“Kalau begitu talak aku sekarang!"
Arkana terdiam, memberi suasana hening yang cukup lama di antara mereka. Tampak lelaki itu memijit pelipis sambil berpikir keras hingga dia kembali angkat bicara dengan emosi yang masih sulit dikontrol.
"Dengar Naya, aku menikahimu karena keadaan yang tidak bisa kucegah. Akan tetapi, menceraikanmu juga hanya akan menimbulkan kemarahan para dewa alam yang menjadi kepercayaan orang-orang sekitar sini."
"Aku tidak peduli, ceraikan aku sekarang juga!" Kanaya terlanjur marah besar dan mungkin telah menganggap persetan dengan keadaan.
"Itu artinya akan ada malapetaka yang lebih besar lagi jika kau sampai melanggar aturan lain. Kau tahu apa?"
Kening Kanaya mengerut tajam. Hidung dan bibirnya ikut bergetar. Gadis itu cukup bingung dengan apa yang baru saja diucapkan Arkana. Memicu seringai miring dari lelaki tersebut sebelum dia kembali menjelaskan.
"Bencana alam, Naya. Badai besar dan tanah longsor akan terjadi jika kau sampai melepas ikatan pernikahan di sini. Aku tidak ingin terkena imbas dari kejadian itu. Jadi untuk sementara, kau hanya perlu menjalaninya, mengerti?"
Kanaya kembali bergeming. Hatinya cukup terpukul saat menyadari bahwa lelaki pecundang yang pergi dua tahun lalu, kini kembali mengacaukan hidupnya dan barangkali akan segera mengubah takdir kebahagiaan yang susah payah dia rintis.
"Tapi kau juga harus paham bahwa dalam hubungan ini, tidak ada cinta untukmu dan aku akan selamanya mencintai istriku," tegas Arkana dengan suara khasnya yang datar.
Kanaya masih tertegun mendengar kalimat berbau penolakan yang sama seperti dua tahun lalu. Kini, Arkana kembali melontarkan itu kepadanya. Jika dulu Naya masih berjuang mempertahankan si lelaki agar tetap bersama, maka tidak dengan saat ini.
"Dasar brengsek! Aku juga tidak pernah mengharapkan cinta darimu. Apa kau pikir aku serapuh itu, hah?"
Arkana tertawa kelakar. Dia bangkit dari duduk dan bergerak menuju jendela sambil melempar pandangan jauh. Mata elangnya jeli menelusur keindahan alam sore perkampungan Rosellie dari balik gorden yang dia singkap.
Bentang alam pegunungan yang sebagiannya berbentuk lekuk kawah, tampak tertutup oleh gumpalan awan putih seakan membawa mereka bertamasya ke negeri kayangan. Namun, perasaannya saat itu tidak seindah ekspektasi.
"Jika bukan karena terjebak dalam petaka karma Rosellie, mana mungkin pernikahan bodoh ini terjadi, apalagi kamu wanitanya."
Arkana menekan pembicaraan membuat Naya seketika meringis mengenang runut peristiwa kelam dua tahun lalu saat musibah besar mengubah takdir keluarga mereka. Hingga membuat hidupnya menjadi sangat terpuruk.
Lalu hari ini, takdir kelam itu seolah ingin kembali mempermainkan nasibnya.
"Dasar lelaki bejat! Aku tidak akan membiarkanmu mengacaukan hidupku sekali lagi."
Naya sudah muak dan benar-benar hendak membuang semua kenangan pahit tentang lelaki itu selama berada di tanah Etnik. Namun, kunjungan dinas pertamanya di perkampungan Rosellie justru membawa petaka besar bagi hidupnya.
"Kau pria terkutuk yang pernah kukenal, Arkana!" bentaknya dengan gigi gemelutuk dan suara yang memberat.
Masih teringat di kepala tentang momen menyakitkan ketika Arkana dengan tega mencampakkan dirinya tanpa ampun.
"Aku bahkan belum lupa pada pengkhianatan yang kau lakukan terhadap keluargaku," tekannya lagi dengan bibir kaku dan suara penuh getar amarah.
Entah bagaimana nasib buruk membuatnya kembali bertemu dengan Arkana. Lelaki yang dulu dianggap sebagai dewa penyelamat, kini berubah menjadi monster menjijikan di mata Kanaya.
"Itu musibah, Naya. Aku tidak pernah berniat mencelakai kedua orang tuamu. Toh, ayahku juga mengalami gangguan mental dalam peristiwa itu, kan?"
