Kepada teman-temanku yang merayakannya, "Selamat Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1945." Selamat berserah diri dalam keheningan. Jadi ingat, dahulu pasti ke rumah teman beragama Hindu pada keesokan harinya untuk menikmati kue hari raya. Hmm .... Ada, tidak, ya, pembaca yang berasal dari Ampenan, Mataram, atau Cakranegara, NTB, di sini? (´⊙ω⊙`) I miss you, guys. >_<
Aku tidak akan percaya ini kalau bukan karena aku mengalaminya sendiri. Galang mengabaikan semua panggilan masuk dariku. Ancaman apa pun yang aku gunakan, dia tidak membaca apalagi membalas semua pesanku. Dia tidak pernah begini sebelumnya.Trici yang biasanya menggempur aku dengan tugas yang menumpuk, tiba-tiba diam. Dia tidak mengirim pekerjaan apa pun untuk kami. Aku senang saja dengan keadaan itu, karena aku butuh menarik napas sesaat setelah beberapa hari diberi banyak pekerjaan.“Berengsek kamu, Galang!” umpatku dengan kesal.Aku menggigit kuku dengan gelisah, padahal itu bukan kebiasaanku. Berjalan mondar-mandir di ruang kerjaku pun tidak bisa mengurangi rasa cemasku. Mengapa dia melakukan semua ini? Apa yang ada di dalam kepalanya? Sial. Dia harus memberi penjelasan kepadaku!Ponselku bergetar di atas meja, aku segera mengambilnya. ‘Bekerja dengan baik. Aku akan jelaskan semuanya di rumah.’ Aku segera menelepon nomornya. Menunggu sampai deringan terakhir, dia masih tidak menja
Bunyi keras itu tidak hanya terdengar olehku, tetapi juga pelayan yang bertugas di butik. Mereka segera mendekat untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Aku masih berdiri tidak percaya melihat kejadian itu berlangsung sangat cepat. “Bu, kami mohon. Tolong, jangan buat keributan di sini. Kalau sampai orang-orang tahu, reputasi butik milik atasan kami menjadi taruhannya,” kata pelayan wanita yang tadi melayani di kasir. “Reputasi, katamu?” hardik wanita itu semakin berang. “Reputasi bosmu dan butiknya ini tidak lebih penting dari reputasiku. Pergi dari hadapanku atau aku akan memasukkan keburukan pelayanan butik ini di media sosial!” Ancaman usang itu lagi. “Tetapi, Bu,” kata perempuan itu memelas. “Apa lagi maumu?” Aku berdiri di depan Galang, melindungi dia dari perempuan pengkhianat itu. “Kalian yang maunya apa? Aku tidak mengganggu hidup kalian, mengapa malah menyebarkan video fitnah itu? Semua orang berpikir akulah yang datang dengan sukarela ke kamar tidurnya. Padahal bukan i
“Sudah, jangan bahas gosip di acara bahagia ini,” kata Mama yang datang bersama pelayan dengan membawa baki. Minuman hangat dan makanan ringan disajikan di depan kami.“Iya, kita rencanakan liburan saja,” timpal Ekon yang ikut bergabung bersama keluarga kecilnya. Kedua anak mereka sudah mengantuk, jadi mereka duduk sambil bersandar pada papa dan mama mereka. Aku tersenyum mengingat mereka tidak bisa diam sepanjang acara tadi.“Bulan Juni, yuk. Jadi, pas dengan liburan sekolah anak-anak,” usul Amara. “Kita juga tidak terlalu lelah setelah berbulan-bulan mempersiapkan pernikahanku.”“Boleh. Asal bukan bulan Mei, karena aku dan Fay akan naik gunung,” kata Galang.Mereka serentak menoleh ke arah kami dan tersenyum penuh arti. Aku jadi ingat, Mama dahulu sangat menentang hobiku itu. Akibatnya, aku sering mendaki gunung tanpa izinnya. Karena aku selalu pulang dalam keadaan selamat, dia akhirnya mengizinkan aku melakukannya secara rutin.Apalagi Galang yang datang sendiri meminta izin untuk
