Dua hari berlalu.
Hari ini adalah pernikahan Rafael, tapi pria itu tak mengatakan apa pun semenjak kejadian itu. Chalista juga selalu menghindar ketika Mayang menyuruhnya untuk kumpul dengan alasan jet lag.
Setelah semua anggota keluarga siap, mereka pun berangkat ke hotel tempat acara berlangsung. Untungnya, Chalista tidak perlu semobil dengan Rafael. Jadi, ia tidak perlu pura-pura melupakan kejadian malam itu.
Chalista tak tau bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya hari ini. Semuanya terasa campur aduk, entah sedih, kecewa, atau bahagia.
Prosesi pernikahan berjalan lancar. Rafael sekarang resmi menjadi suami Monika Wardana, putri cantik dari keluarga konglomerat itu.
Setelah acara resepsi tersebut, kedua keluarga memutuskan untuk makan malam yang lebih private. Dan sekarang di sinilah Chalista, duduk dengan perasaan terpaksa di seberang Rafael dan Monika, yang tampak seperti raja dan ratu malam itu.
‘Bagaimana bisa aku menggantikan Kak Monika yang elegan itu?’ lirih Chalista dalam hati, kala mengingat ajakan menikah Rafael waktu itu.
Deg!
Senyum pahitnya langsung menghilang kala tatapannya bertemu dengan Rafael yang duduk di seberangnya. Wajah Chalista seolah disiram air dingin, ia mendadak kaku.
Chalista pun segera menunduk lagi, pura-pura fokus pada pasta di piringnya.
“Kami merasa sangat beruntung, karena Rafael memilih Monika untuk menjadi menantu keluarga Adijaya.” Suara Erina, bunda Monika yang duduk tepat di samping Monika membuat Chalista terpaksa mengangkat pandangannya lagi..
Chalista sebisa mungkin fokus memakan makanannya karena beberapa kali melihat Rafael yang menatap tajam ke arahnya. Chalista merasa sangat tidak nyaman ada di ruangan ini, ia merasa bukan bagian dari mereka.
Meskipun banyak yang memujinya di sini, tetapi Chalista juga dapat melihat beberapa orang mencibirnya. Secantik apa pun dirinya, fakta bahwa dia hanya anak angkat tak akan pernah berubah.
Sampai detik ini, acara keluarga adalah hal yang paling Chalista benci dan berusaha hindari. Tidak ada yang menyukai kehadiran Chalista di sini selain mama angkatnya.
“Mulai sekarang, kamu akan jadi bagian keluarga kami ya, Sayang. Jangan lagi panggil ‘tante’, panggil ‘mama’ mulai sekarang ya, sama kayak Chalista,” sahut Mayang kemudian.
Saat namanya tiba-tiba disebut, Chalista tersedak makanannya. Rafael yang melihat itu dengan sigap langsung menggeser gelas berisi air putih ke arah Chalista.
Mata Chalista melebar. Mungkin bagi orang lain, tindakan Rafael ini biasa saja, tapi tidak dengan Chalista. Ia merasa ketar-ketir, terlebih wajah Rafael begitu dingin.
Dengan cepat, Chalista menyambar gelas yang disodorkan Rafael. “Makasi, Kak Rafa—”
Ucapan Chalista terhenti karena ujung matanya melihat papanya di sisi lain meja sedang menatapnya tajam. Kilatan ketidaksukaan dari papanya terlihat jelas di mata Chalista.
Tubuh Chalista mulai gemetar. Suara dingin papanya 3 tahun lalu kembali terngiang.
“Pergilah ke Amerika, jauhi Rafael dan jangan halangi jalan sukses anakku. Bagaimana pun aku tidak akan menerimamu selain menjadi anak angkat.”
Tangan Chalista terkepal di pahanya ketika mengingat kalimat itu.
“Aku dulu satu sekolah loh sama Chalista pas SMA!” suara Monika mengalun lembut di telinga semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Chalista.
“Kamu inget kan, Cha? Kita pernah satu eskul juga, loh, Raf!” Monika terlihat sangat antusias.
Namun, Monika sama sekali tidak menatap Chalista, melainkan Rafael yang duduk di sebelahnya. Monika juga bergelayut manja di lengan Rafael.
“Oh ya? Kok Mama bisa gak tau ya?” Mayang malah lebih dulu menyela sebelum Chalista sempat berbicara.