Naya menggeleng keras. Baginya Arkana hanya berlagak penguasa. Sejak pengkhianatan yang dilakukannya, dia tidak pernah lagi memercayai omong kosong pria jangkung berotot liat itu.
Namun, emosi yang kini meluap seolah bercampur aduk antara sedih, marah, maupun merutuki getar halus yang tiba-tiba menyusup di sudut terdalam hatinya, entahlah.
"I-ini tidak mungkin. Memangnya kau siapa? Aku benci padamu." Kanaya bergumam lirih.
Serentak kedua tangannya naik memijit kepala yang terasa berdenyut, sangat nyeri.
"Sebenarnya apa salahku, Arkana? Kenapa kau tega melakukan ini kepadaku, hah?!"
Kanaya menggeram, sementara Arkana terlihat menyeringai kecil. Menatap nyalang wajah pucatnya dan kembali mengajak konfrontasi.
"Karena kau gadis bodoh yang sudah mengacaukan hidupku! Aku bisa saja melaporkanmu ke pihak berwajib dengan tuduhan kasus penipuan."
Naya terperanjat dan hampir melompat turun dari ranjang kalau bukan terhalang oleh kakinya yang masih terluka.
"Lelaki gila!" Bibir Naya kembali bersungut.
Serentak amarah gadis itu pecah, namun dia mencoba meredamnya saat melihat pria tidak punya hati itu pergi meninggalkan ruangan. Setidaknya dia bisa mengontrol kegilaannya dari meledak di ubun-ubun.
"Aku akan membalasmu, Brengsek!"
Kanaya berjuang bangkit dari kasur. Dia tidak ingin terus meratapi nasibnya. Keterpurukan yang diciptakan Arkana selama dua tahun sudah cukup menyiksa batin hingga muak rasanya.
"Aku tidak boleh lemah dan secepatnya harus kabur dari sini."
Ya, Ratu Kanaya akan membuktikan kalau dirinya bukan gadis bodoh seperti yang baru saja dikatakan Arkana. Hingga dia kembali merasa diperdaya oleh teriakan lantang pria itu dari balik pintu.
"Lekaslah bersiap! Malam ini juga kita harus meninggalkan penginapan karena besok kau harus berurusan dengan istriku di Kantor Polisi!"
"Terkutuk! Hei, aku bukan penjahat!"Kanaya semakin tersulut dan dalam amarah membludak. Dia meraih apa saja yang bisa diraih, lalu dengan brutal melempar ke lantai hingga menimbulkan bunyi benturan keras.Setelahnya, dengan wajah malas dan penuh air mata, Kanaya berganti pakaian seadanya, sebab dia tidak menemukan koper dan tas yang dibawa dari kota asal.Usai berdandan seadanya, gadis itu melangkah keluar dari penginapan. Tentunya setelah mendapat informasi dari resepsionis bahwa semua biaya penginapan sudah dibayar lunas oleh Arkana."Cepatlah! Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus wanita bodoh sepertimu." Terdengar suara berat Arkana menyeru dari balik kemudi mobil yang mesinnya sudah menyala.Kanaya sedikit tersentak, namun memilih untuk tetap tenang dan segera masuk, mengambil posisi duduk di sebelah Arkana."Aku juga tidak berharap diurus oleh bajingan sepertimu!" tegasnya galak dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu, aku kemari untuk bertemu dengan seseorang. Ah, ya. Ak
"Cepat keluar!" Arkana kembali mendesak, ketika Kanaya hanya bergeming.Diam-diam, Kanaya tengah berpikir. Jika menolak ikut dengan Arkana, maka dia harus rela beradaptasi dengan kutukan berikutnya di Pegunungan Rosellie menyeramkan ini.Apa itu tidak lebih membahayakan dirinya? Dia Juga tidak mengenal siapa-siapa di sini, bukan?"B-baiklah, aku ikut denganmu."Kanaya sangat membenci Arkana. Dia juga sangat takut melakukan perjalanan berdua dengan pria yang pernah menyakiti perasaannya apalagi sampai mengambil waktu di malam hari.Namun, dia tidak punya alasan untuk menolak. Sebab, selain desa ini begitu asing, identitas dirinya pun raib entah ke mana."Dan jika kau sampai membunuhku di tengah perjalanan, maka nanti rohku pun tidak akan tinggal diam!" ujar Kanaya pasrah dan dibalas oleh Arkana dengan tatapan tidak terbaca.Mengingat kemungkinan besar ada resiko lain yang bakal terjadi jika sampai dia tidak sengaja melanggar pantangan berikutnya, membuat bulu kuduk pemilik tubuh ideal
"Sepertinya kau sangat berharap tinggal bersamaku," sindir Arkana dengan pandangan remeh membuat Kanaya melengos tajam.Gadis itu menggeleng cepat diiringi seringai sinis yang tak kalah meremehkan."Bukan begitu, aku hanya tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain apalagi diriku juga sudah bersuami." Otak encernya masih terus bekerja. Dia tidak ingin menjadi yang paling tertindas dalam hubungan tidak sehat itu. "Jadi tolong biarkan aku pergi dari kehidupanmu," pintanya memelas.Arkana terdiam dengan dahi mengkerut tajam. Dua jarinya ikut naik memijit kening seperti sedang berpikir keras. Sementara Kanaya tidak ingin membuang kesempatan dan dia terus saja berbicara."Selangkah lagi kita akan memasuki area perkotaan. Itu artinya kita sudah keluar dari tanah Pegunungan Rosellie. Kita bisa membebaskan diri dari ikatan karma itu," ucapnya meyakinkan."Kau yakin bisa semudah itu?"Arkana masih menyatakan keraguan hatinya, sementara Kanaya sudah terlanjur yakin."Ah, anggap saja it
"Argh! Sakit." Ujung hidung Kanaya menangkap aroma yang paling tidak dia sukai sepanjang hidup. Aroma pembersih ruangan yang bercampur obat, juga pendingin ruangan.Saat dia berjuang untuk bangkit, sekujur tubuhnya terasa berat dan tidak bisa bergerak.Dia baru tersadar kalau beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya."Bagaimana aku bisa berada di sini?" gumamnya sembari mencoba mengingat sesuatu yang tertinggal.Tidak lama dari itu, kemunculan Arkana secara perlahan membantu menyegarkan proses memorinya."Syukurlah kau sudah sadar," ucap pria itu dengan tarikan napas lega.Jika Arkana tampak mulai bisa mengontrol emosinya dengan baik, justru tidak dengan Kanaya. Tubuh gadis itu terlihat sangat lemah, tetapi ekor matanya bisa terbaca dengan jelas bahwa dia merasa tidak nyaman saat mendapati kehadiran Arkana."K-kau di sini?" Baginya ini momen terburuk yang pernah ada. Dia tidak suka menjadi tidak berdaya di depan lelaki yang pernah menyakitin
"Hentikan omong kosongmu. Aku sudah mencari tahu semua tentangmu. Kau masih sama seperti dulu … Ratu Kanaya Rozana yang belum menikah."Mata Kanaya terbelalak dan merasa benar-benar diperdaya."T-tapi, Arkana. I-ini —" Ucapannya tercekat di tenggorokan.Bukannya Kanaya tidak peka, melainkan hanya berupaya menghindari apa yang menjadi penyesalannya selama ini.Jika bisa memilih, dia akan memilih tidak ada dalam peristiwa maut itu ketimbang kembali pada Arkana."Sudah, ya! Stop berdebat. Sewaktu-waktu nyawa kita bisa terancam oleh karma Rosellie, jadi lebih baik menurut saja. Daripada mempertaruhkan hidup, ada baiknya kita jalani peran suami istri ini, oke."Kanaya terdiam. Baginya ini sebuah petaka besar. Hidupnya sedang diambang kehancuran.Kenapa harus menikah dengan lelaki ini setelah dia melewati begitu banyak masalah yang merenggut semua kebahagiaannya? Sungguh perbuatan Arkana di masa lalu telah menghancurkan hidup dan kepercayaan dirinya."Bagaimana kalau aku menolak?""Aku akan
