Kejutan! Sebagai ucapan terima kasih, aku tambahkan satu bab lagi untuk hari ini. ♡ Selamat malam dan selamat beristirahat~
Karena anak-anak tidak nyaman berada di dekat mereka, maka aku meminta Tama untuk membawa mereka ke ruang keluarga. Galang menelepon orang tuanya dan memberi tahu mereka bahwa kami akan datang sedikit terlambat. Aku mengajak mereka untuk bicara di ruang depan, dan menunggu sampai Ulfa selesai menyajikan minuman dan makanan ringan di atas meja. Entah mengapa akhir-akhir ini kami sering kedatangan tamu yang tidak diundang. Apa sedang banyak kupu-kupu di sekitar kebun? “Maaf, kami datang di saat yang tidak tepat,” ucap wanita itu memulai percakapan. Dia adalah adik kandung Nidya, tetapi mereka tidak akrab. “Jika ada hal yang penting, sampaikan saja. Lebih cepat kita bicara, maka lebih cepat kami berangkat,” kataku, tidak mau berbasa-basi. Adik dan kakak Nidya itu saling bertukar pandang. “Pertama, kami meminta maaf sudah melibatkan kalian dalam urusan internal keluarga kami. Kak Nidya berhak memutuskan siapa pun yang akan mengasuh anak-anak mereka ketika mereka tiada,” kata kakak Nidy
Aku menoleh ke arah Galang. Dia hanya menganggukkan kepalanya, maka aku mendekati gadis itu dan memeluknya. Ezio berpindah duduk di sisi adiknya dan menghiburnya. Athena butuh waktu lama untuk bisa menenangkan emosinya.Galang memberikan segelas air kepadaku dan aku membantu gadis kecil itu minum. Dia terisak, membuat aku terenyuh. Apa yang membuat dia bersedih? Kami tadi sangat bahagia dan dia juga menikmati kebersamaan kami di taman.“Ada apa, Athena?” Aku mengusap-usap rambut panjangnya.“Kakek dan nenek Om Galang sayang kepadaku. Mengapa Kakek dan nenek mama dan papa tidak sayang kepadaku?” isaknya.Oh, tidak. Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Jadi, aku hanya memeluk tubuhnya dan membantu untuk menenangkan dirinya. Anak yang malang. Keluarganya sendiri menyakitinya, justru orang lain yang tidak ada hubungan darah lebih sayang kepadanya.“Kami akan selalu menyayangi kamu, Athena. Jadi, kamu bisa tinggal bersama kami dengan nyaman,” hibur Galang. “Kami juga sayang ka
~Galang~ Aku tidak mempermasalahkan bagaimana cara Doddy dan Sonya meminta maaf. Aku juga tidak peduli mereka tulus atau terpaksa ketika mengucapkannya. Selama mereka melakukannya di depan banyak orang atau lewat video, aku sudah puas. Sesuai perjanjian, maka aku menarik tuntutan kami dari kantor polisi. Pria yang baik hati itu hanya tersenyum penuh arti ketika menolong aku mengurus setiap birokrasi. Aku mengerti apa yang dia pikirkan. Aku memilih waktu yang tepat untuk memenangkan peperangan dengan orang kaya itu. “Bagaimana bisa kamu terus beruntung begini?” ucap Rano tidak percaya. “Dua orang berduit itu mengakui kesalahan mereka kepadamu dan istri di depan umum.” “Ini bukan keberuntungan. Mereka bangkrut tidak ada hubungannya dengan Galang atau istrinya,” kata salah satu rekan kerja wanita kami. “Sebaiknya, kalian berhati-hati kalau berniat jahat kepada Galang. Dia bisa membuat kita mati kutu.” Teman kami yang lain bergidik. Kami tertawa mendengarnya. Iya. Ini bukanlah sebuah
Aku membuka kelopak mata dan segera menutupnya lagi. Mataku berkunang-kunang dan kepalaku mendadak sakit. Merasakan ada seseorang memeluk tubuhku, aku tersenyum. Ini adalah salah satu keuntungan menikah. Aku tidak tidur sendirian atau kedinginan lagi, karena punya selimut hidup. Menghirup aroma yang tidak biasa, juga keadaan tubuhku yang tanpa pakaian, aku tidak mengerti. Aku dan Fay tidak pernah tertidur sebelum membersihkan tubuh dan berpakaian. Aku menoleh dan melihat kepala yang tidak aku kenal. Kepala Fay imut, tidak sebesar ini. Aku segera duduk. Kamar ini bukan kamar tidur kami. Berengsek. Wanita ini bukan Fay. Apa yang terjadi? Aku bergegas mencari pakaianku, mengumpulkannya, dan masuk ke kamar mandi. Sial. Sial. Sial! Apa yang telah terjadi kepadaku semalam? “Hm, pagi, Lang,” sapa wanita sialan itu tanpa tahu malu. Aku tidak membalas dan bergegas keluar kamar. Aku tidak memedulikan kendaraan yang aku pakai, tetapi bergegas mencari toko terdekat. Begitu menemukannya lewat p
