“Huek……”“Cha, kamu kenapa sayang?” panik Mayang sata menyadari putrinya terlihat sangat pucat. “Cha, kamu sakit? Ini minum dulu,” ucapnya sambil menyodorkan air putih.Chalista mengangguk lemah. “Iya, Ma. Aku sering begadang akhir-akhir ini kerjaan banyak,” bohong Chalista dengan nada yang sangat mencurigakan.“Kok mual-mual, Cha? Kamu punya asam lambung, ya?”Pertanyaan Mayang membuat Chalista gelagapan saat menjawabnya. “Hm….iya, Ma. Karena akhir-akhir ini makannya gak teratur juga,” jawab Chalista seadanya jantungnya sudah berdebar kencang sejak tadi.Sementara itu, Chalista dapat melihat Abimanyu sudah menatap tajam ke arahnya sejak tadi. Sementara Rafael terlihat duduk dengan posisi tak nyaman. Untung saja hari ini Monika tidak ikut sarapan di meja makan karena dia ada jadwal pemotretan dan harus berangkat pagi-pagi.“Raf! Kok bisa adik kamu sampai kayak gini, sih? Udah mama bilang biarin aja orang kantor tau kalau Chalista adik kamu biar dia gak sampai kayak gini,” geram Mayang
“Cha? Kemana aja kemarin kok kamu gak ngantor? Masih sakit ya?” Chalista langsung dihujam pertanyaan oleh Sonya ketika sudah sampai di kantor.Chalista yang melihat sahabatnya khawatir langsung memeluknya dengan erat. Hanya Sonya teman satu-satunya yang Chalista punya sejak di kuliah di Amerika hingga sekarang dan tak ada yang berubah sama sekali dengan hubungan mereka.“Hey, kenapa? Ada masalah?” panik Sonya ketika Chalista tiba-tiba memeluknya.Gadis itu langsung mengangguk. “Enggak, capek aja,” jawabnya sambil tertawa hambar. Saat mendengar itu Sonya langsung menatap temannya itu. “Cha, denger. Kamu itu udah dinobatkan menjadi sekretaris paling lamanya Pak Rafael tau gak, masa kamu mau nyerah tengah jalan, sih?” ucap Sonya menyemangati Chalista. Mungkin Sonya mengira Chalista capek karena dibebankan banyak tugas oleh bosnya, Rafael. Asal Sonya tau, ada beban yang lebih berat yang diberikan Rafael kepadanya selain pekerjaan, yaitu mengandung anaknya.Tapi, apa benar hanya Chalista y
“Cha, kamu gak papa kan?” tanya Sonya saat temannya itu berjalan lemas menuju ke arah menjanya.Setelah kejadian sandiwaranya pingsan tadi semua orang di kantor benar-benar mengkhawatirnya Chalista, termasuk Rafael.Walaupun pria itu tau Chalista berpura-pura pingsan namun tetap saja Rafael mengangkat tubuhnya den membawanya ke klinik kantor dengan wajah yang cukup panik.Chalista menjadi kepikiran Rafael benar-benar sekhawatir itu dengan kondisi Chalista semenjak dia tau kalau Chalista mengandung anaknya.“Iya, aku gapapa, Son,” jawab Chalista seadanya. Ini sudah pukul 6 sore dan Chalista sudah istrirahat di klinik selama hampir 3 jam.Walaupun dia berpura-pura untuk pingsan, tapi memang benar dia pusing tadi dan juga tak ingin membuat orang kantor curiga dengannya, jadi Chalista memilih tidur di klinik hingga sekarang pukul 6 sore.Lumayan, Chalista mendapat jatah tidur siang.“Cha, tapi kamu gak dipecat, kan?” tanya Sonya dengan panik. Chalista lanngsung menoleh saat mendengar itu
“Hallo, sayangg,” ucap Monika manja langsung memeluk Rafael membuat pria itu terkejut. Rafael yang merasa tak nyaman di peluk seperti itu di kantor langsung berusaha mendorong pelan pinggang istrinya, tapi Monika tetap memeluk erat Rafael.“Kenapa tiba-tiba datang?” tanya Rafael dengan suara dinginnya. Pria itu tak membalas pelukan Monika, tapi dia malah melihat Chalista yang berdiri dengan tak nyaman di sana.“Aku rindu sama kamu, udah gak tahan pengen cepet-cepet pulang,” ucapnya dengan centil. Chalista yang merasa dia tak seharusnya berada di sana, langsung hendak undur diri namun Monika menahannya.“Eh…ternyata ada Chalista di sini, maaf ya aku gak liat tadi soalnya cuma fokus nyari suamiku yang ganteng ini,” ucapnya entah kenapa terdengar seperti menyindir Chalista.Rafael pun berpikir demikian. Walaupun sudah menikah, Rafael tak sedekat itu dengan istrinya ini, apalagi untuk berpelukan saat pertama kali bertemu, apa Monika sengaja melakukannya di depan Chalista?“Iya….Kak Aku ha
