Aku tahu hal yang membuat Mama sedih, tetapi aku terpaksa melakukannya. Jika dia terus salah paham, maka dia akan semakin terluka karena berharap terlalu lama. Mama akan segera ceria lagi, dia hanya butuh waktu untuk mencerna informasi baru tersebut.Galang juga akan tahu apa yang sudah aku lakukan. Karena itu, aku tidak mengatakan rencanaku kepadanya. Dia akan menemukannya nanti.Kami berdiri bersama di teras mengantar kepulangan keluarga kami. Mereka melambaikan tangan dengan antusias, kecuali Mama yang belum bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Tama yang menutup dan mengunci pintu, maka aku menuju ruang kerja dan memeriksa anak anjing itu.“Dia sudah tidur, biarkan saja,” ucap Galang.Aku tertawa kecil melihat gaya tidurnya yang lucu. Dia tidur telentang layaknya manusia, manis sekali. Tidak mau membangunkannya, aku menuruti Galang dan keluar dari kamar itu. Kami menuju lantai atas, kemudian masuk ke kamar kami masing-masing.Setelah membersihkan diri di kamar mandi, berganti pakaia
Suasana aula yang semula ramai itu mendadak hening. Begitu sunyi sampai aku bisa mendengar setiap tarikan dan embusan napas orang di dekatku. Menduga dan mendengar sendiri tebakanku itu benar ternyata rasanya sangat berbeda. Aku sama terkejutnya dengan semua orang mengetahui bahwa Galang bukanlah satu-satunya pria yang pernah dia goda. Ada pria lain yang bahkan sudah tidur dengannya. Mereka bersikap seia sekata, saling mendukung di depan semua orang, ternyata pernikahan mereka hancur di dalam. “Diam kau!” teriak Sonya dengan keras. Kami menarik napas terkejut. Wow. Keadaan semakin seru. “Mengapa aku harus diam? Itu kenyataannya. Aku sudah cukup menutup mulut dan membiarkan kamu merusak kehidupan orang lain yang tidak bersalah,” kata pria itu dengan serius. “Aku juga,” kata pria lainnya, tidak mau kalah. “Aku sudah beberapa kali tidur dengan Sonya.” Wanita itu menyuruh mereka untuk diam. Doddy yang malang. Dia hanya bisa diam terpaku ketika satu per satu pria mengaku pernah tidur b
~Galang~ Fay bersikap sangat aneh akhir-akhir ini. Dia yang biasanya marah atau santai saja setiap aku dekat dengannya, malah terkejut atau menjauh. Pada saat yang lain, dia berinisiatif mencium aku lebih dahulu atau sekadar mengajak makan malam bersama. Apa mungkin sikapnya itu tidak ada hubungannya denganku, tetapi pekerjaannya? Ah, iya. Bisa jadi dia gelisah karena sudah dua kali mendapat skors dua bulan berturut-turut. Itu akan menjadi catatan buruk dalam berkasnya. Sialnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Keluarga Trici bukan lawanku. Namun semua pikiran itu tertepis saat kami terbawa suasana di balkon kamarnya. Aku hampir saja lepas kendali. Sebelum kami terlalu jauh, aku pergi dan berusaha untuk mengendalikan diri di kamarku. Aku tidak yakin aku bisa menunggu lebih lama lagi. “Aku ke toilet sebentar, ya,” pamitnya saat kami makan di restoran pilihannya. Aku mengangguk dan melihat dia berjalan menuju bagian restoran di belakangku. Dia pasti sudah menahannya dari tadi. Aku me
~Fayola~ Orang-orang bertaruh mengenai hubungan persahabatan kami, bukanlah masalah bagiku. Berbeda jika Galang sendiri yang bertaruh. Aku tidak percaya dia tega melakukan ini. Kami berteman sangat lama dan akhirnya memutuskan untuk menikah, aku pikir dia tulus kepadaku. Ternyata dia juga berkhianat di belakangku seperti Sonya. Dia mempermainkan perasaanku dengan mempertaruhkan uang sebanyak itu. Apa selama dua bulan ini dia benar-benar bersandiwara demi uang? Mengapa? Mengapa dia sampai hati menyakiti aku seperti ini? Aku menghentikan langkahku ketika menyadari aku tidak punya tempat untuk pulang. Rumah Galang adalah satu-satunya tempat untukku kembali pada malam ini. Dengan berat hati, aku menyeka wajahku dan kembali ke restoran. “Selamat malam,” katanya sebelum kami berpisah di ujung tangga. Kamarnya ada di sebelah kiri, sedangkan aku di sebelah kanan. “Selamat malam,” balasku. Ucapan itu mengingatkan aku pada kejadian malam sebelumnya. Kami berciuman di balkon kamar, lalu dia