Lantai gang dari pintu gereja hingga ke altar telah dialasi dengan karpet berwarna merah. Pada setiap ujung bangku dihiasi dengan buket bunga kecil dari barisan belakang hingga depan. Altar juga tidak kalah indahnya dengan bunga berdiri yang didominasi oleh warna putih.Liturgis meminta kami untuk berdiri, lalu alunan piano mendendangkan mars pernikahan mengiringi Amara dan Papa yang berjalan bersama menuju altar. Adikku yang sepuluh tahun lebih muda dariku itu sudah bukan anak-anak atau gadis remaja yang manja lagi. Dia akan segera menjadi seorang istri, dan jika Tuhan berkenan, seorang ibu.Aku menitikkan air mata ketika dia dan Keano akhirnya diresmikan menjadi suami istri. Pernikahan mereka tertunda selama satu bulan demi mengalah denganku dan Galang. Perasaan bersalah yang sedikit membebani aku pun terangkat.“Tante Yola!” panggil Ezio dan Athena yang sudah duduk di kursi untuk mereka bersama kedua orang tua mereka. Aku melambaikan tangan, belum bisa mendekati mereka.Bukan hanya
~Galang~Entah apa rahasia yang dimaksudkan oleh Ekon sehingga Fay begitu marah kepadanya. Walau aku penasaran sekaligus kesal dia punya rahasia yang tidak aku ketahui, aku menghargai privasinya. Jika saatnya tiba juga dia akan menceritakan segalanya kepadaku.Upacara hingga resepsi pernikahan Amara berjalan dengan lancar. Apa yang ditakutkan Fay tidak terjadi. Bahkan video yang viral itu membuat banyak orang penasaran mengenai kami. Mereka tidak mendatangi kami langsung, tetapi hanya melihat kami dari jauh.Syukurnya, mereka orang-orang berduit yang memberi amplop tebal sebagai hadiah untuk kedua pengantin. Amara beruntung. Aku dan Fay lebih banyak dapat barang daripada uang dalam amplop. Namun semua klienku yang tidak hadir mentransfer uang ke rekeningku sebagai kado dari mereka untuk kami, dan jumlahnya fantastis sampai aku berulang kali menghitung nol yang tertera.“Sampai nanti bulan Juni,” ucap Ekon kepada kami semua.Kami membalas lambaian tangannya dan keluarganya. Mereka mem
“Lang, apa yang kamu lakukan?” Dia mengangkat benda yang sudah aku buang ke tempat sampah.“Apa lagi? Membuang sampah pada tempatnya,” jawabku sekenanya.“Untung saja Tama menanyakan dahulu, jadi undangan berharga ini tidak terbuang sia-sia.” Dia duduk di depanku dan meletakkan sampah itu di atas meja.“Fay, itu sampah,” kataku, mengingatkan. “Mengapa kamu taruh di atas meja?”“Apa kamu tidak lihat plastik pembungkusnya sudah aku buka? Bagian dalamnya bersih,” katanya, tidak mau kalah.Undangan yang diberikan Trici semalam langsung aku buang ke tempat sampah di ruang depan. Aku tahu isinya sampah kering, jadi kertasnya tidak akan kotor. Namun bagiku, benda itu tetap sampah yang tidak seharusnya diletakkan di atas meja makan.“Mengapa kamu ambil lagi sampah itu? Kamu mau datang ke sana?” tanyaku heran.“Mereka sudah susah payah mengundang, tentu saja kita harus menghadirinya.”Aku mengangakan mulut, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. “Aku tidak ikut.”“Memangnya kamu tidak pen
