“S-siapa....” Chalista menegang ketika melihat siluet seorang yang tertimpa cahaya bulan di pojok kamarnya. Suaranya gemetar tanpa bisa ditahan.
Wanita berusia 23 tahun itu baru saja pulang dari Indonesia malam ini dan langsung masuk ke dalam kamarnya di lantai 3 untuk merebahkan diri. Ia tidak peduli dengan lampu kamar yang tidak mau menyala.
Namun, apa yang ada di kamarnya itu? Hantu? Atau pencuri?
Ting!
Chalista semakin menegang ketika mendengar suara dentingan gelas, atau botol? Yang jelas, itu suara benda terbuat dari kaca. Napas berat seseorang pun terdengar samar-samar.
Dengan gerakan cepat, Chalista hendak berlari keluar ruangan dan berteriak sekencang mungkin, tapi dirinya terlambat. Sosok itu, yang diketahui Chalista sebagai seorang pria, sudah menarik tangannya lebih dulu.
“Tol—"
Brak!
“AKHH!!!”
Pria itu menghimpit Chalista tepat di ambang pintu hingga pintu itu tertutup rapat kembali. Napas gadis itu menjadi tidak teratur dan jantungnya hampir copot.
“Akhirnya kamu datang, Sayangku.” Suara serak pria itu, yang bercampur dengan aroma alkohol yang menyengat, membuat Chalista membeku.
Chalista sangat mengenal suara itu, suara yang sudah 3 tahun tidak dia dengar karena harus ke Amerika untuk menempuh pendidikannya.
“K-Kak Rafael…,” lirih Chalista dengan suara yang sangat pelan.
Sungguh, Chalista tidak bisa mencerna keadaan ini.
Kenapa kakak angkatnya itu bisa ada di kamarnya? Bukankah ia sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahannya?
Napas panas Rafael mulai menyentuh leher Chalista dan ujung bibirnya memberikan kecupan singkat di sana.
“Lepas--”
Belum sempat Chalista menyelesaikan ucapannya, Rafael sudah menarik tangannya lagi dan melemparnya ke kasur.
“KAK!! Apa yang kamu lakukan?!” pekik gadis itu ketika Rafael mulai menindihnya.
‘Nggak! Kita nggak boleh melakukan ini!’ Chalista sudah memberontak, berteriak, dan berusaha menyadarkan Rafael dengan segala cara, tapi pria itu tidak mau berhenti.
Rumahnya yang sepi karena mama dan papa angkatnya masih berada di Solo untuk perjalanan bisnis, menjadi saksi bisu tangis Chalista malam itu.
***
“Chalista! Astag—”
Mata Chalista refleks terbuka saat mendengar suara berat Rafael memanggil namanya. Gadis itu pun langsung duduk di kasur sambil memeluk selimut erat-erat.
Dalam keadaan kamar yang sudah terang karena sinar matahari itu, Chalista akhirnya menyadari kalau ini adalah kamar Rafael. Bukan kamarnya. Namun, bayangan malam tadi masih menyisakan rasa sakit untuk Chalista.
Di hadapannya, Rafael menatapnya dengan wajah pucat dan terkejut. “Kamu….”
Rafael melirik dirinya sendiri, lalu ke arah Calista yang masih memeluk selimut. Pria itu menggeram pelan sambil menyugar rambutnya. Ekspresinya terlihat marah, dan Chalista juga mendengar pria itu mengumpat pelan.
“Sial!”
Air mata mulai turun membasahi pipi Chalista setelah mendengar kata itu. Gadis malang itu menangis terisak-isak karena pikirannya kembali ke kejadian kemarin.
Chalista awalnya berharap, kepulangannya ke Indonesia disambut dengan suasana hangat keluarga angkatnya. Namun, malah mendapat pengalaman pahit ini. Terlebih dengan Rafael, kakak angkatnya sendiri.
Chalista adalah seorang anak yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Adijaya semenjak dia berumur 15 tahun. Namun, sebagai kakak angkatnya, Rafael terlihat sangat dingin, dan tak pernah menunjukkan ketertarikannya terhadap Chalista.
