"Terima kasih untuk juragan Surya, karena sudah berkenan meminang cucu saya yang bernama Nur. Dimana Nur ini cucu saya satu-satunya. Jadi saya berharap Nur dapat jodoh yang terbaik," suara Anis menggema di penjuru ruangan. Wanita berusia 63 tahun itu terlihat percaya diri dan santun.
"Nur?" panggil lelaki bertubuh tinggi dengan brewok rapi menghiasi wajah. Lelaki itu bernama Surya Pradipta, juragan paling kaya yang sebelumnya pernah menikah sebanyak 2x di desa Nur.
"Terima kasih Mas Surya," kata Nur singkat tanpa embel-embel seperti Neneknya.
Surya menatap Nur dengan penuh kasih, kemudian matanya menatap sekeliling. "Semuanya, silahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Maaf karena saya harus menjamu para tamu dari kota."
Seluruh warga bersorak riang, berhamburan mengambil segala menu prasmanan yang tersaji. Tanpa mempedulikan lagi apa yang terjadi di atas panggung.
"Kamu dan Eyang tunggu di dalam kamar saja. Nanti setelah jamuan dengan tamu dari kota selesai, saya akan menemui kamu lagi," Surya menundukkan tubuh agar sejajar dengan Nur.
Sepasang mata yang sejak acara dimulai selalu menunduk, kini baru mendongak dan menatap punggung Surya yang telah berlalu. 'Maaf...' batin Nur.
Di sepanjang perjalanan dari aula menuju kamar, Nur memperhatikan suasana sekitar. Aman, tidak ada penjaga. Rupanya Surya terlalu percaya, atau justru meremehkan Nur.
"Hati-hati Nur, semoga suatu saat kamu kembali ke sini, " Anis menggenggam jemari Nur. Berat berpisah dengan cucunya, namun gadis muda ini masih punya jalan yang panjang.
"Maafin Nur ya Eyang, Nur pasti kembali." Nur memeluk tubuh kurus yang hari ini terlihat sangat cantik berkat orang suruhan Surya.
Tidak ingin membuang waktu, Nur berjingkat menuju parkiran mobil untuk mencari mobil Hilux ber-plat kota sesuai instruksi Arya, kakak sepupu dan orang kedua yang tahu rencana besar Nur pada malam ini. Dinaiki bagian belakang mobil yang terbuka, merebahkan tubuh dan menutupnya menggunakan kain hitam dan menyisakan sedikit pada bagian wajah untuk bernafas.
Sudah 15 menit Nur berdiam diri, hingga terdengar suara beberapa orang berjalan menuju parkiran. Suara Surya, dengan seorang lelaki yang entah siapa, namun suaranya terdengar merdu di telinga.
"Sudah siap, Pak?" tanya Arya pada lelaki bersuara merdu itu.
"Sudah," jawabnya singkat.
Mobil melaju perlahan, bersamaan dengan deru nafas Nur yang berpacu melewati gerbang rumah dengan suara pengawal yang bertanya pada Arya. Pemeriksaan selesai tanpa menyentuh bagian belakang mobil.
Setengah jam berlalu, tubuh Nur masih aman karena mobil ini tahan guncangan meski jalan di desanya termasuk terjal. Hingga kembali Arya menjelaskan pada petugas pemeriksa. Dari suaranya, mereka seperti sudah sampai di pelabuhan. Terdengar suara ombak yang menghantam batu karang.
Arya dan lelaki itu turun, meninggalkan Nur di parkiran bawah kapal. Hingga kapal berjalan, Nur baru berani memunculkan wajah, berusaha menghirup udara laut yang menenangkan. Arya bilang, ketika tengah malam Nur baru boleh berjalan menuju kamar Bu Siti, koki sekaligus satu-satunya wanita yang bekerja di kapal ini.
Pagi hari...
Suara perut yang lapar membuat Nur terbangun. Tubuhnya terasa kaku dan gatal, oh ternyata dia masih berada di atas mobil. Semalam tidak kuat menahan kantuk untuk menunggu tengah malam.