~Galang~ Ruang makan itu terasa sangat besar tanpa kehadiran Fay. Ulfa memasak makanan yang sangat enak. Rendang daging sapi, ikan panggang lengkap dengan sambalnya, sayur lalapan, wortel dengan buncis tumis, dan jus jeruk. Namun aku kesulitan menghabiskannya. Belum satu hari berpisah, aku sudah merindukan dia. Aneh rasanya tidak bertengkar dengannya satu harian setelah kami menikah. Ke mana dia pergi, aku ikut, begitu juga sebaliknya. Hari ini adalah hari pertama kami tidak bertemu lebih dari dua belas jam. “Kamu mengantarnya ke penginapan?” tanyaku kepada Tama. Dia meletakkan sebuah kartu nama di atas meja. “Apa Nyonya dan Tuan bertengkar? Nyonya tidak berhenti menangis ketika saya mengantarnya ke hotel.” Fay menangis? Apa yang telah terjadi? Dasar sok kuat! Mengapa dia selalu menyimpan bebannya sendiri? Aku seharusnya memarahi Trici sampai dia tidak bisa lagi memasang wajah angkuhnya itu di depanku. Tidak salah lagi. Ini pasti masalah pekerjaan. “Baik, Tama. Aku akan bicara de
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa masuk tanpa izinku, tetapi aku tidak bisa memarahi Tama. Pria ini terbiasa memanipulasi orang untuk melakukan semua yang dia perintahkan. Jadi, kepala pelayanku itu pasti terpaksa menerima dia di dalam rumahku. Tangan Fay mengepal di kedua sisi tubuhnya, maka aku memeluk pinggangnya. Dia menjadi tenang dalam sekejap. Hal yang tidak luput dari penglihatan pria yang berpikir dia masih berarti dalam hidup dan hati istriku. Aku menarik Fay mendekat, dan dia tidak menolak. “Apa ada lagi yang mau kamu bicarakan sehingga masuk rumahku tanpa pemberitahuan?” tanyaku dengan nada bosan. Karena aku memang muak berhadapan dengannya terus. Aku sengaja tidak mengajaknya ke ruang duduk supaya dia tidak betah dan segera pergi. Lagi pula, dia sudah berdiri di sini berarti dia tidak mau duduk. Aku yakin Tama sudah menawarkan untuk menunggu di ruang depan, bukan di sini. Dia tertawa kecil. “Pertemanan kalian memang susah dirusak dari dahulu. Mengapa kamu pulang, Yola
~Fayola~Galang pergi, meninggalkan aku seorang diri di kamar. Aku menyentuh perutku dan teringat rasanya ketika bayi itu masih ada di dalam tubuhku. Waktunya sangat singkat hadir di dunia ini. Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberi, lalu mengambilnya lagi, tetapi aku sudah belajar untuk memaafkan.Aku belajar untuk memaafkan diriku sendiri. Meskipun Yang mahakuasa memberikan dia kepadaku, Dia berhak untuk melakukan apa pun yang Dia inginkan. Memberinya selama satu hari, satu bulan, satu tahun, keputusan itu ada di tangan-Nya.Sebaik apa pun aku berusaha, jika dia harus pergi, maka aku tidak bisa mencegahnya. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik, jadi aku dan Galang bisa terus berdua. Kami bisa merayakan cinta kami selamanya, tanpa memikirkan anak-anak. Mengapa aku harus menganggap ini sebagai kutukan? Ini adalah sebuah anugerah.“Tidak, Fay.” Dia mengangkat tubuhku, lalu memindahkan aku dari pangkuannya ke sisinya. “Kita hanya akan mengobrol, lalu istirahat.”Tidak biasanya laki-laki
Aku membuka pintu ruang kerja dan melihat ke arah bantal yang ada di sudut ruangan. Walau dia tidak menoleh atau melihat ke arahku, gerakan ekornya sudah cukup. Dia mengetahui aku datang dan tidak sepenuhnya marah kepadaku. “Maafkan aku. Papamu nakal, jadi—” Aku mencoba untuk menjelaskan. “Oh, aku yang salah karena kamu pergi begitu saja dan melupakan kesayanganmu?” protes Galang. Aku tertawa kecil. “Ayo, Lala. Saatnya untuk sarapan. Apa kamu mau tulang dengan daging yang banyak?” bujukku. Gerakan ekornya semakin kencang. Lalu dia mengangkat kepala dan telinganya. “Aku serius dan tidak berbohong. Ayo, kita sarapan, ya.” Dia menyalak senang sambil berlari ke tanganku yang berada di lantai. Aku menggendong tubuh kecilnya itu dan membawanya ke ruang makan. Galang membukakan pintu untuk kami. Ulfa tidak memasak daging untuk sarapan, tetapi dia sudah senang menikmati sosis. Syukurlah, aku sempat mengira harus membujuk dia berjam-jam agar mau makan. Aku bisa tiba terlambat di kantor kal
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se