukum, tempat pembela kebenaran bagi para korban. Kenapa pelecehan bisa dilakukan di sini?" teriak Jiwa dengan histeris.

Fajar keluar dari ruangannya dengan raut wajah keruh. Membuat orang-orang yang semula mendekati Jiwa melangkah mundur. Bisik-bisik mulai terdengar ketika semua orang menyadari bekas lipstik di bibir Fajar.

Penampilan pengacara senior yang selalu rapi itu kini juga kusut berantakan. Memperkuat pernyataan Jiwa jika dirinya baru saja dilecehkan.

Fajar mengabaikan pandangan semua orang. Dia menarik kasar Jiwa yang masih menangis, berteriak minta tolong, dan juga menyumpahi dirinya karena telah melecehkan.

"Saya akan menyebarkan pelecehan yang saya alami ini ke publik, biar masyarakat tahu sekalian gimana busuknya pengacara terkenal ini," teriak Jiwa sebelum akhirnya dia tenggelam di balik pintu ruang kerja Fajar.

Lelaki itu tampak sangat marah. Jiwa bukan hanya kurang ajar, tapi juga jahat karena sudah melakukan fitnah pada dirinya. Padahal yang patut dibilang sebagai korban pelecehan adalah Fajar. Gadis itu yang mencium duluan, bukan Fajar.

Jiwa tersenyum meski merasakan sakit di pergelangan tangan. Tubuhnya masih terseret karena Fajar dengan cepat berjalan membawanya menuju sudut ruangan.

"Gimana? Masih menolak menjadi pacar aku? Kalau kita pacaran orang lain nggak akan berpikir kalau Anda melecehkan aku."

Fajar berdecih, membuka satu pintu yang menuju ruangan sempit. Ada sofa panjang, ranjang, dan juga televisi di sana. Karena ini adalah tempat saat Fajar ingin beristirahat sendirian tanpa gangguan.

Lelaki itu melempar tubuh Jiwa ke atas ranjang dengan kasar. Menimbukan suara pekikan dari Jiwa yang terkejut. Gadis itu sudah ingin marah, tapi kembali menelan kata-katanya. Wajah Fajar menggelap dengan rahang mengetat, gigi lelaki itu bergemelatuk marah.

Jiwa menelan ludah. Apa dia terlalu berlebihan menggoda seekor singa?

"Ma-mau a-apa?" Jiwa bertanya dengan takut saat Fajar melepas kancing kemejanya. Tubuh atletis lelaki itu terlihat sangat panas, kulit mulus tanpa noda sedikit pun itu seakan memanggil Jiwa untuk mengelus.

Padahal Fajar sudah memasuki usia kepala empat, tapi tubuhnya yang tegap dan berotot itu membuat Fajar terlihat jauh lebih muda. Jiwa yakin sekali kalau duda keren ini pasti masih menjadi pujaan wanita cantik.

Jiwa menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran kotor di kepalanya. Lagi-lagi ia memekik terkejut saat Fajar menarik kedua kakinya. Membuat bagian bawahnya menempel dengan paha Fajar.

"Ayo saya tunjukkan apa itu pelecehan yang sebenarnya."

Bab terkait

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   2. Gadis Gila

    Jiwa menggeleng, mencoba menjauh dengan menarik kakinya namun Fajar mencengkeram terlalu kuat. Jiwa tidak diizinkan untuk menjauh walau sejengkal. Gadis muda itu langsung menyesal karena sudah datang kemari. Fajar jauh lebih berbahaya dari dugaannya. Fajar menunduk, mengusap wajah mulus Jiwa yang cantik. Wanita itu memejamkan mata ketakutan, dan lagi-lagi mengingatkan Fajar pada istrinya yang sudah lama meninggal. "Kenapa sekarang terlihat takut?" Suara Fajar yang dalam juga tajam mengalun bagai petir di telinga Jiwa. "Bukannya ini yang kamu mau?" Jiwa menggeleng, mulai menyesali pilihannya mendatangi Fajar. Tangannya berusaha mendorong Fajar menjauh namun tubuh keras itu sama sekali tidak bergerak. "Kamu yang mau jadi pacar saya, mencium saya, lalu berteriak seperti perawan yang dilecehkan. Kamu menjatuhkan image saya sampai ke jurang." Mengabsen kesalahan Jiwa seperti itu malah membuat si gadis semakin ketakutan. Perasaan menyesal di hatinya menebal. Jiwa mengumpat dalam hati ka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   3. Better Than His Son

