Nur menunduk dengan isakan yang masih terdengar dari bibirnya. Setelah melihat adegan paling menakutkan dalam hidup, kini Nur harus berhadapan dengan si suami jahat.
Bryan menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wajahnya familiar, tapi Bryan lupa pernah lihat dimana.
"Siapa kamu?" Bryan tidak marah, dia justru berusaha terdengar ramah. Khas psikopat.
"Sa... Saya... Nur, Pak." Jawaban terbata Nur membuat Arya yang berdiri di sebelah Bryan menjadi keringat dingin.
Alis mata Bryan terangkat, berusaha mengingat sesuatu. Dan ya, Bryan ingat! Bukankah Nur adalah nama tunangan dari koleganya kemarin yang bernama Surya?
Semalam saat baru datang di kediaman Surya, Bryan sempat salah masuk ruangan. Di dalam sana dia melihat sekelompok warga desa yang menjadi saksi pertunangan Surya dan seorang gadis bernama Nur. Meski Surya bisa dikatakan cukup tampan, Bryan tidak melihat adanya rasa suka pada gadis di sebelahnya.
Sekali lagi Bryan memperhatikan penampilan Nur. Tidak buruk. Mungkin, perempuan ini bisa jadi pengganti Diana. Ya, meski usianya terlihat masih sangat muda.
"Kamu sengaja mendorong istri saya ya?!" tuduh Bryan tanpa bukti, kini dia berdiri tegap tepat di hadapan Nur.
Kepala Nur menggeleng cepat. "Enggak Pak, nggak mungkin saya melakukan itu. Bapak jangan tuduh saya macam-macam," hampir menangis Nur menjelaskan.
Dari balik tubuh Bryan, Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa jadi seperti ini? Nur membuat posisinya menjadi sulit. Di satu sisi, Arya ingin membela Nur. Tapi dia sendiri adalah tangan kanan Bryan.
"Di dalam CCTV, kamu bisa jadi pelaku yang membuat Diana lompat." Kalimat yang lebih mirip ancaman terdengar di telinga Nur. "Kamu akan saya laporkan ke pihak berwajib, dan dijatuhi hukuman penjara bertahun-tahun. Kamu siap?"
Nur menggeleng. "Tapi memang bukan saya pelakunya Pak. Saya bahkan nggak kenal dengan Bu Diana. Kalau memang Bapak mau bawa saya ke pihak berwajib, baik saya akan ikut. Toh tidak ada bukti apapun pada diri saya."
Bryan sempat terpaku. Berani juga gadis ini. Bagaimana kalau taruhannya yang lain. "Saya akan laporkan kepada Surya, bahwa tunangannya melarikan diri... Kemudian membunuh orang."
Nur tersentak, bagaimana lelaki ini tahu tentang Surya. "Enggak Pak, tolong jangan bawa saya ke Surya lagi. Saya sudah kabur sejauh ini," Nur sedikit takut dengan ancaman kedua.
"Belum lagi kalau saya laporkan ke Nenek kamu, kira-kira Beliau akan sekaget apa ya?" Bryan seolah membuka semua kartu mati Nur.
Semakin lama, ancaman lelaki ini semakin gila. Nur tidak mau mengikutinya, dia putuskan untuk mengambil resiko yang paling minim. "Kalau begitu kita ke pihak berwajib saja Pak," ujar Nur pada akhirnya.
Sedikit terkejut dengan keberanian Nur, Bryan menyuruh anak buahnya untuk mengurung Nur di dalam ruangan kosong yang hanya berisikan kasur tipis.
Debu yang masuk ke dalam hidung membuat Nur nyaris sesak nafas.
Malam datang, lalu segera berganti pagi. Setelah seharian Nur dikurung, akhirnya pintu dibuka. Arya muncul dan mengikat tangan Nur dengan tali yang tidak kuat.
"Maaf ya Nur, kamu malah jadi susah begini," bisik Arya.
Nur menghembuskan nafas kasar. "Mungkin ini dosa karena aku sudah kabur dan ninggalin si tua bangka Surya."
