“Kalau begitu talak aku sekarang!"
Arkana terdiam, memberi suasana hening yang cukup lama di antara mereka. Tampak lelaki itu memijit pelipis sambil berpikir keras hingga dia kembali angkat bicara dengan emosi yang masih sulit dikontrol.
"Dengar Naya, aku menikahimu karena keadaan yang tidak bisa kucegah. Akan tetapi, menceraikanmu juga hanya akan menimbulkan kemarahan para dewa alam yang menjadi kepercayaan orang-orang sekitar sini."
"Aku tidak peduli, ceraikan aku sekarang juga!" Kanaya terlanjur marah besar dan mungkin telah menganggap persetan dengan keadaan.
"Itu artinya akan ada malapetaka yang lebih besar lagi jika kau sampai melanggar aturan lain. Kau tahu apa?"
Kening Kanaya mengerut tajam. Hidung dan bibirnya ikut bergetar. Gadis itu cukup bingung dengan apa yang baru saja diucapkan Arkana. Memicu seringai miring dari lelaki tersebut sebelum dia kembali menjelaskan.
"Bencana alam, Naya. Badai besar dan tanah longsor akan terjadi jika kau sampai melepas ikatan pernikahan di sini. Aku tidak ingin terkena imbas dari kejadian itu. Jadi untuk sementara, kau hanya perlu menjalaninya, mengerti?"
Kanaya kembali bergeming. Hatinya cukup terpukul saat menyadari bahwa lelaki pecundang yang pergi dua tahun lalu, kini kembali mengacaukan hidupnya dan barangkali akan segera mengubah takdir kebahagiaan yang susah payah dia rintis.
"Tapi kau juga harus paham bahwa dalam hubungan ini, tidak ada cinta untukmu dan aku akan selamanya mencintai istriku," tegas Arkana dengan suara khasnya yang datar.
Kanaya masih tertegun mendengar kalimat berbau penolakan yang sama seperti dua tahun lalu. Kini, Arkana kembali melontarkan itu kepadanya. Jika dulu Naya masih berjuang mempertahankan si lelaki agar tetap bersama, maka tidak dengan saat ini.
"Dasar brengsek! Aku juga tidak pernah mengharapkan cinta darimu. Apa kau pikir aku serapuh itu, hah?"
Arkana tertawa kelakar. Dia bangkit dari duduk dan bergerak menuju jendela sambil melempar pandangan jauh. Mata elangnya jeli menelusur keindahan alam sore perkampungan Rosellie dari balik gorden yang dia singkap.
Bentang alam pegunungan yang sebagiannya berbentuk lekuk kawah, tampak tertutup oleh gumpalan awan putih seakan membawa mereka bertamasya ke negeri kayangan. Namun, perasaannya saat itu tidak seindah ekspektasi.
"Jika bukan karena terjebak dalam petaka karma Rosellie, mana mungkin pernikahan bodoh ini terjadi, apalagi kamu wanitanya."
Arkana menekan pembicaraan membuat Naya seketika meringis mengenang runut peristiwa kelam dua tahun lalu saat musibah besar mengubah takdir keluarga mereka. Hingga membuat hidupnya menjadi sangat terpuruk.
Lalu hari ini, takdir kelam itu seolah ingin kembali mempermainkan nasibnya.
"Dasar lelaki bejat! Aku tidak akan membiarkanmu mengacaukan hidupku sekali lagi."
Naya sudah muak dan benar-benar hendak membuang semua kenangan pahit tentang lelaki itu selama berada di tanah Etnik. Namun, kunjungan dinas pertamanya di perkampungan Rosellie justru membawa petaka besar bagi hidupnya.
"Kau pria terkutuk yang pernah kukenal, Arkana!" bentaknya dengan gigi gemelutuk dan suara yang memberat.
Masih teringat di kepala tentang momen menyakitkan ketika Arkana dengan tega mencampakkan dirinya tanpa ampun.
"Aku bahkan belum lupa pada pengkhianatan yang kau lakukan terhadap keluargaku," tekannya lagi dengan bibir kaku dan suara penuh getar amarah.
