Wiliam sudah menghubungi Ria dan Cici yang ternyata pulang lebih dulu. Vea ada di sampingnya mempertanyakan kenapa Cici dan Ria tidak ada di sana. "Gimana Wiliam, di mana mereka berdua?" Baru Wiliam memasukkan ponsel ke dalam saku kemejanya, ternyata Vea sudah bertanya di mana kedua istrinya. "Mereka sudah ada di dalam taksi, katanya mau pulang lebih dulu karena sedikit pusing kepala Cici," jawab Wiliam. Vea merasakan kelegaan karena mereka berdua bisa berkabar dengan Wiliam. Vea mengira keduanya bermain di pantai kembali. "Syukurlah mereka pulang, kita segera pulang. Aku juga akan pusing kalau terlalu lama di sini." Wiliam memegang tangan Vea, pria itu berjalan menuju parkiran untuk memenuhi permintaan istrinya. "Kita pulang sekarang, tapi kamu harus makan dulu di dalam mobil, tadi aku sudah memesan makanan untuk kamu, jadi kamu tinggal makan di dalam mobil dan suapi aku sedikit." Vea masih tidak percaya kalau Wiliam begitu perhatian sampai membelikan makanan den
Wiliam dan Vea sudah sampai di rumah sakit, mereka belum mendapatkan kabar baik tentang perkembangan Silvi, akhirnya Wiliam memutuskan untuk pulang kembali mengajak Vea. "Kita pulang," kata Wiliam menggandeng tangan Vea dengan erat. Terlihat Vea tersenyum lebar Wiliam memperlakukannya dengan baik, terutama saat berjalan sampai parkiran mobil, tangan Wiliam tidak pernah melepaskan tangannya. "Kamu besok bisa langsung bekerja lagi di tempat kemarin, apa kamu siap?" Tiba-tiba Wiliam membicarakan soal pekerjaan membuat Vea langsung bersemangat. "Kerja? Di tempat kemarin kan aku sudah berhenti," balas Vea belum tahu maksud Wiliam. Wiliam segera mengendarai mobilnya, sudah beberapa kali pria itu selalu berkendara sendiri tanpa adanya supir karena Silvi yang selama ini bisa menjadi supir pribadinya. "Benar, kamu bisa langsung masuk lagi ke tempat kemarin, aku yang mengusahakan kamu tetap ada di sana tanpa lamaran lagi, jangan telat dan buat malu nama besar aku," kata Wiliam meli
Malam hari yang panjang membuat keduanya semakin dekat, tetapi Vea dan Wiliam tidak tidur di dalam kamar karena mereka memutuskan untuk menonton film di televisi. Pada pukul lima pagi Wiliam terbangun karena alarmnya berbunyi terus di handphone. Terlihat jika Vea masih tidur di dekatnya. "Wanita ini kalau tidur sangat polos, aku harap kamu bisa bahagia bersama dengan aku. Kita bisa hidup bahagia." Diangkatnya tubuh Vea menuju kamar wanita itu, Wiliam masih memiliki waktu untuk membuat Vea tidur dengan nyaman karena jam kerja wanita itu masih tiga jam lagi. Saat Wiliam menaruh tubuh Vea di atas tempat tidur, ternyata mata wanita itu terbangun. "Wiliam, kenapa kamu ada di sini?" Vea bangun dengan kepalanya yang sedikit pusing dikarenakan dia kurang tidur, Wiliam sendiri sudah terbiasa hidup seperti itu setiap harinya untuk menghabiskan waktu di pekerjaannya. "Tadi malam kita menonton film dan kamu tidur di sofa, aku hanya ingin memindahkan kamu ke tempat tidurmu," jawabnya.
"Turunlah Vea." Vea turun lebih dulu dibandingkan Wiliam yang masih harus merapihkan lebih dulu jasnya, dia melihat wajah istrinya yang gugup karena baru pertama kalinya masuk kerja lagi. "Wiliam, apa aku benar boleh langsung masuk kerja tanpa melamar seperti biasanya? Jangan-jangan kamu bohong sama aku dan bikin aku malu." Vea masih belum percaya dengan suaminya yang dapat memasukkan melalui orang dalam yang ada di sana. "Tenang saja Vea. Kamu jangan khawatirkan pikiran kamu mengenai benar atau tidak, yang penting kamu masuk dana bekerja kembali, aku akan bekerja juga, nanti sore aku jemput kamu, aku sudah bilang kalau kamu tidak boleh pindah jam kerja malam karena aku akan menjemput kamu selesai aku bekerja." Wiliam seperti memiliki kuasa di tempat Vea bekerja, padahal Vea tahu betul Wiliam bukan siapa-siapa di sana, yang tidak Vea ketahui adalah Wiliam memiliki beberapa hektar tanah dan lahan di sekitar market di mana dirinya bekerja, Wiliam bisa melakukan apa saja untuk men
Vea pulang dengan kendaraan umum dalam rasa kesalnya terhadap Wiliam. Tidak mungkin pria seperti Wiliam melupakan janjinya, tetapi kali ini Vea marah pada suaminya itu. "Sudah berjanji tapi malah ingkar sendiri, lihat apa yang akan aku lakukan sama kamu Wiliam. Aku mungkin akan diamkan kamu agar kamu tidak mendapatkan jatah malam ini." Wanita itu sudah ada di depan rumah saat membuka pintu mobil taksi, ada Ria yang menyambut Wiliam baru sampai di depan rumah. "Itu dia orangnya!" Vea ingin melabrak terang-terangan pada suaminya yang sudah mengingkari janjinya, selama ini Vea juga sudah berusaha menjadi istri yang baik. "Wiliam! Kamu datang di jam yang sama seperti aku, dari mana saja kamu baru datang tanpa menjemput aku dulu? Kamu tidak lupa kan sama janji kamu?" Wiliam menaruh jasnya di tangan Ria yang menyambutnya, dia juga melupakan janjinya pada Ria untuk memberikan hadiah malam ini. "Benar Mas, katanya kamu mau memberikan aku hadiah seperti Cici, mana hadiah untuk aku?
Cici masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa menuju kamar Ria, ternyata benar kalau Ria ada di dalam dengan pintu yang terkunci, beruntung Cici memiliki kunci cadangan kamar Ria. "Kak Ria?" Suara Cici membangunkan Ria yang dari tadi meringkuk di pantai, tentu dengan air mata yang tidak berhenti berjam-jam. "Cici, aku di dalam, kamu tolong buka pintunya." Cici membuka pintu kamar, dia melihat Ria yang begitu lemah berdiri di depannya, semua dandanan Ria sekarang berantakan termasuk makeup-nya. "Cici, akhirnya kamu datang juga, andaikan kamu tau malam ini Mas Wiliam begitu menyeramkan padaku, tapi dia sekarang bermain sama Vea, kamu denger sendiri suara mereka masih menggelegar di telinga." Ria hampir mau menutup telinganya, tetapi dia takut kalau Cici datang nanti tidak bisa mendengarnya. "Sabar Kak Ria, Mas Wiliam memang sedang naik turun emosinya, Kak Ria tau kalau Kak Silvi masih dirawat, aku yakin penyebabnya Kak Silvi yang membuat emosi Mas Wiliam meledak pada Kak Ria.
"Ada apa sama kamu Kak Ria, jangan bilang begitu sama Vea, dia baru ajaa datang mau sarapan." Cici melarang Ria berkata yang tidak baik di sana, karena mereka sedang menyantap makanan. Tidak dengan Ria yang semakin marah pada Vea. "Jangan ikut campur Cici! Kamu biarkan Vea duduk di sini tanpa mandi terlebih dahulu? Ingat peraturan kebersihan di rumah ini bukan? Mas Wiliam yang mengaturnya, aku sebagai istri tertua yang ada di sini mau semua maduku menuruti peraturan yang ada." Ria semakin angkuh saat Silvi tidak ada di rumah itu, benar jika dirinya sekarang menjadi istri tertua Wiliam sampai Silvi sadarkan diri dari komanya. "Cukup Ci, biarkan aku pergi mandi dulu, apa yang dikatakan Ria ada benarnya. Kita harus mematuhi aturan Wiliam." Sekarang Vea berdiri bergerak meninggalkan meja makan tidak melupakan dirinya membawa roti panggang yang dibuatkan Cici. "Kamu bisa lihat sendiri apa yang dia lakukan itu tidak ada di daftar kehidupan rumah tangga Mas Wiliam. Kamu harusnya jan