“Iya, Ma, Chalista adik kelasku dulu,” jawab Monika, masih dengan senyum elegannya. “Dia memang pendiam. Kalau aja aku gak lihat dia pacaran di kelas sama temanku, pasti aku gak sadar juga kalau kita satu eskul.”
Baru setelah itu, Monika melempar tatapan kepada Chalista. “Kalau gak salah… namanya, Raka kan ya?”
Memang benar, Monika adalah kakak kelas Chalista, dan mereka juga satu ekskul yang sama. Namun, ia tidak pernah berpacaran dengan pria bernama Raka itu. Justru kabarnya dulu, Raka adalah pria yang selalu mengejar Monika.
Kini semua orang menatap aneh ke arah Chalista, termasuk papanya yang terlihat tak suka dengan topik pembicaraan yang malah membahas Chalista.
“Bener, Cha? Kok kamu gak pernah bilang kalau kamu punya pacar sama Mama?” tanya Mayang penasaran.
“Itu—”
Chalista hendak menjawab namun Monika menyelanya, “Mungkin gara-gara dia pacaran sebentar kali, Ma. Chalista dari dulu banyak yang suka, jadi wajar aja kalau beberapa kali didekati pria.”
“Kamu tau banyak ya tentang aku,ya Kak Mon,” jawab Chalista singkat, tapi mampu membuat ekspresi wajah Monika berubah.
Chalista ingin sekali pergi dari tempat ini sekarang juga. Jika bukan karena mamanya yang memaksa Chalista pasti sudah membuat alasan untuk tidak ikut.
“Monika, apa kamu bakal tetep kerja jadi model setelah ini?” Abimanyu, papa angkat Chalista, tiba-tiba bertanya setelah sedari tadi tak berbicara sama seperti Rafael.
Sepertinya papanya ingin mengalihkan topik karena mereka terlalu fokus pada Chalista. Wanita itu tahu, papanya tidak pernah suka dengan dirinya. Ia selalu berusaha menyingkirkannya dari pandangan semua orang.
Monika tersenyum kembali, seolah senang mendapat lampu sorot itu lagi. “Hm, kayaknya aku bakal tetap bekerja, Pa, sambil lanjut ngerintis bisnisku yang dulu aku bilang sama Papa.”
Mereka langsung memuji Monika. Sebagai wanita karier yang sukses, cantik, terkenal, dan berasal dari keluarga terpandang. Ia memang wanita idaman untuk pria matang seperti Rafael.
Sangat berbeda dengan dirinya. Perasaannya berubah campur aduk. ‘Apa yang aku harapkan dari Kak Rafael ketika dia bilang akan bertanggung jawab? Aku hanya anak angkat, dia pasti lebih memilih Monika daripadaku.’
“Oh iya, Cha,” tiba-tiba saja, Monika kembali berbicara kepada Chalista. “Nanti bantu aku pilih-pilih baju buat honeymoon, ya.”
Wajah memelas itu mungkin ampuh terhadap semua orang, tapi tidak dengan Chalista. Ia bisa merasakan kepalsuan dan kecemburuan di sana. Lagipula, mereka tidak sedekat itu untuk bisa saling memilih pakaian.
Chalista mencoba untuk tersenyum sopan, siap untuk menolak. “Maaf—”
“Chalista pasti mau,” Abimanyu menyela ucapannya sambil melihat ke arah Chalista dengan tatapan datarnya.
Chalista tahu betul apa artinya.
Setelah makan malam yang sangat menguras tenaga itu, Chalista langsung bergegas menuju ke kamar hotel yang telah di pesan untuknya. Dia bersumpah tidak akan ikut lagi jika ada acara keluarga seperti itu. Namun, saat Chalista hendak membuka pintu kamar hotelnya, sebuah suara berat dari pria membuatnya berhenti. “Chalista!”Gadis itu langsung berbalik badan saat suara berat yang agak serak itu memanggilnya. Ia melihat papa angkatnya datang dari arah berlawanan. Bukankah tadi dia di bawah?“Iya, Pa?” jawab Chalista sambil tersenyum, sebisa mungkin menyembunyikan kekhawatirannya.“Ikut saya,” titah Abimanyu tanpa menunggu jawaban Chalista.Pria paruh baya itu langsung berjalan mendahului Chalista, ke sebuah kamar hotel suite yang ada di lantai yang sama. Seorang sekretaris pria menunggu di belakang Chalista, seolah memperingatkannya untuk tidak kabur.Wanita itu meremas ujung kebaya yang dia pakai karena tegang. Ini akan menjadi kali pertamanya dia berbicara dengan papa angkatnya setel
Chalista terkesiap karena tiba-tiba pria itu berbicara santai dengannya.“Saya baik,” jawab Chalista cepat, berusaha tidak terpengaruh.“Kamu tidak perlu berbicara formal denganku jika hanya ada kita berdua,” titah Rafael.“Tidak bisa, Pak. Bagaimana kalau ada yang mendengarnya? Itu pasti akan terdengar tidak sopan.” Chalista masih mempertahankan sikap profesionalnya.Terdengar Rafael mendengus, tapi tidak menanggapi jawaban Chalista tersebut. Pria itu malah melempar pandangan ke laptop di depannya.Aura yang dipancarkan Rafael sangat dominan hingga membuat Chalista merasa terancam. Sejak dulu, Rafael memang sudah dipersiapkan menjadi CEO di perusahaan Adijaya. Namun, kini adalah kali pertamanya Chalista melihat sendiri aura pemimpin yang dipancarkan Rafael.Keheningan ini membuat Chalista canggung. Rafael tidak berbicara lagi setelah itu. Akhirnya, Chalista berinisiatif terlebih dulu, “Jika, Pak Rafael perlu sesuatu, silakan hubungi saya lewat interkom. Permisi, Pak.”Chalista ingin
Chalista beberapa kali memeriksa kalender menstruasinya, memastikan kalau ia tidak salah hitung. Namun, hasilnya tetap sama. Ia sudah telat haid selama dua minggu.“Gak! Gak mungkin!” Chalista komat kamit sepanjang perjalanannya keluar kantor. ‘Ini pasti gara-gara aku stres aja, makanya telat bulan ini,’ gumam Chalista meyakinkan dirinya sendiri. Walaupun dia berusaha berpikir positif, tapi Chalista tetap memutuskan untuk pergi ke apotek di dekat kantornya untuk membuktikan dugaannya salah. Setelah membeli testpack, gadis itu langsung berjalan menuju ke area kantornya dan mencari toilet di lantai 1. Chalista seakan tak bisa tenang memikirkan semuanya jika tak memastikan sekarang. Dengan cepat, ia masuk ke toilet dan memakai testpack itu sesuai petunjuk. Jantungnya berdebar sangat kencang, ditambah kondisinya yang memang tidak fit. Seluruh tubuh Chalista seperti dipukuli dua puluh orang. ‘Kumohon… kumohon… kumohon….’Chalista terus berdoa sambil menunggu hasil testpack itu. Ia ti
“Pak, saya ucapkan selamat, istri anda hamil. Sudah 2 minggu,” ucap dokter itu sambil tersenyum kepada Rafael dan Chalista.Deg!Peluh menetes di wajah Rafael, yang berdiri di samping Chalista yang baru saja sadar dari pingsannya. Seluruh tubuh Rafael rasanya mati rasa saat mendengar ucapan dokter itu.Setelah melihat Chalista pingsan di depan lift, Rafael langsung menggendongnya ke rumah sakit. Adegan itu dilihat beberapa orang karyawan, tapi Rafael tidak peduli. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Chalista, apalagi setelah melihat testpack itu.Ketakutannya menjadi nyata.“Apa?" tanya Rafael memastikan dia tak salah dengar.Dokter itu langsung mengangguk sambil tersenyum. “Benar, Pak. Tapi, kondisi kehamilan istri anda perlu diperhatikan dengan lebih karena sepertinya dia stres akhir-akhir ini dan ini mempengaruhi kondisi janinnya.”Sementara itu, Chalista yang terbaring lemah di brankar rumah sakit hanya menahan tangisnya. Ia melihat Rafael hanya diam, seperti tak tau harus mengucapka