"Nur, usia Surya baru 35 tahun. Masih termasuk mud..." Arya dengan lembut mengingatkan. Dibawanya Nur ke luar ruangan, entah mau kemana.
"Dan usiaku baru 18 tahun, Mas!" sela Nur sebelum Arya berkata bahwa Surya masih muda. Usia baru 35 katanya, tapi sudah menikah sebanyak 2x.
Arya tidak menyahut lagi, susah memang kalau bicara dengan anak muda yang selalu membara seperti Nur. Apapun akan dia sela tanpa berpikir matang terlebih dahulu.
Kapal mereka sudah berlabuh, Nur dibawa masuk ke dalam mobil hitam dengan Arya yang diberi tugas mengawal. Tentu setelah Nur diberi kesempatan untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Di dalam mobil Nur tidak bertanya apapun, dia takut kalau ada penyadap. Jadi lebih baik berlagak tidak kenal Arya demi keselamatan mereka berdua.
"Gilaaaaa!" Nur nyaris melengking jika tidak menahan suaranya. Tangannya memang sudah dilepas, namun kini mereka berdiri di depan Lapas. Nur tidak pernah membayangkan bahwa dia akan masuk perjara setelah lulus SMA.
Bryan berjalan keluar dari dalam Lapas bersama dengan seorang petugas. Entah mereka membicarakan apa, karena selanjutnya Nur dan Arya harus mengikuti Bryan berjalan ke bagian dalam.
BRUK!
Kedatangan mereka disambut oleh adegan baku hantam beberapa wanita. Yang memukul terlihat lebih senior, dengan tubuh tinggi dan terlihat sangar. Suara riuh terdengar di sekitar mereka.
"Ngebunuh orang kok minta di penjara? Ya balas mati lah!" katanya sinis. Pukulan pun melayang ke arah narapidana baru.
Nur mengenggak saliva dengan susah payah. Bulu kuduknya meremang. Bagaimana kalau dirinya dimasukkan ke dalam sana? Bisa-bisa yang dibawa ke hadapan Eyang hanyalah jasad Nur yang sudah hancur lebur.
Relfeks Nur memegang lengan panjang pakaian Bryan. Berharap masih dapat pengampunan jika bicara sekarang.
"Apa?!" tanya Bryan dengan nada angkuh.
"Bawa saya ke Surya lagi aja, Pak." Biarpun memalukan, Nur berharap penawaran tadi belum kadarluasa.
Sepasang alis tebal Bryan mengerenyit menghadapi gadis plin plan. "Atau saya ada pilihan lagi. Satu pilihan terakhir," Bryan berkata dengan dramatis.
"Apa Pak?""
"Bekerja untuk saya. Dalam hal apapun dan dengan perjanjian karena saya tidak suka dikhianati. Bagaimana?"
"Itu namanya saya keluar dari mulut harimau dan masuk mulut buaya Pak. Lagipula bekerja dengan Bapak kelihatannya penuh tekanan batin." Nur berbicara tanpa menatap Bryan yang wajahnya sudah memerah.
"Kalau begitu semua keputusan ada ditanganmu. Silahkan dipilih baiknya yang mana," Bryan kembali berbicara dengan nada santun dan senyum samar, membuat beberapa petugas yang lewat sungkan padanya.
BRAK!
Lagi-lagi ada adegan pemukulan. Auaranya membuat Nur merinding sekaligus sudah memutuskan akan memilih yang mana.
"Saya pilih yang terakhir saja Pak," sentak Nur dengan wajah merah menahan tangis.
Dari belakang, Arya menarik ujung kemeja Nur dan membuat Nur menoleh sedikit. Tentu Arya menolak dengan pilihan Nur, tapi mau bagaimana lagi. Nur sudah berjanji akan kembali lagi ke desa, tentu dengan dirinya yang masih hidup.
"Tunggu sebentar," Bryan berbicara pada petugas untuk meminjam sebuah ruangan.
Nur, Arya, dan 2 orang lelaki yang sejak tadi juga mengikuti Bryan digiring masuk ke dalam ruangan yang berisi satu meja serta enam kursi.