Mata Nur memandang sekitar, aman. Kakinya turun dan kembali berjingkat mengikuti tanda panah yang mengarah pada dapur. Bu Siti pasti ada di sana, pikirnya.
Nur berjalan perlahan. Hingga ada suara kencang yang berasal dari kamar yang baru sama dia lewati. Refleks Nur bersembunyi di balik gorden hitam.
BRAK!
"CUKUP MAS, AKU SUDAH NGGAK SANGGUP LAGI HIDUP SAMA KAMU!" jerit seorang wanita dengan tangis kencang.
"Kita sudah bahas ini berkali-kali, Diana. Kamu tahu pasti jawaban aku apa!" sentak sang lelaki.
"Aku nggak akan bisa punya anak Mas, aku sudah operasi pengangkatan rahim. Aku nggak akan bisa jadi seperti yang kalian mau! Jadi tolong... Bebaskan aku."
"Diana, kamu tahu betapa besar rasa cintaku..."
Tidak sanggup mendengar masalah orang lain terlalu dalam, Nur berjalan menjauhi kamar itu. Dadanya terasa sesak. Kenapa permasalahan rumah tangga begitu pelik? Sudah paling benar keputusan Nur untuk menolak Surya mentah-mentah.
Masih terkejut dengan pendengarannya, tidak disangka saat berbelok Nur bertemu Arya. Segera ditariknya Nur menuju kamar kecil yang tadi sempat Nur lewati. Di dalamnya ada seorang wanita berusia 50 tahunan yang sedang bersiap.
"Bu Siti, ini adik sepupuku. Namanya Nur," Arya mengenalkan Nur pada Siti.
"Nur, Bu."
Siti tersenyum ramah. Dia memindai penampilan Nur yang terlihat mencolok. Menggunakan midi dress brukat dengan rambut yang dikepang dan pita kecil. Manis dan cantik, meski terlihat agak berantakan.
"Nur, apapun yang kamu ketahui di sini adalah rahasia. Jadi apapun itu, jangan sampai bicara sembarangan. Sekarang kamu makan, habis itu ganti pakaian dan bantu saya bersihkan bagian buritan ya."
Nur yang pintar dengan cepat melakukan apa yang Siti instruksikan. Kini Nur memakai celana kedodoran dan kaos oblong yang sedikit kumal milik Bu Siti, serta membawa satu set alat pembersih lantai.
"Loh, loh, kak..." pekik Nur ketika melihat seorang wanita yang berdiri di pagar samping yang hanya setinggi pinggang.
Wanita itu menoleh, memperlihatkan pahatan wajah yang sempurna. Sangat cantik. Bukan hanya wajah, tubuh serta pakaiannya pun terlihat sempurna.
"Jangan mendekat!" teriak wanita itu.
"Pegang tangan aku, Kak. Ya?" Nur mendekat, dia yakin wanita itu tidak berani meloncat di laut lepas. Aih, melongok saja sudah membuat lutut Nur bergetar.
Saat Nur semakin maju, terdengar suara beberapa orang menyusul di belakang Nur.
"DIANA, APA YANG MAU KAMU LAKUKAN?!" bentak seorang lelaki.
Degh, jantung Nur bertalu. Jadi mereka berdua ini adalah pasangan yang tadi sempat bertengkar di dalam kamar? Nur kembali maju, pasti wanita ini lebih memilih Nur ketimbang suami galaknya itu.
"Ayo Kak, pegang tangan aku..." Nur menjulurkan tangan.
Diana menangis tersedu, matanya menatap sang suami dengan kepedihan teramat sangat. "Maaf Mas... Aku pergi..."
BYUR!
Diana lompat ketika jaraknya dengan Nur sebatas dua meter.
"AAAAAA!" Nur menjerit histeris melihat adegan loncat di hadapannya. "Kak, Kak..." Nur melongok ke bawah, tepat dimana Diana melompat. Namun tidak ada tanda apapun. Tubuh Nur perlahan terduduk, kakinya dia tekuk dan tangisannya terdengar pilu. Meski begitu, tidak ada yang peduli padanya. Mereka menganggap Nur hanyalah petugas kapal yang tidak bermatabat.