    "Kenapa asem gitu mukanya? Gagal, ya?" Jiwa berdecak sebal, melirik Stella yang terkikik geli di sebelahnya. "Diem lo!" Bukannya diam, Stella justru semakin terbahak. Gadis muda berambut ash blonde itu lalu menjalankan mobil, keluar dari halaman gedung firma hukum tempat Fajar bekerja. Wajah kesal Jiwa dan bibirnya yang terus menggerutu tentang Fajar dan Gibran yang sama berengseknya, menemani perjalanan dua gadis muda itu menuju rumah Stella. "Percuma gue dandan menor sampek nyium tuh pengacara, hasilnya gagal total." Jiwa menghapus make up yang sejak tadi melekat di wajah ayunya. Stella si gadis blonde kembali terbahak. Ia tahu betapa kesalnya Jiwa, tapi ceritanya yang lucu membuat Stella lebih memilih tertawa dari pada prihatin. Sungguh teman yang laknat sekali. "Nggak usah ketawa lo, nyetir yang bener," ujar Jiwa sembari melemparkan tisu ke arah Stella. "Lagian kenapa masih kesel, sih? Sejak awal, kan, udah tahu kalau kemungkinan rencana ini sukses tuh cuma lima persen. Lima

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   4. Hukuman

    Fajar pikir gadis muda seperti Jiwa hanya pandai berpikir jangka pendek. Terbukti dari caranya membalas perselingkuhan. Menjadikan dirinya sebagai bahan balas dendam atas kelakuan sang putra menunjukkan betapa egoisnya gadis muda itu. Ia pikir dengan menghilangkan jarak dirinya dengan Cecilia, Jiwa akan mengerti level dirinya. Namun, Fajar salah besar. "Cuma mau nyapa doang, gitu aja galak." Jiwa semakin berjalan mendekat. Mengabaikan keberadaan Cecilia yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Tangan kanan Jiwa langsung menarik Fajar menjauh dari Cecilia. Membuat wanita dewasa itu terkejut dengan sikap Jiwa yang tidak tahu malu. Jiwa hanya tersenyum tipis, terlau masa bodoh. Dia mendengar Fajar belum menikah, itu artinya Cecilia masih belum menjadi siapa-siapa. Bisa saja wanita itu hanya teman, dan kalau pun lebih dari itu Jiwa juga tidak peduli. Tujuannya lebih penting dari apapun. Fajar menarik tangannya dari genggaman Jiwa. Matanya memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada yan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   5. Kapan Nikah?

    "Hei si cupu." Jiwa menoleh, lalu mengumpat dalam hati. Kenapa pula dia menoleh padahal cupu bukan lah namanya. Jiwa berniat melanjutkan langkah, mengabaikan Gibran yang terus meneriaki dirinya. "Cupu! Hei, Jiwa! Jiwa, stop nggak lo." Gadis itu berbalik, mengacungkan dua jari tengahnya pada Gibran yang langsung melotot kaget. Melihat mantan pacar di pagi hari bukan lah hal yang bagus, apalagi dia masih kesal dengan kelakuan Fajar semalam. Seenak jidat mendorongnya ke kolam renang. Pengacara mana yang melakukan tindak kekerasan seperti itu? Beruntung Jiwa ini bisa renang, kalau tidak entah akan bagaimana nasibnya?Jiwa mengusap hidungnya yang berair dengan tisu. Lagi-lagi mengumpat kesal dalam hati karena flu yang ia derita. "Heh!" Tubuh Jiwa hampir jatuh tersungkur karena dorongan Gibran dari belakang. Gadis itu menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. Baru dia berbalik dan menatap datar pada Gibran. "Apa-apaan tangan lo tadi, hah?" Gibran berdecak. "Gitu aja baper lo,