“APA?!” teriak Chalista seketika langsung mendorong dada Rafael dengan kasar. Bagaimana bisa Chalista hanyut dalam keadaan hingga secara tak sadar menangis di pelukan Rafael?Sadar, Cha! Rafael suami orang lain.Rafael terlihat mengangguk yakin dengan ucapannya sebelumnya. “Ayo kita menikah, saya akan bertanggung jawab."Rasanya hati Chalista diremas-remas karena melihat Rafael seperti ini. Seumur Chalista menjadi adik Rafael hingga hampir 10 tahun tak pernah sekalipun Chalista melihat kakaknya ini hampir menangis di hidupnya.Ya, Rafael terkenal dengan sifat dingin dan tak punya perasaannya, bahkan sangat jarang berekspresi. Tapi kini, pria itu benar-benar hampir menangis di hadapan Chalista.Tangisnya langsung pecah. “Apa maksudmu, Raf…. Bagaimana kita bisa menikah hah? Kau sudah punya istri, sadarlah!” bentak Chalista sambil menjambak rambutnya frustasi.Gadis itu memegang ujung brankar agar dia bisa berdiri dengan seimbang karena keadaannya sangat lemah saat ini.Rafael dengan sig
“Huek……”“Cha, kamu kenapa sayang?” panik Mayang sata menyadari putrinya terlihat sangat pucat. “Cha, kamu sakit? Ini minum dulu,” ucapnya sambil menyodorkan air putih.Chalista mengangguk lemah. “Iya, Ma. Aku sering begadang akhir-akhir ini kerjaan banyak,” bohong Chalista dengan nada yang sangat mencurigakan.“Kok mual-mual, Cha? Kamu punya asam lambung, ya?”Pertanyaan Mayang membuat Chalista gelagapan saat menjawabnya. “Hm….iya, Ma. Karena akhir-akhir ini makannya gak teratur juga,” jawab Chalista seadanya jantungnya sudah berdebar kencang sejak tadi.Sementara itu, Chalista dapat melihat Abimanyu sudah menatap tajam ke arahnya sejak tadi. Sementara Rafael terlihat duduk dengan posisi tak nyaman. Untung saja hari ini Monika tidak ikut sarapan di meja makan karena dia ada jadwal pemotretan dan harus berangkat pagi-pagi.“Raf! Kok bisa adik kamu sampai kayak gini, sih? Udah mama bilang biarin aja orang kantor tau kalau Chalista adik kamu biar dia gak sampai kayak gini,” geram Mayang
“Cha? Kemana aja kemarin kok kamu gak ngantor? Masih sakit ya?” Chalista langsung dihujam pertanyaan oleh Sonya ketika sudah sampai di kantor.Chalista yang melihat sahabatnya khawatir langsung memeluknya dengan erat. Hanya Sonya teman satu-satunya yang Chalista punya sejak di kuliah di Amerika hingga sekarang dan tak ada yang berubah sama sekali dengan hubungan mereka.“Hey, kenapa? Ada masalah?” panik Sonya ketika Chalista tiba-tiba memeluknya.Gadis itu langsung mengangguk. “Enggak, capek aja,” jawabnya sambil tertawa hambar. Saat mendengar itu Sonya langsung menatap temannya itu. “Cha, denger. Kamu itu udah dinobatkan menjadi sekretaris paling lamanya Pak Rafael tau gak, masa kamu mau nyerah tengah jalan, sih?” ucap Sonya menyemangati Chalista. Mungkin Sonya mengira Chalista capek karena dibebankan banyak tugas oleh bosnya, Rafael. Asal Sonya tau, ada beban yang lebih berat yang diberikan Rafael kepadanya selain pekerjaan, yaitu mengandung anaknya.Tapi, apa benar hanya Chalista y
“Cha, kamu gak papa kan?” tanya Sonya saat temannya itu berjalan lemas menuju ke arah menjanya.Setelah kejadian sandiwaranya pingsan tadi semua orang di kantor benar-benar mengkhawatirnya Chalista, termasuk Rafael.Walaupun pria itu tau Chalista berpura-pura pingsan namun tetap saja Rafael mengangkat tubuhnya den membawanya ke klinik kantor dengan wajah yang cukup panik.Chalista menjadi kepikiran Rafael benar-benar sekhawatir itu dengan kondisi Chalista semenjak dia tau kalau Chalista mengandung anaknya.“Iya, aku gapapa, Son,” jawab Chalista seadanya. Ini sudah pukul 6 sore dan Chalista sudah istrirahat di klinik selama hampir 3 jam.Walaupun dia berpura-pura untuk pingsan, tapi memang benar dia pusing tadi dan juga tak ingin membuat orang kantor curiga dengannya, jadi Chalista memilih tidur di klinik hingga sekarang pukul 6 sore.Lumayan, Chalista mendapat jatah tidur siang.“Cha, tapi kamu gak dipecat, kan?” tanya Sonya dengan panik. Chalista lanngsung menoleh saat mendengar itu
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak