Di pagi hari itu, setelah kekacauan yang menyerang rumah Anan dan Kinar secara dadakan. Terik matahari dari timur tetap bersinar seperti biasanya. Tidak ada alasan bagi matahari pagi untuk tidak melakukan tugasnya kecuali jika cuaca hujan datang tiba-tiba. Matahari juga sama seperti manusia pada umumnya yang menjalankan tugasnya dan memang selalu seperti itu.Reno bermain dengan Brandon. Kucing orange kesayangannya itu tidak pernah jauh-jauh dari Reno. Menempel bak perangko dan selalu mengikuti ke mana pun langkah Reno. Bocah berambut kribo itupun merasa senang saja saat diikuti. Dan saat Reno sedang mandi, Brandon dengan setianya menunggui di depan pintu kamar mandi.Jika melihat pemandangan seperti itu, rasanya menyenangkan, ‘kan? Anan secara tidak langsung terhibur. Bibirnya akan tertarik ke kanan dan ke kiri bak orang paling bahagia sedunia. Atau mungkin memang hidup selalu sederhana begitu. Hanya Anan saja yang terlalu tegang menghadapi cara kerjanya.“Kamu tidak menangis?” tanya
Siapapun kamu, sekalipun dunia tidak mengenalmu namun saat kamu menikahi seseorang yang mempunyai kuasa, percaya atau tidak, hidupmu akan berubah 360 derajat. Secara sepenuhnya, kamu memiliki kekuasaan yang tidak diberikan secara langsung. Yang jika kamu menggilai sebuah kehormatan, maka akan kamu pergunakan dengan semena-mena pemberian itu. Dunia dan cara kerjanya memang unik dan tidak bisa ditebak begitu saja. Kamu yang bukan apa-apa akan menjadi orang penting saat menikahi orang yang sangat penting. Seakan-akan dunia akan memandangmu.Kinar Dewi hanyalah seorang penulis novelis dengan genre romansa yang mengangkat tema paling banter di negeri ini yakni pernikahan. Di mana beberapa remaja dan orang dewasa percaya jika menikah itu adalah ide yang buruk. Menikah, mungkin bagian dari ibadah karena hal itu telah tertulis dalam setiap kitab yang ada di berbagai agama. Namun juga ada yang mengumpati soal pernikahan itu sendiri.“Buang-buang duwit.”Ada yang mengatakan begitu. Bagi pemuja
Hari ini Kinar menjadi pendengar yang baik. Tidak bisa dijabarkan secara penuh menjadi pendengar namun Kinar bisa menemukan ide untuk konflik barunya yang akan masuk ke dalam novelnya. Lumayan membantu, sih, dan Kinar harus berterima kasih kepada Teguh yang mau membuka pandangan perihal pernikahan.“Cukup membantu, Bu?” tanya Teguh saat melihat Kinar dengan wajahnya yang penuh binar terus menyunggingkan senyum di bibirnya. “Saya senang melihatnya. Jadi tidak sabar ingin membaca buku baru Ibu lagi.”“Penulisnya sudah ada di hadapan kamu bahkan menjadi istri dari atasan kamu. Yakin masih ingin membacanya? Setidaknya kamu harus muak karena selalu melihat saya. Bukan malah berniat ingin memeluk novel sampah ini.”Kinar menunjuk-nunjuk bab barunya yang ada di laptop membuat Teguh mendelik sebal. Pria itu berdecak tanpa rasa canggung dan Kinar mendengkus diakhiri dengan senyuman.“Tidak ada karya sampah kecuali mereka yang melakukan plagiat. Apa Ibu tahu jika novel-novel Ibu paling laris da
“Mau makan apa? Mau aku pesankan sesuatu?”Anan Pradipta baru selesai dari meetingnya. Di siang hari yang lumayan terik namun sesekali cuaca juga labil bak remaja yang terlambat dijemput pacarnya. Pria itu sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya entah apa sementara Kinar dengan nyaman menarikan jari-jarinya di atas keyboard laptopnya.“Soto. Aku mau soto,” jawab Kinar lama sampai Anan mengangkat kepalanya dari ponselnya. “Aku mau soto,” katanya sekali lagi.“Aku pesankan.” Kembali Anan memfokuskan matanya di layar ponsel namun urung saat Kinar berseru dengan kencang.“Tidak mau!” Kinar nyengir. “Soto paling enak makan ditempat. Jangan pesan apa pun! Kita makan di luar saja.”“Oke.” Anan tidak bisa melawan kehendak sang istri. Bukankah itu hal yang wajar? Apa namanya, ngidam, ya? Ah, iya, benar ngidam. Ternyata Kinar mulai memasuki fase mengidam dan Anan harus berusaha keras serta sigap untuk bisa menuruti apa saja yang menjadi kemauan sang istri. “Ini ngidam yang pertama, ‘kan? Kamu in