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   6. Selamat Datang, Gibran

    "Mendidik Gibran?" ulang Jiwa dengan satu alis terangkat. "Menurut Bapak, anak setan itu bisa dididik?" Fajar menahan napas beberapa detik. Anak setan? Kalau begitu, dia juga setan? Gibran kan anaknya. Fajar berdecak sebal, bisa-bisanya gadis muda itu dengan santai mencaci maki seorang putra di depan bapaknya. Sopan santun anak muda jaman sekarang perlu diperbaiki. "Lupakan. Bukannya tambah bener malah makin mirip iblis nanti kalau kamu ikutan didik," kata Fajar ketus. Dia sampai lupa tujuannya kemari karena ucapan Jiwa selalu berhasil membuatnya kesal. Fajar jadi menyesal karena membiarkan mamanya tahu semua kegiatannya. Kalau saja dia jauh lebih berhati-hati, mungkin sekarang dia tidak harus membawa Jiwa ke rumahnya. Mamanya yang ngebet sekali ingin melihat dia menikah sangat merepotkan. Jiwa berdiri, kedua tangannya menyentuh ujung tali tas backpack yang ia kenakan. Matanya menyorot sengit pada Fajar yang masih saja datar. Lelaki tua itu benar-benar mirip Gibran, hanya saja le

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   7. Menikah Dengan Cepat

    Nana merentangkan tangan, menyambut cucu kesayangannya dalam pelukan. Sesuatu yang selalu Nana lakukan jika dia melihat Gibran baru pulang. Gibran juga senang-senang saja berpelukan dengan Nana, tapi kali ini tubuhnya terasa kaku. Lelaki muda itu tidak membalas pelukan Omah kesayangannya. Matanya masih fokus menatap Jiwa yang dengan santai membalas netranya dengan angkuh. Gibran juga menatap papanya yang hanya diam seperti biasa. Konspirasi macam apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang? "Kebetulan banget kamu pulang. Tuh, Papa kamu akhirnya punya pacar," kata Nana menunjuk Jiwa dengan dagunya. "Pacar?" ulang Gibran dengan terkejut. Ia pikir dirinya salah dengar, tapi anggukan Nana berhasil membuat jantung Gibran berdebar. "Selamat malam, Gibran," sapa Jiwa. Wajahnya santai seolah bertemu dengan Gibran bukanlah hal besar. Jiwa bersikap biasa saja, seakan dia memang benar kekasih Fajar. Melihat ekspresi tercengang, tak percaya, dan juga kesal di wajah Gibran membuat Jiwa senang

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   8. Mau Ikut Saya?

    "Terima kasih untuk makan malamnya, Tante. Saya pamit pulang dulu," kata Jiwa dengan sopan. Matanya melirik kecil pada Gibran yang berdecih. Mungkin pemuda itu muak dengan tingkahnya yang sok manis. Bodoamat. Jiwa tidak peduli."Mama. Panggilnya mama aja," ucap Nana. Wanita paruh baya itu maju meraih tangan Jiwa. Menggenggamnya dengan lembut. Jiwa jadi merasa bersalah karena membuat wanita di depannya ini menjadi berharap padanya. "Kamu yang sering main ke sini, ya. Mama kesepian. Fajar sama Gibran suka sibuk sendiri, pulangnya malem-malem mereka," ucap Nana penuh harap. Ia sangat menyukai calon menantunya itu. Fajar menjilat bibirnya, tak tahan dengan interaksi Nana dan Jiwa yang semakin akrab. Bisa-bisa pernikahan tak bisa terelakkan kalau hubungan mereka sedekat ini. "Boleh, Ma. Nanti aku minta Fajar jemput kalau mau ke sini," jawab Jiwa dengan semangat. Sebenarnya geli juga memanggil ayah mantan pacarnya hanya dengan nama. Tapi akan lebih menggelikan kalau dia memanggil Fajar d