Itu mungkin yang membuat ayahnya menyuruh Chalista kuliah di luar negeri. Yaitu supaya Chalista tidak mengganggu karier dan percintaan Rafael.
Dan kejadian semalam menjadi trauma besar untuk Chalista, dan ia semakin yakin kalau Rafael memang membencinya.
“K-Kak Rafael jahat!” ucap Chalista dengan suara bergetar. Gadis itu hanya duduk di ujung kasur sambil memeluk selimut dan menenggelamkan kepalanya.
Rafael tidak menjawab, hanya meremas rambutnya sendiri sambil menggeram, terdengar sangat emosi.
Rafael pasti kesal dan merasa jijik dengan Chalista. Dua hari lagi, ia akan menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya. Pernikahan mereka pasti terancam batal kalau tunangannya tahu apa yang terjadi malam tadi.
Dan yang lebih parah, kerja sama bisnis kedua keluarga akan hancur gara-gara Chalista.
“Aku akan bertanggung jawab,” ucap Rafael tegas.
Seketika, Chalista berhenti menangis dan menatap Rafael dengan matanya yang memerah. “Tanggung jawab? Apa maksudmu, Kak? Kamu mau menikah dua hari lagi, dan aku adalah adikmu, jadi apa maksudmu bertanggung jawab?!” pekik Chalista.
Rafael tidak menjawab, mungkin bingung harus menjawab apa karena ucapan Chalista 100 persen benar. Melihat ekspresi kakak angkatnya itu, hati Chalista semakin diremas. Hancur sudah hidupnya.
Tok! Tok!
“Rafa, kamu udah bangun, Nak?” tiba-tiba terdengar suara mama angkatnya dari luar kamar. Sontak, keduanya langsung menahan napas.
Jantung Chalista berdetak semakin cepat. Padahal semalam keadaan rumah masih sangat sepi, dan pelayan mengatakan kalau orang tua angkatnya baru pulang besok sore.
Rasa takut mendominasi Chalista sekarang, hingga membuatnya meremas selimut lebih erat. Sungguh, ia tidak tahu harus berbuat apa, selain menangis karena ketakutan.
‘Apa yang harus kulakukan….’
“Raf, kamu di dalem, kan? Udah siang, bangun!” mamanya kembali memanggil dari balik pintu. “Kamu harus fitting baju sama Monika hari ini, inget kan?”Rafael menoleh ke arah Chalista sejenak.“Kamu tunggu dulu, jangan ke mana-mana,” Rafael berucap sambil memakai bajunya yang berserakan di lantai. “Kita akan membahas ini lagi setelah aku mengurus Mama. Aku janji.”Saat Rafael berjalan menuju pintu, saat itulah Chalista melihat noda darah di kasur berseprai abu-abu milik Rafael. Itu… darah keperawanannya.‘Aku benar-benar sudah dinodai kakak angkatku sendiri… terlebih dia yang memaksaku.’ Chalista menutup mulutnya sambil terisak, khawatir sang mama mendengar suaranya dari luar.“KAMU MABUK LAGI, IYA KAN?!” suara bentakan khas Mayang, mama tirinya terdengar sampai ke dalam kamar. “Sudah berapa kali Mama bilang, berhenti melakukan kebiasaan buruk kamu itu!”Calista kembali menegang, takut tiba-tiba wanita paruh baya itu menerobos masuk ke dalam. Namun, mendengar suara tenang Rafael setelah