Kepalaku sakit mengetahui siapa orang yang sudah menyebabkan hal ini terjadi kepadaku. Apa yang Trici berikan kepadanya sehingga dia mengkhianati aku? Sepertinya aku harus memberi tahu semua rekanku di tempat kerja mengenai targetku ke depan selama berada di kantor itu. Pulang ke rumah juga tidak banyak menolong. Fay melakukan perang dingin denganku. Dia tidak mau duduk di dekatku, membiarkan aku menyentuhnya, atau bicara dengannya. Hanya pada saat ada anak-anak, barulah dia berusaha untuk bersikap normal. Namun aku tidak mengambil kesempatan atas keadaan itu. Aku hanya bicara seadanya ketika ada Ezio dan Athena di antara kami. Aku tidak menyentuh dia, apalagi Lala otomatis menggeram kalau aku mencoba dekat dengan tuannya itu. “Om berantem, ya, dengan Tante Yola?” tanya Ezio saat aku menemani dia sampai tertidur. “Kata Papa, kalau perempuan sedang marah, cukup iyakan saja semua ucapannya.” Aku tertawa kecil. Seandainya saja dia tahu, masalah antara aku dan Fay tidak bisa diselesaik
~Fayola~ Akhirnya, hal yang ditakutkan oleh semua istri terjadi juga. Suamiku tidur dengan perempuan lain. Bukan wanita biasa yang tidak aku kenal, melainkan orang yang selama ini telah membuat hidupku susah dan tidak berhenti memfitnah aku. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Aku kehilangan pekerjaanku lagi, walau aku mengambil keputusan itu sendiri sebelum mereka memecat aku. Lalu aku juga harus kehilangan suamiku yang berhasil dia seret ke ranjangnya. Dadaku sakit sekali. Aku ingin menarik jantungku keluar dari tempatnya untuk mengurangi rasa sakit yang tidak pernah aku alami ini. Berulang kali aku melihat ke arah balkon, tetapi ada ikatan yang sangat kuat menahan kakiku tetap berada di tempat tidur. “Tuhan, aku tidak kuat kalau begini terus,” isakku. “Aku lebih bahagia saat aku sendiri. Semua orang berbohong. Pernikahan sama sekali tidak membuat aku bahagia.” Seandainya saja tidak ada anak-anak, aku akan melompat dan mengakhiri hidupku sekarang juga. Aku tidak mau meras
“Maaf, Bu. Anda tidak boleh masuk jika tidak ada janji sebelumnya,” kata sekuriti yang bertugas. Wah, sombong juga keluarga ini. Mentang-mentang kaya raya, tidak menerima tamu yang datang mendadak. Aku pikir alasannya karena aku tidak mereka kenal. Pantas saja Trici juga bersikap sangat mengesalkan dan merasa memiliki perusahaan di mana dia hanya menjadi manajer divisi. “Tolong, berikan surat ini kepada majikan Bapak. Aku tunggu respons dari mereka.” Aku tetap berdiri tegak, tidak mau mundur sebelum misiku hari ini tercapai. Sebentar saja, pria itu kembali dengan langkah tergopoh-gopoh. Gerbang besar nan tinggi itu pun dibuka dan dia mempersilakan aku masuk. Wastu itu berlantai tiga dengan pilar besar pada teras, menunjukkan betapa kokoh bangunan megah tersebut. Beberapa saat lagi aku akan tahu seangkuh apa keluarga yang sudah membesarkan perempuan arogan tidak tahu malu itu. Pintu dibuka dan seorang pria separuh baya menyambut aku. Dia mengajak aku untuk mengikutinya. Tidak jauh
Aku memulai hari dengan satu keyakinan: menjauhkan pengganggu dari pernikahan kami. Segalanya berjalan dengan baik, orang tuanya juga percaya kepadaku dan berniat untuk membantu. Namun bukannya mendapat solusi, aku malah berhadapan dengan masalah baru yang pelik. “Aku mengerti kita semakin tua akan semakin bijak. Tetapi aku tidak bisa memahami kamu. Orang yang menyakiti kamu biasanya kamu balas dengan memaki atau apalah. Mengapa kamu malah mengalah? Trici tidak boleh sampai menang mudah,” kata Mala dengan berang. “Yola, jika kamu sungguh-sungguh mencintai Galang, kamu harus memperjuangkan dia. Jangan diam saja seperti ini. Aku tidak suka melihat kamu selalu pasrah dengan keadaan. Iya, kamu berhasil walau hanya diam saat menghadapi mantan dan teman jahatmu, tetapi Sonya dan Trici kasusnya berbeda. “Trici seorang janda. Tidak ada suami dan anak yang menahan dia untuk mendekati Galang. Jadi, kamu tidak boleh pasrah. Beda dengan Sonya yang cuma iseng mendekati dia, tetapi ada suami dan
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se