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   9. Perubahan Tujuan

    "Hanya dibawa?" sentak Ayah tiri Jiwa dengan keras. "Beli aja sekalian. Dia sudah nggak ada gunanya buat kami."Jiwa menggigit bibir bawahnya dengan kuat, geram dengan apa yang sudah dia dengar. Begitu pun dengan Fajar, pria dewasa itu merasakan gemuruh amarah dalam dadanya. Bagaimana bisa seorang anak diperlakukan sekejam ini?Fajar menatap wajah Jiwa beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pendek. "Saya akan menikahi Jiwa." Kalimat Fajar berhasil membuat Jiwa mendongak, menatap wajah tegas dan dingin Fajar yang serius. "Me-menikah?" tanya ibu Jiwa yang akhirnya bersuara. "Jiwa masih muda. Dia masih kuliah, bagaimana bisa menikah?""Berapa maharnya?" tanya ayah Jiwa dengan excited. Wajahnya bungah karena beban keluarganya akan berkurang dan dia akan mendapatkan sesuatu dari pria di depannya.Meski merasa pria yang akan menikahi Jiwa terlalu tua bagi anak gadis itu, tapi ayah tiri Jiwa tidak peduli. Yang lebih penting adalah seberapa besar mahar yang akan dia terima."Mahar ad

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   25. Kissing

    Meski terbesit rasa ragu dalam dirinya, Fajar memilih untuk tidak membuang kesempatan ini. Ada wanita muda yang dengan rela mempersilakan dirinya untuk dinikmati olehnya, mana mungkin Fajar menolak. Terlebih lagi mereka sudah menikah sekarang. Maka dengan kesadaran penuh, tangan Fajar mulai merangkak naik menyentuh leher Jiwa. Ibu jarinya bergerak meraih dagu si wanita agar mendongak. "Tutup matamu sekarang." Jiwa meneguk ludah sebelum menutup mata. Detik berikutnya ia bisa merasakan tekstur kenyal dan hangat menempel pada bibirnya. Itu adalah bibir milik Fajar. Jiwa sadar dirinya lah yang memprovokasi dan memberikan ijin, tapi kini malah dia yang tidak bisa mengendalikan jantungnya. Terlebih ketika Fajar mulai menyesap bibir bawahnya, memberikan isapan kuat dan menggigit kecil, meminta Jiwa untuk membuka mulutnya. Memberikan ruang pada Fajar untuk melesak masuk, mengeksplor setiap inci mulut basah dan hangat milik Jiwa. Sungguh, ini adalah pertama kalinya bagi Jiwa merasakan c

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   24. Pria yang bertanggung jawab

    "Aw!" pekik Fajar ketika merasa kakinya di tendang. "Sakit.""Salah siapa mesum?" sewot Jiwa. Kedua tangannya masih menahan gaun pengantin yang ia kenakan agar tidak melorot. "Sana keluar. Aku mau mandi!" Fajar berdecak. "Nggak usah kamu suruh juga saya mau keluar," kata Fajar sambil mengusap kakinya yang masih sakit. Tidak ia sangka kalau gadis sekecil Jiwa memiliki kekuatan yang lumayan. Begitu Fajar sudah keluar dari kamar mandi, Jiwa langsung menghela napas lega. Ia berbalik menghadap cermin, membiarkan gaunnya jatuh ke lantai begitu saja. Jiwa menatap wajahnya dalam diam. Sekarang ia benar-benar sudah menjadi istri orang dan seharunya sudah siap dengan hubungan orang dewasa. Namun, Fajar yang berubah-ubah terus membuatnya kebingungan. "Dia itu sebenarnya benci aku apa engga, sih," gumam Jiwa. .Masih beberapa menit yang lalu Fajar terlihat tidak tertarik dengan dirinya, tapi mengapa baru saja Fajar menggodanya?Apa karena iseng? Ah, Jiwa tidak tahu. Lebih baik dia mendinginka

