"Aku harus kemana?" Vea berada di jalanan. Dia tidak tahu arah dan tujuan mau kemana untuk menjadi tempat tinggalnya. "Vea, sekarang kamu sendirian. Kamu mau tinggal di mana lagi? Oh, sekarang aku tau mau tinggal di mana." Vea sudah tahu mau kemana dirinya untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, setidaknya bisa menjadi tempat tinggalnya. Dirinya masih bekerja juga, jadi masih mampu membayar sewanya. Bergegas Vea pergi ke kontrakan yang sudah dibayarnya selama satu bulan itu, dia belum memberikan kunci pada pemiliknya ketika pulang ke rumah Wiliam. Sampai di kontrakan, Vea membuka pintu kontrakan, beruntung Vea tidak memutuskan pergi dari kontrakan pada malam itu karena Ibu kontrakannya tidak ada di sana. "Aku hanya punya kontrakan ini, tapi setidaknya aku mampu untuk hidup di atas kaki aku sendiri, pekerjaan aku juga cukup untuk membayar sewa bulan berikutnya. Untuk makan dan lainnya, semoga Wiliam segera menceraikan aku agar terbebas dari beban menjadi istrinya." Vea
Vea mengusir Wiliam dari sana, padahal semua orang di sana pada tahu siapa Wiliam, cuma Vea yang berani melakukan itu pada suaminya. "Pergi dari sini!" Wiliam tidak mengerti kenapa Vea begitu keras kepala ingin mengusirnya seperti itu. Di sana juga kedatangan seseorang yang mencengangkan mereka. "Vea!" Keduanya melihat dari belakang, ternyata Silvi datang dengan sendirinya untuk bicara sama mereka berdua. "Silvi, untuk apa kamu datang lagi? Oh, aku tau pasti kamu mau mengacaukan pekerjaan aku lagi seperti kemarin kan? Sekarang aku minta kamu pergi sama Wiliam juga, aku sedang bekerja, tolong jangan ganggu aku." Vea mengusir keduanya, karena memang Silvi termasuk sumber masalah hidupnya yang begitu berat. "Vea, Mas Wiliam. Aku mau bicara sama kalian berdua, kita bisa bicara bertiga?" Silvi harus berbicara pada mereka berdua untuk menyelesaikan semua masalah yang ada, terlebih dirinya yang memulai karena menutupi semuanya dari suaminya. "Untuk apa kamu bicara sama
Wiliam membawa pergi Silvi dari tempat kerja Vea yang masih ramai dengan mobil-mobil berdatangan. "Kenapa kamu halangi aku untuk membujuk Vea, Mas? Kamu juga akan menikmati hasilnya. Vea tidak boleh meminta pisah begitu saja, kamu cari cara Mas supaya Vea tidak pergi dari hidup kita." Silvi masih terus bicara di saat Wiliam masih terus mengendarai mobilnya, terlihat Silvi membawa sesuatu di tangannya. "Sudahlah Silvi. Kamu tidak akan bisa merubah keputusan Vea, kita tau sendiri dia jauh lebih keras daripada kamu, umurnya terlalu jauh sama kita semua. Kalau kamu mau dia kembali, perlu ketenangan." Wiliam melirik ke arah Silvi yang sudah berusaha untuk meraih kepercayaan Vea lagi, semua itu sudah cukup membuktikan kalau Silvi telah berubah jauh lebih baik lagi. "Maksudnya kamu mau mendapatkan hati Vea dengan cara yang kamu miliki Mas?" "Benar. Kamu tau selama ini aku selalu menggunakan kata-kata keras dan kasar setiap berurusan sama orang, tapi kalau sama Vea jangan. Kita bisa
Silvi hanya diam melihat jawaban dari ayah kandung Via yang selama ini diharapakan oleh madunya itu, ternyata memang ayahnya tidak pantas disebut orang tua oleh wanita setangguh Vea. "Kalau begitu baik, permisi." Silvi masuk lagi ke dalam mobil meninggalkan ayahnya Vea yang masih mencoba meminta bantuan mobil yang ada di sana. Wiliam dan Silvi sekarang saling pandang dengan cara ayahnya Vea memperlakukan mereka. "Kamu jangan heran dengan Ayahnya. Kita bisa langsung membantu tanpa terlihat olehnya." Wiliam akan membantu Aziz walaupun sudah diperlakukan tidak baik tadi, dengan cara yang dia punya bersama Silvi harus tetap membantu mereka. "Aku punya ide Mas. Kamu tunggu dulu aku mau mengirimkan pesan pada seseorang." Silvi mengirim pesan pada teman arisannya untuk segera datang menuju jalanan yang ada keluarga Vea. "Kamu mau apa?" Wiliam melihat Silvi begitu sibuk dengan ponselnya. "Sedang mengirimkan pesan sama temanku, biar mereka membantu keluarga Vea, aku rasa mereka t