Setelah makan ada telepon masuk yang menghubungi Wiliam. Ternyata masih menyangkut pekerjaan yang sangat penting dikarenakan tidak ada pemimpin di sana. Saat Wiliam selesai menerima teleponnya, Vea sudah mendengar dari dekat apa yang bicarakan Wiliam. "Pergilah bekerja Wiliam. Biarkan aku yang akan menjaga Silvi di sini, kamu jangan libatkan masalah pribadi dengan pekerjaan, nanti seluruh karyawanmu akan kehilangan mata pencaharian mereka." Vea berdiri sudah meletakkan makanan yang hampir habis itu, Wiliam tidak bisa lagi menemani Vea di sini. "Kalau begitu aku berangkat dulu, kamu tau selama ini Silvi yang membantu aku, tapi Silvi sedang koma dan aku harus tetap ada di sana, kalau ada apa-apa hubungi aku, jangan sembunyikan apa pun dariku." Wiliam beranjak dari sana meninggalkan rumah sakit, Vea sendirian menjaga Silvi yang masih terbaring di ruangannya. "Silvi, kamu lihat kan tadi Wiliam datang sampai melupakan pekerjaan yang dia jalani untuk bisa menjaga kamu, seharusnya ka
["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa
"Angkat Mas!" Silvi mau suaminya mengangkat panggilan masuk dari rumah sakit tersebut karena mau tahu kabar terbaru Vea. "Baiklah," ucap Wiliam. ["Hello, selamat malam, bisa bicara dengan Bapak Wiliam?"] ["Benar, ini dengan saya sendiri, ada apa ya? Apa ini ada hubungannya dengan kondisi pasien bernama Vea?"] ["Benar Bapak. Pasien sudah sadarkan diri, dia mau suami dan keluarganya datang, apa bisa sekarang ke rumah sakit karena ini permintaan pasien sendiri."] ["Bisa-bisa, terima kasih sudah memberitahukan Informasi ini kepada saya."] ["Sama-sama."] Wiliam menutup panggilan tersebut dan melihat ke arah ketiga istrinya dengan wajah yang bahagia. "Kalian harus ke rumah sakit sekarang," ucap Wiliam. "Ada apa dengan Vea, Mas?" Ria semakin penasaran dengan apa yang didapatkan suaminya, apalagi wajah suaminya berubah ceria. "Vea sudah sadarkan diri. Dia mau kita semua ke rumah sakit, tapi Vea juga mau keluarganya datang, aku akan memberitahukan ini pada Tuan Aziz." "Kalau
"Cici!" Silvi berteriak dari luar kaca mobil milik madunya itu. Ada Ria juga yang berusaha membantu untuk mengetuk beberapa kali tetapi Cici tidak juga membukakan pintu mobilnya. "Sepertinya Cici pingsan, Ria." "Benar, Kak Silvi. Mata Cici tidak bangun juga saat kita ketuk-ketuk kaca mobilnya, apa Cici sakit?" "Entahlah, kita harus segera menolongnya, tapi gimana caranya membuka mobil ini sedangkan kuncinya ada di dalam?" Silvi kebingungan begitu juga Ria. Silvi menghubungi Wiliam yang ada di rumah sakit karena Cici belum juga sadarkan dirinya. "Aku akan hubungi Mas Wiliam dulu, kamu jaga Cici." "Kak Silvi, sebaiknya jangan hubungi Mas Wiliam, seperti yang kita tau kalau Mas Wiliam masih mengurus Vea, aku yakin Cici tidak akan lama pingsan di dalam, kita harus menunggu sampai beberapa menit membiarkan Cici sadarkan diri dengan sendirinya." Apa yang dikatakan Ria ada benarnya karena suami mereka tidak mau diganggu oleh siapapun saat sedih atau sibuk, dia mengerti suaminya sen
"Iya, tadi aku mengikuti kamu, ternyata kamu ke tempat kerja Vea, lihat tempat kerja Vea banyak polisi, ada apa?" Cici menggelengkan kepala, dia juga belum tau apa yang terjadi di tempat itu, tetapi dia akan menceritakan kenapa dirinya ada di sana. "Aku bermimpi Vea pergi jauh, jadi aku datang ke tempat ini. Entahlah ada apa di sini, sebaiknya kita tanya langsung ke polisi." Ria memberanikan diri bertanya sendiri sedangkan Cici masih di tempat tadi yang dekat dengan mobilnya. "Gimana Kak Ria?" "Jadi Vea dibawa ke rumah sakit karena korban menusukkan penjahat yang hampir merampok tempat ini, katanya sudah ada pria dan wanita yang menolongnya." "Jangan-jangan itu Mas Wiliam sama Kak Silvi!" "Kamu benar, kita harus ke rumah sakit sekarang. Aku sudah tau nama rumah sakitnya, kita harus memastikan mereka baik-baik saja." "Iya, Kak Ria." Cici masuk ke dalam mobilnya sendiri, begitu juga Ria yang masuk dan mengendarai di depan mobil Cici yang belum tau tempat rumah sakitnya. "Ki