"Sepertinya kau sangat berharap tinggal bersamaku," sindir Arkana dengan pandangan remeh membuat Kanaya melengos tajam.
Gadis itu menggeleng cepat diiringi seringai sinis yang tak kalah meremehkan.
"Bukan begitu, aku hanya tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain apalagi diriku juga sudah bersuami." Otak encernya masih terus bekerja. Dia tidak ingin menjadi yang paling tertindas dalam hubungan tidak sehat itu. "Jadi tolong biarkan aku pergi dari kehidupanmu," pintanya memelas.
Arkana terdiam dengan dahi mengkerut tajam. Dua jarinya ikut naik memijit kening seperti sedang berpikir keras. Sementara Kanaya tidak ingin membuang kesempatan dan dia terus saja berbicara.
"Selangkah lagi kita akan memasuki area perkotaan. Itu artinya kita sudah keluar dari tanah Pegunungan Rosellie. Kita bisa membebaskan diri dari ikatan karma itu," ucapnya meyakinkan.
"Kau yakin bisa semudah itu?"
Arkana masih menyatakan keraguan hatinya, sementara Kanaya sudah terlanjur yakin.
"Ah, anggap saja itu sebuah musibah kecil yang akan mereda seiring waktu."
"Maksudmu?"
"Kita perlu sepakati ini, Arkana. Aku akan pulang ke kampung dan kembali pada suamiku, lalu kau tetap menjalani kebahagiaan bersama istrimu."
Kanaya dengan antusias memperjelas maksud dari ucapannya dan memicu rasa terkejut di wajah Arkana.
"Jadi, kau sudah menikah?" tanya Arkana tidak percaya. "Mana buktinya?"
Arkana perlu pembuktian dan Kanaya terkekeh pelan sambil berupaya menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"S-sebenarnya aku punya bukti, tetapi semua identitas, dompet, tas, dan koperku raib entah ke mana." Kanaya berkilah.
Dia tidak ingin kebohongannya sampai terungkap saat itu juga sebab niatnya cuma satu, yaitu kabur dari kehidupan Arkana.
"Kalau begitu buktikan dengan cara lain, seperti kalung atau cincin pernikahan. Maka aku akan langsung mengizinkanmu pulang."
Arkana seperti ingin mencari celah dan itu membuat posisi Kanaya semakin tidak aman.
"Huh! Kau tidak punya hak untuk menahanku, Arkana!" protesnya tidak terima.
Ekspresi wajahnya yang cemberut memicu gelak tawa dari Arkana yang terlihat mulai lunak.
"Jangan lupa kita masih suami istri, Ratu Kanaya Rozana."
Arkana kembali menekan dengan menyebutkan nama lengkap yang tidak disukai oleh Kanaya, sebab baginya hanya akan memancing kenangan masa lalu dan membuat hati mencelos.
"Hah! Itu cuma permainan Karma Rosellie dan kita bukan penduduk aslinya, bukan?" Bibirnya bersungut gencar. "Lalu kenapa harus diambil pusing?"
Entah berapa kali Kanaya meyakinkan Arkana, hingga lelaki itu terlihat mengangguk paham dan mulai menerima alasan gadis itu.
"Baiklah, Naya. Jika itu mau kamu. Tapi jangan salahkan aku kalau sampai terjadi bahaya dalam perjalananmu nanti."
Kanaya terkekeh geli sambil memutar kedua bola matanya.
"Haish! Lebih baik menanggung karma itu sendirian daripada harus menjadi pelakor dalam rumah tangga orang."
Dengan penuh percaya diri, gadis itu bangkit dan bersiap menuju mobil. Disusul Arkana dari belakang dengan perasaan bercampur aduk.
Sungguh apa yang dikatakan Kanaya benar-benar membuat jantungnya bagai ditalu.
"Kau yakin, cara ini akan berhasil?" tanya Arkana kembali memastikan dan Kanaya mengangguk mantap.
"Selama kita berniat tulus untuk tidak mengganggu ketenteraman orang lain, kenapa tidak?"
"Baiklah kalau begitu. Aku ikut apa katamu."
Arkana mulai yakin pada keputusan. Selama dalam perjalanan, keduanya berbincang cukup ramah. Tidak seperti pertama kali mereka bertemu atau terakhir di terminal kota persinggahan.
"Kau pasti akan merindukanku bila tiba di kampung nanti," canda Arkana.
"Untuk apa aku merindukanmu, Arkana? Bahkan rindu itu sudah terkubur semenjak kau meninggalkan kota Etnik," balas Kanaya dalam tawa renyah yang khas.
Arkana merasa seperti kembali ke zaman sebelum hari mereka berpisah selamanya.
"Wah! Memangnya hatimu terbuat dari apa, Naya? Kau bahkan jauh lebih tegar dari yang kuduga."
Tawa renyah kembali pecah seiring canda lepas yang mengalir bagai bendungan jebol. Entah apa yang membuat semuanya terasa begitu alami hingga tiba di persimpangan kota Bougenville, Kanaya bersiap keluar dari mobil dan akan pergi dari sana.
"Selamat malam."
Sejenak, dia menoleh pada Arkana yang juga menatapnya dari balik kaca mobil. Keduanya sudah sepakat untuk saling melepas demi kehidupan masing-masing.
"Malam juga! Hati-hati, titipkan salamku pada Bani!" pekik Arkana lantang dan diangguk setuju oleh Kanaya.
"Baiklah, akan kusampaikan padanya dan bisa dipastikan adikku itu akan mengumpat tiada henti!" Keduanya kembali tergelak sebelum akhirnya mulai berpisah.
Mobil Arkana melaju pelan. Sejujurnya, dia juga tidak ingin merusak hubungan pernikahan dengan sang istri yang telah terjalin selama dua tahun tanpa tersandung badai sedikitpun.
Jika hari ini dia membawa Kanaya dalam hidupnya, itu sama saja menyerahkan nasib rumah tangganya di ujung tanduk.
"Hah! Sial!" umpat hati Arkana sembari membuang napas kasar. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Mata elangnya masih mencoba untuk menelusur jejak gadis yang hadir bagai mimpi itu. "Bahkan bayangannya saja masih terlihat jelas," gumamnya tidak percaya.
Kanaya terus berdiri memandangi mobil Arkana yang bergerak maju. Masih tercetak jelas dalam ingatan ketika Arkana berjuang menarik tubuhnya dari atas batu ceper yang tiba-tiba bergeser membawa dirinya ke dasar jurang.
Sayangnya, tindakan Arkana gagal dan serentak ikut terseret di kedalaman kurang lebih dua meter itu hingga akhirnya mereka terjebak dalam karma Rosellie.
"Huh! Sungguh mimpi buruk."
Kanaya menggeleng kecil dan sigap bergerak menyeberangi jalan raya sepi lalulintas. Dalam hatinya bertekad untuk mengubur dalam-dalam semua mimpi buruk itu.
Sementara netra Arkana masih bergerak liar menelisik pergerakan lamban gadis itu.
Lalu, dini hari itu, dalam sekejap ekor matanya menangkap sebuah pergerakan mobil melaju menuju arah di mana Kanaya berada.
Suara mobil menabrak sesuatu, diikuti tubuh Kanaya yang terpental jauh, membuat wajah Arkana memucat.
"Kanaya!!"
"Argh! Sakit." Ujung hidung Kanaya menangkap aroma yang paling tidak dia sukai sepanjang hidup. Aroma pembersih ruangan yang bercampur obat, juga pendingin ruangan.Saat dia berjuang untuk bangkit, sekujur tubuhnya terasa berat dan tidak bisa bergerak.Dia baru tersadar kalau beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya."Bagaimana aku bisa berada di sini?" gumamnya sembari mencoba mengingat sesuatu yang tertinggal.Tidak lama dari itu, kemunculan Arkana secara perlahan membantu menyegarkan proses memorinya."Syukurlah kau sudah sadar," ucap pria itu dengan tarikan napas lega.Jika Arkana tampak mulai bisa mengontrol emosinya dengan baik, justru tidak dengan Kanaya. Tubuh gadis itu terlihat sangat lemah, tetapi ekor matanya bisa terbaca dengan jelas bahwa dia merasa tidak nyaman saat mendapati kehadiran Arkana."K-kau di sini?" Baginya ini momen terburuk yang pernah ada. Dia tidak suka menjadi tidak berdaya di depan lelaki yang pernah menyakitin
"Hentikan omong kosongmu. Aku sudah mencari tahu semua tentangmu. Kau masih sama seperti dulu … Ratu Kanaya Rozana yang belum menikah."Mata Kanaya terbelalak dan merasa benar-benar diperdaya."T-tapi, Arkana. I-ini —" Ucapannya tercekat di tenggorokan.Bukannya Kanaya tidak peka, melainkan hanya berupaya menghindari apa yang menjadi penyesalannya selama ini.Jika bisa memilih, dia akan memilih tidak ada dalam peristiwa maut itu ketimbang kembali pada Arkana."Sudah, ya! Stop berdebat. Sewaktu-waktu nyawa kita bisa terancam oleh karma Rosellie, jadi lebih baik menurut saja. Daripada mempertaruhkan hidup, ada baiknya kita jalani peran suami istri ini, oke."Kanaya terdiam. Baginya ini sebuah petaka besar. Hidupnya sedang diambang kehancuran.Kenapa harus menikah dengan lelaki ini setelah dia melewati begitu banyak masalah yang merenggut semua kebahagiaannya? Sungguh perbuatan Arkana di masa lalu telah menghancurkan hidup dan kepercayaan dirinya."Bagaimana kalau aku menolak?""Aku akan
"Katakan, kenapa namamu bisa mirip dengan namaku, hmm?" Kanaya memasang ekspresi polos demi menyamai polah gemas Rozana. Berharap mendapat jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut, Kanaya pun ikut manggut-manggut seiring rentak suara si anak."Papa syuka nama Losyana."Jawaban yang semula Kanaya tunggu-tunggu, lantas terlontar dari bibir mungil sang batita cantik.Dia yang semula berdebar, berubah menjadi tertawa, gemas akan cara natural bocah itu menjawab pertanyaannya.“Ya, aku juga setuju. Rozana nama yang bagus.” Kanaya terkikik sendiri. Agaknya, Rozana cilik ini bisa menjadi teman akrabnya selama tinggal di sini.Saat sedang asyik bermain bersama, tiba-tiba langit berubah mendung. Tidak ingin anak asuhnya itu sakit, Kanaya lantas mengajak Rozana masuk, usai membereskan bekas makan bocah itu.Baru akan menggendong si batita, seseorang sudah berdiri dengan raut wajah yang begitu menyiratkan kemarahan."Apa kau mau membunuh anakku dengan memberinya makan di taman?!" teriak ketus seo
Kening Kanaya mengkerut tajam. Arkana melibatkan dirinya dalam pertemuan bersama Ibu dan neneknya, padahal mereka belum pernah bertemu sebelum ini. Ditambah statusnya saat itu, membuat Kanaya berpikir ekstra hati-hati."Bukankah itu pertanda bahaya?" Beberapa pertanyaan muncul di benak gadis cantik ini. Entah bagaimana Arkana memperlakukannya nanti. Apakah sama seperti dihadapan Bella atau justru memperkenalkan dirinya sebagai istri kedua yang merusak keharmonisan sebuah rumah tangga."Pergilah ke dapur dan bantu Bibi Viola." Arkana kembali memerintah sebelum pergi dari sana. Meski jengkel, Kanaya tetap menurutinya dengan langkah gontai menuju pintu belakang. Dia berjalan sambil memegangi dadanya. Tidak terpungkiri, statusnya di masa lalu bersama Arkana masih meninggalkan efek di hatinya—meski mungkin saat itu Arkana hanya setengah hati mencintainya."Ini sangat tidak bagus buat kesehatan jantung dan hatiku. Aku harus segera melepaskan diri dari kutukan itu. Apa pun caranya."Meliha
"Wah, rupanya ada tamu di rumah ini!" sapa Wanita tertua berperawakan mungil dalam rombongan keluarga Arkana, Emily Ananta.Dari balik kaca mata minus, sorot renta itu menelisik jeli penampilan Kanaya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu lanjut berbicara, "Siapa yang menyediakan semua ini?"Kanaya terdiam dan nampak canggung. Viola terpaksa menjawab pertanyaannya."Nona Kanaya yang menyediakannya, Nyonya Besar."Emily mengangguk singkat, membawa suasana mendadak hening. Tak seorang pun di sekitarnya berani berbicara saat dia yang dipanggil nyonya besar itu menelisik setiap wadah hidangan sambil menyicipi rasa.Sementara Kanaya yang sudah mulai gugup, susah payah menelan ludah dan berjuang untuk terus mengangkat dagu agar tetap terlihat tenang meski pada kenyataan, hati kecilnya sedang tidak baik-baik saja.Detak jantung Kanaya berpacu lebih cepat dari biasa. Serasa ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saat itu juga. Akan tetapi, suara renta tadi seolah menyeret pada kenyataan
Apa-apa ini?" Suara Bella tiba-tiba meninggi."Aku dipanggil kemari hanya untuk disindir? Memangnya dia siapa sampai Nenek semudah itu membandingkannya denganku?" gerutunya dengan pandangan keruh.Emily menyeringai, membalasnya dengan tatapan nyalang."Hentikan, Anak Manis! Jangan menantang jika tak ingin melihat kekuasaanku berjalan."Tangan rentanya sengaja diangkat lagi ke atas. Menunjukkan ketegasan yang tidak main-main. Memaksa Shindy kembali ikut campur."Ibu, aku mohon hentikan. Kasian Bella," pintanya mengajukan pembelaan. Namun, dia justru mendapat tekanan baru dari orang tua itu."Ternyata kau lebih pantas dipanggil mertua bodoh, Shindy. Anak bawang itu sudah membebalimu selama ini, tetapi kau masih saja membelanya?" cibir Emily memasang ekspresi sinis.Dia memang sudah tidak peduli dengan apa pun bentuk pembelaan sebab baginya, itu hanya kebohongan yang semata-mata membuang waktu."Lihatlah, pres
Kanaya buru-buru membersihkan bekas makan siang Keluarga Arkana, dibantu oleh senior Viola. "Sisanya biar aku yang kerjakan, Bi." Kanaya menawarkan bantuan. Viola hanya tersenyum menanggapi, tetapi tidak berani membiarkan istri kedua majikannya itu bekerja sendirian.Sesuai permintaan Emily, hari ini juga gadis itu akan berangkat ke rumah utama dan menetap beberapa waktu di sana. Viola yang sebentar lagi akan kehilangan sosok teman baik seperti Kanaya, merasa ikut sedih dan memberi komentar. "Kuharap kau baik-baik di sana, Nyonya Kanaya. Apa pun yang terjadi, semoga kau tetap sabar dan jadilah diri sendiri." Senior Viola mengingatkan. Kanaya seketika menghentikan aktivitas, berbalik menoleh ke arah Viola. Keduanya saling pandang lalu dia mengangguk cepat dan menghambur ke dalam pelukan haru wanita empat puluhan tahun itu. Saat ini dirinya merasa lebih akrab dengan sang Senior dan mereka sudah seperti keluarga yang memiliki ikatan batin.
"Suara apa itu? Seperti orang mengerang kesakitan?"Gadis cantik tadi menoleh ke arah kamar yang pintunya tertutup rapat sambil menajamkan pendengaran. Belum puas, dia membawa langkah pelannya mendekat lalu menempelkan telinga ke pintu tersebut. Mencoba mencari kebenaran di dalam sana. Tak lama kemudian, suara erangan tadi mendadak berubah menjadi tawa cekikikan."Huaa! Itu menyeramkan." Kanaya bergumam kecil. Wajahnya nampak hampir menangis. Dengan cepat dia berjingkrak menjauh dari sana, tetapi langkahnya tertahan oleh orang yang tiba-tiba sudah berdiri menghadang dengan tatapan tajam."M-maaf, saya—" Rasa gugup menyergap. Kanaya mencoba berbicara netral, tetapi lidahnya terasa kelu. "Kau di sini rupanya." Bu Shindy menarik salah satu sudut bibirnya dan dimaknai Kanaya sebagai senyum angkuh."S-saya tidak bermaksud menguping suara di dalam sana, Nyonya Shindy," ucap Kanaya gagap. Merasa bodoh karena g
"Takdir macam apa ini?" Air mata Kanaya yang belum sempat mengering, kini kembali menetes menyusuri lekuk wajah cantiknya. Bibirnya terkatup rapat lantaran merasa kehabisan kata-kata. Seluruh syaraf di tubuh serasa membeku ketika mendengar Nyonya Emily kembali bersuara."Aku sengaja membiarkan cucuku yang membawamu pulang ke rumah dengan tujuan membuatnya sadar. Aku ingin dia bertanggung jawab atas perbuatan buruknya di masa lalu." Nyonya Emily kemudian mengangguk yakin.Cukup lama Kanaya tertegun. Jauh di lubuk hati gadis itu sedang memberontak ditandai dari pancaran matanya yang menyala."Tapi tidak seharusnya saya menjadi cucu Anda, Nyonya besar. Saya tidak ingin merusak rumah tangga orang lain,” sanggahnya tidak setuju. Bagi Kanaya, kegagalan masa lalu akan menjadi pelajaran berharga dan dia harus lebih berhati-hati setiap kali mengambil keputusan. Namun, Emily tampak tersenyum kecil lalu menggeleng tegas."Mulai detik ini, ganti semua sebutan yang kau tujukan padaku. Panggil a
"Ya! Saya ikhlas, Nyonya Besar." Kanaya meracau pasrah dengan suara sengau dan mata sembap. Baru beberapa menit lalu, Arkana Andromeda suami dadakannya itu mengatakan kalau dirinya orang asing yang mencoba menyusup masuk kamar dengan tujuan mencelakai ayahnya. Padahal, fisik Kanaya saja nyaris terluka saat menghadapi dengan perilaku aktif Julio. Susah payah Kanaya berdiri, mempertahankan bobot badan dengan tungkai melemah karena sekujur raganya terasa remuk redam. Nyonya Emily memandang sayu gadis itu."Kemarilah." Dua tangannya menangkup bahu dan mengajak Kanaya untuk duduk bersama di sofa sambil membetulkan pakaian yang dia kenakan. Akibat ulah brutal Arkana hingga benturan keras dalam kejadian tadi, beberapa kancing blus warna coral miliknya terlepas, menyebabkan penampilan Kanaya terlihat sangat kusut.Kanaya membiarkan perlakuan manis Emily. Hatinya sedikit menghangat walau tubuhnya masih menggigil hebat. Rasa
Setelah itu, Arkana melepas kasar leher Kanaya dan segera berlalu menyusul para asisten yang membopong sang ayah ke rumah sakit. Masih terdengar suara beratnya berkata lantang "Tunggu sampai aku pulang!" Sementara Kanaya nampaknya masih susah payah mengatur napas sambil meraba leher yang sakit akibat cekikan tangan Arkana. Di sela perjuangan meredam rasa sakit, dia mendengar suara angkuh yang muncul dari arah ranjang. Rupanya Shindy masih berada di sana."Kerja bagus!" ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis andal. Seringai puas memancar di wajahnya yang sengaja dia miringkan. "Ini baru permulaan, Gadis Pintar. Masih ada beberapa tantangan lagi yang wajib kau lewati agar membuktikan kehadiranmu di tengah keluarga kami, benar-benar tiada maksud tersembunyi." Shindy bangkit dari ranjang, berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Kanaya sambil melipat dua tangan di depan dada.Kanaya tertunduk dalam. Hatinya berkecamuk memikirkan ulah licik Shindy. Gadis itu bisa merasakan a
Bunyi alarm darurat membuat Arkana panik dan segera berlari memutar gagang pintu. Namun, pintunya terkunci dari dalam. Dia segera merogoh saku demi mencari kunci serep.Sementara beberapa menit sebelumnya di dalam kamar, Kanaya sangat terkejut melihat pergerakan limbung lelaki itu sambil menyebut namanya."Naya, oh, Naya! Aku mohon, Naya." Tak ayal, tubuhnya pun tersungkur ke lantai. "Paman Leo!" pekik Kanaya."Malik?! Jangan pergi, Malik. Kenapa kau tega meninggalkanku?" Julio kembali meracau, suaranya terdengar sendu dan menusuk jiwa. Sementara raga ringkih miliknya nampak menelungkup lemah.Kanaya bergerak cepat menuju meja dan meletakkan nampan yang susah payah dia pertahankan sejak tadi. Lalu bergerak mendekati Julio kemudian turun meraba pundak pundaknya. Akan tetapi, lelaki itu sigap menepis lantaran enggan disentuh."Paman kenapa? Naya sudah di sini dan berjanji akan menjagamu hingga pulih." bujuk Kanaya dengan air mata berlinang di pipi lalu mencoba membantunya untuk duduk.
Kembali ke Kanaya, gadis itu masih terjebak di ruang gelap. Mati lampu membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Ditambah suara-suara berisik di sekitar yang terdengar menakutkan memicu rasa ciut dihatinya."Selamat malam!" ucapnya memberanikan diri. Beberapa kali dia memberi salam yang sama sekali tidak mendapatkan jawaban."Apa ada orang?" panggilnya lagi dengan suara rendah, tetapi cukup jelas sebab suasana sangat hening.Melihat pintu tadi sudah tertutup, perasaan Kanaya bertambah resah. Kakinya seolah tertanam di bumi dan cukup lama dia tertahan di tempat hingga lampu kembali menyala. Kanaya tersentak. Sorot matanya menangkap sosok pria jangkung berambut gondrong sedang duduk di tepi ranjang. Matanya tajam memandang dinding. Sosok itu terkikik seram sambil memainkan janggutnya yang lebat."P-paman Julio?!" Kanaya menatap tidak percaya pada apa yang baru saja dia dilihat. Dalam bayangannya tentang seorang Julio Atmaja atau biasa disapa Paman Leo sangat berbeda dengan saat ini. Pria
Sementara itu di apartemen, Arkana terlihat sedang membujuk istri pertamanya yang merajuk berat. "Tenang, Bella. Kau tahu sendiri bagaimana karakter Nenek, kan?"Sejak memilih kabur dari ruang makan di rumah mereka tadi, istrinya itu terus saja uring-uringan."Aku tidak terima semua ini, Kanna!" jerit wanita itu histeris. Mengingat perlakuan Nenek Emily yang menghinanya di depan semua orang terlebih Kanaya, membuat harga diri wanita itu seperti diinjak-injak."Dia bahkan menghinaku di depan pembantu sok pintar dan cari muka itu!"Dengan kasar Bella mengempaskan tubuh di sofa. Wajahnya terlihat penuh air mata dan pandangannya tajam, pertanda menyimpan dendam besar. Arkana menghela napas berat lalu kembali menenangkan."Aku tahu itu. Bahkan Ibu, Paman Martin dan Bibi Elis juga tidak terima melihatmu diperlakukan demikian. Kita semua tidak menginginkannya, Sayang."Sejujurnya sudah dua tahun Arkana meni
"Suara apa itu? Seperti orang mengerang kesakitan?"Gadis cantik tadi menoleh ke arah kamar yang pintunya tertutup rapat sambil menajamkan pendengaran. Belum puas, dia membawa langkah pelannya mendekat lalu menempelkan telinga ke pintu tersebut. Mencoba mencari kebenaran di dalam sana. Tak lama kemudian, suara erangan tadi mendadak berubah menjadi tawa cekikikan."Huaa! Itu menyeramkan." Kanaya bergumam kecil. Wajahnya nampak hampir menangis. Dengan cepat dia berjingkrak menjauh dari sana, tetapi langkahnya tertahan oleh orang yang tiba-tiba sudah berdiri menghadang dengan tatapan tajam."M-maaf, saya—" Rasa gugup menyergap. Kanaya mencoba berbicara netral, tetapi lidahnya terasa kelu. "Kau di sini rupanya." Bu Shindy menarik salah satu sudut bibirnya dan dimaknai Kanaya sebagai senyum angkuh."S-saya tidak bermaksud menguping suara di dalam sana, Nyonya Shindy," ucap Kanaya gagap. Merasa bodoh karena g
Kanaya buru-buru membersihkan bekas makan siang Keluarga Arkana, dibantu oleh senior Viola. "Sisanya biar aku yang kerjakan, Bi." Kanaya menawarkan bantuan. Viola hanya tersenyum menanggapi, tetapi tidak berani membiarkan istri kedua majikannya itu bekerja sendirian.Sesuai permintaan Emily, hari ini juga gadis itu akan berangkat ke rumah utama dan menetap beberapa waktu di sana. Viola yang sebentar lagi akan kehilangan sosok teman baik seperti Kanaya, merasa ikut sedih dan memberi komentar. "Kuharap kau baik-baik di sana, Nyonya Kanaya. Apa pun yang terjadi, semoga kau tetap sabar dan jadilah diri sendiri." Senior Viola mengingatkan. Kanaya seketika menghentikan aktivitas, berbalik menoleh ke arah Viola. Keduanya saling pandang lalu dia mengangguk cepat dan menghambur ke dalam pelukan haru wanita empat puluhan tahun itu. Saat ini dirinya merasa lebih akrab dengan sang Senior dan mereka sudah seperti keluarga yang memiliki ikatan batin.
Apa-apa ini?" Suara Bella tiba-tiba meninggi."Aku dipanggil kemari hanya untuk disindir? Memangnya dia siapa sampai Nenek semudah itu membandingkannya denganku?" gerutunya dengan pandangan keruh.Emily menyeringai, membalasnya dengan tatapan nyalang."Hentikan, Anak Manis! Jangan menantang jika tak ingin melihat kekuasaanku berjalan."Tangan rentanya sengaja diangkat lagi ke atas. Menunjukkan ketegasan yang tidak main-main. Memaksa Shindy kembali ikut campur."Ibu, aku mohon hentikan. Kasian Bella," pintanya mengajukan pembelaan. Namun, dia justru mendapat tekanan baru dari orang tua itu."Ternyata kau lebih pantas dipanggil mertua bodoh, Shindy. Anak bawang itu sudah membebalimu selama ini, tetapi kau masih saja membelanya?" cibir Emily memasang ekspresi sinis.Dia memang sudah tidak peduli dengan apa pun bentuk pembelaan sebab baginya, itu hanya kebohongan yang semata-mata membuang waktu."Lihatlah, pres