"Langsung kita legalkan saja perjanjiannya. Kalau keluar dari sini, saya yakin kamu akan kembali bimbang," Bryan si paling tidak mau buang waktu meminta salah satu dari 2 lelaki tadi untuk membuka berkas yang sudah disiapkan sebelumnya.
Surat perjanjian dengan nama, tanggal lahir dan usia yang dikosongkan. Identitas Nur memang belum diketahui oleh Bryan.
Pada 2 lembar kertas bermaterai itu tidak menjelaskan pekerjaan jenis apa yang akan Nur lakukan. Nur agak ambigu dan takut kena zonk sebenarnya, namun dia anak muda yang cukup bertanggung jawab dengan pilihannya.
Setelah merasa isinya tidak ada yang terlalu aneh, Nur menuliskan nama 'NURSYILA SHANUM' dan membubuhkan tanda tangannya pada materai. Diikuti dengan tanda tangan seorang 'BRYAN AL GHIFARI' di sebelahnya.
"Memang saya harus bekerja sebagai apa, Pak?" tanya Nur yang sampai detik ini masih mengira paling dirinya hanya dijadikan pelayan atau kacung.
"Istri kedua."
"Oh, pasti Bapak bercanda. Harusnya saya jadi pelayan, atau kacung di rumah Bapak. Begitu kan?" wajah Nur masih datar. Dia tidak se-percaya diri itu diberi pekerjaan untuk jadi istri kedua dari pria yang tinggi, tampan dan terlihat kaya raya.Bryan menatap Nur seperti ingin menusuk. Apa wajahnya terlihat seperti bercanda?"Pak?" Nur kembali memperjelas.Tidak menjawab, Bryan meminta Arya untuk membereskan berkasnya. Kemudian dia berdiri, memberi kode kepada Nur untuk mengikuti. "Kita lanjutkan pembicaraanya di rumah."Petugas Lapas muncul di sebelah Bryan dan menunduk ketika melihat Bryan keluar ruangan. "Sudah selesai Pak? Jadi sepupu Bapak kapan mau PKL di sini?" lelaki bernama Irawan bertanya dengan hormat kepada Bryan dan Nur."PKL?" Nur tidak dapat menahan bibirnya untuk bertanya."Iya, Pak Bryan datang ke sini karena menemani Kak Nur untuk survey tempat PKL kan? Beruntung banget punya sepupu seperti Pak Bryan."Nur menatap Bryan yang masih memasang wajah tenang tak terbaca. Kali
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan. Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu. "Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini. Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adal
Nur duduk dengan nyaman di kursi belakang sambil memainkan ponsel boba 3 barunya, sedangkan Anih di sebelah Ijon. Tidak ada yang berani memulai obrolan sehingga suasana mobil menjadi sunyi."Ehmn," akhirnya Nur putuskan untuk menaruh ponsel ke dalam tas mungil yang berlogo salah satu merk terkenal. Mungkin dengan dia mengajak Ijon ngobrol, akan ada beberapa informasi baru mengenai Bryan."Kenapa Kak? Haus ya? Sebentar Bik Anih ambilkan minum," tangan Anih menjuntai ke barisan pintu mobil Nur untuk mengambil sebotol air mineral. "Ini Kak."Walau tujuannya bukan minta minum, Nur tetap mengambil botol itu dan menenggaknya. "Makasih Bik Anih," Nur tersenyum ramah.Jika dalam keadaan tenang, Nur memiliki sifat yang lemah lembut dan tutur kata yang halus. Baginya, bersikap lembut kepada orang yang lebih tua adalah sebuah kewajiban."Pak Ijon," panggil Nur tiba-tiba dengan wajah yang sedikit dia majukan, membuat Ijon yang tidak sengaja menoleh tersentak."Astaga, kaget!" jerit Ijon tertahan.
