Terima kasih sudah membaca. ~♡~ Hari ini adalah hari terakhir bulan Maret. Itu artinya gem akan kedaluwarsa pada pukul 22.59 WIB nanti. So, jangan sisakan gem/permata di akun teman-teman. Kalau tidak ada novel yang mau disumbangkan gem, berikan ke Galang dan Fayola lewat vote, ya. XD Terima kasih banyak~♡ Salam sayang, Meina H.
Aku mendesah pelan melihat rumah bertingkat dua itu. Seharusnya kami tidak pernah datang ke tempat ini lagi. Atas petunjuk kuasa hukum Nidya, aku tidak datang sendirian bersama istriku ke rumah mereka. Walau apa pun yang terjadi. Hubungan kami masih baik-baik saja saat berenang bersama pagi tadi, lalu mengapa mereka malah pulang ke tempat terkutuk ini lagi? Apa memar parah yang ada di tubuh mereka belum cukup untuk membuat mereka gentar kembali ke sini? Memar itu bahkan belum pulih benar. “Ezio dan Athena tidak betah di rumah mereka. Pria dan wanita ini telah menyiksa mereka dengan berat, jadi kalian sebaiknya segera menangkap penjahat ini,” kata ayah Nidya membuat aku heran. Polisi yang datang bersama kami saling bertukar pandang. Aku tenang karena salah satu dari mereka adalah orang yang sudah kami kenal. Ada satu orang wanita yang tidak pernah aku lihat sebelumnya ikut juga bersama mereka. Dia lebih banyak mengamati, dan tidak bicara sedikit pun. “Boleh kami bicara dengan anak-
Mengapa ada dua mobil polisi yang datang ke rumah kami? Mungkinkah dugaan Fay benar? Mereka datang untuk menangkap kami. Bukti apa yang mereka temukan sehingga penyelidikannya selesai secepat ini? Kami baru saja berpisah dan mereka sudah datang ke rumah kami. Aku memasuki pekarangan rumah kami, lalu menenangkan Fay sebelum kami keluar. Polisi yang sudah aku kenal, mendekati aku. Ah, pantas saja. Mobilnya ada di depan mobil rekannya, jadi aku tidak melihat ada mobil yang tadi bersama kami ke rumah orang tua Nidya. “Pak Galang, Ibu Fayola, maafkan tindakan kami yang tidak lebih dahulu mendiskusikannya dengan Anda berdua.” Pria itu tersenyum dengan ramah. “Ada apa, Pak? Bukankah Bapak akan menghubungi kami untuk pertemuan selanjutnya?” tanyaku bingung. Fay mempererat genggaman tangannya. “Kami berbohong.” Dia meringis, merasa bersalah. “Kami tidak tahu cara lain untuk membawa anak-anak itu keluar dari sana tanpa konflik.” “Apa maksud Anda?” Aku semakin tidak mengerti. “Rekan kami da
~Fayola~ Tidak mau hal yang sama terjadi lagi, aku mengawasi Ezio dan Athena dengan baik selama berada di sekolah. Aku tidak melepaskan pandanganku dari mereka ketika jam istirahat tiba. Hanya itu satu-satunya waktu di mana mereka keluar dari ruang kelas. Karena sudah ada satu desain yang selesai, aku berunding dengan wanita yang memesannya. Aku tidak mendapat kritikan apa pun darinya dan dia puas dengan hasil kerjaku. Setelah dia mentransfer uangnya, maka satu pekerjaan sudah selesai. “Hari ini kami belajar penambahan lagi, Tante. Aku sudah bisa menambah ratusan dengan satuan,” kata Ezio dengan bangga. “Oh, ya? Kamu pintar sekali!” pujiku. “Aku tadi mencocokkan nama dengan kendaraannya, lalu gambarnya boleh diwarnai,” lapor Athena. “Aku dapat nilai seratus!” “Pintarnya!” pujiku. “Aku beruntung sekali punya anak-anak seperti kalian!” “Apa mereka tidak akan diberi hadiah, Nyonya?” tanya Tama, menimpali. “Boleh. Kita sebaiknya beri mereka apa?” tanyaku. Aku menoleh ke arah yang d
Ada dua orang yang diutus untuk datang melakukan kunjungan rumah. Pria dan wanita itu melihat ke sekeliling mereka dengan puas. Anak-anak sedang di sekolah, jadi mereka tidak bertemu dengan Ezio dan Athena. Namun mereka tidak keberatan dan hanya perlu berbincang dengan kami. Aku lebih banyak membiarkan Galang yang bicara dan menjawab semua pertanyaan mereka. Hal yang mereka tanyakan sifatnya umum, hanya menyangkut kebenaran dari semua berkas yang sudah kami serahkan kepada pengacara Nidya. Kami menunjukkan kamar anak-anak dan mereka terlihat sangat puas. Aku meremas tangan Galang yang menggandeng tanganku. Itu adalah ekspresi mereka yang aku suka. Ketika mereka melihat obat, Galang menjawab dengan jujur apa yang telah terjadi serta memberikan surat dari kepolisian. “Tuan, ada tamu,” lapor Tama yang membuat aku terkejut. Kami berempat baru saja kembali ke lantai dasar. Aku mengikuti arah pandangannya dan melihat orang tua Nidya berdiri di dekat pintu. Mau apa lagi kedua orang yang s