~Fayola~Dasar Galang bodoh. Ada undangan makan gratis, mengapa malah membuang kesempatan itu? Aku tidak peduli dengan perbuatan mereka di masa lalu, juga apa yang akan mereka rencanakan dengan mengirim undangan perayaan hari ulang tahun pernikahan mereka.Kasihan mereka sudah menyusun rencana dengan baik, masa aku menolak undangan itu? Aku juga mau tahu kejutan apa lagi yang sudah mereka siapkan untukku. Setelah video viral itu pasti menarik untuk melihat sendiri, mereka masih disegani orang banyak atau tidak.“Apa yang Kakak lakukan?” tanya Amara ketika kami sudah berada berdua saja di kamarnya.“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Aku melirik ke arah kamarnya. “Wow, Amara! Tempat tidur kalian bagus sekali! Persis seperti yang ada di istana Inggris!”“Kak, fokus!” Dia menarik tanganku, lalu mengajak aku duduk di sofa yang ada di dekat jendela.“Wow! Kursi ini empuk sekali!” Aku naik turun merasakan bahannya yang lembut, nyaman diduduki.“Kakak jatuh cinta kepada Kak Galang,” kata
Aku terbiasa bangun pagi meskipun hari Minggu, karena harus bersiap untuk beribadah. Karena perut sudah melilit, aku ke ruang makan lebih dahulu. Ulfa dan Tama menyapa aku dengan ramah. Air liurku terbit melihat makanan yang mereka sajikan di atas meja.“Selamat pagi. Apa kalian sudah sarapan?” tanyaku. Mereka serentak mengangguk.“Setelah Nyonya selesai makan, Tuan menunggu Anda di sebelah,” kata Tama sambil tersenyum penuh arti.“Lo? Dia tidak sarapan?” tanyaku bingung.“Sudah, Nyonya. Baru saja selesai,” jawab Ulfa.Aku mengangguk mengerti. Tumben. Biasanya dia menunggu sampai aku turun ke ruangan ini untuk makan bersama. Baiklah. Biar saja dia menunggu. Aku mau makan banyak, karena sangat lapar. Roti panggangnya enak, apalagi ham dan sosisnya. Hm ….“Galang? Apa ini?” tanyaku melihat dia berdiri begitu aku memasuki ruang kerjanya.Dia memegang satu buket bunga mawar putih dan merah muda, serta sekotak cokelat. “‘Happy Valentine’s Day!’” serunya senang. “Akhirnya, aku punya seorang
Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023. 120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`) Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya. Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡ Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦ Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir k
Adakah orang di sisimu ketika duniamu runtuh di hadapanmu? Orang yang memegang tanganmu dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja. Ada aku di sini.” Sekalipun kamu tidak percaya, kalimat sederhana itu memberi kamu sepercik harapan. Air mata mengalir tiada henti di kedua pipimu, hatimu patah tidak mudah untuk disatukan kembali, dan tubuhmu nyeri menahan sakit yang luar biasa. Namun tangan itu memberi kamu kekuatan baru untuk merangkak lagi, memulai segalanya dari bawah. Aku ada. Orang itu bukan keluargaku, bukan pula sahabat yang aku percayakan semua rahasiaku, dia adalah teman ributku, Galang. Satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui rahasia terdalamku. Rahasia yang bahkan tidak berani aku ungkapkan kepada ibu kandungku. Menikah dengan sahabat sendiri itu geli. Sungguh. Bayangkan saja, orang yang kamu ketahui semua jeleknya, busuknya, hingga semua kebaikannya tertutupi. Apa bisa kamu mencium dia? Kamu pasti tertawa seperti pengalaman serius pertamaku dengan Galang. Kalau se