"Katakan, kenapa namamu bisa mirip dengan namaku, hmm?" Kanaya memasang ekspresi polos demi menyamai polah gemas Rozana. Berharap mendapat jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut, Kanaya pun ikut manggut-manggut seiring rentak suara si anak."Papa syuka nama Losyana."Jawaban yang semula Kanaya tunggu-tunggu, lantas terlontar dari bibir mungil sang batita cantik.Dia yang semula berdebar, berubah menjadi tertawa, gemas akan cara natural bocah itu menjawab pertanyaannya.“Ya, aku juga setuju. Rozana nama yang bagus.” Kanaya terkikik sendiri. Agaknya, Rozana cilik ini bisa menjadi teman akrabnya selama tinggal di sini.Saat sedang asyik bermain bersama, tiba-tiba langit berubah mendung. Tidak ingin anak asuhnya itu sakit, Kanaya lantas mengajak Rozana masuk, usai membereskan bekas makan bocah itu.Baru akan menggendong si batita, seseorang sudah berdiri dengan raut wajah yang begitu menyiratkan kemarahan."Apa kau mau membunuh anakku dengan memberinya makan di taman?!" teriak ketus seo
Kening Kanaya mengkerut tajam. Arkana melibatkan dirinya dalam pertemuan bersama Ibu dan neneknya, padahal mereka belum pernah bertemu sebelum ini. Ditambah statusnya saat itu, membuat Kanaya berpikir ekstra hati-hati."Bukankah itu pertanda bahaya?" Beberapa pertanyaan muncul di benak gadis cantik ini. Entah bagaimana Arkana memperlakukannya nanti. Apakah sama seperti dihadapan Bella atau justru memperkenalkan dirinya sebagai istri kedua yang merusak keharmonisan sebuah rumah tangga."Pergilah ke dapur dan bantu Bibi Viola." Arkana kembali memerintah sebelum pergi dari sana. Meski jengkel, Kanaya tetap menurutinya dengan langkah gontai menuju pintu belakang. Dia berjalan sambil memegangi dadanya. Tidak terpungkiri, statusnya di masa lalu bersama Arkana masih meninggalkan efek di hatinya—meski mungkin saat itu Arkana hanya setengah hati mencintainya."Ini sangat tidak bagus buat kesehatan jantung dan hatiku. Aku harus segera melepaskan diri dari kutukan itu. Apa pun caranya."Meliha
"Wah, rupanya ada tamu di rumah ini!" sapa Wanita tertua berperawakan mungil dalam rombongan keluarga Arkana, Emily Ananta.Dari balik kaca mata minus, sorot renta itu menelisik jeli penampilan Kanaya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu lanjut berbicara, "Siapa yang menyediakan semua ini?"Kanaya terdiam dan nampak canggung. Viola terpaksa menjawab pertanyaannya."Nona Kanaya yang menyediakannya, Nyonya Besar."Emily mengangguk singkat, membawa suasana mendadak hening. Tak seorang pun di sekitarnya berani berbicara saat dia yang dipanggil nyonya besar itu menelisik setiap wadah hidangan sambil menyicipi rasa.Sementara Kanaya yang sudah mulai gugup, susah payah menelan ludah dan berjuang untuk terus mengangkat dagu agar tetap terlihat tenang meski pada kenyataan, hati kecilnya sedang tidak baik-baik saja.Detak jantung Kanaya berpacu lebih cepat dari biasa. Serasa ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saat itu juga. Akan tetapi, suara renta tadi seolah menyeret pada kenyataan
"Takdir macam apa ini?" Air mata Kanaya yang belum sempat mengering, kini kembali menetes menyusuri lekuk wajah cantiknya. Bibirnya terkatup rapat lantaran merasa kehabisan kata-kata. Seluruh syaraf di tubuh serasa membeku ketika mendengar Nyonya Emily kembali bersuara."Aku sengaja membiarkan cucuku yang membawamu pulang ke rumah dengan tujuan membuatnya sadar. Aku ingin dia bertanggung jawab atas perbuatan buruknya di masa lalu." Nyonya Emily kemudian mengangguk yakin.Cukup lama Kanaya tertegun. Jauh di lubuk hati gadis itu sedang memberontak ditandai dari pancaran matanya yang menyala."Tapi tidak seharusnya saya menjadi cucu Anda, Nyonya besar. Saya tidak ingin merusak rumah tangga orang lain,” sanggahnya tidak setuju. Bagi Kanaya, kegagalan masa lalu akan menjadi pelajaran berharga dan dia harus lebih berhati-hati setiap kali mengambil keputusan. Namun, Emily tampak tersenyum kecil lalu menggeleng tegas."Mulai detik ini, ganti semua sebutan yang kau tujukan padaku. Panggil a
"Ya! Saya ikhlas, Nyonya Besar." Kanaya meracau pasrah dengan suara sengau dan mata sembap. Baru beberapa menit lalu, Arkana Andromeda suami dadakannya itu mengatakan kalau dirinya orang asing yang mencoba menyusup masuk kamar dengan tujuan mencelakai ayahnya. Padahal, fisik Kanaya saja nyaris terluka saat menghadapi dengan perilaku aktif Julio. Susah payah Kanaya berdiri, mempertahankan bobot badan dengan tungkai melemah karena sekujur raganya terasa remuk redam. Nyonya Emily memandang sayu gadis itu."Kemarilah." Dua tangannya menangkup bahu dan mengajak Kanaya untuk duduk bersama di sofa sambil membetulkan pakaian yang dia kenakan. Akibat ulah brutal Arkana hingga benturan keras dalam kejadian tadi, beberapa kancing blus warna coral miliknya terlepas, menyebabkan penampilan Kanaya terlihat sangat kusut.Kanaya membiarkan perlakuan manis Emily. Hatinya sedikit menghangat walau tubuhnya masih menggigil hebat. Rasa
Setelah itu, Arkana melepas kasar leher Kanaya dan segera berlalu menyusul para asisten yang membopong sang ayah ke rumah sakit. Masih terdengar suara beratnya berkata lantang "Tunggu sampai aku pulang!" Sementara Kanaya nampaknya masih susah payah mengatur napas sambil meraba leher yang sakit akibat cekikan tangan Arkana. Di sela perjuangan meredam rasa sakit, dia mendengar suara angkuh yang muncul dari arah ranjang. Rupanya Shindy masih berada di sana."Kerja bagus!" ujarnya sambil bertepuk tangan ala pebisnis andal. Seringai puas memancar di wajahnya yang sengaja dia miringkan. "Ini baru permulaan, Gadis Pintar. Masih ada beberapa tantangan lagi yang wajib kau lewati agar membuktikan kehadiranmu di tengah keluarga kami, benar-benar tiada maksud tersembunyi." Shindy bangkit dari ranjang, berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di depan Kanaya sambil melipat dua tangan di depan dada.Kanaya tertunduk dalam. Hatinya berkecamuk memikirkan ulah licik Shindy. Gadis itu bisa merasakan a
Bunyi alarm darurat membuat Arkana panik dan segera berlari memutar gagang pintu. Namun, pintunya terkunci dari dalam. Dia segera merogoh saku demi mencari kunci serep.Sementara beberapa menit sebelumnya di dalam kamar, Kanaya sangat terkejut melihat pergerakan limbung lelaki itu sambil menyebut namanya."Naya, oh, Naya! Aku mohon, Naya." Tak ayal, tubuhnya pun tersungkur ke lantai. "Paman Leo!" pekik Kanaya."Malik?! Jangan pergi, Malik. Kenapa kau tega meninggalkanku?" Julio kembali meracau, suaranya terdengar sendu dan menusuk jiwa. Sementara raga ringkih miliknya nampak menelungkup lemah.Kanaya bergerak cepat menuju meja dan meletakkan nampan yang susah payah dia pertahankan sejak tadi. Lalu bergerak mendekati Julio kemudian turun meraba pundak pundaknya. Akan tetapi, lelaki itu sigap menepis lantaran enggan disentuh."Paman kenapa? Naya sudah di sini dan berjanji akan menjagamu hingga pulih." bujuk Kanaya dengan air mata berlinang di pipi lalu mencoba membantunya untuk duduk.