"Jadi Nur belum keluar kamar sampai sekarang? Oke Bik, nanti biar saya bicarakan dengan Pak Bryan." Setelah menutup telepon dari Anih, Arya mendekati Bryan yang masih mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Kenapa lagi anak itu?" Bryan terdengar sinis."Sepertinya Nur sudah lihat hasil test-nya Pak, jadi dia menenangkan diri dan nggak mau keluar kamar sejak tadi siang."Bryan menaruh berkas tersebut, kemudian mengecek rekaman CCTV kamar Nur yang hanya bisa diakses oleh ponselnya.Alis Bryan sedikit mengkerut, kemudian kembali normal ketika melihat Nur muncul dari dalam kolam renang. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya dada anak itu terengah. Memang sudah berapa lama dia bermain dalam kolam renang?Setengah jam... Satu jam... Dua jam?Di kantor Bryan bukanlah bos yang manja. Meski kadang lupa jadwal, tapi khusus hari ini dia sudah mengingat jadwalnya dari pagi hingga sore. Harusnya aman jika saat ini dia pulang ke rumah. Sambil melihat titik macet pada maps, Bryan merapikan tas
BRAK!Bryan balik membanting pintu kamar Nur. Harga dirinya merasa ternoda oleh bocah ini. Bukannya jelas bahwa Bryan sedang bercanda, kenapa malah dianggap serius seolah dirinya mesum."Sabar Bryan, sabar." Bergegas Bryan masuk ke dalam kamarnya sendiri yang tepat berada di sebelah kamar Nur. Sebagai bentuk protes dengan penilaian dangkal Nur, Bryan bersumpah tidak akan menemuinya sampai hari esok.Nur berkali-kali mengusap dada agar tidak jantungan. Kakinya lemas hingga berjongkok di balik pintu. Hari ini dia bisa lolos dari cengkraman Bryan, tapi esok belum tentu.Bryan pasti berpikir jika Nur salah menilai. Padahal wajar kan jika Bryan terlihat pro? Dia itu sudah menikah, kadang ramah dan memiliki aura playboy.Meja makan pada malam ini terasa sepi seperti biasa. Bik Anih bilang Pak Bryan ada di kamarnya. Huft, sombong sekali dia tidak mau makan bersama."Sudah Bik, aku masuk ke kamar dulu ya. Terima kasih makanannya." Tanpa menoleh ke arah kamar Bryan, Nur masuk dan mengunci pint
"Gimana Nur? Yang ini juga belum pas?"Nur menggeleng dengan wajah lesu. "Jangan deh Mas, dua-duanya mahal banget. Aku takut Pak Bryan bangkrut kalau kuliahin aku di situ."Arya terkikik, tidak mungkin lah bosnya yang kaya raya 10 turunan itu bangkrut. Walau begitu, Arya bangga pada Nur yang meski sudah dijebak tetap tidak mau memanfaatkan Bryan secara berlebihan. Coba kalau Bryan bertemu dengan gadis lain, pasti sudah dijebak habis-habisan.Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Arya harus kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan kepada Bryan yang sekarang entah berada dimana. "Kita lanjut besok lagi ya, sore ini Mas harus balik ke kantor.""Oke Mas, hati-hati."Nur mencari informasi mengenai dua kampus lain yang akan dia datangi esok hari. Sejak pulang kerjaannya hanya scroll ponsel, Anih sampai terbengong karena Nur tidak mengajaknya ngobrol malam ini.Di belahan wilayah lain, Bryan menyesap kopi hitam lokal dengan wajah yang sesekali tersenyum melihat CCTV di ponsel, Nur terlihat