"Berapa jarak ke pelabuhan terdekat?" lelaki arogan itu bertanya pada Arya, sang tangan kanan.
"Lima belas menit lagi Pak Bryan, haruskah kita turunkan tim penyelamat untuk Bu Diana?" Arya sudah memperkirakan jarak dari lokasinya saat ini ke pelabuhan terdekat.
"Tidak perlu, seorang atlet renang tidak akan tenggelam di laut!" Bryan melengos, tidak ingin melihat lokasi drama pagi ini. Baru dua langkah, kemudian dia teringat gadis muda yang masih menangis di pagar pembatas.
"Ada apa Pak?" tanya Arya yang ikut berhenti.
"Bawa gadis itu ke ruangan saya," Bryan menunjuk Nur dengan dagunya. Gadis itu bahkan tidak memperhatikan suasana sekitar karena masih asik menangisi Diana.
Nur menunduk dengan isakan yang masih terdengar dari bibirnya. Setelah melihat adegan paling menakutkan dalam hidup, kini Nur harus berhadapan dengan si suami jahat.Bryan menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya familiar, tapi Bryan lupa pernah lihat dimana."Siapa kamu?" Bryan tidak marah, dia justru berusaha terdengar ramah. Khas psikopat."Sa... Saya... Nur, Pak." Jawaban terbata Nur membuat Arya yang berdiri di sebelah Bryan menjadi keringat dingin.Alis mata Bryan terangkat, berusaha mengingat sesuatu. Dan ya, Bryan ingat! Bukankah Nur adalah nama tunangan dari koleganya kemarin yang bernama Surya?Semalam saat baru datang di kediaman Surya, Bryan sempat salah masuk ruangan. Di dalam sana dia melihat sekelompok warga desa yang menjadi saksi pertunangan Surya dan seorang gadis bernama Nur. Meski Surya bisa dikatakan cukup tampan, Bryan tidak melihat adanya rasa suka pada gadis di sebelahnya.Sekali lagi Bryan memperhatikan penampilan Nur. Tidak buruk. Mungkin, per
"Oh, pasti Bapak bercanda. Harusnya saya jadi pelayan, atau kacung di rumah Bapak. Begitu kan?" wajah Nur masih datar. Dia tidak se-percaya diri itu diberi pekerjaan untuk jadi istri kedua dari pria yang tinggi, tampan dan terlihat kaya raya.Bryan menatap Nur seperti ingin menusuk. Apa wajahnya terlihat seperti bercanda?"Pak?" Nur kembali memperjelas.Tidak menjawab, Bryan meminta Arya untuk membereskan berkasnya. Kemudian dia berdiri, memberi kode kepada Nur untuk mengikuti. "Kita lanjutkan pembicaraanya di rumah."Petugas Lapas muncul di sebelah Bryan dan menunduk ketika melihat Bryan keluar ruangan. "Sudah selesai Pak? Jadi sepupu Bapak kapan mau PKL di sini?" lelaki bernama Irawan bertanya dengan hormat kepada Bryan dan Nur."PKL?" Nur tidak dapat menahan bibirnya untuk bertanya."Iya, Pak Bryan datang ke sini karena menemani Kak Nur untuk survey tempat PKL kan? Beruntung banget punya sepupu seperti Pak Bryan."Nur menatap Bryan yang masih memasang wajah tenang tak terbaca. Kali
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan. Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu. "Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini. Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adal
Nur duduk dengan nyaman di kursi belakang sambil memainkan ponsel boba 3 barunya, sedangkan Anih di sebelah Ijon. Tidak ada yang berani memulai obrolan sehingga suasana mobil menjadi sunyi."Ehmn," akhirnya Nur putuskan untuk menaruh ponsel ke dalam tas mungil yang berlogo salah satu merk terkenal. Mungkin dengan dia mengajak Ijon ngobrol, akan ada beberapa informasi baru mengenai Bryan."Kenapa Kak? Haus ya? Sebentar Bik Anih ambilkan minum," tangan Anih menjuntai ke barisan pintu mobil Nur untuk mengambil sebotol air mineral. "Ini Kak."Walau tujuannya bukan minta minum, Nur tetap mengambil botol itu dan menenggaknya. "Makasih Bik Anih," Nur tersenyum ramah.Jika dalam keadaan tenang, Nur memiliki sifat yang lemah lembut dan tutur kata yang halus. Baginya, bersikap lembut kepada orang yang lebih tua adalah sebuah kewajiban."Pak Ijon," panggil Nur tiba-tiba dengan wajah yang sedikit dia majukan, membuat Ijon yang tidak sengaja menoleh tersentak."Astaga, kaget!" jerit Ijon tertahan.