Vea keluar dari kosannya sore hari, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu dirinya di sana dengan duduk di depan mobilnya sendiri. "Wiliam! Untuk apa kamu di sini?" Mata Vea terlihat tidak percaya kalau ada Wiliam datang ke kosannya lagi, dan terlihat sekarang Wiliam berjalan mendekati dirinya. "Ikut aku, Vea!" "Mau kemana?" "Bertemu orang tuamu, aku mau memberikan semuanya yang pernah aku ambil dari mereka, kamu mau bersatu lagi sama mereka kan?" Vea menganggukkan kepala tidak berkata-kata lagi, dia mau mengikuti Wiliam kalau tujuannya baik untuk mengembalikan hak keluarganya yang dirampas paksa oleh Wiliam, semoga dengan begitu keluarganya mau menerimanya. "Vea," panggilnya saat masih mengendarai mobil. "Iya, Wiliam." "Jangan berharap banyak sama kedua orang tuamu apalagi Ayahmu, aku tidak mau kamu sakit hati." "Aku percaya Ayahku akan berubah lebih baik lagi setelah kamu kembalikan semuanya." "Semoga." Rasa percaya diri Vea membuat Wiliam takut tidak bisa mewuju
Di dalam kosan mereka berdua melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan seorang pasangan suami dan istri. Vea tidak memungkiri hatinya masih selalu berharap Wiliam menjadi satu-satunya imam yang akan membuatnya bahagia. "Vea, kamu akan bekerja setelah di kosan sudah capek melayani aku?" "Iya, aku harus tetap mencari uang." Vea berdiri segera membersihkan badannya, dia tidak mau bergantung pada Wiliam walaupun suaminya kaya raya. "Wiliam, aku pergi kerja dulu, kamu pulanglah kalau tidak betah ada di sini." Wanita itu mengambil handuk untuk mandi dan pakaian kerjanya yang sudah siap untuk digunakan. "Wanita selalu saja membuat pria menunggu lama, tapi kenapa pria mau menunggu demi wanitanya? Entahlah." Wiliam berbicara sendiri merapihkan dirinya yang kotor di sana karena banyak melakukan permainannya, belum lagi dia menendang gelas yang ada isi air putih bekas minum istrinya. "Kosan ini terlalu sempit sampai-sampai aku sendiri tidak bisa bergerak bebas!" Pria itu men
Dari sudut manapun Vea memang terlihat muda dibandingkan mereka bertiga, tetapi Vea memiliki sisi dewasa yang cukup membuat Wiliam kagum padanya. "Vea, kamu sekarang sangat dewasa, aku menyukai sifatmu yang seperti ini, kamu juga memaafkan orang-orang yang menyakiti kamu dengan mudah. Mungkin aku tidak akan bisa seperti kamu," katanya dalam hati Wiliam. Sungguh membahagiakan untuk Cici sendiri yang sudah mendapatkan maaf dari Vea, dan Silvi maupun Ria mereka telah mengubah pandangnya bersama-sama untuk membangun rumah tangga yang bahagia. "Kami janji tidak akan membuatmu sengsara di rumah lagi. Kamu memiliki hak sepenuhnya untuk mencintai Mas Wiliam." Sepenuhnya hati Vea selalu mencintai suaminya. Dia tidak mungkin mudah melupakan Wiliam walaupun begitu banyak pria yang mendekatinya. Cici yang dari tadi bicara diberikan minum oleh Vea yang membawa bekal minuman yang masih baru. "Minumlah Ci, kamu pasti haus karena berdiri lama di depan pintu. Aku takut kamu kekurangan caira
Vea terlihat malu-malu saat semua orang di sana tertawa melihatnya, begitu juga Wiliam yang menggodanya dengan tawa yang menggelegar. "Haha, kamu ini kenapa sayang? Jangan bilang kamu sedang memikirkan aku yang ganteng ini? Hayo kamu harus mengakuinya." Wiliam akan mendengarkan kejujuran Vea kalau memang Vea memikirkan dirinya sampai tidak fokus seperti tadi. "Eh, jangan begitu ya, bicaranya. Tadi itu aku mengira kamu masih pegang tangan aku, dan aku tidak memikirkan kamu seperti itu." "Seperti apa?" Wiliam semakin penasaran dengan apa yang dipikirkan oleh Vea, dia mau terus menggoda istrinya itu untuk berkata jujur. "Sudah, aku mau bekerja lagi, kalian pulang saja nanti aku akan pulang." "Serius kamu mau pulang?" "Iya, aku mau." Wiliam mengangkat tubuh mungil Vea setinggi mungkin, Silvi, Ria dan Cici melihat keduanya sudah mulai membaik dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. "Terima kasih sayangku, akhirnya kamu mau pulang ke rumah kita bersama-sama, kita akan be
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki