Sebagian besar pelayat sudah pergi meninggalkan area pemakaman umum, meninggalkan Ajeng yang masih meneteskan air mata di pelukan Evan.Kondisinya yang sedang hamil muda membuatnya tidak bisa terlalu larut dalam kesedihan, atau janin di dalam perutnya akan ikut stres."Ikhlaskan. Memang sudah ini jalannya," kata Evan sambil mengelus-elus lengannya."Kalau tahu begini, seharusnya aku kembali ke sini lebih cepat," ucap Ajeng di sela-sela tangisannya."Kita nggak tahu kapan seseorang akan pergi dari dunia ini. Doakan dia diampuni."Tangan Ajeng gemetar ketika mengusap air mata di wajahnya. Dia menatap gundukan tanah yang masih baru dan dipenuhi dengan bunga. Rasanya masih seperti mimpi. Baru juga dia berbicara dengan Ella, lalu tiba-tiba saja wanita itu tergeletak di atas lantai dan menghembuskan nafas terakhir di depan matanya sendiri."Kamu udah maafin dia kan, Mas?" Air mata tidak mau berhenti dari netra Ajeng.Biar bagaimanapun juga, mereka sudah bersahabat sejak tahun awal perkuliah
Semua terjadi begitu cepat. Tubuh Ajeng ditarik menjauh sebelum sebilah pisau tajam menghujam dadanya. Dia bahkan belum sempat mencerna apa yang terjadi ketika Evan menerjang tubuh pria yang menyerangnya."Mas Evan!"Nathan menendang pergelangan tangan si penyerang sampai pisau itu terlepas dan terlempar jauh. Pria bule itu mengambil alih si pelaku setelah Evan melepaskannya."Mas Evan! Kamu berdarah!" Ajeng melepaskan siapapun yang tadi merengkuh tubuhnya dan bergegas menghampiri sang suami. "Mas, tangan kamu kena pisau."Ajeng buru-buru membawa Evan ke mobilnya. Dia melihat Pak Adi yang sudah menunggu di depan mobil dengan wajah khawatir. Matanya membelalak. Jika Pak Adi ada di situ, lantas siapa yang tadi menarik dan memeluknya dari belakang?"Mari saya obati, Tuan. Di dalam ada kotak P3K," kata Pak Adi sambil terburu-buru membuka pintu mobil dan mencari kotak yang dimaksud.Ajeng menyuruh Evan untuk duduk di kursi tengah. Sebelum ikut masuk, dia menoleh ke belakang untuk melihat s
"Kenapa kamu mau menjadi kaki tangan Ansel?" tanya Susno sekali lagi.Broto yang keadaannya masih lemah dan babak belur dan terikat di kursi tetap tidak mau menjawab. Geram, Susno menendang perut pria itu untuk yang kesekian kalinya.Bertahun-tahun dia menantikan momen ini untuk menghajar perusak rumah tangganya. Laki-laki tidak tahu diri yang menjadi parasit dan menghisap hartanya melalui Puspa dan Ella. Betapa tidak tahu dirinya pria miskin itu."Kamu sudah dijanjikan apa sama anak ingusan itu? Harta? Jabatan?" Susno mendengkus. "Anak itu saja masih bergantung di bawah ketiak ayahnya. Mau-mau saja kamu dimanfaatkan sama anak bau kencur. Broto...Broto! Kamu itu benar-benar nggak tahu terima kasih. Masih untung aku mau menampung kamu biar nggak jadi gelandangan."Ya, Broto adalah teman sekolahnya dulu. Pria yang pernah menjadi tetangganya ketika dia masih tinggal di Malang. Pria yang juga membantunya untuk mendapatkan Sekar Anjani, namun digagalkan oleh Mark.Ditinggal mati oleh kedua
"Aku memiliki beberapa kandidat buronan yang dimaksud oleh Broto. Jika yang dimaksud dia adalah buronan internasional, maka aku punya beberapa nama," kata Nathan setelah mengetikkan sesuatu di laptop milik Evan.Ketika Susno menyiksa Broto di rumah pria itu agar mengaku, mereka berdua memang diam-diam mendengarkan di luar ruangan. Bukan atas kemauan sendiri, melainkan atas saran dari Susno. Pria itu sengaja membiarkan pintu ruangan tersebut sedikit terbuka agar mereka bisa mendengarkan dengan jelas.Meski enggan untuk mengakui, tapi Evan akhirnya yakin bahwa Susno memang benar-benar bukanlah penguntit yang terobsesi dengan ibu mertuanya. Ternyata pria itu hanya belum bisa move on dari rasa cinta yang benar-benar tulus untuk Sekar, tapi caranya salah dan menimbulkan petaka bagi Ajeng.Selama ini Susno memang menyewa orang untuk terus mengikuti Sekar dan Ajeng, semata-mata untuk melindungi kedua perempuan itu dari serangan Puspa dan Ella. Sejak menikah dengan Puspa, wanita itu memang sa
"Eh, sayang? Kok udah bangun? Kamu mau apa? Pengen makan sesuatu?" Evan buru-buru mendekati Ajeng yang sudah siap menangis.Dia tidak pernah menghadapi ibu hamil, tapi ibunya sering mengomel tentang bagaimana kebiasaan ibu hamil sampai kupingnya terasa panas dan akhirnya hafal di luar kepala."Mau makan yang asem-asem? Rujak atau apa gitu? Aku nggak kembali ke kantor kok. Papa yang handle soalnya tahu kamu lagi berduka. Yuk, kita makan siang. Atau kamu mau makan di luar?" Sebisa mungkin Evan mengalihkan perhatian istrinya agar tidak berpikiran yang terlalu berat."Tapi tadi kamu bilang...""Kamu salah dengar. Tadi Nathan membahas soal Elena yang dulu dikuntit sama orang asing.""Tapi tadi kamu teriak....""Ssshhh, aku cuma niruin dialog di film. Ayo, kamu mau makan apa? Atau kita balik ke kamar?""Hah? Tapi aku yakin tadi....mmmhhhh!"Cara ampuh untuk membungkam perempuan adalah dengan membuatnya terlena. Evan sudah menguasai teknik untuk membuat istrinya kehilangan fokus. Dia menyung
Sander mengamati gerak-gerik Ansel dengan pandangan tajam. Sejak tahu bahwa pria itu begitu kurang ajar diam-diam memasang kamera tersembunyi di kamar Ajeng, dia sudah tidak lagi menganggap Ansel sebagai sepupunya.Lidahnya sungguh gatal untuk terus berkata kasar dan sinis setiap kali Ansel berpura-pura berbicara dengan manis dan sopan pada ayah dan ibunya. Kehadiran Om Dennis semakin membuat Sander ingin membongkar kelakuan bejat sepupunya itu."Aku mau mengambil dokumen di kamar Kak Ajeng. Kayaknya ketinggalan di sana," kata Ansel sambil tersenyum, menampilkan wajah lugu dan terlihat baik.Cih! Ingin sekali Sander meludah dan meninju wajah songong itu. Selama ini, dia dan semua orang sudah tertipu oleh wajah itu."Kamu kenapa dari tadi diam saja, Nak?" tanya ibunya dengan kening mengernyit."Buat apa kamu ke kamar Ajeng? Jangan lancang masuk ke kamarnya di saat dia nggak ada di sini. Biar aku saja yang mengambil dokumen itu," kata Sander dingin, mengabaikan pertanyaan ibunya.Semua
Sander membuka pintu kamar Ajeng dan tersenyum sinis ketika melihat Ansel sedang mencari-cari sesuatu."Sejak kapan dokumen ditaruh di boneka?"Tangan Ansel membeku dan tubuh pria itu terlihat tegang, namun sedetik kemudian kembali biasa. "Ah, Mas Sander. Aku cuma pengen lihat bonekanya Kak Ajeng aja kok. Dia sangat suka dengan boneka ini," kata Ansel dengan tenang sambil tersenyum.Setelah Sander ditelpon oleh Evan yang mendapatkan instruksi dari bodyguard Ajeng, dengan sigap ia kembali menyisir kamar sang adik untuk menemukan adanya kemungkinan kamera lainnya.Dan benar saja. Dia menemukan kamera di tempat-tempat yang tidak akan pernah dicurigai oleh siapapun yang melihatnya. Boneka beruang besar, pot bunga imitasi, pulpen, bahkan di sela-sela springbed dan dipan.Ansel benar-benar gila. Tidak, pasti orang yang memerintah Ansel benar-benar gila. Sepupunya tidak akan mengerti dengan hal-hal semacam itu. Dia tahu betul Ansel tidak terlalu pintar."Kamu mencari ini?" Sander meraih sem
"Mi, Ajeng mau jalan-jalan sebentar ya. Suntuk di rumah terus," pamit Ajeng setelah sholat subuh.Kebetulan sang mertua sedang berada di dapur untuk minum. Wanita itu menaikkan alis."Nggak nunggu Evan dulu? Dia belum pulang dari masjid?" "Nggak ah, Mi. Kelamaan nungguin Mas Evan keburu terang. Ajeng males ketemu tetangga." Pasti banyak yang kepo dengan status Ajeng.Mendadak ia merasa kesal pada suaminya. Kenapa pernikahan mereka masih belum dirayakan agar semua orang tidak menuduhnya yang tidak-tidak? Orang-orang di kompleks perumahan mertuanya pasti tahunya yang menjadi istri Evan itu masih Ella."Lho, terus? Kamu mau jalan-jalan sendirian? Jangan, nanti suami kamu marah-marah. Kamu lupa rumah kamu dibom waktu Evan pergi?" kata Dahlia dengan raut wajah khawatir."Sama Nathan kok, Mi. Ajeng juga takut kalau sendirian."Penyerangan dari Broto membuat Ajeng semakin takut saja pergi kemana pun. Sekarang dia justru bingung, sampai kapan dia akan seperti ini terus? Dia juga tidak punya