Nur dan Bryan berakhir dengan makan malam serta menonton tv di dalam kamar Bryan. Tidak ada hal yang aneh atau kelewat batas. Bahkan Bryan tidak memaksa Nur untuk berganti pakaian atau melakukan hal memalukan di hadapannya. Misi utama Bryan memang membuat Nur merasa nyaman."Aku boleh balik ke kamar apa enggak Pak?" mata Nur sudah mengantuk.Bryan fokus memainkan game pada ponsel. "Mulai sekarang kamar kamu di sini," jawabnya tanpa menoleh.Nur mengangguk patuh, bagus juga kamarnya kini jadi lebih luas. "Ya sudah, kalau begitu aku tidur duluan ya Pak. Selamat malam." Dan Nur menenggelamkan tubuhnya pada selimut hangat berwarna abu-abu muda.Bryan menoleh sejenak, sepertinya Nur benar mengantuk. Terlihat dari wajahnya yang polos seperti bayi itu begitu tenang dan sesekali terdengar dengkuran halus.Pikiran Bryan terusik. Kalau anak mereka mirip Nur, pasti akan terlihat menggemaskan. Nur memiliki wajah mungil dan berhidung mancung serta alis tebal. Matanya pun terlihat indah karena berw
BRAK!Bryan balik membanting pintu kamar Nur. Harga dirinya merasa ternoda oleh bocah ini. Bukannya jelas bahwa Bryan sedang bercanda, kenapa malah dianggap serius seolah dirinya mesum."Sabar Bryan, sabar." Bergegas Bryan masuk ke dalam kamarnya sendiri yang tepat berada di sebelah kamar Nur. Sebagai bentuk protes dengan penilaian dangkal Nur, Bryan bersumpah tidak akan menemuinya sampai hari esok.Nur berkali-kali mengusap dada agar tidak jantungan. Kakinya lemas hingga berjongkok di balik pintu. Hari ini dia bisa lolos dari cengkraman Bryan, tapi esok belum tentu.Bryan pasti berpikir jika Nur salah menilai. Padahal wajar kan jika Bryan terlihat pro? Dia itu sudah menikah, kadang ramah dan memiliki aura playboy.Meja makan pada malam ini terasa sepi seperti biasa. Bik Anih bilang Pak Bryan ada di kamarnya. Huft, sombong sekali dia tidak mau makan bersama."Sudah Bik, aku masuk ke kamar dulu ya. Terima kasih makanannya." Tanpa menoleh ke arah kamar Bryan, Nur masuk dan mengunci pint
"Jadi Nur belum keluar kamar sampai sekarang? Oke Bik, nanti biar saya bicarakan dengan Pak Bryan." Setelah menutup telepon dari Anih, Arya mendekati Bryan yang masih mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Kenapa lagi anak itu?" Bryan terdengar sinis."Sepertinya Nur sudah lihat hasil test-nya Pak, jadi dia menenangkan diri dan nggak mau keluar kamar sejak tadi siang."Bryan menaruh berkas tersebut, kemudian mengecek rekaman CCTV kamar Nur yang hanya bisa diakses oleh ponselnya.Alis Bryan sedikit mengkerut, kemudian kembali normal ketika melihat Nur muncul dari dalam kolam renang. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya dada anak itu terengah. Memang sudah berapa lama dia bermain dalam kolam renang?Setengah jam... Satu jam... Dua jam?Di kantor Bryan bukanlah bos yang manja. Meski kadang lupa jadwal, tapi khusus hari ini dia sudah mengingat jadwalnya dari pagi hingga sore. Harusnya aman jika saat ini dia pulang ke rumah. Sambil melihat titik macet pada maps, Bryan merapikan tas
Nur duduk dengan nyaman di kursi belakang sambil memainkan ponsel boba 3 barunya, sedangkan Anih di sebelah Ijon. Tidak ada yang berani memulai obrolan sehingga suasana mobil menjadi sunyi."Ehmn," akhirnya Nur putuskan untuk menaruh ponsel ke dalam tas mungil yang berlogo salah satu merk terkenal. Mungkin dengan dia mengajak Ijon ngobrol, akan ada beberapa informasi baru mengenai Bryan."Kenapa Kak? Haus ya? Sebentar Bik Anih ambilkan minum," tangan Anih menjuntai ke barisan pintu mobil Nur untuk mengambil sebotol air mineral. "Ini Kak."Walau tujuannya bukan minta minum, Nur tetap mengambil botol itu dan menenggaknya. "Makasih Bik Anih," Nur tersenyum ramah.Jika dalam keadaan tenang, Nur memiliki sifat yang lemah lembut dan tutur kata yang halus. Baginya, bersikap lembut kepada orang yang lebih tua adalah sebuah kewajiban."Pak Ijon," panggil Nur tiba-tiba dengan wajah yang sedikit dia majukan, membuat Ijon yang tidak sengaja menoleh tersentak."Astaga, kaget!" jerit Ijon tertahan.
"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan. Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu. "Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini. Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adal
Pukul 11 pagi.Nur terbangun dengan tenggorokan yang kering. Tangannya menjuntai pada nakas, kosong. Tidak ada gelas yang biasa dia taruh. Dengan sedikit terhuyung Nur keluar kamar.Wajah yang pertama dia lihat adalah Arya. Sedang duduk bersila di sofa sambil memainkan laptop. "Udah bangun Nur?""Mas Arya," Nur berniat menghamburkan tubuhnya pada Arya. Dirinya lelah, 2 hari pergi dari desa membuat Nur makan ati.Bibir Arya membentuk kata 'STOP!'. Sampai detik ini tampaknya Bryan belum tahu jika Nur dan Arya saudara sepupu, dan lebih baik jika tidak tahu selamanya."Hemn, Pak Arya ngapain di sini?" Kali ini Nur meralat kalimatnya. Dia kencangkan suara hingga Bryan muncul dari dalam kamar yang satunya.Bryan ikut duduk di sebelah Arya tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Nur mendengus. Lagipula Nur mengharapkan apa sih? Ucapan maaf gitu? Jangan mimpi!Arya menyampaikan pesan Bryan tadi. "Sore ini kita ke kota ya Nur, kamu bisa bebenah dari sekarang."Nur menggaruk pipinya, apa yang har
Sejak kecil Nur diajari cara membela diri oleh Ayah. Bukan dalam bentuk karate atau silat, namun lebih ke cerdik. Contohnya hal apa saja yang bisa dilakukan ketika terdesak."KURANG AJAR!" Nur menampar wajah Dimas dengan tangan kanannya yang terlepas dari cengkraman. Kalimat Dimas membuat Nur murka.Tatapan Dimas menyalang karena tamparan dari perempuan yang dia anggap murahan seperti Nur. Cengkraman pada tangannya semakin dikuatkan, mereka pun berhasil masuk ke dalam kamar Anih.Mata Nur menatap sekitar, mencari benda yang dapat digunakan untuk memukul Dimas. Nah itu, ada gelas beling besar di atas lemari plastik setinggi pinggang. Tangan Nur yang tidak dipegang segera mengambil dan menyimpan di balik punggung. Begitu Dimas fokus menatap ranjang...PRANK!Nur memukul kepala Dimas, pecahan beling itu bertebaran dan menyembulkan darah segar.Dimas memutar tubuhnya dan menatap Nur tajam. Bagi kriminal sepertinya, pukulan itu memang sakit namun kesadarannya masih 40%. Dimas berjalan deng
"Kak Nur, asalnya darimana? Dari kota ya?" Anih menyapa Nur dengan ramah. Sejak diberi perintah Bryan untuk menjaga Nur, Anih tidak mengijinkan Nur mengerjakan apapun. Sedangkan Anih sibuk mondar-mandir, membersihkan ruangan disela memasak untuk makan malam."Dari desa seberang pulau," Nur masih bingung harus memanggil Bik seperti Bryan atau tidak, dia kan bukan bosnya Anih.Anih terkikik, paham dengan kegalauan panggilan dari Nur. "Panggil Bik Anih aja Kak, sama kayak Pak Bryan. Kak Nur itu kan tamunya Pak Bryan. Kalau saya asalnya dari desa di bawah bukit ini."Nur menoleh dan tersenyum hangat, orang desa seperti dirinya merasa terhormat ketika dihargai oleh orang lain. Bik Anih benar-benar orang baik. "Iya Bik, makasih. Berarti enak ya Bik, kerjanya dekat.""Jauh dekat sama saja asalkan punya kerjaan. Oh iya, Kak Nur mau mandi dulu apa gimana? Nanti selesai mandi bisa langsung makan." Beberapa kali melewati Nur, Anih merasa ada aroma asam yang menyeruak. Pasti Nur habis dari perjal