Kembali ke Kanaya, gadis itu masih terjebak di ruang gelap. Mati lampu membuatnya tidak bisa bergerak leluasa. Ditambah suara-suara berisik di sekitar yang terdengar menakutkan memicu rasa ciut dihatinya."Selamat malam!" ucapnya memberanikan diri. Beberapa kali dia memberi salam yang sama sekali tidak mendapatkan jawaban."Apa ada orang?" panggilnya lagi dengan suara rendah, tetapi cukup jelas sebab suasana sangat hening.Melihat pintu tadi sudah tertutup, perasaan Kanaya bertambah resah. Kakinya seolah tertanam di bumi dan cukup lama dia tertahan di tempat hingga lampu kembali menyala. Kanaya tersentak. Sorot matanya menangkap sosok pria jangkung berambut gondrong sedang duduk di tepi ranjang. Matanya tajam memandang dinding. Sosok itu terkikik seram sambil memainkan janggutnya yang lebat."P-paman Julio?!" Kanaya menatap tidak percaya pada apa yang baru saja dia dilihat. Dalam bayangannya tentang seorang Julio Atmaja atau biasa disapa Paman Leo sangat berbeda dengan saat ini. Pria
Sementara itu di apartemen, Arkana terlihat sedang membujuk istri pertamanya yang merajuk berat. "Tenang, Bella. Kau tahu sendiri bagaimana karakter Nenek, kan?"Sejak memilih kabur dari ruang makan di rumah mereka tadi, istrinya itu terus saja uring-uringan."Aku tidak terima semua ini, Kanna!" jerit wanita itu histeris. Mengingat perlakuan Nenek Emily yang menghinanya di depan semua orang terlebih Kanaya, membuat harga diri wanita itu seperti diinjak-injak."Dia bahkan menghinaku di depan pembantu sok pintar dan cari muka itu!"Dengan kasar Bella mengempaskan tubuh di sofa. Wajahnya terlihat penuh air mata dan pandangannya tajam, pertanda menyimpan dendam besar. Arkana menghela napas berat lalu kembali menenangkan."Aku tahu itu. Bahkan Ibu, Paman Martin dan Bibi Elis juga tidak terima melihatmu diperlakukan demikian. Kita semua tidak menginginkannya, Sayang."Sejujurnya sudah dua tahun Arkana meni
"Suara apa itu? Seperti orang mengerang kesakitan?"Gadis cantik tadi menoleh ke arah kamar yang pintunya tertutup rapat sambil menajamkan pendengaran. Belum puas, dia membawa langkah pelannya mendekat lalu menempelkan telinga ke pintu tersebut. Mencoba mencari kebenaran di dalam sana. Tak lama kemudian, suara erangan tadi mendadak berubah menjadi tawa cekikikan."Huaa! Itu menyeramkan." Kanaya bergumam kecil. Wajahnya nampak hampir menangis. Dengan cepat dia berjingkrak menjauh dari sana, tetapi langkahnya tertahan oleh orang yang tiba-tiba sudah berdiri menghadang dengan tatapan tajam."M-maaf, saya—" Rasa gugup menyergap. Kanaya mencoba berbicara netral, tetapi lidahnya terasa kelu. "Kau di sini rupanya." Bu Shindy menarik salah satu sudut bibirnya dan dimaknai Kanaya sebagai senyum angkuh."S-saya tidak bermaksud menguping suara di dalam sana, Nyonya Shindy," ucap Kanaya gagap. Merasa bodoh karena g
Kanaya buru-buru membersihkan bekas makan siang Keluarga Arkana, dibantu oleh senior Viola. "Sisanya biar aku yang kerjakan, Bi." Kanaya menawarkan bantuan. Viola hanya tersenyum menanggapi, tetapi tidak berani membiarkan istri kedua majikannya itu bekerja sendirian.Sesuai permintaan Emily, hari ini juga gadis itu akan berangkat ke rumah utama dan menetap beberapa waktu di sana. Viola yang sebentar lagi akan kehilangan sosok teman baik seperti Kanaya, merasa ikut sedih dan memberi komentar. "Kuharap kau baik-baik di sana, Nyonya Kanaya. Apa pun yang terjadi, semoga kau tetap sabar dan jadilah diri sendiri." Senior Viola mengingatkan. Kanaya seketika menghentikan aktivitas, berbalik menoleh ke arah Viola. Keduanya saling pandang lalu dia mengangguk cepat dan menghambur ke dalam pelukan haru wanita empat puluhan tahun itu. Saat ini dirinya merasa lebih akrab dengan sang Senior dan mereka sudah seperti keluarga yang memiliki ikatan batin.
Apa-apa ini?" Suara Bella tiba-tiba meninggi."Aku dipanggil kemari hanya untuk disindir? Memangnya dia siapa sampai Nenek semudah itu membandingkannya denganku?" gerutunya dengan pandangan keruh.Emily menyeringai, membalasnya dengan tatapan nyalang."Hentikan, Anak Manis! Jangan menantang jika tak ingin melihat kekuasaanku berjalan."Tangan rentanya sengaja diangkat lagi ke atas. Menunjukkan ketegasan yang tidak main-main. Memaksa Shindy kembali ikut campur."Ibu, aku mohon hentikan. Kasian Bella," pintanya mengajukan pembelaan. Namun, dia justru mendapat tekanan baru dari orang tua itu."Ternyata kau lebih pantas dipanggil mertua bodoh, Shindy. Anak bawang itu sudah membebalimu selama ini, tetapi kau masih saja membelanya?" cibir Emily memasang ekspresi sinis.Dia memang sudah tidak peduli dengan apa pun bentuk pembelaan sebab baginya, itu hanya kebohongan yang semata-mata membuang waktu."Lihatlah, pres