~Fayola~Aku sangat mencintai suamiku, tetapi ada juga saat-saat aku membenci dia sampai ke ubun-ubun. Dalam peran kami sebagai orang tua, aku selalu menjadi antagonis, monster di mata anak-anak. Sedangkan dia, menjadi malaikat yang selalu menolong, menghibur, dan memaafkan mereka.Namun menyadari betapa pentingnya keseimbangan sebagai orang tua, aku terpaksa menuruti cara itu. Karena ada juga waktunya, akulah yang menjadi protagonisnya, sedangkan Galang yang menjadi orang jahatnya. Membesarkan anak benar-benar menguras tenaga, pikiran, dan emosi.Kasihan kepada Galang yang lemas melihat kondisi sofa favoritnya, aku pun memanggil jasa untuk memperbaikinya. Untuk sementara, aku memindahkan sofa dari ruang depan ke ruang keluarga. Sebentar saja, sofanya pun jadi bagus lagi. Busa dan kainnya diganti dengan yang baru.“Jangan bilang mereka mencoret sofa lagi,” ucapnya kepadaku ketika dia menuruti anak-anak yang menarik tangannya untuk masuk ke ruang keluarga. Aku hanya tersenyum.“Kejutan
“Apa kamu ini tidak bisa jalan dengan benar? Kamu tadi menyeret aku keluar kamar, lalu sekarang berhenti mendadak. Aku sampai tersandung. Untung saja aku tidak jatuh,” protes Fay. Aku memberi sinyal dengan mataku, dia malah memukul dadaku. “Ayo, cepat. Katanya sudah lapar, mengapa malah diam di sini?” Aku kembali melotot dan memberi tanda agar dia melihat ke arah depan kami. “Ada apa, sih? Lidah kamu terjepit?” “Jadi, ini yang dimaksud dengan naik gunung?” Mendengar kalimat itu, barulah Fay sadar dan menelan ludah dengan berat. Matanya yang semula mengantuk, terbuka lebar dan dia memasang senyum. Menginap di sini bukanlah rencanaku, jadi aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. “Eh, anak mama ada di sini!” serunya pura-pura terkejut. “Hai, sayang! Ezio! Athena!” Dia mencium dan memeluk mereka satu per satu. “Kalian sudah rapi pakai seragam.” “Papa dan Mama benar naik gunung?” tanya Ezio lagi. Ayah dan Bunda yang berdiri di belakang mereka hanya menahan tawa. Melihat itu, aku memint
“Mama perginya jangan lama-lama, ya. Cepat pulang, ya, Ma,” isak Ezio.Kami bicara baik-baik semalam mengenai kepergian kami Lombok. Mereka mengerti bahwa mereka akan tinggal bersama kakek dan nenek mereka selama kami tidak di rumah. Bangun tidur, segalanya masih baik-baik saja. Barulah di dalam taksi, mereka mulai menangis.Aku dan Fay jelas panik dengan sikap mereka tersebut. Namun membatalkan kepergian kami adalah pilihan yang tidak akan aku ambil. Perjalanan ini mungkin tidak akan bisa kami lakukan lagi dalam waktu dekat. Aku mengajukan cuti bukan untuk bersantai di rumah saja.“Papa janji akan pulang hari Rabu, jangan bohong, ya, Pa,” tangis Athena.Aku dan istriku saling bertukar pandang. “Sayang, kami pasti kembali hari Rabu. Kalian berjanji akan bersikap baik. Mana janjinya? Mengapa kalian malah menangis?” ucap Fay.“Jangan khawatir. Mereka akan baik-baik saja,” kata Bunda, menengahi. “Pergilah. Taksi sudah datang. Jangan sampai kalian terlambat sampai di bandara.”“Baik, Bund
~Galang~ Walau aku sangat marah kepada wanita perusak rumah tangga orang itu, aku bersyukur aku dalam keadaan tidak sadar ketika dia meniduri aku. Jadi, aku tidak mengingat apa pun yang terjadi di kamar hotel pada malam itu, yang menolong aku lebih cepat memaafkan diriku sendiri. Aku hanya mengenal tubuh istriku, setiap sentinya. Hanya wajahnya yang pernah aku lihat dalam keadaan paling intim. Yang paling penting, dia saja wanita yang aku inginkan. Aku merasa bersalah meski aku tidak ingat kejadian bersama Trici, tetapi aku akan membayarnya seumur hidupku dengan membuat istriku lebih bahagia dari sebelumnya. Membawa bunga setiap hari itu adalah salah satu contoh yang aku tahu akan membuat dia bahagia. Kalau dia melarang, maka aku menurutinya. Aku mau dia bahagia saat aku memberinya sesuatu, bukan merasa tidak enak. “Kamu pasti tidak sadar kita genap menikah selama empat bulan kemarin,” tebakku. Dia melihat aku dan tanganku yang ada di belakang tubuhku secara bergantian. “Kamu tahu
Aku hanya bisa menundukkan kepala dan pasrah dengan air mata yang tidak bisa aku kendalikan terus mengalir turun membasahi wajahku. Aku mendadak merasa kecut, karena yang selalu aku sampaikan kepada mereka adalah berita buruk. Mengapa tidak bisa satu kali saja, aku memberikan kabar baik kepada keluargaku? Aku mau melihat mereka tertawa dan bersorak bahagia seperti saat Amara menyampaikan kabar kehamilannya. Oh, Tuhan. Mengapa aku selalu menjadi pembawa kabar buruk dalam keluargaku? Sudah pasti mereka akan kecewa mendengar pengakuanku. Aku bukan hanya merusak suasana, aku juga akan menghancurkan kebahagiaan adikku. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi kami semua. Seandainya saja aku tidak mengundur hal ini …. “Lebih dari lima belas tahun yang lalu, aku keguguran dan harus menjalani operasi. Tetapi dokter menemukan adanya fibroid atau tumor yang tumbuh di sekitar rahim yang berukuran sangat besar. Aku sendirian dan harus memberikan keputusan segera.” Aku memejamkan mataku. “K
Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku menunggu mereka yang bergerak lebih dahulu. Sudah beberapa minggu ini hubungan kami sedang tidak enak. Jadi, mau tidak mau aku merasa canggung harus bersikap bagaimana.“Semoga kalian tidak keberatan aku mengajak mereka juga.” Bunda menoleh ke arahku. “Papa dan mamamu memaksa ingin ikut, jadi kami tadi menjemput mereka sebelum datang ke sini.”“Kami tidak keberatan, Bunda,” kataku dan Galang secara bersamaan.Ezio dan Athena bergantian memeluk Ayah dan Bunda, lalu mereka menatap ragu kepada Papa dan Mama. Cinta pertamaku itu yang lebih dahulu mendekat dan memeluk kedua anak tersebut. Mama pun melakukan hal yang sama.Aku tersenyum saat Galang merangkul bahuku, lalu mencium pelipisku. “Aku akan membeli tiket untuk kita,” bisiknya. Aku mengangguk.Anak-anak berjalan sambil menggandeng tangan Ayah dan Bunda, Papa mengikuti Galang menuju loket, sedangkan Mama mendekati aku. Dia memeluk aku, menghangatkan hatiku. Lega rasanya, kami sudah berbaik
“Bisakah kalian pelan sedikit?” keluhku, melihat keempat makhluk tukang pamer itu berlari santai di depanku. Bukannya memperlambat lari mereka, ketiganya malah tertawa mengejek aku. Lala bahkan menyalak senang.Mereka bertiga bekerja sama agar aku bangun subuh dan ikut joging. Kalau bukan karena aku penasaran ingin mendaki Gunung Rinjani, aku tidak akan melakukan ini. Seandainya anak-anak sedikit lebih besar, pasti menyenangkan bisa pergi dengan mereka juga.Setelah joging, aku menolong Athena untuk mandi dan berganti pakaian di kamarnya, sedangkan Galang membantu Ezio. Barulah aku menuju kamar mandi di kamar tidur kami. Namun suamiku bergabung dan ikut mandi bersamaku.“Tidak, Lang. Kita bisa terlambat,” tolakku saat dia mengajak bercinta. Aku sangat menginginkan dia setelah berhari-hari puasa, tetapi kami tidak punya waktu untuk melakukan ini.“Kamu bilang kamu membutuhkan aku,” katanya, mengingatkan.“Semalam, bukan pagi ini,” ralatku.“Sayang sekali, aku selalu membutuhkan kamu se