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   23. Macam-macam

    “Haduh, capek banget,” keluh Jiwa begitu sudah memasuki kamar hotel yang telah disiapkan oleh Nana. Dia berniat untuk langsung tidur karena terlalu lelah tapi baru saja masuk satu langkah ke dalam kamar, Jiwa terdiam dengan wajah melongo. Terkejut melihat dekorasi kamar mewah yang romantis. Sangat romantis malah.Taburan bunga mawar merah berbentuk hati terpampang nyata di atas ranjang. Aroma lilin yang wangi dan menenangkan memasuki indra penciuman Jiwa. Gadis itu mengerjapkan mata tak percaya. Ia melangkah masuk lebih ke dalam, semakin takjub ketika melihat hidangan makan malam di balkon. “Wah, aku nggak ngebayangin kalau bakalan jadi kayak gini kamarnya.”Fajar yang baru saja memasuki kamar sama sekali tidak terkejut. Wajahnya hanya datar menatap seluruh kamar yang didekorasi layaknya ruangan khusus yang sangat roamntis dan intim untuk pengantin baru. Ia sudah menduga kalau Mamanya akan melakukan hal seperti ini. Walau begitu Fajar tetap saja tidak menyangka kalau dekorasinya akan

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   22. Bukan Mimpi

    Jiwa menjatuhkan pandangannya pada jari manis yang sudah terisi cincin. Rasanya masih tidak menyangka bahwa sekarang dia sudah menikah dengan Fajar, Papa dari mantan pacarnya sendiri. Meski begitu rasa bahagia tetap menyeruak masuk dalam hatinya. Ia senang karena sekarang bisa bebas dari keluarganya yang toxic. "Hai." Jiwa mendongak ketika mendengar suara merdu yang menyapa. Cecilia dengan gaun berwarna putih datang menghampiri Jiwa yang duduk sendirian di pelaminan. Membuat si pengantin wanita tersenyum sinis. 'Kentara sekali kalau sedang cemburu' batin Jiwa. Wanita yang sudah menyandang status sebagai istri Fajar itu tidak bodoh. Dia tahu kalau Cecilia sengaja ingin menarik perhatian juga, mungkin mau menunjukkan pada Jiwa kalau dia juga menarik. Tapi sayangnya Jiwa justru kasihan dengan Cecilia. "Anaknya Tante, ya?" Jiwa menunjuk satu anak perempuan yang digandeng Cecilia. "Iya." "Cantik. Mana papanya?" tanya Jiwa kurang ajar. Sengaja agar membuat Cecilia semakin kesal denga

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   21. Whatever, Dude.

    Jiwa tersenyum tipis ketika Fajar menarik kursi untuknya. Ucapan terima kasih keluar diiringi senyum yang dia buat semanis mungkin. Dan Fajar hanya melihat sekilas sebelum menjatuhkan bokongnya di kursi depan Jiwa. Keduanya memutuskan untuk makan malam di restoran cepat saji MickyD. Yang mana sama sekali tidak ada romantis-romantisnya seperti yang Jiwa katakan pada Cecilia. Tapi sebenarnya sih Jiwa tak masalah. Karena dia juga tidak berharap Fajar yang cuek menjadi sangat romantis. Jiwa membuka mulutnya, ingin berbicara, tapi langsung mengatupkan bibir kembali ketika melihat Fajar membalas pesan. "Mau makan sama calon istri kok masih sempet balesin chat," gerutu Jiwa. Tak menyembunyikan kekesalannya. Sengaja. Agar Fajar tak lagi fokus pada benda pipih di tangan dan mengabaikannya. "Kan belum sampai," balas Fajar membela diri. Namun, sedetik setelah Fajar mengatakannya datang seorang pramusaji yang membawa satu nampan berisi pesanan mereka berdua. Fajar pun langsung memasukkan pons

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   20. Kesalnya Jiwa

    Jiwa yang sedang berbaring dengan tenang di ranjang jadi menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara Fajar. Wanita itu langsung mendekati pintu, menempelkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan macam apa yang sedang dilakukan calon suaminya. "Sial, itu Cecilia," gerutu Jiwa kesal. Ia menegakkan tubuhnya. "Padahal Fajar sudah bilang akan menikah tapi dia masih aja." Sebelum ini Jiwa sangat yakin kalau dirinya bukan tipe wanita pecemburu, tapi entah kenapa sekarang rasanya kesal mengetahui hubungan Cecilia dan Fajar yang ternyata lebih dari teman. Sekarang Jiwa harus apa? Semakin dia mendengar suara Cecilia semakin meluap rasa kesalnya. Jiwa mengangkat ponselnya, melihat pantulan wajahnya yang masih segar dan manis. Jiwa juga menunduk merapikan pakaiannya agar tidak terkesan wanita berantakan. Lalu, dengan pelan dia membuka pintu. Bersandar dengan keren sembari menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Wow, keras kepala sekali tante yang satu ini," cibirnya. Kalimatnya memuat J

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   19. Keras Kepala

    Jiwa berdiri di depan meja kerja Fajar, kedua tangannya saling bertaut di belakang tubuh dengan tatapan lurus memperhatikan sang calon suami. Garis senyum manis di wajah Jiwa masih belum menghilang sejak ia diperbolehkan Fajar ikut dengannya. Padahal andai tadi ditolak pun Jiwa tidak masalah. "Apa Bapak akan lama?" Jiwa berjalan semakin dekat, menumpukan kedua tangan di atas meja kerja Fajar. "Saya nggak nyangka bakalan berada di rungan ini lagi tanpa pengusiran." Wanita muda itu terkikik, teringat dengan hal konyol yang sempat ia lakukan. Sementara Fajar mendengus dan berdiri dari kursinya. Di tangan kanannya sudah ada berkas yang sejak tadi ia cari. "Kamu tunggu di sini, saya nggak akan lama." Jiwa mengangguk dan menunjukkan ibu jarinya sebagai tanda menurut. "Oke, semangat kerjanya ya, Fajar," goda Jiwa, sengaja menyebut nama pria itu. Sedangkan yang digoda hanya diam dengan wajah datar dan tatapan lurus seolah ingin mencabik tubuh Jiwa. Namun tak berselang lama, karena detik

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   18. Ikut Calon Suami

    "Pria memang lebih mempesona ketika sedang menyetir," ucap Jiwa penuh kekaguman. Sejak memasuki mobil mewah keluaran Inggris milik Fajar, Jiwa tak berhenti mengutarakan kalimat pujian. "Bapak selalu buat aku kagum dan terpesona." Fajar melirik sekilas lalu menghela napas remeh. "Nggak pegel dari tadi kayak gitu terus?" Bukannya menatap jalanan di luar sana, Jiwa justru sedikit memutar tubuh untuk menatap Fajar dengan mata berbinar. Persis seperti anak kecil yang mendapatkan permen manis. Namun, itu justru membuat Fajar merasa risih sampai rasanya ingin mengantar Jiwa pulang saja. "Pegel mah bukan apa-apa, yang penting bisa lihat wajah ganteng Bapak." Jiwa memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Dulu aku pikir Gibran cowok paling ganteng tiada tanding, tapi ternyata Bapaknya juauuuuuh lebih menggetarkan hati." Jiwa menyentuh dadanya dengan kedua tangan, bersandar dengan lemas seolah baru saja mengalami serangan jantung. Ia pikir kalau saja Fajar tidak menjadi pengacara, pr

  • Menjadi Istri Mantan Calon Mertua   17. So Hot

    Jiwa menarik tangannya dan mundur dua langkah. Matanya berpaling, berusaha menghindari tatapan Fajar yang begitu dalam dan serius. Jiwa bisa merasakan betapa kerasnya jantung Fajar berdetak. Dan ia jadi merasa gugup mengetahui itu. "Namanya orang hidup ya pasti jantungnya akan berdebar. Bapak ini bagaimana, sih," ketus Jiwa, berusaha tak terlihat terpengaruh dengan apa yang dilakukan Fajar. "Ini sudah malam, aku mau pulang." Setelah mengatakan itu, Jiwa melewati Fajar dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Selalu seperti ini. Entah kenapa, Fajar selalu berhasil membuat jantungnya seperti hampir meledak. Laki-laki itu selalu mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Gue nih orangnya lemah, gitu aja udah baper," gerutu Jiwa kesal. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa seakan sedang dikejar sesuatu. "Jiwa, sudah mau pulang?" Suara Nana yang bertanya menghentikan langkah kaki wanita dua puluh satu tahun itu. Nana yang memang sengaja sedang menunggu Jiwa berdiri dari sofa ruang tenga

DMCA.com Protection Status