Dua hari berlalu.Hari ini adalah pernikahan Rafael, tapi pria itu tak mengatakan apa pun semenjak kejadian itu. Chalista juga selalu menghindar ketika Mayang menyuruhnya untuk kumpul dengan alasan jet lag.Setelah semua anggota keluarga siap, mereka pun berangkat ke hotel tempat acara berlangsung. Untungnya, Chalista tidak perlu semobil dengan Rafael. Jadi, ia tidak perlu pura-pura melupakan kejadian malam itu.Chalista tak tau bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya hari ini. Semuanya terasa campur aduk, entah sedih, kecewa, atau bahagia.Prosesi pernikahan berjalan lancar. Rafael sekarang resmi menjadi suami Monika Wardana, putri cantik dari keluarga konglomerat itu. Setelah acara resepsi tersebut, kedua keluarga memutuskan untuk makan malam yang lebih private. Dan sekarang di sinilah Chalista, duduk dengan perasaan terpaksa di seberang Rafael dan Monika, yang tampak seperti raja dan ratu malam itu.‘Bagaimana bisa aku menggantikan Kak Monika yang elegan itu?’ lirih Chalista d
Setelah makan malam yang sangat menguras tenaga itu, Chalista langsung bergegas menuju ke kamar hotel yang telah di pesan untuknya. Dia bersumpah tidak akan ikut lagi jika ada acara keluarga seperti itu. Namun, saat Chalista hendak membuka pintu kamar hotelnya, sebuah suara berat dari pria membuatnya berhenti. “Chalista!”Gadis itu langsung berbalik badan saat suara berat yang agak serak itu memanggilnya. Ia melihat papa angkatnya datang dari arah berlawanan. Bukankah tadi dia di bawah?“Iya, Pa?” jawab Chalista sambil tersenyum, sebisa mungkin menyembunyikan kekhawatirannya.“Ikut saya,” titah Abimanyu tanpa menunggu jawaban Chalista.Pria paruh baya itu langsung berjalan mendahului Chalista, ke sebuah kamar hotel suite yang ada di lantai yang sama. Seorang sekretaris pria menunggu di belakang Chalista, seolah memperingatkannya untuk tidak kabur.Wanita itu meremas ujung kebaya yang dia pakai karena tegang. Ini akan menjadi kali pertamanya dia berbicara dengan papa angkatnya setel
Chalista terkesiap karena tiba-tiba pria itu berbicara santai dengannya.“Saya baik,” jawab Chalista cepat, berusaha tidak terpengaruh.“Kamu tidak perlu berbicara formal denganku jika hanya ada kita berdua,” titah Rafael.“Tidak bisa, Pak. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya? Itu pasti akan terdengar tidak sopan.” Chalista masih mempertahankan sikap profesionalnya.Terdengar Rafael mendengus, tapi tidak menanggapi jawaban Chalista tersebut. Pria itu malah melempar pandangan ke laptop di depannya.Aura yang dipancarkan Rafael sangat dominan hingga membuat Chalista merasa terancam. Sejak dulu, Rafael memang sudah dipersiapkan menjadi CEO di perusahaan Adijaya. Namun, kini adalah kali pertamanya Chalista melihat sendiri aura pemimpin yang dipancarkan Rafael.Keheningan ini membuat Chalista canggung. Rafael tidak berbicara lagi setelah itu. Akhirnya, Chalista berinisiatif terlebih dulu, “Jika, Pak Rafael perlu sesuatu, silakan hubungi saya lewat interkom. Permisi, Pak.”Chalista ingin
Chalista beberapa kali memeriksa kalender menstruasinya, memastikan kalau ia tidak salah hitung. Namun, hasilnya tetap sama. Ia sudah telat haid selama dua minggu.“Gak! Gak mungkin!” Chalista komat kamit sepanjang perjalanannya keluar kantor. ‘Ini pasti gara-gara aku stres aja, makanya telat bulan ini,’ gumam Chalista meyakinkan dirinya sendiri. Walaupun dia berusaha berpikir positif, tapi Chalista tetap memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat kantornya untuk membuktikan dugaannya salah. Setelah membeli testpack, gadis itu langsung berjalan menuju ke area kantornya dan mencari toilet di lantai 1. Chalista seakan tak bisa tenang memikirkan semuanya jika tak memastikan sekarang. Dengan cepat, ia masuk ke toilet dan memakai testpack itu sesuai petunjuk. Jantungnya berdebar sangat kencang, ditambah kondisinya yang memang tidak fit. Seluruh tubuh Chalista seperti dipukuli dua puluh orang. ‘Kumohon… kumohon… kumohon….’Chalista terus berdoa sambil menunggu hasil testpack itu. Ia ti