Entah bagaimana nasib buruk membuatnya kembali bertemu dengan Arkana. Lelaki yang dulu dianggap sebagai dewa penyelamat, kini berubah menjadi monster menjijikan di mata Kanaya.
"Itu musibah, Naya. Aku tidak pernah berniat mencelakai kedua orang tuamu. Toh, ayahku juga mengalami gangguan mental dalam peristiwa itu, kan?"
Naya menggeleng keras. Baginya Arkana hanya berlagak penguasa. Sejak pengkhianatan yang dilakukannya, dia tidak pernah lagi memercayai omong kosong pria jangkung berotot liat itu.
Namun, emosi yang kini meluap seolah bercampur aduk antara sedih, marah, maupun merutuki getar halus yang tiba-tiba menyusup di sudut terdalam hatinya, entahlah.
"I-ini tidak mungkin. Memangnya kau siapa? Aku benci padamu." Kanaya bergumam lirih.
Serentak kedua tangannya naik memijit kepala yang terasa berdenyut, sangat nyeri.
"Sebenarnya apa salahku, Arkana? Kenapa kau tega melakukan ini kepadaku, hah?!"
Kanaya menggeram, sementara Arkana terlihat menyeringai kecil. Menatap nyalang wajah pucatnya dan kembali mengajak konfrontasi.
"Karena kau gadis bodoh yang sudah mengacaukan hidupku! Aku bisa saja melaporkanmu ke pihak berwajib dengan tuduhan kasus penipuan."
Naya terperanjat dan hampir melompat turun dari ranjang kalau bukan terhalang oleh kakinya yang masih terluka.
"Lelaki gila!" Bibir Naya kembali bersungut.
Serentak amarah gadis itu pecah, namun dia mencoba meredamnya saat melihat pria tidak punya hati itu pergi meninggalkan ruangan. Setidaknya dia bisa mengontrol kegilaannya dari meledak di ubun-ubun.
"Aku akan membalasmu, Brengsek!"
Kanaya berjuang bangkit dari kasur. Dia tidak ingin terus meratapi nasibnya. Keterpurukan yang diciptakan Arkana selama dua tahun sudah cukup menyiksa batin hingga muak rasanya.
"Aku tidak boleh lemah dan secepatnya harus kabur dari sini."
Ya, Ratu Kanaya akan membuktikan kalau dirinya bukan gadis bodoh seperti yang baru saja dikatakan Arkana. Hingga dia kembali merasa diperdaya oleh teriakan lantang pria itu dari balik pintu.
"Lekaslah bersiap! Malam ini juga kita harus meninggalkan penginapan karena besok kau harus berurusan dengan istriku di Kantor Polisi!"
"Terkutuk! Hei, aku bukan penjahat!"Kanaya semakin tersulut dan dalam amarah membludak. Dia meraih apa saja yang bisa diraih, lalu dengan brutal melempar ke lantai hingga menimbulkan bunyi benturan keras.Setelahnya, dengan wajah malas dan penuh air mata, Kanaya berganti pakaian seadanya, sebab dia tidak menemukan koper dan tas yang dibawa dari kota asal.Usai berdandan seadanya, gadis itu melangkah keluar dari penginapan. Tentunya setelah mendapat informasi dari resepsionis bahwa semua biaya penginapan sudah dibayar lunas oleh Arkana."Cepatlah! Aku tidak punya banyak waktu untuk mengurus wanita bodoh sepertimu." Terdengar suara berat Arkana menyeru dari balik kemudi mobil yang mesinnya sudah menyala.Kanaya sedikit tersentak, namun memilih untuk tetap tenang dan segera masuk, mengambil posisi duduk di sebelah Arkana."Aku juga tidak berharap diurus oleh bajingan sepertimu!" tegasnya galak dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Tunggu, aku kemari untuk bertemu dengan seseorang. Ah, ya. Ak
"Cepat keluar!" Arkana kembali mendesak, ketika Kanaya hanya bergeming.Diam-diam, Kanaya tengah berpikir. Jika menolak ikut dengan Arkana, maka dia harus rela beradaptasi dengan kutukan berikutnya di Pegunungan Rosellie menyeramkan ini.Apa itu tidak lebih membahayakan dirinya? Dia Juga tidak mengenal siapa-siapa di sini, bukan?"B-baiklah, aku ikut denganmu."Kanaya sangat membenci Arkana. Dia juga sangat takut melakukan perjalanan berdua dengan pria yang pernah menyakiti perasaannya apalagi sampai mengambil waktu di malam hari.Namun, dia tidak punya alasan untuk menolak. Sebab, selain desa ini begitu asing, identitas dirinya pun raib entah ke mana."Dan jika kau sampai membunuhku di tengah perjalanan, maka nanti rohku pun tidak akan tinggal diam!" ujar Kanaya pasrah dan dibalas oleh Arkana dengan tatapan tidak terbaca.Mengingat kemungkinan besar ada resiko lain yang bakal terjadi jika sampai dia tidak sengaja melanggar pantangan berikutnya, membuat bulu kuduk pemilik tubuh ideal
"Sepertinya kau sangat berharap tinggal bersamaku," sindir Arkana dengan pandangan remeh membuat Kanaya melengos tajam.Gadis itu menggeleng cepat diiringi seringai sinis yang tak kalah meremehkan."Bukan begitu, aku hanya tidak ingin menjadi perusak rumah tangga orang lain apalagi diriku juga sudah bersuami." Otak encernya masih terus bekerja. Dia tidak ingin menjadi yang paling tertindas dalam hubungan tidak sehat itu. "Jadi tolong biarkan aku pergi dari kehidupanmu," pintanya memelas.Arkana terdiam dengan dahi mengkerut tajam. Dua jarinya ikut naik memijit kening seperti sedang berpikir keras. Sementara Kanaya tidak ingin membuang kesempatan dan dia terus saja berbicara."Selangkah lagi kita akan memasuki area perkotaan. Itu artinya kita sudah keluar dari tanah Pegunungan Rosellie. Kita bisa membebaskan diri dari ikatan karma itu," ucapnya meyakinkan."Kau yakin bisa semudah itu?"Arkana masih menyatakan keraguan hatinya, sementara Kanaya sudah terlanjur yakin."Ah, anggap saja it
"Argh! Sakit." Ujung hidung Kanaya menangkap aroma yang paling tidak dia sukai sepanjang hidup. Aroma pembersih ruangan yang bercampur obat, juga pendingin ruangan.Saat dia berjuang untuk bangkit, sekujur tubuhnya terasa berat dan tidak bisa bergerak.Dia baru tersadar kalau beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya."Bagaimana aku bisa berada di sini?" gumamnya sembari mencoba mengingat sesuatu yang tertinggal.Tidak lama dari itu, kemunculan Arkana secara perlahan membantu menyegarkan proses memorinya."Syukurlah kau sudah sadar," ucap pria itu dengan tarikan napas lega.Jika Arkana tampak mulai bisa mengontrol emosinya dengan baik, justru tidak dengan Kanaya. Tubuh gadis itu terlihat sangat lemah, tetapi ekor matanya bisa terbaca dengan jelas bahwa dia merasa tidak nyaman saat mendapati kehadiran Arkana."K-kau di sini?" Baginya ini momen terburuk yang pernah ada. Dia tidak suka menjadi tidak berdaya di depan lelaki yang pernah menyakitin
"Hentikan omong kosongmu. Aku sudah mencari tahu semua tentangmu. Kau masih sama seperti dulu … Ratu Kanaya Rozana yang belum menikah."Mata Kanaya terbelalak dan merasa benar-benar diperdaya."T-tapi, Arkana. I-ini —" Ucapannya tercekat di tenggorokan.Bukannya Kanaya tidak peka, melainkan hanya berupaya menghindari apa yang menjadi penyesalannya selama ini.Jika bisa memilih, dia akan memilih tidak ada dalam peristiwa maut itu ketimbang kembali pada Arkana."Sudah, ya! Stop berdebat. Sewaktu-waktu nyawa kita bisa terancam oleh karma Rosellie, jadi lebih baik menurut saja. Daripada mempertaruhkan hidup, ada baiknya kita jalani peran suami istri ini, oke."Kanaya terdiam. Baginya ini sebuah petaka besar. Hidupnya sedang diambang kehancuran.Kenapa harus menikah dengan lelaki ini setelah dia melewati begitu banyak masalah yang merenggut semua kebahagiaannya? Sungguh perbuatan Arkana di masa lalu telah menghancurkan hidup dan kepercayaan dirinya."Bagaimana kalau aku menolak?""Aku akan
