"Terkutuk! Hei, aku bukan penjahat!"
Kanaya semakin tersulut dan dalam amarah membludak. Dia meraih apa saja yang bisa diraih, lalu dengan brutal melempar ke lantai hingga menimbulkan bunyi benturan keras.
Setelahnya, dengan wajah malas dan penuh air mata, Kanaya berganti pakaian seadanya, sebab dia tidak menemukan koper dan tas yang dibawa dari kota asal.
Usai berdandan seadanya, gadis itu melangkah keluar dari penginapan. Tentunya setelah mendapat informasi dari resepsionis bahwa semua biaya penginapan sudah dibayar lunas oleh Arkana.
"Cepatlah! Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus wanita bodoh sepertimu." Terdengar suara berat Arkana menyeru dari balik kemudi mobil yang mesinnya sudah menyala.
Kanaya sedikit tersentak, namun memilih untuk tetap tenang dan segera masuk, mengambil posisi duduk di sebelah Arkana.
"Aku juga tidak berharap diurus oleh bajingan sepertimu!" tegasnya galak dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu, aku kemari untuk bertemu dengan seseorang. Ah, ya. Aku tidak mungkin pulang sebelum bertemu dengannya."
Kanaya hendak keluar dari mobil, akan tetapi, ucapan Arkana menahannya.
"Apa orang yang kau maksudkan itu Nyonya Adelia Sculptor?” Kanaya jelas terkejut. Dari mana pria itu tahu? Lalu, Arkana melanjutkan lagi ucapannya, “Dia telah membatalkan tawaran karena orang lain telah mengisi pekerjaan yang dimaksud hari itu juga."
Gadis pemilik wajah cantik itu seketika membelalakkan mata. Akan tetapi, di hadapan Arkana, dia berusaha untuk tetap tenang, meski sekarang pikirannya sibuk memikirkan nasibnya di kota Bougenville ini.
"Ah, tidak masalah. Aku harus segera mencarinya untuk membicarakan hal lain." Kanaya sadar, hanya Nyonya Sculptor yang dia kenal di kota ini, akan tetapi, dia kebinungan sendiri saat ini. "Tapi, di mana dia dan aku harus mencarinya ke mana?"
"Percuma, Naya.” Seolah tahu isi di benak Kanaya, Arkana kembali menimpali. “Dia wanita bermartabat yang memiliki jam terbang tinggi. Bertemu dengannya hanya tergantung pada nasib. Tidak mudah untuk bisa kembali bertemu dengannya setelah pertemuan pertama gagal begitu saja."
Ucapan Arkana terkesan mengejek dan itu sangat tidak disukai oleh Kanaya. Gadis itu mendengkus kesal.
"Aku akan memikirkan cara lain untuk mencari keberadaannya."
Lagi, Arkana meliriknya dengan pandangan meremehkan. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun dari upaya petak umpet itu. Jadi ikutlah denganku," desisnya provokatif.
Kanaya tidak terima dengan pernyataan remeh dari Arkana. Sekali lagi dia memilih untuk menolak perintah lelaki itu.
"Tidak, Arkana! Bagaimana aku bisa memercayakan keselamatanku kepada pria brengsek sepertimu?" Kanaya tidak ingin jatuh ke jurang yang sama. Dia yakin ketika bersama dengan lelaki itu, nasibnya akan selalu sial. "Perjalanan ini sungguh memakan waktu cukup lama apalagi di malam hari. Aku bahkan yakin tidak bakal selamat sampai ke tempat tujuan," lanjutnya dengan penuh penekanan dan seketika menyulutkan amarah dari Arkana.
"Sialan! Kau pikir aku penjahat?"
Pria itu menggeram kesal, tetapi tidak membuat Kanaya menghentikan cecaran pedasnya.
"Ya, kau bangsat yang suka menyakiti wanita," jawabnya enteng, memicu respons agresif dari Arkana.
Secepat kilat dua tangan Arkana sudah naik mencekal leher Kanaya,"Diam, atau kucekik lehermu."
Membuat gadis itu seketika terbatuk karena tenggorokannya tercekat. Akan tetapi, tidak membuatnya merasa ciut.
"Silakan, aku tidak takut. Akan kupastikan rohku dengan mudah membalaskan semua dendamku padamu."
Kanaya tertawa getir, tetapi cukup menantang. Memaksa Arkana terpaksa melepas kasar cekikan tangannya. Tampak lelaki itu mendengkus frustrasi.
"Baiklah! Terserah kau saja. Silakan keluar dari mobil ini."
"Cepat keluar!" Arkana kembali mendesak, ketika Kanaya hanya bergeming.Diam-diam, Kanaya tengah berpikir. Jika menolak ikut dengan Arkana, maka dia harus rela beradaptasi dengan kutukan berikutnya di Pegunungan Rosellie menyeramkan ini.Apa itu tidak lebih membahayakan dirinya? Dia Juga tidak mengenal siapa-siapa di sini, bukan?"B-baiklah, aku ikut denganmu."Kanaya sangat membenci Arkana. Dia juga sangat takut melakukan perjalanan berdua dengan pria yang pernah menyakiti perasaannya apalagi sampai mengambil waktu di malam hari.Namun, dia tidak punya alasan untuk menolak. Sebab, selain desa ini begitu asing, identitas dirinya pun raib entah ke mana."Dan jika kau sampai membunuhku di tengah perjalanan, maka nanti rohku pun tidak akan tinggal diam!" ujar Kanaya pasrah dan dibalas oleh Arkana dengan tatapan tidak terbaca.Mengingat kemungkinan besar ada resiko lain yang bakal terjadi jika sampai dia tidak sengaja melanggar pantangan berikutnya, membuat bulu kuduk pemilik tubuh ideal
"Sepertinya kau sangat berharap tinggal bersamaku," sindir Arkana dengan pandangan remeh membuat Kanaya melengos tajam.Gadis itu menggeleng cepat diiringi seringai sinis yang tak kalah meremehkan."Bukan begitu, aku hanya tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain apalagi diriku juga sudah bersuami." Otak encernya masih terus bekerja. Dia tidak ingin menjadi yang paling tertindas dalam hubungan tidak sehat itu. "Jadi tolong biarkan aku pergi dari kehidupanmu," pintanya memelas.Arkana terdiam dengan dahi mengkerut tajam. Dua jarinya ikut naik memijit kening seperti sedang berpikir keras. Sementara Kanaya tidak ingin membuang kesempatan dan dia terus saja berbicara."Selangkah lagi kita akan memasuki area perkotaan. Itu artinya kita sudah keluar dari tanah Pegunungan Rosellie. Kita bisa membebaskan diri dari ikatan karma itu," ucapnya meyakinkan."Kau yakin bisa semudah itu?"Arkana masih menyatakan keraguan hatinya, sementara Kanaya sudah terlanjur yakin."Ah, anggap saja it
"Argh! Sakit." Ujung hidung Kanaya menangkap aroma yang paling tidak dia sukai sepanjang hidup. Aroma pembersih ruangan yang bercampur obat, juga pendingin ruangan.Saat dia berjuang untuk bangkit, sekujur tubuhnya terasa berat dan tidak bisa bergerak.Dia baru tersadar kalau beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya."Bagaimana aku bisa berada di sini?" gumamnya sembari mencoba mengingat sesuatu yang tertinggal.Tidak lama dari itu, kemunculan Arkana secara perlahan membantu menyegarkan proses memorinya."Syukurlah kau sudah sadar," ucap pria itu dengan tarikan napas lega.Jika Arkana tampak mulai bisa mengontrol emosinya dengan baik, justru tidak dengan Kanaya. Tubuh gadis itu terlihat sangat lemah, tetapi ekor matanya bisa terbaca dengan jelas bahwa dia merasa tidak nyaman saat mendapati kehadiran Arkana."K-kau di sini?" Baginya ini momen terburuk yang pernah ada. Dia tidak suka menjadi tidak berdaya di depan lelaki yang pernah menyakitin
"Hentikan omong kosongmu. Aku sudah mencari tahu semua tentangmu. Kau masih sama seperti dulu … Ratu Kanaya Rozana yang belum menikah."Mata Kanaya terbelalak dan merasa benar-benar diperdaya."T-tapi, Arkana. I-ini —" Ucapannya tercekat di tenggorokan.Bukannya Kanaya tidak peka, melainkan hanya berupaya menghindari apa yang menjadi penyesalannya selama ini.Jika bisa memilih, dia akan memilih tidak ada dalam peristiwa maut itu ketimbang kembali pada Arkana."Sudah, ya! Stop berdebat. Sewaktu-waktu nyawa kita bisa terancam oleh karma Rosellie, jadi lebih baik menurut saja. Daripada mempertaruhkan hidup, ada baiknya kita jalani peran suami istri ini, oke."Kanaya terdiam. Baginya ini sebuah petaka besar. Hidupnya sedang diambang kehancuran.Kenapa harus menikah dengan lelaki ini setelah dia melewati begitu banyak masalah yang merenggut semua kebahagiaannya? Sungguh perbuatan Arkana di masa lalu telah menghancurkan hidup dan kepercayaan dirinya."Bagaimana kalau aku menolak?""Aku akan
"Katakan, kenapa namamu bisa mirip dengan namaku, hmm?" Kanaya memasang ekspresi polos demi menyamai polah gemas Rozana. Berharap mendapat jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut, Kanaya pun ikut manggut-manggut seiring rentak suara si anak."Papa syuka nama Losyana."Jawaban yang semula Kanaya tunggu-tunggu, lantas terlontar dari bibir mungil sang batita cantik.Dia yang semula berdebar, berubah menjadi tertawa, gemas akan cara natural bocah itu menjawab pertanyaannya.“Ya, aku juga setuju. Rozana nama yang bagus.” Kanaya terkikik sendiri. Agaknya, Rozana cilik ini bisa menjadi teman akrabnya selama tinggal di sini.Saat sedang asyik bermain bersama, tiba-tiba langit berubah mendung. Tidak ingin anak asuhnya itu sakit, Kanaya lantas mengajak Rozana masuk, usai membereskan bekas makan bocah itu.Baru akan menggendong si batita, seseorang sudah berdiri dengan raut wajah yang begitu menyiratkan kemarahan."Apa kau mau membunuh anakku dengan memberinya makan di taman?!" teriak ketus seo
Kening Kanaya mengkerut tajam. Arkana melibatkan dirinya dalam pertemuan bersama Ibu dan neneknya, padahal mereka belum pernah bertemu sebelum ini. Ditambah statusnya saat itu, membuat Kanaya berpikir ekstra hati-hati."Bukankah itu pertanda bahaya?" Beberapa pertanyaan muncul di benak gadis cantik ini. Entah bagaimana Arkana memperlakukannya nanti. Apakah sama seperti dihadapan Bella atau justru memperkenalkan dirinya sebagai istri kedua yang merusak keharmonisan sebuah rumah tangga."Pergilah ke dapur dan bantu Bibi Viola." Arkana kembali memerintah sebelum pergi dari sana. Meski jengkel, Kanaya tetap menurutinya dengan langkah gontai menuju pintu belakang. Dia berjalan sambil memegangi dadanya. Tidak terpungkiri, statusnya di masa lalu bersama Arkana masih meninggalkan efek di hatinya—meski mungkin saat itu Arkana hanya setengah hati mencintainya."Ini sangat tidak bagus buat kesehatan jantung dan hatiku. Aku harus segera melepaskan diri dari kutukan itu. Apa pun caranya."Meliha
"Wah, rupanya ada tamu di rumah ini!" sapa Wanita tertua berperawakan mungil dalam rombongan keluarga Arkana, Emily Ananta.Dari balik kaca mata minus, sorot renta itu menelisik jeli penampilan Kanaya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu lanjut berbicara, "Siapa yang menyediakan semua ini?"Kanaya terdiam dan nampak canggung. Viola terpaksa menjawab pertanyaannya."Nona Kanaya yang menyediakannya, Nyonya Besar."Emily mengangguk singkat, membawa suasana mendadak hening. Tak seorang pun di sekitarnya berani berbicara saat dia yang dipanggil nyonya besar itu menelisik setiap wadah hidangan sambil menyicipi rasa.Sementara Kanaya yang sudah mulai gugup, susah payah menelan ludah dan berjuang untuk terus mengangkat dagu agar tetap terlihat tenang meski pada kenyataan, hati kecilnya sedang tidak baik-baik saja.Detak jantung Kanaya berpacu lebih cepat dari biasa. Serasa ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saat itu juga. Akan tetapi, suara renta tadi seolah menyeret pada kenyataan
Apa-apa ini?" Suara Bella tiba-tiba meninggi."Aku dipanggil kemari hanya untuk disindir? Memangnya dia siapa sampai Nenek semudah itu membandingkannya denganku?" gerutunya dengan pandangan keruh.Emily menyeringai, membalasnya dengan tatapan nyalang."Hentikan, Anak Manis! Jangan menantang jika tak ingin melihat kekuasaanku berjalan."Tangan rentanya sengaja diangkat lagi ke atas. Menunjukkan ketegasan yang tidak main-main. Memaksa Shindy kembali ikut campur."Ibu, aku mohon hentikan. Kasian Bella," pintanya mengajukan pembelaan. Namun, dia justru mendapat tekanan baru dari orang tua itu."Ternyata kau lebih pantas dipanggil mertua bodoh, Shindy. Anak bawang itu sudah membebalimu selama ini, tetapi kau masih saja membelanya?" cibir Emily memasang ekspresi sinis.Dia memang sudah tidak peduli dengan apa pun bentuk pembelaan sebab baginya, itu hanya kebohongan yang semata-mata membuang waktu."Lihatlah, pres