“Pak, saya ucapkan selamat, istri anda hamil. Sudah 2 minggu,” ucap dokter itu sambil tersenyum kepada Rafael dan Chalista.Deg!Peluh menetes di wajah Rafael, yang berdiri di samping Chalista yang baru saja sadar dari pingsannya. Seluruh tubuh Rafael rasanya mati rasa saat mendengar ucapan dokter itu.Setelah melihat Chalista pingsan di depan lift, Rafael langsung menggendongnya ke rumah sakit. Adegan itu dilihat beberapa orang karyawan, tapi Rafael tidak peduli. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Chalista, apalagi setelah melihat testpack itu.Ketakutannya menjadi nyata.“Apa?" tanya Rafael memastikan dia tak salah dengar.Dokter itu langsung mengangguk sambil tersenyum. “Benar, Pak. Tapi, kondisi kehamilan istri anda perlu diperhatikan dengan lebih karena sepertinya dia stres akhir-akhir ini dan ini mempengaruhi kondisi janinnya.”Sementara itu, Chalista yang terbaring lemah di brankar rumah sakit hanya menahan tangisnya. Ia melihat Rafael hanya diam, seperti tak tau harus mengucapka
“APA?!” teriak Chalista seketika langsung mendorong dada Rafael dengan kasar. Bagaimana bisa Chalista hanyut dalam keadaan hingga secara tak sadar menangis di pelukan Rafael?Sadar, Cha! Rafael suami orang lain.Rafael terlihat mengangguk yakin dengan ucapannya sebelumnya. “Ayo kita menikah, saya akan bertanggung jawab."Rasanya hati Chalista diremas-remas karena melihat Rafael seperti ini. Seumur Chalista menjadi adik Rafael hingga hampir 10 tahun tak pernah sekalipun Chalista melihat kakaknya ini hampir menangis di hidupnya.Ya, Rafael terkenal dengan sifat dingin dan tak punya perasaannya, bahkan sangat jarang berekspresi. Tapi kini, pria itu benar-benar hampir menangis di hadapan Chalista.Tangisnya langsung pecah. “Apa maksudmu, Raf…. Bagaimana kita bisa menikah hah? Kau sudah punya istri, sadarlah!” bentak Chalista sambil menjambak rambutnya frustasi.Gadis itu memegang ujung brankar agar dia bisa berdiri dengan seimbang karena keadaannya sangat lemah saat ini.Rafael dengan sig
“Huek……”“Cha, kamu kenapa sayang?” panik Mayang sata menyadari putrinya terlihat sangat pucat. “Cha, kamu sakit? Ini minum dulu,” ucapnya sambil menyodorkan air putih.Chalista mengangguk lemah. “Iya, Ma. Aku sering begadang akhir-akhir ini kerjaan banyak,” bohong Chalista dengan nada yang sangat mencurigakan.“Kok mual-mual, Cha? Kamu punya asam lambung, ya?”Pertanyaan Mayang membuat Chalista gelagapan saat menjawabnya. “Hm….iya, Ma. Karena akhir-akhir ini makannya gak teratur juga,” jawab Chalista seadanya jantungnya sudah berdebar kencang sejak tadi.Sementara itu, Chalista dapat melihat Abimanyu sudah menatap tajam ke arahnya sejak tadi. Sementara Rafael terlihat duduk dengan posisi tak nyaman. Untung saja hari ini Monika tidak ikut sarapan di meja makan karena dia ada jadwal pemotretan dan harus berangkat pagi-pagi.“Raf! Kok bisa adik kamu sampai kayak gini, sih? Udah mama bilang biarin aja orang kantor tau kalau Chalista adik kamu biar dia gak sampai kayak gini,” geram Mayang