"Katakan, kenapa namamu bisa mirip dengan namaku, hmm?" Kanaya memasang ekspresi polos demi menyamai polah gemas Rozana. Berharap mendapat jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut, Kanaya pun ikut manggut-manggut seiring rentak suara si anak."Papa syuka nama Losyana."Jawaban yang semula Kanaya tunggu-tunggu, lantas terlontar dari bibir mungil sang batita cantik.Dia yang semula berdebar, berubah menjadi tertawa, gemas akan cara natural bocah itu menjawab pertanyaannya.“Ya, aku juga setuju. Rozana nama yang bagus.” Kanaya terkikik sendiri. Agaknya, Rozana cilik ini bisa menjadi teman akrabnya selama tinggal di sini.Saat sedang asyik bermain bersama, tiba-tiba langit berubah mendung. Tidak ingin anak asuhnya itu sakit, Kanaya lantas mengajak Rozana masuk, usai membereskan bekas makan bocah itu.Baru akan menggendong si batita, seseorang sudah berdiri dengan raut wajah yang begitu menyiratkan kemarahan."Apa kau mau membunuh anakku dengan memberinya makan di taman?!" teriak ketus seo
Kening Kanaya mengkerut tajam. Arkana melibatkan dirinya dalam pertemuan bersama Ibu dan neneknya, padahal mereka belum pernah bertemu sebelum ini. Ditambah statusnya saat itu, membuat Kanaya berpikir ekstra hati-hati."Bukankah itu pertanda bahaya?" Beberapa pertanyaan muncul di benak gadis cantik ini. Entah bagaimana Arkana memperlakukannya nanti. Apakah sama seperti dihadapan Bella atau justru memperkenalkan dirinya sebagai istri kedua yang merusak keharmonisan sebuah rumah tangga."Pergilah ke dapur dan bantu Bibi Viola." Arkana kembali memerintah sebelum pergi dari sana. Meski jengkel, Kanaya tetap menurutinya dengan langkah gontai menuju pintu belakang. Dia berjalan sambil memegangi dadanya. Tidak terpungkiri, statusnya di masa lalu bersama Arkana masih meninggalkan efek di hatinya—meski mungkin saat itu Arkana hanya setengah hati mencintainya."Ini sangat tidak bagus buat kesehatan jantung dan hatiku. Aku harus segera melepaskan diri dari kutukan itu. Apa pun caranya."Meliha
"Wah, rupanya ada tamu di rumah ini!" sapa Wanita tertua berperawakan mungil dalam rombongan keluarga Arkana, Emily Ananta.Dari balik kaca mata minus, sorot renta itu menelisik jeli penampilan Kanaya dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu lanjut berbicara, "Siapa yang menyediakan semua ini?"Kanaya terdiam dan nampak canggung. Viola terpaksa menjawab pertanyaannya."Nona Kanaya yang menyediakannya, Nyonya Besar."Emily mengangguk singkat, membawa suasana mendadak hening. Tak seorang pun di sekitarnya berani berbicara saat dia yang dipanggil nyonya besar itu menelisik setiap wadah hidangan sambil menyicipi rasa.Sementara Kanaya yang sudah mulai gugup, susah payah menelan ludah dan berjuang untuk terus mengangkat dagu agar tetap terlihat tenang meski pada kenyataan, hati kecilnya sedang tidak baik-baik saja.Detak jantung Kanaya berpacu lebih cepat dari biasa. Serasa ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi saat itu juga. Akan tetapi, suara renta tadi seolah menyeret pada kenyataan