Ini pertama kalinya Anan melihat Kinar kalap dalam makan. Tidak biasanya istrinya itu bak raksasa kelaparan. Dua mangkuk soto tandas dalam waktu sekejap. Bukan soal nominal uang yang harus Anan keluarkan namun intinya ini cukup mencengangkan. Jika perkara nominal, Anan sanggup kok membeli warung soto yang ada di pojok jalan menuju pasar baru. Warungnya sederhana dan selalu ramai terutama di waktu pagi hari.“Coba ceritakan tentang Teguh,” pinta Kinar setelah membuat Anan bengong cukup lama. Istrinya itu baru saja memotong-motong tempe mendoan dan di masukkan ke dalam kuah sotonya lalu menyeruputnya dengan suara khas yang syahdu. “Aku melihatnya kalian amatlah dekat dan kamu seperti menaruh kepercayaan secara penuh kepada Teguh.”Anan berdeham dan meneguk teh hangatnya. Kinar masih menatapinya dengan saksama membuat Anan canggung dengan gerak-gerik mata yang gelisah. Bukan karena menyembunyikan sesuatu dari Kinar namun tebakan yang Kinar layangkan benar adanya. Anan tidak tahu jika ras
Zahra Amira merasa tidak tenang. Belum ada balasan dari email yang dikirimkannya untuk Anan. Pikiran Zahra bercabang dengan banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul.“Apa mungkin karena bukan urusan pekerjaan, email itu tidak mendapat respons?” Zahra bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Berjalan mondar-mandir bak setrikaan, Zahra gigiti kuku-kuku jari tangannya. Sesekali menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan dengan berat. “Tapi aku sudah menuliskan jika itu menyangkut urusan pekerjaan. Kenapa tidak ada balasan sama sekali, ya? Apa seperti ini rasanya mengagumi suami orang? Aduh, kenapa aku nekat sekali, ya?”Zahra mengutuki tindakannya yang ceroboh dan berniat menarik email yang telah dikirimkan untuk Anan. Namun baru saja mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesarannya, kedua mata Zahra berbinar dengan penuh cahaya. Ada email baru di kotak masuknya dan itu dari Anan.“Oh tentu saja boleh. Kamu bisa melampirkan fail dokumen di sini untuk saya pelajari.”Tidak terbilang s
Hujan selalu datang tanpa bisa di duga-duga. Kenapa? Mendung saja belum bisa menentukan akan hadirnya hujan. Terkadang cuaca terik pun bisa mendadak hujan. Maka dari itu, ada beberapa orang yang menyukai hujan namun tidak sedikit yang mengumpatinya. Dikatai tidak bersyukur, mereka adalah pemain handal yang mempunyai jawaban.“Cucianku belum kering.”“Jalanan menjadi basah. Di mana-mana banjir.”“Aku kesusahan saat akan berangkat kerja.”“Hujan datangnya tidak tepat waktu. Menyebalkan!”Gerutuan, omelan dan umpatan semacam itu sudah biasa terjadi. Sedangkan kita tidak bisa mencegahnya untuk turun membasahi bumi. Itu, ‘kan takdir Tuhan. Anugerah dari langit. Kita protes pun tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula atau hujan akan berhenti detik itu juga. Jadi lebih baik jangan menjadi konyol dengan kuasa Tuhan.Namun lain halnya dengan Kinar. Punya kenangan buruk dengan hujan, Kinar secara perlahan mencoba berdamai dengan masa lalunya. Pernah kehilangan kedua orang tuanya di bawa
Setelah obrolan subuh buta itu, baik Anan maupun Kinar tetap bersikap biasa saja seolah tidak ada yang terjadi. Lagi pula, dalam sebuah hubungan bersikap saling terbukan bukanlah hal yang aneh. Kinar Dewi meski terlihat keras kepala, nyatanya ada sisi lembut di dalam hatinya yang memendam perasaan sakit akibat kejadian masa lalu di hidupnya. Sama halnya dengan Anan yang menutup rapat-rapat jati dirinya dan hanya mengatakan semuanya kepada Kinar.“Kenapa harus berpakaian santai seperti ini?” tanya Anan yang tidak mengerti kenapa Kinar menyuruhnya mengenakan pakaian olahraganya. Ini bukan gaya Anan sama sekali ketika hendak pergi ke kantor. “Aku juga harus ke kantor. Tidak mungkin menyempatkan diri untuk berganti pakaian dulu.”“Ini masih terlalu pagi untuk kamu membuang-buang tenaga. Kenapa harus mengenakan pakaian ini?” Kinar menepuki bagian pundak Anan dengan pelan dan tersenyum manis. “Bukankah kamu hanya perlu mengenakannya saja? Diam!” perintah Kinar tegas. “Ini pagi hari yang men