Anak-anak sangat pengertian dengan bermain bersama Lala di ruang keluarga diawasi oleh Tama. Jadi, aku dan adikku bisa bicara berdua saja di ruang depan. Aku tidak menduga dia akan bertanya tentang percakapan rahasiaku dengan Mama usai pertemuan keluarga kami. Padahal tidak ada percakapan rahasia apa pun. Sebelum aku sempat memberi tahu Mama hal yang sangat penting, Nenek menginterupsi dan mendesak untuk segera pulang. Dia mengantuk setelah makan banyak. Hal yang sangat aku sesali, karena aku ingin sekali melepaskan beban ini. “Oh, begitu. Aku pikir Kakak menyampaikan sesuatu yang penting kepada Mama mengenai Ezio atau Athena sampai berbisik begitu,” katanya kecewa. “Kamu ini,” aku menepuk pelan pelipisnya, “selalu saja mau tahu urusan orang lain.” “Kita, ‘kan, keluarga, Kak. Mana boleh ada rahasia,” katanya. Aku sedikit merasa bersalah mendengar kalimat itu, tetapi aku segera menyembunyikannya dengan senyuman. Aku tidak siap dengan respons mereka sehingga masih merahasiakan satu
Karena anak-anak tidak nyaman berada di dekat mereka, maka aku meminta Tama untuk membawa mereka ke ruang keluarga. Galang menelepon orang tuanya dan memberi tahu mereka bahwa kami akan datang sedikit terlambat. Aku mengajak mereka untuk bicara di ruang depan, dan menunggu sampai Ulfa selesai menyajikan minuman dan makanan ringan di atas meja. Entah mengapa akhir-akhir ini kami sering kedatangan tamu yang tidak diundang. Apa sedang banyak kupu-kupu di sekitar kebun? “Maaf, kami datang di saat yang tidak tepat,” ucap wanita itu memulai percakapan. Dia adalah adik kandung Nidya, tetapi mereka tidak akrab. “Jika ada hal yang penting, sampaikan saja. Lebih cepat kita bicara, maka lebih cepat kami berangkat,” kataku, tidak mau berbasa-basi. Adik dan kakak Nidya itu saling bertukar pandang. “Pertama, kami meminta maaf sudah melibatkan kalian dalam urusan internal keluarga kami. Kak Nidya berhak memutuskan siapa pun yang akan mengasuh anak-anak mereka ketika mereka tiada,” kata kakak Nidy
Aku menoleh ke arah Galang. Dia hanya menganggukkan kepalanya, maka aku mendekati gadis itu dan memeluknya. Ezio berpindah duduk di sisi adiknya dan menghiburnya. Athena butuh waktu lama untuk bisa menenangkan emosinya.Galang memberikan segelas air kepadaku dan aku membantu gadis kecil itu minum. Dia terisak, membuat aku terenyuh. Apa yang membuat dia bersedih? Kami tadi sangat bahagia dan dia juga menikmati kebersamaan kami di taman.“Ada apa, Athena?” Aku mengusap-usap rambut panjangnya.“Kakek dan nenek Om Galang sayang kepadaku. Mengapa Kakek dan nenek mama dan papa tidak sayang kepadaku?” isaknya.Oh, tidak. Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Jadi, aku hanya memeluk tubuhnya dan membantu untuk menenangkan dirinya. Anak yang malang. Keluarganya sendiri menyakitinya, justru orang lain yang tidak ada hubungan darah lebih sayang kepadanya.“Kami akan selalu menyayangi kamu, Athena. Jadi, kamu bisa tinggal bersama kami dengan nyaman,” hibur Galang. “Kami juga sayang ka
~Galang~ Aku tidak mempermasalahkan bagaimana cara Doddy dan Sonya meminta maaf. Aku juga tidak peduli mereka tulus atau terpaksa ketika mengucapkannya. Selama mereka melakukannya di depan banyak orang atau lewat video, aku sudah puas. Sesuai perjanjian, maka aku menarik tuntutan kami dari kantor polisi. Pria yang baik hati itu hanya tersenyum penuh arti ketika menolong aku mengurus setiap birokrasi. Aku mengerti apa yang dia pikirkan. Aku memilih waktu yang tepat untuk memenangkan peperangan dengan orang kaya itu. “Bagaimana bisa kamu terus beruntung begini?” ucap Rano tidak percaya. “Dua orang berduit itu mengakui kesalahan mereka kepadamu dan istri di depan umum.” “Ini bukan keberuntungan. Mereka bangkrut tidak ada hubungannya dengan Galang atau istrinya,” kata salah satu rekan kerja wanita kami. “Sebaiknya, kalian berhati-hati kalau berniat jahat kepada Galang. Dia bisa membuat kita mati kutu.” Teman kami yang lain bergidik. Kami tertawa mendengarnya. Iya. Ini bukanlah sebuah
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se