"Jadi Nur belum keluar kamar sampai sekarang? Oke Bik, nanti biar saya bicarakan dengan Pak Bryan." Setelah menutup telepon dari Anih, Arya mendekati Bryan yang masih mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Kenapa lagi anak itu?" Bryan terdengar sinis."Sepertinya Nur sudah lihat hasil test-nya Pak, jadi dia menenangkan diri dan nggak mau keluar kamar sejak tadi siang."Bryan menaruh berkas tersebut, kemudian mengecek rekaman CCTV kamar Nur yang hanya bisa diakses oleh ponselnya.Alis Bryan sedikit mengkerut, kemudian kembali normal ketika melihat Nur muncul dari dalam kolam renang. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya dada anak itu terengah. Memang sudah berapa lama dia bermain dalam kolam renang?Setengah jam... Satu jam... Dua jam?Di kantor Bryan bukanlah bos yang manja. Meski kadang lupa jadwal, tapi khusus hari ini dia sudah mengingat jadwalnya dari pagi hingga sore. Harusnya aman jika saat ini dia pulang ke rumah. Sambil melihat titik macet pada maps, Bryan merapikan tas
"Gimana Nur? Yang ini juga belum pas?"Nur menggeleng dengan wajah lesu. "Jangan deh Mas, dua-duanya mahal banget. Aku takut Pak Bryan bangkrut kalau kuliahin aku di situ."Arya terkikik, tidak mungkin lah bosnya yang kaya raya 10 turunan itu bangkrut. Walau begitu, Arya bangga pada Nur yang meski sudah dijebak tetap tidak mau memanfaatkan Bryan secara berlebihan. Coba kalau Bryan bertemu dengan gadis lain, pasti sudah dijebak habis-habisan.Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Arya harus kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan kepada Bryan yang sekarang entah berada dimana. "Kita lanjut besok lagi ya, sore ini Mas harus balik ke kantor.""Oke Mas, hati-hati."Nur mencari informasi mengenai dua kampus lain yang akan dia datangi esok hari. Sejak pulang kerjaannya hanya scroll ponsel, Anih sampai terbengong karena Nur tidak mengajaknya ngobrol malam ini.Di belahan wilayah lain, Bryan menyesap kopi hitam lokal dengan wajah yang sesekali tersenyum melihat CCTV di ponsel, Nur terlihat
Nur dan Bryan berakhir dengan makan malam serta menonton tv di dalam kamar Bryan. Tidak ada hal yang aneh atau kelewat batas. Bahkan Bryan tidak memaksa Nur untuk berganti pakaian atau melakukan hal memalukan di hadapannya. Misi utama Bryan memang membuat Nur merasa nyaman."Aku boleh balik ke kamar apa enggak Pak?" mata Nur sudah mengantuk.Bryan fokus memainkan game pada ponsel. "Mulai sekarang kamar kamu di sini," jawabnya tanpa menoleh.Nur mengangguk patuh, bagus juga kamarnya kini jadi lebih luas. "Ya sudah, kalau begitu aku tidur duluan ya Pak. Selamat malam." Dan Nur menenggelamkan tubuhnya pada selimut hangat berwarna abu-abu muda.Bryan menoleh sejenak, sepertinya Nur benar mengantuk. Terlihat dari wajahnya yang polos seperti bayi itu begitu tenang dan sesekali terdengar dengkuran halus.Pikiran Bryan terusik. Kalau anak mereka mirip Nur, pasti akan terlihat menggemaskan. Nur memiliki wajah mungil dan berhidung mancung serta alis tebal. Matanya pun terlihat indah karena berw
BRAK!Bryan balik membanting pintu kamar Nur. Harga dirinya merasa ternoda oleh bocah ini. Bukannya jelas bahwa Bryan sedang bercanda, kenapa malah dianggap serius seolah dirinya mesum."Sabar Bryan, sabar." Bergegas Bryan masuk ke dalam kamarnya sendiri yang tepat berada di sebelah kamar Nur. Sebagai bentuk protes dengan penilaian dangkal Nur, Bryan bersumpah tidak akan menemuinya sampai hari esok.Nur berkali-kali mengusap dada agar tidak jantungan. Kakinya lemas hingga berjongkok di balik pintu. Hari ini dia bisa lolos dari cengkraman Bryan, tapi esok belum tentu.Bryan pasti berpikir jika Nur salah menilai. Padahal wajar kan jika Bryan terlihat pro? Dia itu sudah menikah, kadang ramah dan memiliki aura playboy.Meja makan pada malam ini terasa sepi seperti biasa. Bik Anih bilang Pak Bryan ada di kamarnya. Huft, sombong sekali dia tidak mau makan bersama."Sudah Bik, aku masuk ke kamar dulu ya. Terima kasih makanannya." Tanpa menoleh ke arah kamar Bryan, Nur masuk dan mengunci pint
"Jadi Nur belum keluar kamar sampai sekarang? Oke Bik, nanti biar saya bicarakan dengan Pak Bryan." Setelah menutup telepon dari Anih, Arya mendekati Bryan yang masih mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Kenapa lagi anak itu?" Bryan terdengar sinis."Sepertinya Nur sudah lihat hasil test-nya Pak, jadi dia menenangkan diri dan nggak mau keluar kamar sejak tadi siang."Bryan menaruh berkas tersebut, kemudian mengecek rekaman CCTV kamar Nur yang hanya bisa diakses oleh ponselnya.Alis Bryan sedikit mengkerut, kemudian kembali normal ketika melihat Nur muncul dari dalam kolam renang. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya dada anak itu terengah. Memang sudah berapa lama dia bermain dalam kolam renang?Setengah jam... Satu jam... Dua jam?Di kantor Bryan bukanlah bos yang manja. Meski kadang lupa jadwal, tapi khusus hari ini dia sudah mengingat jadwalnya dari pagi hingga sore. Harusnya aman jika saat ini dia pulang ke rumah. Sambil melihat titik macet pada maps, Bryan merapikan tas
Nur duduk dengan nyaman di kursi belakang sambil memainkan ponsel boba 3 barunya, sedangkan Anih di sebelah Ijon. Tidak ada yang berani memulai obrolan sehingga suasana mobil menjadi sunyi."Ehmn," akhirnya Nur putuskan untuk menaruh ponsel ke dalam tas mungil yang berlogo salah satu merk terkenal. Mungkin dengan dia mengajak Ijon ngobrol, akan ada beberapa informasi baru mengenai Bryan."Kenapa Kak? Haus ya? Sebentar Bik Anih ambilkan minum," tangan Anih menjuntai ke barisan pintu mobil Nur untuk mengambil sebotol air mineral. "Ini Kak."Walau tujuannya bukan minta minum, Nur tetap mengambil botol itu dan menenggaknya. "Makasih Bik Anih," Nur tersenyum ramah.Jika dalam keadaan tenang, Nur memiliki sifat yang lemah lembut dan tutur kata yang halus. Baginya, bersikap lembut kepada orang yang lebih tua adalah sebuah kewajiban."Pak Ijon," panggil Nur tiba-tiba dengan wajah yang sedikit dia majukan, membuat Ijon yang tidak sengaja menoleh tersentak."Astaga, kaget!" jerit Ijon tertahan.
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan. Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu. "Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini. Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adal
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal