Share

Bab 7 - Menerima Tanggung Jawab

"Hentikan omong kosongmu. Aku sudah mencari tahu semua tentangmu. Kau masih sama seperti dulu … Ratu Kanaya Rozana yang belum menikah."

Mata Kanaya terbelalak dan merasa benar-benar diperdaya.

"T-tapi, Arkana. I-ini —" Ucapannya tercekat di tenggorokan.

Bukannya Kanaya tidak peka, melainkan hanya berupaya menghindari apa yang menjadi penyesalannya selama ini.

Jika bisa memilih, dia akan memilih tidak ada dalam peristiwa maut itu ketimbang kembali pada Arkana.

"Sudah, ya! Stop berdebat. Sewaktu-waktu nyawa kita bisa terancam oleh karma Rosellie, jadi lebih baik menurut saja. Daripada mempertaruhkan hidup, ada baiknya kita jalani peran suami istri ini, oke."

Kanaya terdiam. Baginya ini sebuah petaka besar. Hidupnya sedang diambang kehancuran.

Kenapa harus menikah dengan lelaki ini setelah dia melewati begitu banyak masalah yang merenggut semua kebahagiaannya? Sungguh perbuatan Arkana di masa lalu telah menghancurkan hidup dan kepercayaan dirinya.

"Bagaimana kalau aku menolak?"

"Aku akan tetap menikahimu lewat jalur hukum dan agama biar semuanya jelas," tegasnya membuat Kanaya seketika tertegun dengan wajah melongo.

Sebulan berlalu, operasi pada keretakan tulang kaki dan tangan Kanaya yang sukses, kini sudah memasuki tahap penyembuhan.

Kanaya dinyatakan bisa pulang setelah mendapat perawatan intensif di rumah sakit.

"Terima kasih atas kedermawananmu," ucap Kanaya pelan saat mereka baru tiba di sebuah rumah minimalis milik Arkana.

Kanaya sudah cukup paham kalau semua biaya administrasi, perawatan dan penyembuhan selama di rumah sakit ditanggung penuh oleh lelaki yang kini berstatus suaminya.

"Tapi itu tidak gratis, Naya. Kau harus membayarnya dengan bekerja keras di rumahku."

"Baiklah. Asal kau senang, aku tidak keberatan."

Matanya serentak menoleh ke arah ruang keluarga saat sebuah pergerakan kecil seorang balita sedang mendekati Arkana.

"Papa!" panggil suara mungil yang dalam perkiraan Naya, berusia kurang lebih dua tahunan, terdengar begitu menggemaskan dan membuat penasaran.

Belum reda perasaan itu, dia kembali melihat kedekatan makhluk beda fase yang begitu akrab.

Arkana tampak sigap merentangkan kedua tangan demi menyambut sang balita yang sudah menghambur ke dada bidangnya.

"Ya, Sayang."

Bocah mungil tadi tampak melirik dan tertawa imut ke arahnya, sementara Kanaya membalas itu dengan perasaan canggung. Sejenak dia tampak berpikir lalu mulai bertanya dengan nada penasaran.

"Oh, ya. Kalau boleh tahu pekerjaan apa yang ingin kau berikan padaku?"

Arkana tidak langsung menjawab melainkan sibuk membawa sosok kecil itu duduk ke pangkuannya. Tak lama kemudian dia angkat bicara.

"Menjadi baby sitter untuknya," tunjuk Arkana pada sang batita. Lalu dengan hati-hati merangkul erat tubuh mungil itu dan mencium pipinya. "Emm, Putri Cantik Papa. Ayo, sana. Dekati Bunda."

Dalam sekejap, batita gembul tadi bergerak turun dari pangkuan sang ayah lalu berlari kecil menuju Kanaya.

Serentak membuat gadis itu menelan ludah kasar. Arkana benar-benar menepati janjinya. Setelah menikahi Kanaya secara resmi—tercatat di catatan sipil, pria itu bahkan memberikan panggilan ‘bunda’ pada Kanaya.

"Bundaa!"

Si kecil memanggil dengan penuh semangat sambil melempar tawa menggemaskan. Kanaya semakin terkesiap melihat keramahan sang bocah.

"H-hai, Sayang," balasnya kikuk.

Namun, meski kini dia resmi menjadi istri lelaki itu, tetapi hal itu tidak mengubah sikap dingin dan angkuh pria itu terhadapnya.

"Ingat, tugas utamamu merawat anakku. Jaga kebersihan dan kesehatan Rozana setiap saat.”

Sesaat, Kanaya mengerjap. “Rozana?” ulangnya dalam hati. “Arkana menamai anaknya dengan namaku?”

Namun, rasa keterkejutannya itu dia tahan karena dia tidak ingin lagi terikat terlalu dalam pada Arkana.

Terserah pria itu saja, mau menamai anaknya siapa. Kanaya hanya akan berupaya menjadi patuh, sebab hutang budinya pada pria itu.

Arkana kemudian melanjutkan merinci pekerjaan Kanaya. “Atur juga pola makan dan waktu tidurnya. Jika terjadi apa-apa padanya maka kau yang bertanggung jawab di sini."

Kanaya mengangguk, setuju. "Baiklah, aku akan melakukan yang terbaik agar Rozana merasa nyaman selama kau tidak berada di rumah."

Arkana mengangguk kecil dengan melempar tatapan yang kurang bersahabat.

"Satu lagi, jangan lupa laksanakan tugasmu dengan benar atau hutangmu itu tidak akan terpotong setiap bulannya."

"Oke, aku akan mengerjakan semuanya dengan baik, Tuan Arkana."

"Bagus."

Sepeninggalan Arkana, Kanaya segera memberikan sarapan kepada Rozana, tetapi bocah itu sepertinya sedang tidak berselera makan hingga berulang kali dia menolak dengan suara paling menggemaskan.

"Gak ma-u."

Kanaya memutar otak. Dia pernah melihat tetangganya dulu di kampung yang suka membujuk makan anaknya ke taman.

Tanpa menunggu lama, Kanaya langsung mengajak Rozana bersarapan sambil bermain di taman rumah minimalis mereka.

"Rozana, Sayang! Ayo buka mulutnya, aaa ...," panggilnya dengan suara manja dan Rozana langsung memeragakan contoh yang diberikan Kanaya dengan benar membuatnya tergelak kecil. "Nah, gitu, dong. Pintar anak Bunda."

"Bundaa," celoteh riang bocah cantik itu sambil melompat girang di bangku taman tempat Kanaya duduk.

"Kau cantik sekali, Nak. Bunda sampai iri melihat kecantikanmu ini," balas Kanaya lagi diiringi tawa renyah di sepanjang celotehannya. Keduanya terlihat begitu akrab dalam canda tawa seolah mereka memiliki kedekatan sejak lama.

Teringat akan satu hal yang mengganggu pikirannya tadi, memanfaatkan kepolosan Rozana, Kanaya pun memberanikan diri bertanya, "Katakan, kenapa namamu bisa mirip dengan namaku, hmm?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status