Malam hari, Chalista tiba-tiba merasa seluruh tubuhnya nyeri. “Arghhh….kenapa ini?” lirih gadis itu dengan gelisah di tempat tidurnya. Setelah membeli obat untuk menghilangkan mual yang dia rasakan, Chalista kini malah demam.Gadis itu perlahan menghidupkan lampu kamarnya dan duduk di ujung kasur. Rasanya semakin memaksakan tidur, kepalanya semakin sakit.Saat hendak mengambil air yang biasanya ada di meja samping tempat tidurnya, Chalista menghembuskan napasnya kasar karena gelas itu kosong.“Aduh, males banget ke bawah ngambil air,” lirih Chalista, tapi dia sangat haus saat ini. Mau tidak mau gadis itu perlahan membuka pintu dan turun ke lantai 1 untuk ke dapur.Ini sudah pukul 1 pagi, dan semua anggota keluarga pasti sudah tertidur pulas kecuali Chalista tentunya yang sedang hamil dan banyak pikiran. Sudah beberapa hari dia tak melihat Rafael karena pria itu harus pergi dinar ke luar kota dan Mayang tak mengizinkan Chalista ikut karena dia sakit. Dengan langkah gontai, Chalista be
Plak!!! Chalista memegang pipinya yang ditampar oleh papanya sendiri. ”Kamu sungguh kurang ajar!” Suara berat dan bentakan dari Abimanyu itu membuat seluruh tubuh Chalista bergetar. Dia ingin menangis sejadi-jadinya karena kini riwayatnya akan tamat, papanya pasti sudah tau semua perbuatannya dan Rafael dibelakang semua orang. ”Pa, aku—”Diam! Saya belum selesai berbicara,” sela Abimanyu sambil mengacungkan telunjuknya ke arah wajah Chalista, keadaannya yang memang sakit sejak awal membuat Chalista semakin tak berdaya. Apalagi, tidak ada siapapun lagi di rumah ini, Rafael pergi dinas dan Mayang seperti biasa mengurus butiknya jadi tak akan ada yang bisa menyelamatkan Chalista dari kemarahan Abimanyu sekarang. ”Chalista, apa kamu paham kata-kata manusia? Sudah untung saya mau memungutmu dari jalanan, tapi ini balasanmu pada saya, hah?” bentaknya lagi membuat Chalista seketika menutup matanya, takut-takut Abimanyu menamparnya lagi kali ini. ”Pa, aku akan menggu—Sebelum Chalista be
”Kak, ini udangnya,” ucap Chalista sambil membawakan sebuah nampan berisi udang saus yang dia buat sendiri lengkap dengan nasi dan juga sendok garpunya.Monika tak langsung membalas ucapan adik iparnya itu. Tapi gadis itu masih sibuk memainkan hpnya dengan kaki disilangkan, bak seorang ratu di rumah ini.Tapi benar. Monika memang ratu di rumah ini dan Chalista hampir mirip seperti pembantu, hanya saja dia terbungkus identitas ’anak angkat’ padahal bagi Abimanyu Chalista lebih rendah dari pembantu di rumah ini.”Ohh, udah mateng? Kok cepet, sih,” ucap Monika dengan nada terkejutnya yang dibuat-buat. Tangannya kemudian meraih sendok yang ada di nampan itu dan mencicipinya secara perlahan.Chalista masih berdiri di sana menunggu respon Monika hingga wajahnya berubah masam. ”Huek........Apa ini? Kau mau meracuniku hah?” bentak Monika sambil membanting sendok yang di pakai. Dia terlihat sangat marah.”Kenapa, Kak?” tanya Chalista dengan bingung. Dia sangat takut jika suara teriakan Monika
“Loh, kok bisa tumpah, Cha?” tanya Mayang saat melihat rok menantunya sudah kotor kejatuhan udang saus. Sebelum Chalista sempat menjawab, Monika buru-buru menyela agar gadis itu tak sempat membela dirinya. “Ma, tadi aku sama Chalista masak udang saus terus Cha gak sengaja jatuhin pas bawa nampannya ke meja,” bohong Monika karena panik saat melihat mama mertuanya dan suaminya tiba-tiba datang saat dia tengah memperbudak Chalista. “Ya ampun kok bisa sih sampai jatuh rok kamu jadi kotor kayak gitu,” ucap Mayang terkejut tapi kemudian wanita itu menatap heran kea rah menantunya. “Loh sejak kapan kamu bisa masak, Mon?” Deg! Monika langsung mematung saat menyadari kalau mertuanya ini tau dia tak bisa masak. Ah, pasti mamanya yang mewanti-wanti mertuanya agar tidak membiarkan Monika masuk ke dapur karena dia pernah hampir terbakar kulitnya gara-gara tidak bisa masak dan jika sampai ada lecet sedikit saja maka akan mengganggu karirnya sebagai seorang model, Monika langsung nyengir. “Maks
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak